Rabu, 26 Desember 2007

media BK

MEDIA BIMBINGAN DAN KONSELING

Oleh: Boy Soedarmadji

A. Definisi
Seringkali kita temui dalam proses pembelajaran di kelas, guru mengalami masalah untuk memberikan pengertian kepada siswa tentang satu pokok bahasan. Guru mengeluh karena sudah seringkali diulang, tetapi siswa tidak dengan segera dapat memahami pokok bahasan tersebut. Kasus ini mengindikasikan bahwa dalam proses komunikasi antara guru dan siswa terdapat kesenjangan. Dimana kesenjangan ini muncul mungkin akibat bahan ajar yang diberikan kepada siswa kurang menarik atau mungkin media yang dipergunakan tidak sesuai dengan karakteristik bahan ajar yang diberikan.
Seringkali guru menyampaikan bahan ajar kepada siswa hanya dengan mempergunakan cara-cara yang “kuno”. Dalam arti bahwa guru hanya sebatas menjelaskan atau memberi ceramah kepada siswa. Keterbatasan metode ini akan membuat siswa merasa cepat bosan walaupun materi yang diberikan oleh guru sebenarnya sangat menarik.
Sadiman (2002) menyatakan bahwa proses pembelajaran di kelas pada dasarnya adalah proses komunikasi. Hal ini menunjukkan bahwa guru sebagai sumber informasi memiliki kebutuhan untuk menyampaikan informasi (bahan ajar) kepada siswa sebagai penerima informasi. Penyampaian informasi ini dapat melalui cara-cara biasa seperti berbicara kepada siswa, atau melalui perantara yang disebut sebagai media.
Istilah media berasal dari bahasa latin, yaitu medium yang memiliki arti perantara. Dalam Dictionary of Education, disebutkan bahwa media adalah bentuk perantara dalam berbagai jenis kegiatan berkomunikasi. Sebagai perantara, maka media ini dapat berupa koran, radio, televisi bahkan komputer. Gagne (dalam Sadiman, dkk, 2002) menyatakan bahwa media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsangnya untuk belajar. Lebih lanjut, Briggs (dalam Sadiman, dkk, 2002) menyatakan bahwa media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta merangsang siswa untuk belajar.
Definisi tersebut mengarahkan kita untuk menarik suatu simpulan bahwa media adalah segala jenis (benda) perantara yang dapat menyalurkan informasi dari sumber informasi kepada orang yang membutuhkan informasi. Lebih singkatnya, dapat disajikan pada gambar sebagai berikut:
Sumber Informasi
MEDIA
Penerima Informasi



Lebih lanjut, dalam proses pembelajaran dikenal pula istilah media pembelajaran. Suyitno (1997) menyatakan bahwa media pembelajaran adalah suatu peralatan baik berupa perangkat lunak maupun perangkat keras yang berfungsi sebagai belajar dan alat bantu mengajar. Sebagai alat bantu dalam proses pembelajaran, maka media belajar ini akan disesuaikan dengan karakteristik masing-masing bahan ajar yang akan disajikan juga memperhatikan karakteristik siswa.

B. Jenis-jenis media
Saat ini, dengan cepatnya teknologi komunikasi maka semakin banyak pula media komunikasi yang muncul. Pada pembahasan ini, media komunikasi yang dimaksud adalah media untuk membantu pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di sekolah. Beberapa media yang dimaksud adalah komputer (internet), peralatan audio seperti tape recorder dan peralatan visual seperti VCD/DVD.
1. Komputer
Perkembangan perangkat komputer saat ini mengalami kemajuan yang sangat pesat. Hampir setiap bulan muncul genre-genre baru dalam dunia komputer. Sebagai contoh adalah perkembangan prosessor sebagai otak dalam sebuah komputer mulai dari Intel Pentium 1 sampai dengan Pentium 4. Sebagian orang belum bisa menikmati kecanggihan Prosesor Pentium 4, saat ini sudah muncul Centrino bahkan Centrino Duo Core. Belum lagi sebagian orang berpikir kehebatan Centrino Duo Core, telah muncul pula AMD 690.
Pesatnya perkembangan teknologi komputer ini memang sebagai jawaban untuk akses data atau informasi. Perubahan di masyarakat yang semakin cepat pada akhirnya menuntut perkembangan teknologi komputer yang semakin canggih. Saat ini dibutuhkan akses data yang cepat, sehingga pada akhirnya prosesor yang ada juga semakin cepat.

2. Peralatan Audio
Perkembangan peralatan audio saat ini juga mengalami perkembangan yang pesat. Peralatan audio yang di pergunakan dalam proses bimbingan dan konseling seperti tape recorder. Penggunaan tape recorder ini antara lain adalah untuk merekam sesi konseling dan memutar kembali hasil-hasil yang diperoleh selama sesi konseling.
Tape recorder membutuhkan kaset untuk bisa melakukan tindakan perekaman. Kaset memiliki pita magnetik yang berfungsi untuk menyimpan data atau informasi percakapan.
Saat ini telah berkembang alat perekam yang tidak membutuhkan pita perekam. Alat ini disebut MP3 dan MP4. Pada dasarnya alat ini berfungsi sebagai player, dimana di dalam alat ini terdapat sebuah mini harddisk yang memiliki kapasitas sampai dengan 4 Gb. Sebagai sebuah player, maka alat ini dapat memainkan musik dan dapat dipergunakan untuk merekam suara.
Ukuran MP3 dan MP4 saat ini amat kecil jika dibandingkan dengan sebuah mini tape recorder biasa. Seringkali kita jumpai, alat MP3 atau MP4 seukuran sebuah spidol atau ballpoint.

3. Peralatan Visual
Alat visual dapat bermacam-macam ragamnya seperti video player dan VCD/DVD player. Pada awalnya, penggunaan peralatan visual adalah dengan mempergunakan projector. Penggunaan proyektor ini dipandang tidak efisien, karena dalam proses produksinya membutuhkan tahapan-tahapan yang panjang. Mulai dari merekam gambar sampai dengan menampilkan gambar. Bahkan seringkali dijumpai mutu gambar yang tidak bagus dan bahkan mudah rusak. Sehingga lambat laun peralatan ini mulai ditinggalkan.
Video player dulu merupakan peralatan yang lumayan banyak dipergunakan orang. Hanya saja, saat ini sudah banyak ditinggalkan karena proses produksinya tertalu berbelit. Untuk menghasilkan sebuah hasil rekaman yang baik, dibutuhkan kamera perekam yang lumayan besar dan berat, selain itu kaset yang dipergunakan juga relatif besar, sehingga dipandang tidak praktis. Terlebih, hasil rekaman seringkali tidak begitu jernih.
Peralatan visual yang sering kita jumpai antara lain adalah video player atau CD player. Peralatan ini banyak dijumpai karena memiliki tingkat pengoperasian yang mudah dan memiliki harga yang relatif murah. Penggunaan video player ini tidak akan bisa lepas dari keberadaan sebuah disc atau keping VCD/DVD. Dengan kecanggihan teknologi yang ada saat ini, proses perekaman gambar tidak perlu mempergunakan perangkat yang bermacam-macam. Saat ini telah berkembang alat perekam (handycam) yang secara langsung dapat merekam gambar langsung ke dalam keping VCD/DVD. Dengan kata lain, pengoperasian VCD/DVD ke player akan semakin mudah.

Perkembangan teknologi informasi saat ini, pada akhirnya bertujuan untuk memudahkan konsumen menikmati hiburan antau informasi dengan efisien. Hal ini pada akhirnya memunculkan perangkat-perangkat multi media. Teknologi multi media yang berkembang saat ini sudah demikian canggihnya, sehingga sehingga seringkali konsumen bingun untuk memilih teknologi apa yang akan dibeli.
Saat ini peralatan komputer yang dijumpai di pasaran pun sudah mempergunakan teknologi multi media. Dulu, komputer hanya dipergunakan sebagai alat pengolah data saja. Tetapi selanjutnya berkembang juga sebagai alat entertainment. Komputer saat ini hampir bisa dipergunakan untuk membantu segala macam permasalahan manusia, mulai dari mengolah data sampai dengan memproduksi sebuah tayangan video yang baik.

C. Manfaat Penggunaan Media dalam Konseling
Tidak dapat disangkal bahwa saat ini kita hidup dalam dunia teknologi. Hampir seluruh sisi kehidupan kita bergantung pada kecanggihan teknologi, terutama teknologi komunikasi. Bahkan, menurut Pelling (2002) ketergantungan kepada teknologi ini tidak saja di kantor, tetapi sampai di rumah-rumah.
Konseling sebagai usaha bantuan kepada siswa, saat ini telah mengalami perubahan-perubahan yang sangat cepat. Perubahan ini dapat ditemukan pada bagaimana teori-teori konseling muncul sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau bagaimana media teknologi bersinggungan dengan konseling. Media dalam konseling antara lain adalah komputer dan perangkat audio visual.
Komputer merupakan salah satu media yang dapat dipergunakan oleh konselor dalam proses konseling. Pelling (2002) menyatakan bahwa penggunaan komputer (internet) dapat dipergunakan untuk membantu siswa dalam proses pilihan karir sampai pada tahap pengambilan keputusan pilihan karir. Hal ini sangat memungkinkan, karena dengan membuka internet, maka siswa akan dapat melihat banyak informasi atau data yang dibutuhkan untuk menentukan pilihan studi lanjut atau pilihan karirnya.
Data-data yang didapat melalui internet, dapat dianggap sebagai data yang dapat dipertanggungjawabkan dan masuk akal (Pearson, dalam Pelling 2002; Hohenshill, 2000). Data atau informasi yang didapat melalui internet adalah data-data yang sudah memiliki tingkat validitas tinggi. Hal ini sangat beralasan, karena data yang ada di internet dapat dibaca oleh semua orang di muka bumi. Sehingga kecil kemungkinan jika data yang dimasukkan berupa data-data sampah.
Sebagai contoh, saat ini dapat kita lihat di internet tentang profil sebuah perguruan tinggi. Bahkan, informasi yang didapat tidak sebatas pada perguruan tinggi saja, tetapi bisa sampai masing-masing program studi dan bahkan sampai pada kurikulum yang dipergunakan oleh masing-masing program studi. Data-data yang didapat oleh siswa pada akhirnya menjadi suatu dasar pilihan yang dapat dipertanggungjawabkan. Tentu saja, pendampingan konselor sekolah dalam hal ini sangat diperlukan.
Sampsons (2000) mengungkapkan bahwa fasilitas di internet dapat dapat dipergunakan untuk melakukan testing bagi siswa. Tentu saja hal ini harus didasari pada kebutuhan siswa. Penggunaan komputer di kelas sebagai media bimbingan dan konseling akan memiliki beberapa keuntungan seperti yang dinyatakan oleh Baggerly sebagai berikut:
1. Akan meningkatkan kreativitas, meningkatkan keingintahuan dan memberikan variasi pengajaran, sehingga kelas akan menjadi lebih menarik;
2. Akan meningkatkan kunjungan ke web site, terutama yang berhubungan dengan kebutuhan siswa;
3. Konselor akan memiliki pandangan yang baik dan bijaksana terhadap materi yang diberikan;
4. Akan memunculkan respon yang positif terhadap penggunaan email;
5. Tidak akan memunculkan kebosanan;
6. Dapat ditemukan silabus, kurikulum dan lain sebagainya melalui website; dan
7. Terdapat pengaturan yang baik

Selain penggunaan internet seperti yang telah diuraikan di atas, dapat dipergunakan pula software seperti microsoft power point. Software ini dapat membantu konselor dalam menyambaikan bahan bimbingan secara lebih interaktif. Konselor dituntut untuk dapat menyajikan bahan layanan dengan mempergunakan imajinasinya agar bahan layanannya tidak membosankan.
Program software power point memberikan kesempatan bagi konselor untuk memberikan sentuhan-sentuhan seni dalam bahan layanan informasi. Melalui program ini, yang ditayangkan tidak saja berupa tulisan-tulisan yang mungkin sangat membosankan, tetapi dapat juga ditampilkan gambar-gambar dan suara-suara yang menarik yang tersedia dalam program power point. Melalui fasilitas ini, konselor dapat pula memasukkan gambar-gambar di luar fasilitas power point, sehingga sasaran yang akan dicapai menjadi lebih optimal.
Gambar-gambar yang disajikan melalui program power point tidak statis seperti yang terdapat pada Over Head Projector (OHP). Konselor dapat memasukkan gambar-gambar yang bergerak, bahkan konselor bisa melakukan insert gambar-gambar yang ada di sebuah film.
Media lain yang dapat dipergunakan dalam proses bimbingan dan konseling di kelas antara lain adalah VCD/DVD player. Peralatan ini seringkali dipergunakan oleh konselor untuk menunjukkan perilaku-perilaku tertentu. Perilaku-perilaku yang tampak pada tayangan tersebut dipergunakan oleh konselor untuk merubah perilaku klien yang tidak diinginkan (Alssid & Hitchinson, 1977; Ivey, 1971, dalam Baggerly 2002). Dalam proses pendidikan konselor pun, penggunaan video modeling ini juga dipergunakan untuk meningkatkan keterampilan dan prinsip konseling yang akan dikembangkan bagi calon konselor (Koch & Dollarhide, 2000, dalam Baggerly, 2002).
Sebelum VCD/DVD player ini ditayangkan, seorang konselor sebaiknya memberikan arahan terlebih dahulu kepada siswa tentang alasan ditayangkannya sebuah film. Hal ini sangat penting, sebab dengan memiliki gambaran dan tujuan film tersebut ditayangkan, maka siswa akan memiliki kerangka berpikir yang sama. Setelah film selesai ditayangkan, maka konselor meminta siswa untuk memberikan tanggapan terhadap apa yang telah mereka lihat. Tanggapan-tanggapan ini pada akhirnya akan mempengaruhi bagaimana klien berpikir dan bersikap, yang kemudian diharapkan akan dapat merubah perilaku klien atau siswa.

D. Kerugian Penggunaan Media dalam Konseling
Pelling (2002) menyatakan bahwa, walaupun saat ini masyarakat sangat tergantung pada teknologi, tetapi di lain pihak, masih banyak diantara kita yang mengalami ketakutan untuk mempergunakan teknologi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar masyarakat kita masih percaya bahwa pernyataan-pernyataan yang diberikan oleh orang tua atau orang yang dituakan masih dianggap lebih baik. Hal ini tidak lepas dari budaya paternalistik yang melingkupi masyarakat kita.
Sebaik apapun teknologi yang berkembang, tetapi jika pola pikir masyarakat masih terkungkung dengan nilai-nilai yang diyakini benar, maka data atau informasi yang didapat seakan-akan menjadi tidak berguna. Sebagai contoh, seorang siswa akan memilih jurusan di perguruan tinggi. Mungkin mereka akan mencari informasi sebanyak mungkin, dan konselor akan memfasilitasi keinginan mereka. Tetapi, pada saat mereka dihadapkan untuk menentukan dan memilih jurusan yang akan diambil, maka tidak jarang dari mereka akan berkata, “Saya senang dengan jurusan A, tetapi nanti tergantung pada orang tua saya”.
Contoh lain, saat ini perkembangan teknologi sudah berkembang dengan demikian pesat. Tiap manusia dapat berkomunikasi tanpa dibatasi rentang ruang dan waktu. Tetapi dalam budaya tertentu, alat komunikasi ini bisa menjadi “tidak bermanfaat”. Restu orang tua merupakan hal yang dianggap sakral oleh sebagian budaya tertentu, bahkan meminta restu ini akan lebih afdol jika dilakukan dengan melakukan sungkem. Untuk menunjukkan perilaku ini, maka seringkali mereka melupakan kecanggihan piranti komunikasi yang sudah canggih, walau jarak yang ditempuh untuk mendatangi orang tua relatif jauh.
Hal lain yang terkait dengan penggunaan media dalam bimbingan dan konseling adalah sasaran pengguna seringkali disamakan. Walaupun ragam media sudah bermacam-macam, tetapi media ini seringkali masih belum bisa menyentuh sisi afektif seseorang. Dalam bimbingan dan konseling dikenal istilah empati. Penggunaan media, seringkali pula akan “menghilangkan” empati konselor, jika konselor mempergunakan media sebagai alat bantu utama.
Klien datang ke ruang konseling tidak selalu membutuhkan informasi dari internet atau komputer, bahkan ada kemungkinan klien atau siswa datang ke ruang konseling juga tidak membutuhkan bantuan dari konselor secara langsung melalui proses konseling. Tetapi adakalanya, siswa atau klien datang ke ruang konseling hanya ingin mendapatkan senyuman dari konselor atau penerimaan tanpa syarat dari konselor.
Sebagai benda mati, peralatan teknologi yang ada saat ini hanya bisa bermanfaat jika dimanfaatkan oleh mereka yang memahami penggunaan masing-masing alat tersebut. Artinya penggunaan teknologi ini akan memunculkan efek yang baik jika dijalankan oleh mereka yang paham peralatan tersebut. Sebaliknya, peralatan ini akan memberikan dampak negatif jika pelaksananya tidak memahami dampak yang akan ditimbulkan. Banyak contoh kasus dampak negatif penyalahgunaan teknologi informasi seperti beredarnya rekaman video porno di ponsel, beredarnya video porno bajakan yang dilakukan oleh anak negeri dan lain sebagainya.

E. Simpulan
1. Media bimbingan dan konseling saat ini telah berkembang dengan pesat sesuai dengan perkembangan jaman dan kebutuhan manusia yang semakin meningkat;
2. Media bimbingan dan konseling seperti internet akan menyediakan data atau informasi yang akurat bagi siswa;
3. Hubungan konseling memerlukan empati, sehingga penggunaan media sebaiknya terbatas pada usaha perolehan data dan informasi saja;
4. Untuk mempergunakan media bimbingan dan konseling perlu diperhatikan budaya yang dimiliki oleh siswa, sehingga pemilihan media bimbingan dan konseling akan efektif;
5. Perlu pelatihan atau peningkatan kompetensi konselor dalam menguasai teknologi informasi;

F. Referensi

Baggerly, Jennifer. 2002. Practical Technological Applications to Promote Pedagogical Principles and Active Learning in Counselor Education. Journal of Technology in Counseling. Vol. 2_2.

Hartono., Soedarmadji, Boy. 2005. Psikologi Konseling. Surabaya: University Press UNIPA Surabaya.

Hohenshill, Thomas, H. 2000. High Tech Counseling. Journal of Counseling and Development. V 78: 365-368.

Menanti, Asih. 2005. Konseling Indigenous. Makalah disampaikan pada Konvensi Nasional ABKIN di Bandung 2005.

Pelling, Nadine. 2002. The Use Technology In Career Counseling. Journal of Technology in Counseling. Vol. 2_2.

Sadiman, Arief. Dkk. 2002. Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya. Jakarta: Rajawali Press.

Sampson, James, P. 2000. Using the Internet to Enchance Testing in Counseling. Journal of Counseling and Development. V 78: 348-356.

Suyitno, Imam. 1997. Pemanfaatan Media dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA). Jurnal Sumber Belajar: Kajian Teori dan Aplikasi. 4 Nopember 1997.

Konseling Kedaerahan


KONSELING INDONESIA: Yang Bagaimana?

Oleh: Boy Soedarmadji


Pengantar

Perkembangan konseling di dunia saat mengalami perubahan-perubahan yang sangat pesat. Hal ini terjadi di negara-negara yang sudah maju seperti di Amerika, Inggris dan kebanyakan negara-negara di Eropa. Pesatnya perkembangan ilmu konseling di negara-negara barat ada kemungkinan disebabkan karena semakin kompleksnya masalah yang dihadapi oleh negara-negara barat, sehingga mereka terus berpacu dengan waktu untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang muncul.
Awalnya pelaksanaan konseling di barat seringkali didasarkan pada nilai‑nilai yang berlaku bagi kaum mayoritas, atau dapat dikatakan bahwa layanan konseling itu merupakan kegiatan kelas menengah ke atas bagi orang kulit putih yang masih memegang teguh nilai‑nilai dimilikinya. Konseling seringkali dilakukan antara orang kulit putih dengan orang kulit putih. Hal ini dapat dimaklumi, karena perkembangan konseling ini sendiri diawali oleh orang kulit putih.
Lambat laun masalah dalam konseling mulai muncul. Dalam pelaksanaan konseling, ternyata bukan menjadi otonomi masyarakat kulit putih saia, tetapi juga menjadi kebutuhan bagi masyarakat lainnya. Masyarakat lain yang dimaksud adalah kaum pendatang (siswa, mahasiswa, imigran dll). Mereka lebih sering disebut dengan masyarakat minoritas. Kaum minoritas di Amerika terdiri dari kaum pendatang (siswa, mahasiswa dan imigran gelap). Secara umum mereka datang ke Amerika dengan membawa budaya yang masih melekat kuat bagi pribadi masing‑masing. Siswa dan maha­siswa yang berasal dari Asia (terutama) seringkali menga­lami kesulitan didalam melaksanakan studinya. Kesulitan ini seringkali berasal dari budaya atau nilai‑nilai yang berbeda dengan nilai‑nilai yang dipergunakan oleh orang barat. Kesulitan‑kesulitan studi mereka segera ditangkap oleh konselor barat. Tetapi kenyataannya, konselor barat itu sendiri juga merasa kesulitan untuk membantu mahasiswa yang berasal dari negara timur.
Golongan minoritas tidak saia mengacu pada apa yang telah disebutkan di atas saja. Satu kelompok lain yang masuk dalam golongan minoritas adalah kaum perempuan. Secara umum, perempuan masih digolongkan sebagai orang kedua dalam hal pekerjaan dan lain‑lain. Perempuan selama ini masih dianggap sebagai golongan yang lemah dan golongan yang harus dilindungi. Padahal dalam beberapa dekade terakhir ini, kaum perempuan mulai "mengeliat" dan berusaha untuk bisa menunjukkan eksistensinya. Gerakan‑gerakan tersebut demikian kuatnya sehingga mengakibatkan para ahli konseling berpikir untuk dapat “melayani" mereka. Hal ini membuat posisi ilmu konseling untuk terus melakukan penelitian‑penelitian yang dapat mangungkap hal‑hal yang berkaitan dengan konseling lintas budaya. Sehingga diharapkan nantinya akan muncul metode‑metode baru atau teknik‑teknik baru yang dapat dipergunakan untuk melakukan konseling dengan klien yang mempunyai perbedaan buda­ya.

Perkembangan di Indonesia
Indonesia sebagai negara kesatuan memiliki kurang lebih 300 etnis yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Banyaknya etnis ini merupakan berkah yang tak terhingga bagi kita, sebab keragaman/kemajemukan ini akan memunculkan warna kehidupan. Pada setiap suku/etnis tersebut terdapat model bantuan yang sifatnya masih tradisional. Pada umumnya, bantuan yang diberikan kepada orang yang membutuhkan dilakukan oleh tokoh masyarakat yang dianggap mempunyai kelebihan spiritual (kyai, pastor, pendeta) atau mereka yang dianggap sebagai “orang tua” atau mereka yang dituakan (paranormal, “orang pinter”. “orang tua” dan sebagainya) [Rosjidan, 1995]. Orang-orang ini dipandang mempunyai kemampuan lebih untuk mengatasi masalah tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Indonesia masih mempunyai ketergantungan pada mereka, sebagai salah satu contoh pada saat mencari pekerjaan. Mereka tidak segan-segan datang kepada orang-orang tersebut untuk mendapatkan petuah, wejangan bahkan jampi-jampi. Ada keyakinan yang kuat bagi sebagian masyarakat Indonesia bahwa dengan mendatangi guru (kyai, dukun, paranormal dll) akan membuat masalah mereka selesai.
Dari uraian di atas, maka dapat ditarik simpulan bahwa profesi konseling akan lebih menguntungkan jika mempergunakan pendekatan-pendekatan yang dipergunakan oleh kaum pribumi. Hal ini disebabkan setiap budaya mempunyai cara-cara tertentu untuk menyelesaikan masalah yang timbul di dalam masyarakat tersebut (Lee & Sirch, 1994).
Perkembangan konseling di Indonesia mengalami kemajuan yang signifikan, walaupun kemajuan tersebut berjalan dengan lambat. Pada tahun 1995 dengan dilakukannya kongres dan Konvensi Nasional IPBI (sekarang ABKIN) telah dimulai suatu gerakan untuk menemukan konseling yang bercirikan budaya Indonesia. Saat itu, pemerhati masalah Bimbingan dan Konseling telah menyadari akan perlunya identitas konseling di Indonesia.
Terbentuknya ABKIN (Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia) merupakan tonggak bersejarah bagi pelaksanaan konseling di Indonesia. Saat ini, perjuangan ABKIN bagi keberadaan konselor di sekolah semakin terasa, apalagi sampai munculnya istilah “konselor” sebagai salah satu jenis tenaga kependidikan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada Bab I Pasal 1 ayat (4) dinyatakan bahwa “pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Pernyataan secara eksplisit ini pada akhirnya memunculkan kepercayaan masyarakat (public trust).
Sebutan konselor memiliki tanggungjawab yang besar. Hal ini dikarenakan sebutan ini menuntut profesionalisme dari diri masing-masing konselor yang ada, sehingga dalam hal ini, LPTK merasa terpanggil untuk mempersiapkan tenaga konselor yang professional. Salah satu bentuk profesionalisme konselor adalah menerapkan teori-teori konseling terbaru yang berkembang. Untuk hal tersebut, maka ABKIN mengeluarkan keputusan no. 011 tahun 2005 tentang Standar Kompetensi Konselor Indonesia (SKKI) yang merupakan salah satu acuan penyelenggaraan pendidikan bagi semua perguruan tinggi penyelenggaran Program Studi Bimbingan dan Konseling di Indonesia.
Salah satu hal menarik yang tercantum dalam SKKI disebutkan bahwa Konselor bekerja dalam berbagai seting, dan seting itu menjadi kekhususan dari wilayah layanan bimbingan dan konseling. Keragaman seting pekerjaan konselor ini mengandung makna adanya pengetahuan, sikap, dan keterampilan bersama yang harus dikuasai oleh konselor dalam seting manapun. Kompetensi ini disebut kompetensi bersama (common competencies), yang harus dikuasai oleh konselor sekolah, perkawinan, karir, traumatic, rehabilitasi dan kesehatan mental. Setiap seting bimbingan dan konseling menghendaki kompetensi khusus yang harus dikuasai konselor untuk dapat memberikan layanan dalam seting/wilayah khusus itu (ABKIN, 2005).
Sejalan dengan perkembangan teori-teori tersebut, maka di Indonesia saat ini sedang getol-getolnya dikembangkan suatu pendekatan konseling yang berbasis Indonesia. Salah satu alternatif yang ditawarkan adalah Teknik Konseling PADI.

Konseling PADI
Konseling PADI atau yang sering disebut dengan teknik PADI, saat ini telah dikembangkan di beberapa negara Asia, khusunya Asia Tenggara seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Philipina. Teknik ini dikembangkan dengan memadukan dua pendekatan konseling yaitu pendekatan humanistik dan behavioristik, selain ada juga unsur-unsur budaya Timur yang menyertainya. Perkembangan ini ditunjukkan dengan munculnya teknik-teknik konseling baru yang mungkin (juga) baru kita kenal. Salah satu teknik konseling yang saat ini mulai dikembangkan di Asia adalah teknik konseling PADI. PADI sendiri merupakan akronim dari Problem definition, Atempted solution, Desired changes dan Intervention plan.
Problem definition, merupakan suatu usaha untuk mendefinisikan masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh individu. Mendefinisikan masalah merupakan tahapan yang paling penting, sebab seringkali klien datang ke ruang konseling dengan membawa berbagai macam masalah dimana mereka tidak tahu masalah mana yang akan diselesaikan. Hal lain yang sering muncul adalah pengungkapan masalah yang sebenarnya bukan masalah. Sebagai contoh, seorang ibu mengeluh karena tidak bisa mengatur anak ABG-nya. Dia mengatakan bahwa saat ini anaknya susah diatur dan cenderung untuk bermain dengan teman-teman sebayanya. Ungkapan ibu tadi sepertinya masalah, tetapi jika dilihat dari psikologi perkembangan, usia anak ABG memang memiliki perilaku untuk berkelompok dengan teman sebayanya. Lebih lanjut, masalah yang dimiliki ibu tadi seakan-akan bukan masalahnya, tetapi dipandang bahwa anaknya yang bermasalah. Untuk mendefinisikan masalah klien, maka perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
a. Masalah dinyatakan secara positif (biasanya dalam bentuk perilaku)
b. Masalah adalah milik klien
c. Perjelas kapan masalah muncul
d. Bagaimana pengaruh masalah tersebut terhadap diri dan lingkungan klien
e. Siapa yang harus dilibatkan
f. Perlu dipertimbangkan masalah budaya klien
Yeoh (2003) menyatakan bahwa jika konselor mengetahui letak permasalahan klien, maka konselor sebaiknya menyatakan kepada klien. Hal ini dilakukan agar klien tersadar dan dengan mudah untuk melakukan diskusi dengan konselor. Melalui diskusi ini, maka antara konselor dan klien akan memiliki kesepakatan tentang masalah apa yang ingin diselesaikan melalui konseling, sehingga akan membuat konselor lebih fokus dalam usaha membantu klien.
Atempted solution, merupakan usaha-usaha pemecahan masalah yang pernah dicoba oleh klien. Untuk hal ini, konselor perlu menanyakan kepada klien tentang apa saja yang pernah dilakukan oleh oleh klien untuk memecahkan masalahnya serta menanyakan bagaimana hasilnya. Pemberian pertanyaan ini dimaksudkan untuk memberikan penguatan serta memotivasi klien untuk dapat menyelesaikan masalahnya. Satu hal penting bagi konselor adalah tidak memberikan persepsi terhadap usaha-usaha yang telah dilakukan oleh klien sehubungan dengan usaha pemecahan masalah yang dilakukannya. Walaupun usaha yang dilakukan oleh klien bertentangan nilai-nilai yang dimiliki oleh konselor. Perilaku konselor dengan tidak memberikan persepsi kepada usaha-usaha yang dilakukan oleh klien akan membantu konselor untuk berpijak pada hal-hal yang bersifat obyektif.
Pengungkapan diri klien terhadap usaha pemecahan masalah yang telah dilakukan pada akhirnya akan membantu konselor dan klien untuk bersama-sama menemukan cara-cara baru untuk mengentaskan masalah klien. Untuk hal ini sebaiknya konselor telah mengidentifikasi kelebihan dan kelemahan masing-masing cara yang telah dilakukan oleh klien. Lebih lanjut, Yeoh (2003) menyatakan bahwa usaha menemukan usaha-usaha yang pernah dilakukan oleh klien juga bertujuan untuk membuang usaha-usaha yang tidak berhasil, dan membicarakan lagi usaha-usaha yang pernah berhasil untuk diangkat kembali sebagai salah satu alternative pemecahan masalah klien. Tentu saja hal ini disesuaikan dengan keadaan klien saat ini.
Desired changes, merupakan perubahan-perubahan yang diinginkan oleh klien selama proses konseling. Sebagaimana menentukan masalah, perubahan-perubahan yang diinginkan oleh klien sebaiknya dimunculkan dalam bentuk perilaku atau kata kerja aktif dan positif. Konselor bisa bertanya “Apa yang anda harapkan setelah mengikuti proses konseling?” Pertanyaan ini dapat dipergunakan oleh konselor untuk mengukur sejauh mana harapan-harapan untuk berubah pada diri klien serta apa yang akan dilakukan oleh klien.
Intervention plan, merupakan tahap pelaksanaan. Pada tahap ini, konselor telah menentukan strategi konseling yang akan dipergunakan untuk mengentaskan masalah yang dihadapi oleh klien. Yeoh (2003) menyatakan bahwa untuk merencanakan intervensi, maka beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh konselor adalah (a) jangan terburu-buru, (b) mulailah dengan perubahan-perubahan kecil yang telah dilakukan klien, (c) perkuat komitmen klien untuk berubah dan (d) bertindak kreatif.
Cormier & Cormier (1985) menyatakan bahwa saat menentukan strategi apa yang akan diberikan kepada klien, sebaiknya konselor mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a. Apakah strategi tersebut sesuai dengan karakteristik pribadi klien?
b. Apakah strategi tersebut sesuai dengan karakteristik masalah klien?
c. Apakah strategi itu lebih bersifat positif daripada menghukum?
d. Apakah strategi tersebut dapat mendorong tumbuhnya keterampilan manajemen diri siswa (self-management skills)?
e. Apakah pelaksanaan strategi itu didukung dengan literatur yang ada?
f. Apakah strategi itu mudah dilaksanakan?
g. Apakah strategi itu akan menimbulkan masalah baru bagi klien atau orang terdekat klien (significant other)?
h. Apakah strategi ini memerlukan konselor lebih dari satu orang?
i. Apakah strategi itu akan mengulang kegagalan yang sama?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sebaiknya menjadi pertimbangan bagi konselor untuk menentukan strategi apa yang akan dipergunakan untuk membantu memecahkan masalah klien.
Sebagai salah satu teknik konseling yang berbasis eklektik, maka salah satu hal penting yang perlu dilakukan adalah memberikan batas akhir bagi pelaksanaan proses konseling. Hal ini seringkali kita temui pada pendekatan-pendekatan konseling behavioristik. Penentuan waktu akhir merupakan usaha untuk melihat apakah klien komitmen dengan rencana-rencana perubahan yang telah dibicarakan bersama. Selain itu, penetapan waktu ini akan “memaksa” klien untuk lebih bertanggungjawab dalam menyelesaikan masalahnya.

Referensi

ABKIN. 2005. Standar Kompetensi Konselor Indonesia (SKKI). Jakarta: PB ABKIN.

Bolton-Brownlee, Ann. 1987. Issues in Multicultural Counseling. www.ericdigest.org/pre-925/issues.htm. Diakses tanggal 18 Juli 2006.

Cormier, William., Cormier, Sherrilyn. 1985. Intervieving Strategies for Helpers: fundamental skills and cognitive behavioral interventions (2nd ed). California: Brooks/Cole Publishiing Company.

Hartono., Soedarmadji, Boy. 2006. Psikologi Konseling. Surabaya: University Press UNIPA Surabaya.

Rosjidan. 1995. Pengembangan Bimbingan dan Konseling dengan Budaya Nasional: rintisan. Makalah disampaikan dalam Kongres VIII dan Konvensi nasional X IPBI di Surabaya.

Soedarmadji, Boy., Sutijono. 2005. Model-model Konseling. Surabaya: University Press UNIPA Surabaya.

Soedarmadji, Boy., Sutijono. 2005. Pengantar Proses Konseling. Surabaya: University Press UNIPA Surabaya.

Vontrees, Clemmont. Culture and Counseling. www.ac.wwu.edu/culture/Vontress.htm Diakses tanggal 18 Juli 2006.

Westbrook, Franklin., Seadlacek, william. 1991. Forty Years of Using Labels to Communicate About Nontraditional Students: Does It Help or Hurt? Journal of Counseling & development. 70 (1): 18-20.

Yeoh, Anthony. Counseling: a Problem Solving Approach (diterjemahkan oleh Wuisan). Jakarta: Gunung Mulia.

Kamis, 04 Oktober 2007

Studi Kasus

STUDI KASUS

Studi kasus didefinisikan sebagai usaha penyelesaian masalah siswa dengan cara melakukan pengumpulan dan pelaporan seluruh bukti konkrit tentang keadaan siswa seperti keadaan sosial, psikologis, lingkungan dan vocasional dari siswa yang dihubungankan dengan data-data lain yang mendukung (Shertzer & Stone, 1981). Selanjutnya Winkel (1991) menyatakan bahwa studi kasus merupakan metode untuk mempelajari keadaan dan perkembangan seseorang secara lengkap dan mendalam dengan tujuan untuk memahami individualitas siswa dengan lebih baik dan membantunya dalam perkembangan selanjutnya.
Studi kasus merupakan metode yang komprehensif untuk mengumpulkan dan menyimpulkan data tentang individu Dikatakan sebagai cara yang komprehensif karena dalam melakukan studi kasus maka konselor sekolah perlu untuk mengumpulkan data-data individu dari sumber-sumber yang relevan dan terkini seperti catatan kumulatif, hasil observasi, hasil wawancara, data autobiografi individu, data-data dari angket, data dari tes (mis: tes psikologis), data dari guru (bidang studi, wali kelas), data dari hasil wawancara dengan orang tua dan data-data lain yang dianggap relevan dan terkini.
Pelaksanaan studi kasus di sekolah merupakan suatu kegiatan yang dapat dikatakan mahal. Sebab permasalahan yang dihadapi oleh siswa pada intinya merupakan masalah khusus, dimana tidak dapat diselesaikan dengan mempergunakan pendekatan-pendekatan biasa. Selain itu, pendekatan yang dipergunakan dalam studi kasus merupakan pendekatan yang sistemik dan membutuhkan koordinasi dengan banyak pihak baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah.
Banyak konselor sekolah mempergunakan strategi studi kasus ini sebagai upaya untuk mengenal klien lebih dalam. Hal ini dilakuka oleh konselor sekolah dengan harapan bahwa semakin dalam konselor dapat mengenal klien maka diharapkan proses konseling akan lebih produktif. Selain itu, melalui studi kasus ini konselor akan dapat mengklarifikasi data yang telah ada, sehingga dapat dipisahkan antara data yang penting dan yang tidak. Hanya saja, dalam melakukan usaha pengumpulan data ini konselor harus menuliskan permasalahan secara jelas, akurat dan obyektif dengan meminimalisasi bias dalam melakukan interpretasi. Di bawah ini akan disajikan tabel mengenai keuntungan dan kerugian penggunaan metode studi kasus menurut Shertzer dan Stone 1981.

Advantages
Disadvantages
1. Isolates key factors in situations wherein conflicting accounts become confusing
2. Indentifies multiple causation and a constellation of contributing factors
3. Yields systematic diagnosis and treatment plans
4. Results in predictive outcomes
1. Requires extensive time dan efforts
2. May contain inadequate or questionable past data
3. May delay treatment
4. May focus undue attention upon a single troubled individual to detriment of others

Hal mendasar yang perlu dicermati oleh konselor sekolah dalam melakukan studi kasus adalah asas kerahasiaan. Sebab, pada saat konselor melakukan pengumpulan data dan kemudian melakukan menyimpulkannya, seringkali ada beberapa pihak yang secara intensif mengetahui data-data klien. Pihak ini adalah orang tua. Orang tua menjadi sosok yang dapat melakukan intervensi terhadap permasalahan anaknya. Padahal dalam konseling, hubungan konseling dilandasi atas kepercayaan antara konselor dan klien. Akan sangat berbahaya jika data-data klien diketahui oleh orang lain apalagi jika tanpa seijin klien yang bersangkutan.
Shertzer dan Stone (1981) memberikan rekomendasi atau saran-saran bagi usaha pengumpulan data di sekolah sebagai berikut:
1. Informasi yang dikumpulkan di sekolah sebaiknya berasal dari diri siswa sendiri dan orang tua siswa. Data siswa akan lebih baik jika mencakup data-data tentang hasil tes sikap dan kemampuan.
2. Informasi yang dikumpulkan oleh sekolah sebaiknya diklasifikasikan berdasar tingkat urgensinya dan dibedakan berdasar tingkat keamanan dan akses untuk membuka data tersebut
3. Sekolah sebaiknya mengembangkan suatu prosedur untuk melakukan verifikasi data keakuratan data
4. Orang tua sebaiknya memiliki akses penuh terhadap catatan anaknya (untuk konselor sekolah, sebaiknya hal ini perlu dicermati!)
5. Tidak semua personil sekolah dapat mengakses data siswa tanpa adanya ijin dari siswa dan orang tua siswa.

Pernyataan tersebut di atas diperkuat oleh American Personnel and Guidance Association (APGA) bahwa catatan konseling seperti catatan wawanvara, tes, data, hasil surat menyurat, hasil rekaman dan lain sebagainya merupakan informasi yang dipergunakan secara profesional dalam konseling dan ini bukan merupakan bagian yang dapat diinformasikan kepada publik atau pada orang lain di mana konselor sekolah bekerja. Pelanggaran terhadap aturan ini akan menimbulkan konflik yang berbahaya bagi klien, konselor dan sekolah itu sendiri.
Winkel (1991) mempertanyakan sampai seberapa jauh data dan informasi yang diperoleh melalui alat tes dan nontes harus dirahasiakan? Data-data yang berisfat umum seperti identitas nama, tanggal lahir, alamat, jenis kelamin, agama merupakan data yang “dapat” diketahui oleh orang lain. Tetapi data seperti latar belakang keluarga, riwayat pendidikan, hasil evaluasi belajar, pengalaman di luar sekolah, catatan kesehatan jasmani, hasil tes psikologis, laporan kunjungan rumah, laporan studi kasus, pergaulan sosial adalah data khusus yang tidak dapat dikonsumsi umum.
Penyelesaian masalah siswa melalui studi kasus dapat dilakukan dengan mempergunakan berbagai pendekatan dalam konseling. Pendekatan ini disebut dengan pendekatan eklektik, dimana konselor menggabungkan beberapa pendekatan untuk menyelesaikan satu permasalahan yang dihadapi oleh siswa. Pertimbangan penggunaan pendekatan eklektik ini menurut Slameto (2002) adalah:
1. Ekonomis dari segi waktu baik bagi konselor maupun konseli
2. Efektifitas teknis yang dipakai cocok untuk beragam konseli
3. Kesegaran hasil yang dicapai
4. Kedalaman, tahan lama serta dapat dipakai konseli untuk melakukan konseling dirinya sendiri.


CONTOH STUDI KASUS
Slameto (2002) memberikan contoh studi kasus yang secara lengkap akan dikutip oleh penulis sebagai berikut di bawah ini.

Deskripsi kasus
Lia (samaran) adalah siswa kelas I SMU favorit Salatiga yang berusaha untuk naik kelas II. Ia berasal dari keluarga petani yang terbilang cukup secara sosial ekonomi di desa pedalaman kurang lebih 17 km di luar kota Salatiga. Sebagai anak pertama semula orang tuanya berkeberatan setamat SLTP anaknya melanjutnya ke SMU di Salatiga. Orang tua sebetulnya berharap agar anaknya tidak susah-susah melanjutkan sekolah ke kota, tetapi atas bujukan wali kelas anaknya saat pengambilan STTB dengan berat hati merelakan anaknya melanjutkan sekolah. Pertimbangan wali kelasnya karena Lia terbilang cerdas diantara teman-teman yang lain sehingga wajar jika bisa diterima di SMU favorit. Sejak diterima di SMU favorit di satu pihak Lia bangga sebagai anak desa toh bisa diterima, tetapi di lain pihak mulai minder dengan teman-temannya yang sebagian besar berasal dari keluarga kaya dengan pola pergaulan yang begitu beda dengan latar belakang Lia. Ia menganggap teman-teman dari keluarga tersebut sebagai orang yang egois, kurang bersahabat, pilih-pilih teman yang sama-sama dari keluarga kaya saja dan sombong. Makin lama perasaan ditolak, terisolir dan kesepian makin mencekam dan mulai timbul sikap dan anggapan sekolahnya itu bukan untuk dirinyaq, tidak kerasan, tetapi mau keluar malu dengan orang tua dan teman sekampung, terus bertahan, susah tak ada/punya teman yang peduli. “Dasar saya anak desa, anak miskin” (dibanding dengan teman-teman di kota) hujatnya pada diri sendiri. Akhirnya benar-benar menjadi anak minder, pemalu dan serta ragu dan takut bergaul sebagaimana mestinya. Makin lama nilainya semakin jatuh sehingga beban pikiran dan perasaan makin berat, sampai-sampai ragu apakah bisa naik kelas atau tidak.


Memahami Lia dalam perspektif RET
Menurut pandangan RET (rasional emotif Terapi), manusia memiliki kemampuan inheren untukberbuat rasional ataupun tidak rasional. Manusia seringkali menyalahkan diri sendiri, orang lain dan dunia apabila tidak segera memperoleh apa yang diinginkannya. Akibatnya berpikir kekanak-kanakan (sebagai hal yang manusiawi) seluruh kehidupannya, akhirnya hanya kesulitan yang luar biasa besar yang didapat. Selain itu, manusia juga mempunyai kecenderungan untuk melebih-lebihkan pentingnya penerimaan orang lain yang justru menyebabkan emosinya menjadi tidak wajar dan dan menyalahkan dirinya sendiri. Berpikir dan merasa itu mempunyai dibedakan dengan selaput yang sangat tipis: pikiran dapat menjadi perasaan dan sebaliknya. Apa yang dipikirkan dan atau apa yang dirasakan atas sesuatu kejadian diwujudkan dalam suatu tindakan/perilaku rasional atau irasional. Bagaimana tindakan/perilaku itu sangat mudah dipengaruhi oleh orang lain dan dorongan-dorongan yang kuat untuk mempertahankan diri dan memuaskan diri sekalipun irasional.
Lia sebetulnya terlahir dengan potensi unggul, ia menjadi bermasalah karena perilakunya dikendalikan oleh pikiran/perasaan irasional. Ia telah menempatkan harga diri pada konsep/kepercayaan yang salah yaitu jika kaya, semua teman akan memperhatikan/mendukung, peduli dan lain-lain. Itu semua tidak ada/didapatkan sejak di SMU, sampai pada akhirnya menyalahkan dirinya sendiri dengan hujatan dan penderitaan serta mengisolir dirinya sendiri. Ia telah berhasil membangun konsep dirinya secara tidak realistis berdasarkan anggapan yang salah terhadap (dan dari) teman-teman lingkungannya. Ia menjadi minder, pemalu, penakut dan akhirnya ragu-ragu terhadap prestasi/keberhasilannya kelak yang sebetulnya tidak perlu terjadi.

Tujuan dan Teknik Konseling
Tujuan konseling dalam kasus Lia ini adalah memerangi pemikiran irasional yang dimiliki Lia yang melatarbelakangi ketakutan/kecemasannya yaitu konsep diri yang salah. Dalam proses konseling ini, konselor lebih bersikap otoritatif. Konselor memanggil Lia, mengajak berdiskusi dan melakukan konfrontasi langsung untuk menolongnya agar segera beranjak meninggalkan pola pikir yang irasional/tidak logis ke pola pikir yang rasional/logis melalui persuasif, sugestif, pemberian nasehat secara tepat, terapi dengan menerapkan prinsip-prinsip belajar untuk PR serta bibiliografi terapi.
Konseling kognitif: untuk menunjukkan bahwa Lia harus membongkar pola pikir irasionalnya tentang konsep harga diri yang salah, sikap terhadap sesama teman yang salah jika ingin lebih bahagia dan sukses. Konselor lebih bergaya mengajar: memberikan nasehat, konfrontasi langsung dengan peta pikir rasional-irasional, sugesti, asertif training dengan simulasi diri menerapkan konsep diri yang benar dan sikap/ketergantungan pada orang lain yang benar/rasional dilanjutkan sebagai PR melatih, mengobservasi dan evaluasi diri. Contoh: “Seseorang berharga bukan karena kekayaan atau jumlah dan status teman yang mendukung, tetapi pada kasih Tuhan dan perwujudan-Nya. Tuhan mengasihi saya, karena saya berharga di hadiratNya. Terhadap diri saya sendiri suatu saat saya senang, puas dan bangga, tetapi kadang-kadang acuh tak acuh, bahkan adakalanya saya benci, memaki-maki diri sendiri, sehingga wajar dan realistis jika sejumlah 40 orang teman satu kelas misalnya ada + 40% yang baik, 50% netral, hanya 10% saja yang membenci saya. Adalah tidak mungkinmenuntut semua/setiap orang setiap saat untuk baik pada saya”. Ide-ide ini terus dilatihkan dan diajarkan melalui cara-cara ilmiah.
Konseling emotif-evolatif: untuk mengubah sistem nilai Lia dengan menggunakan teknik penyadaran antara yang benar dan salah seperti pemberian contoh, bermain peran dan pelepasan beban agar Lia melepaskan pikiran dan perasaannya yang tidak rasional dan menggantinya dengan yang rasional sebagai kelanjutan teknik kognitif di atas. Konseling behavior digunakan untuk mengubah perilaku yang negatif dengan merubah akar-akar keyakinan Lia yang irasional/tidak logis melalui kontrak, reinforcement, sosial modeling dan relaksasi/meditasi.

REFERENSI

Nurihsan, Juntika. 2003. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Bandung: Mutiara.

Shertzer, Bruce., Stone, Shelley. 1981. Fundamentals of Guidance (4th ed). Boston: Houghton Mifflin Company.

Slameto. 2002. Studi Kasus untuk Bimbingan dan Konseling. www. Pendidikan.net\artikel\memahami dan menolong siswa yang kurang PD.html.
Winkel, WS. 1991. Bimbingan dan Konsel

BK di Taman Kanak-kanak

PELAKSANAAN BIMBINGAN DAN KONSELING
DI TAMAN KANAK-KANAK


A. Latar Belakang
Pelaksanaan bimbingan dan konseling telah dirintis sejak tahun 1960-an dan dilaksanakan secara serempak di sekolah sejak tahun 1975, yaitu saat diberlakukannya kurikulum ’75. Pada saat itu istilah yang diperkenalkan dan dipergunakan adalah Bimbingan dan Penyuluhan (BP). Istilah tersebut pada akhirnya memunculkan suatu sebutan bagi pelaksanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah dengan sebutan guru BP.
Perkembangan dunia bimbingan dan konseling di Indonesia mengalami proses yang berliku, hingga pada tahun 1994, melalui kurikulum 1994, istilah Bimbingan dan Penyuluhan mulai diganti dengan istilah Bimbingan dan Konseling (BK). Perubahan mendasar dari istilah “penyuluhan” menjadi “konseling” didasari pada paradigma bahwa konselor tidak melakukan penyuluhan yang mempunyai konotasi sebagai pekerja lapangan (mis: penyuluh pertanian atau penyuluh KB), tetapi lebih pada usaha membantu klien/siswa sesuai dengan karakter siswa yang bersangkutan. Siswa lebih dihargai untuk dapat menyelesaikan masalahnya sendiri. Dengan demikian, istilah guru BP dirubah menjadi guru BK.
Menurut SK Menpan no. 84/1993 tentang jabatan fungsional guru dan angka kreditnya, pada pasal (3) disebutkan bahwa tugas pokok guru pembimbing adalah menyusun program bimbingan, melaksanakan program bimbingan, evaluasi pelaksanaan bimbingan, analisis hasil pelaksanaan bimbingan dan tindak lanjut dalam program bimbingan terhadap peserta didik yang menjadi tanggungjawabnya.
Pada tahun 2003, terjadi perubahan mendasar terhadap pelaksana bimbingan dan konseling di sekolah. Menurut Undang-undang nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I pasal 1 ayat (4) dinyatakan bahwa pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor … . Dengan demikian penggunaan istilah guru BK di lingkungan sekolah akan berubah menjadi konselor sekolah. Paradigma ini mengacu pada pelaksana konseling adalah konselor. Dengan kata lain bahwa konselor termasuk salah satu tenaga pendidik.
Bimbingan dan konseling di sekolah merupakan satu kesatuan (integral) dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah (Munandir:1993). Dengan kata lain bahwa pelaksanaan pendidikan atau pembelajaran di sekolah akan mempunyai ketergantungan yang timbal balik antara proses belajar klasikal di kelas dengan bantuan bimbingan dan konseling.
Kesatuan ini tampak dalam pelaksanaan pembelajaran di lapangan. Pembelajaran yang berorientasi kognitif secara umum telah dilakukan oleh guru bidang studi di kelas. Guru mata pelajaran memberikan bahan atau materi pembelajaran kepada siswa dengan penekanan-penekanan pada bidang kognitif. Peranan guru BK pada tahap ini adalah menyeimbangkan antara kekuatan kognitif dan afektif yang dimiliki siswa.
Seringkali kita temui bahwa siswa mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan segala bentuk tugas yang diberikanoleh guru bidang studi. Tetapi pada saat mereka dihadapkan untuk menentukan pilihan masa depan atau mengambil keputusan tentang masa depannya, mereka mengalami kesulitan yang luar biasa. Mereka dihadapkan pada banyak pilihan serta konflik-konflik batin. Pada saat inilah peranan guru BK akan tampak semakin nyata. Konselor sekolah akan membantu siswa dalam mengatasi masalah-masalah yang timbul sesuai dengan karakteristik siswa yang bersangkutan.
Permasalahan yang dihadapi siswa tidak bisa diselesaikan dengan mempergunakan kekuatan kognitif atau logika berpikir semata. Seringkali permasalahan yang muncul adalah kerena pertentangan emosi (afeksi) siswa. Sebagai contoh, masalah penjurusan tidak bisa diselesaikan hanya dengan melihat hasil kogitif siswa melalui nilai rapor, tetapi juga melihat kepribadian, minat, bakat dan keadaan lingkungan siswa tersebut. Di sini terlihat perspektrum yang semakin luas untuk dapat menyelesaikan masalah siswa secara tuntas.
Permasalahan yang diuraikan di atas merupakan permasalahan yang sifatnya khusus terjadi pada dunia pendidikan. Secara umum Nurihsan (2003) menyebutkan beberapa masalah umum yang terjadi di sekitar kita akibat berkembangnya isu globalisasi sebagai berikut, (1) keresahan hidup di kalangan masyarakat yang semakin meningkat karena banyaknya konflik, stres, kecemasan dan frustrasi, (2) adanya kecenderungan pelanggaran disiplin, kolusi, korupsi, makin sulit diterapkannya ukuran baik-jahat dan benar-salah secara lugas, (3) adanya ambisi kelompok yang dapat menimbulkan konflik, tidak saja konflik psikis tapi juga konflik phisik dan (4) pelarian dari masalag melalui jalan pintas yang bersifat sementara dan adiktif seperti penggunaan obat-obatann terlarang (drugs). Permasalahan tersebut pada akhirnya membutuhklan bantuan layanan bimbingan dan konseling, terutama di setting sekolah.
Akibat lain dari adanya globalisasi adalah meningkatnya “virus” informasi baru (Prayitno & Amti, 1999). Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini terlalu banyak informasi baru yang muncul di sekitar kita. Suatu masalah belum terselesaikan dengan baik muncul lagi masalah yang lebih baru dan lebih membutuhkan penanganan yang khusus. Sebagai contoh informasi mengenai telepon genggam (HP). Pada saat yang bersamaan dapat muncul 4 model HP di masyarakat. Belum selesai kita analisa dengan mantap, sudah muncul genre lagi yang lebih baru dengan menawarkan hal-hal baru. Informasi ini seringkali membuat masyarakat bingung untuk memilih.
Lebih lanjut, Wibowo (2003) menyatakan bahwa pendidikan dapat memanfaatkan bimbingan dan konseling sebagai mitra kerja dalam melaksanakan tugasnya sebagai rangkaian upaya pemberian bantuan. Konseling menyediakan unsur-unsur di luar individu yang dipergunakan untuk memperkembangkan diri. Integrasi konseling dalam pendidikan juga tampak dari dimasukkannya secara terus menerus program-program konseling ke dalam program-program sekolah dengan demikian konsep dan praktek konseling merupakan bagian integral upaya pendidikan.

B. Tugas Perkembangan Siswa Taman Kanak-kanak
Sebelum kita membahas lebih jauh tentang pelaksanaan Bimbingan dan Konseling pada tingkat pendidikan taman kanak-kanak, maka sebaiknya kita mengenal terlebih dahulu mengenai tugas perkembangan siswa Taman Kanak-kanak. Siswa TK pada umumnya adalah individu yang mempunyai kisaran umur antara 4 – 7 tahun. Menurut Hurlock (1994), pada usia ini tugas perkembangan fisik yang terjadi pada antara lain adalah:
1. Tinggi badan, tinggi badan anak usia ini kurang lebih 46,6 inci atau sekitar 100-120 cm.
2. Berat badan, berat badan anak usia TK atau pada usia 6 tahun setidaknya harus enam atau tujuh kali dari saat mereka dilahirkan.
3. Perbandingan tubuh, pada usia anak TK pertumbuhan fisik (tubuh) akan semakin memperlihatkan bentuknya seperti wajah tetap kecil tetapi dagu lebih besar, perut rata (tidak buncit) dan dada yang lebih bidang dan rata.
4. Postur tubuh, postur tubuh anak TK pada umumnya dibadi menjadi tiga yaitu gemuk lembek (endomofrik), kuat berotot (mesomofrik) dan kurus (ektomofrik).
5. Tulang dan otot, pada usia anak TK pertumbuhan tulang dan otot akan sangat bervariasi. Seringkali terlihat bahwa otot mereka semakin kuat dan besar, tetapi tampak lebih kurus walaupun berat mereka bertambah.
6. Lemak, anak yang endomofrik cenderung memiliki lemak lebih banyak, anak yang mesomofrik cenderung memiliki jaringan otot yang banyak dibanding lemaknya, sedangkan anak ektomofrik mempunyai otot yang kecil dan sedikit jaringan lemak.
7. Gigi, anak usia ini sudah mulai muncul gigi tetap yang mempunyai celah diantara masing-masing gigi yang memungkinkan munculnya gigi baru.

Lebih lanjut, Hurlock (1994) menyatakan bahwa perkembangan emosi yang sering terjadi pada masa kanak-kanak antara lain munculnya amarah, perasaan takut, cemburu, ingin tahu, iri hati, gembira, sedih dan kasih sayang. Di lain pihak, Mapiare (1984) menyatakan bahwa beberapa ciri anak usia pra sekolah antara lain sebagai (1) usia pra kelompok), (2) sebagai usia penjelajahan dan penjajagan, (3) sebagai usia mengandung kesulitan dan (4) sebagai usia yang dianggap kurang menarik.

C. Definisi Bimbingan dan Konselling
Mapiare (1984) menyatakan bahwa bimbingan dalam arti luas mempunyai makna sebagai proses bantuan atau layanan yang diberikan kepada sispa saja yang membutuhkan dalam upaya membantu agar mereka dapat membuat pilihan, menyelesaikan masalah sehingga mereka yang dibantu dapat meningkatkan derajat kemandiriannya dan meningkatkan kecakapannya. Urain tersebut menunjukkan bahwa bimbingan merupakan suatu proses, sehingga memerlukan waktu agar siswa dapat memecahkan masalahnya sendiri.
Miller (dalam Mapiare, 1984) menyatakan bahwa bimbingan adalah proses membantu individu untuk mencapai pemahaman diri dan arah diri terutama untuk membuat penyesuaian maksimum terhadap sekolah, rumah tangga dan masyarakat umum.. Lebih lanjut Crow dan Crow (dalam Mapiare, 1984) menyatakan bahwa bimbingan adalah bantuan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki pribadi terpercaya dan pendidikan yang memadai, baik pria atau wanita kepada seseorang individu berbagai tingkat usia agar mereka dapat mengendalikan kegiatan-kegiatan hidupnya sendiri, mengembangkan arah titik pandangnya sendiri, membuat keputusan-keputusan sendiri dan memikul bebannya sendiri.
Dalam lingkup sekolah, Bimbingan mempunyai makna sebagai proses pemberian bantuan kepada murid dengan memperhatikan murid sebagai individu dan makhluk sosial serta memperhatikan adanya perbedaan-perbedaan individu (individual differences) agar murid itu dapat membuat tahap maju seoptimal mungkin dalam proses perkembangannya dan agar dia dapat menolong dirinya sendiri, menganalisa danmemecahkan masalahnya-semua itu demi memajukan kebahagiaan hidup, terutama ditekankan pada kesejahteraan mental (Dep P&K dalam Mapiare (1984).
Konseling memiliki arti yang lebih spesifik jika dibandingkan dengan definisi bimbingan. Harper (1981) menyatakan bahwa konseling adalah hubuingan profesional dimana konselor membantu satu atau lebih individu untuk mengembangkan, memecahkan masalah atau mecapi pemahaman yang lebih dalam tentang dirinya. Lebih lanjut, Shertzer dan Stone (1981) menyatakan bahwa konselor merupakan proses interaksi dimana terjadi suatu kemudahan dalam memahami diri individu, lingkungan dan hasil-hasil yang akan dicapai untuk menentukan perilaku yang akan datang. Kemudian, American Personnel Guidance Asscociation (dalam Prayitno, 1987) menyatakan bahwa konseling adalah hubungan antara seorang profesional yang telah dilatih secara khusus dengan seorang individu yang memerlukan bantuan untuk mengatasi kecemasannya yang masih bersifat normal, atau konflik atau masalah pengambilan keputusan.
Uraian di atas mengarahkan kita untuk memahami ciri-ciri konseling profesional yaitu:
1. Konseling merupakan suatu hubungan profesional yang diadakan oleh seorang konselor yang sudah dilatih untuk pekerjaannya itu.
2. Dalam hubungan yang bersifat profesional ini, klien mempelajari keterampilan pengambilan keputusan, pemecahan masalah, serta tingkah laku atau sikap-sikap baru.
3. Hubungan profesional itu dibentuk berdasarkan kesukarelaan antara klien dan konselor.
(Prayitno, 1987)
Perkembangan teknologi informasi yang berkembang pada saat ini telah menggeser definisi konseling yang telah ada. Konseling yang dahulu seringkali dinyatakan sebagai hubungan profesional antara konselor dan klien, kemungkinan akan berubah. Konseling saat ini telah dilakukan dengan mempergunakan piranti elektronik. Perkembangan global yang semakin cepat membuat individu semakin sulit untuk bisa mengadakan pertemuan dengan konselor. Waktu mereka seringkali dihabiskan hanya untuk menyelesaikan tugas-tugas yang dibebankan padanya.
Kesulitan individu untuk meninggalkan pekerjaan, maka mengarahkan mereka untuk mempermudah menyelesaikan masalah mereka dengan mempergunakan piranti elektronik. Kemajuan teknologi informasi pada akhirnya menjadi pilihan mereka. Dengan mempergunakan internet, mereka dapat melakukan chating atau melakukan konsultasi dengan orang-orang yang mereka anggap bisa membantu menyelesaikan masalah mereka. Terlebih, saat ini semakin banyak website yang membuka layanan konseling bagi semua pengguna internet. Hal ini sering disebut dengan cyber counseling.

D. Pelaksanaan Layanan Bimbingan dan Konseling
Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di sekolah disesuaikan dengan tujuan pendidkan nasional yang termaktub dalam Sistem Pendidikan Nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga yang demokratis dan bertanggungjawab.
Sesuai dengan amanat yang tercantum dalam UU sisdiknas tersebut, maka layanan bimbingan dan konseling di sekolah melakukan fungsi-fungsi sebagai usaha pemahaman. Fungsi pemahaman meletakkan upaya upaya untuk mengenal individu secara totalitas. Artinya klien atau individu yang sedang dibantu perlu dipahami tentang:
1. identitas individu: nama, jenis kelamin, tempat tinggal, tanggal lahir.
2. pendidikan
3. status perkawinan (bagi klien dewasa)
4. status sosial-ekonomi
5. kemampuan (bakat, minat, hobby)
6. kesehatan
7. kecenderungan sikap atau kebiasaan
8. cita-cita pendidikan dan pekerjaan
9. keadaan lingkungan tempat tinggal
10. kedudukan danprestasi yang pernah dicapai
11. kegiatan sosial dan kemasyarakatan.

Fungsi kedua adalah preventif yaitu mencoba untuk mencegah munculnya permasalahan-permasalahan yang dialami oleh siswa. Tindakan pencegahan ini seringkali dilakukan dengan memberikan layanan orientasi dan informasi kepada siswa di sekolah.
Fungsi ketiga adalah melakukan tindakan kuratif, yaitu melakukan tindakan penangan terhadap siswa-siswa yang mengalami masalah di sekolah. Permasalahan siswa di sekolah dapat muncul dari diri pribadi siswa itu sendiri atau muncul karena akibat berhubungan dengan lingkungan di luar diri mereka sendiri. Pada fungsi terapi ini, dipergunakan berbagai macam pendekatan bimbingan dan konseling. Konselor memberikan upaya bantuan kepada siswa sesuai dengan karakteristik mereka masing-masing.
Fungsi keempat adalah follow up atau tindak lanjut, yang merupakan usaha konselor untuk menjaga agar siswa baik yang bermasalah atau yang tidak bermasalah dapat terjada kesejahteraannya. Bagi mereka yang telah dapat menangani masalahnya sendiri, maka konselor berupaya untuk membantu mereka agar dapat menyelesaikan masalahnya yang lain sesuai dengan hasil atau pengalaman yang telah di dapat selama konseling.

E. Kurikulum Berbasis Kompetensi
Pada tahun 2004 ini mulai diperkenalkan kurikulum pendidikan yang baru dengan sebutan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) atau (Competency Based Curriculum). Rencananya kurikulum baru ini akan dilaksanakan secara menyeluruh di Indonesia pada tahun ajaran baru 2004/2005. Pelaksanaan kurikulum KBK ini secara langsung akan berdampak pada program layanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah.
McAshan (dalam Mulyana, 2002) mengemukakan pengertian kompetensi sebagai pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya. Lebih lanjut, Finch dan Crunkilton mendefinisikan kompetensi sebagai penguasaan terhadap suatu tugas, keterampilan, sikap dan apresiasi yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan.
Depdiknas (dalam Mulyana, 2002) menyebutkan beberapa ciri atau karakteristik kurikulum berbasis kompetensi sebagai berikut:
1. Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal;
2. Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman;
3. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi;
4. Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang mempunyai unsur edukatif; dan
5. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
Lebih lanjut, Arsitun menekankan bahwa orientasi kurikulum berbasis kompetensi adalah (1) hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna dan (2) keberagaman kondisi individu yang dimanifestasikan sesuai dengan potensi dan kebutuhannya.
Untuk mengembangkan kurikulum barbasis kompetensi pada program bimbingan dan konseling di sekolah, beberapa langkah yang harus dilakukan oleh konselor (dalam Arsitun, 2004) adalah sebagai berikut:
1. Perhatikan masing-masing tugas perkembangan siswa (TK, SD, SMP, SMA/SMK);
2. Butir-butir tugas perkembangan diorientasikan pada empat bidang bimbingan dan konseling;
3. Butir tugas perkembangan yang sudah diorientasikan pada bidang bimbingan dan konseling kemudian dijabarkan kedalam bentuk kompetensi yang relevan;
4. Kompetensi yang disebutkan dalam butir (3) selanjutnya dipergunakan sebagai acuan untuk membuat isi layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling; dan
5. Berdasarkan materi yang ditetapkan pada langkah (4) selanjutnya dilakukan evaluasi
Selanjutnya, di bawah ini akan disajikan beberapa perbedaan mendasar antara kurikulum 1994 dengan kurikulum berbasis kompetensi. Adapun perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:

Kurikulum 1994
Kurikulum Berbasis Kompetensi
Knowledge
Competency
To Know
Performance
To Know
To Do
To Be
To Life Together
Informatif
Development (aplikatif)
Siswa sebagai wadah
Siswa sebagai bibit potensial
Sumber belajar seragam
Sumber belajar beragam
Ketuntasan materi
Ketuntasan kemampuan (materi sebagai tools)
Penilaian normatif (kognisi)
Penilaian authentic portofolio (kognisi, afeksi dan psikomotor)


REFERENSI
Arsitun. 2004. Layanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Berbasik Kompetensi. Makalah disampaikan pada In Service Training Persiapan Implementasi KBK Bimbingan Konseling SMU dan Pembekalan di LPMP Jawa Timur. Surabaya: Depdiknas.

Arsitun. 2004. Pengembangan Bimbingan dan Konseling Standard dan Analisis Kompetensi Siswa dalam BK. Makalah disampaikan pada In Service Training Persiapan Implementasi KBK Bimbingan Konseling SMU dan Pembekalan di LPMP Jawa Timur. Surabaya: Depdiknas.

Harper, Frederick. 1981. Dictionary of Counseling Techniques and Terms. Alexandria: Doudlas Publishers.

Hurlock, Elisabet. 1994. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang rentang Kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Loekmono, Lobby, JT. 1991. Tantangan Konseling. Semarang: Penerbit Satya Wacana.

Monks., Knoers., Rahayu, Siti. 1991. Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Mulyasa, E. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi: konsep, karakteristik dan implementasi. Bandung: Rosdakarya.

Munandir. 1993. Masalah Mutu Pnedidikan dan Peranan Pendidikan dalam Pengembangan Sumber Daya Manusia. Pidato Pengukuhan Guru Besar IKIP Malang tanggal 18 Oktober 1993. Malang: IKIP Malang.

Nurihsan, Juntika. 2003. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Bandung: Mutiara.

Prayitno. 1987. Profesionalisasi Konseling dan Pendidikan Konselor. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.

Prayitno., Amti, erman. 1999. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta.

Rysiew, Kathy, J. 1999. Multipotentiality, Giftedness, and Career Choice: A Review. Journal of Counseling and Development. 77: 423-430.

Shertzer, Bruce., Stone, Shelley. 1981. Fundamental of Guidance (3rd ed). Boston: Houghton Mifflin Co.

Soenarjo, Moendisari. 2004. Wawasan dan Pengembangan Bimbingan dan Konseling. Materi Disampaikan pada In Service Training Persiapan Implementasi KBK Bimbingan Konseling SMU dan Pembekalan di LPMP Jawa Timur. Surabaya: Depdiknas.

Supriadi, Dedi. 2003. Reposisi Bimbingan dan Konseling di Tengah Lingkungan yang Berubah. Makalah disampaikan dalam Konvensi Nasional XIII Bimbingan dan Konseling di Bandung tanggal 10-13 Desember 2003.

Trusty, Jerry. 2002. Effects of High School Course-taking and Other Variables on Choice of Science and Mathematic College Majors. Journal of Counseling and Development. 80. 464-475.

Wibowo, Eddy, Mungin. 2003. Bimbingan dan Konseling dalam Sistem Pendidikan Nasional. Makalah disampaikan dalam Konvensi Nasional XIII Bimbingan dan Konseling di Bandung tanggal 10-13 Desember 2003.

Winkel, WS. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Jakarta: Gramedia

Yusuf, Syamsu. 2003. Konseling Keterampilan Hidup (lifeskills counseling). Makalah disampaikan dalam Konvensi Nasional XIII Bimbingan dan Konseling di Bandung tanggal 10-13 Desember 2003.

Kamis, 27 September 2007

Konseling

Point-point dalam konseling adalah:
1. Proses
2. Bantuan
3. Konselor
4. Klien
5. Pengambilan keputusan

Teori Karir Anne Roe

POKOK-POKOK PIKIRAN TEORI KARIR ANNE ROE


1. Teori Anne Roe didasarkan pada suatu usaha untuk menunjukkan suatu hubungan antara pilihan karir dengan perbedaan individu seperti perbedaan latar belakang, perbedaan phisik, perbedaan psikologis dan perbedaan pengalaman.
2. Roe adalah pengikut aliran Humanistik, walau memiliki perbedaan-perbedaan dengan aliran Humanistik. Aliran Humanistik menyatakan bahwa ada 8 kebutuhan yaitu:
a. Kebutuhan fisiologis
b. Kebutuhan rasa aman
c. Kebutuhan untuk memiliki dan mencintai
d. Kebutuhan untuk dianggap penting, respek, harga diri dan indipenden
e. Kebutuhan akan informasi
f. Kebutuhan untuk bisa memahami dan dipahami
g. Kebutunan untuk keindahan
h. Kebutuhan untuk aktualisasi diri.
Dalam teorinya, Roe lebih mementingkan adanya kebutuhan untuk bisa dianggap penting, respek, harga diri dan indipenden bagi seseorang untuk dapat mengaktualisasikan diri.
3. Roe mengelompokkan 8 jenis pekerjaan sebagai berikut:
a. Services: Jenis pekerjaan ini mengutamakan layanan kepada orang lain. Pelayanan yang dimaksud adalah perhatian terhadap kebutuhan dan kesejahteraan orang lain. Pekerjaan ini antara lain adalah pekerja sosial, konselor, layanan-layanan konsultasi dan lain sebagainya.
b. Bussiness Contact: Jenis pekerjaan ini berhubungan dengan kegiatan tatap muka antara dua orang atau lebih yang membicarakan keuntungan, investasi, real estate. Hubungan antara dua orang sangat dibutuhkan, tetapi sebatas kegiatan persuasif dari pada pemberian bantuan
c. Organization: Jenis pekerjaan ini berbubungan erat dengan kegiatan manajerial baik di sebuah perusahaan atau lembaga-lembaga baik pemerintahan atau swasta. Jenis pekerjaan ini menutamakan efisiensi dan produktivitas sebuah lembaga, sehingga di dalamnya terdapat hubungan interpersonal yang sangat formal.
d. Technology: Jenis pekerjaan ini berkaitan erat dengan produksi barang, perawatan dan transportasi untuk mendukung layanan jasa. Hubungan interpersonal sangat kurang, karena mereka cenderung berhubungan dengan alat-alat.
e. Outdoor: Jenis pekerjaan ini berhubungan dengan kegiatan-kegiatan seperti penyemaian dan penanaman tanaman-tanama hutan, usaha-usaha pengeboran bahan mineral dan gas bumi, usaha-usaha pengumpulan hasil hutan, kegiatan yang berkaitan dengan kelautan, usaha penangkaran binatan liar dan lain sebagainya. Jenis pekerjaan ini menunjukkan adanya hubungan antar manusia yang minim.
f. Sience: Jenis pekerjaan ini berhubungan dengan pengembangan sebuah teori ilmu pengetahuan dan bagaimana mengaplikasikan teori ilmu pengetahuan. Hubungan antar manusia dilihat dari jenis ilmu pengetahuan apa yang sedang dikembangkan. Jika berhubungan dengan ilmu alam, maka relasi antar manusia semakin sedikit, tetapi jika berhubungan dengan ilmu sosial, maka relasi antar manusia dapat menjadi besar.
g. General Culture: Jenis pekerjaan ini lebih mengutamakan kegiatan melestarikan dan mentransmisikan budaya. Jenis pekerjaan ini memiliki perhatian terhadap aktivitas manusia sebagai suatu kelompok daripada individu. Pekerjaan ini antara lain di bidang pendidikan, jurnalistik dan bidang bahasa. Seringkali kelompok guru dikelompokkan dalam jenis pekerjaan ini.
h. Arts and Entertainment: Jenis pekerjaan ini membutuhkan orang-orang yang memiliki keterampilan dalam bidang seni dan hiburan.
4. Untuk tiap jenis kelompok pekerjaan tersebut di atas, terdiri dari 6 level atau tingkatan:
a. Proffesional and managerial 1: Kelompok ini memiliki ciri Independen dan tanggungjawab. Hal ini menunjukkan bahwa mereka adalah inovator, kreator dan berposisi sebagai pimpinan dalam hal manajerial dan administratif yang memiliki tanggungjawab terhadap bidang-bidang yang digelutinya. Kriteria mereka adalah: (1) memiliki independensi yang kuat dalam berbagai bidang, (2) memiliki kemampuan untuk membuat kebijakan, (3) memiliki pendidikan yang memadai (S1 atau yang sederajat).
b. Proffesional and managerial 2: Kelompok kedua ini memiliki perbedaan yang signifikan dengan kelompok pertama di atas. Perbedaan yang mecolok adalah: (1) mereka memiliki kemampuan untuk menginterpretasi kebijakan, (2) memiliki kemampuan untuk melaksanakan kebijakan dan (3) memiliki pendidikan setingkat diploma.
c. Semiprofessional and smal business: Kelompok ini memiliki kriteria sebagai berikut; (1) memiliki tanggungjawab yang rendah terhadap orang lain, (2) mampu melaksanakan kebijakan untuk dirinya sendiri dan (3) memiliki pendidikan setingkat sekolah menengah.
d. Skilled: Kelompok ini memerlukan magang atau pelatihan untuk dapat mengerjakan suatu kegiatan tertentu.
e. Semiskilled: Kelompok ini merupakan kelompok manusia yang melaksanakan pekerjaan dengan tidak memiliki otonomi sendiri, serta ijin untuk melaksanakan tindakan didasarkan pada perintah.
f. Unskilled: Kelompok ini melaksanakan tugas dengan tidak didasarkan pada keterampilan tertentu. Kelompok ini tidak membutuhkan keterampilan atau pendidikan tertentu dalam melaksanakan tugasnya.
5. Roe memberikan jenis-jenis pola asuh orang tua sebagai berikut: (a) konsentrasi emosi berpusat pada anak yang ditunjukkan dengan perilaku overprotective atau overdemanding, (b) penolakan terhadap anak dengan perilaku emotional rejection dan neglect,dan (c) penerimaan terhadap anak dengan perilaku mencintai dan menerima anak apa adanya.
6. Beberapa penelitian Roe menunjukkan adanya relasi antara pola asuh orang tua dengan orientasi pilihan karir siswa.
7. Diagram Hipotesis yang menunjukkan relasi antara pilihan pekerjaan dan hubungan (pola asuh) orang tua:

Jumat, 03 Agustus 2007

POKOK-POKOK PIKIRAN TEORI KRUMBOLTZ

1. Krumboltz adalah salah satu tokoh teori Behaviorisme.
2. Asumsi teori pilihan karir Krumboltz adalah kepribadian seseorang dan daftar perilaku seseorang muncul karena mereka telah belajar sesuatu yang unik dari lingkungannya. Perilaku unik tersebut bukan karena mereka memiliki keunikan yang berasal dari dalam diri mereka sendiri dan bukan karena tugas perkembangan mereka sendiri.
3. Teori belajar sosial memiliki 3 tipe pengalaman belajar yaitu
a. Pengalaman Belajar Instrumental, Individu akan memiliki kecenderungan untuk mengulang perilaku tertentu jika perilaku tersebut mendapatkan reinforcemen (hadiah) yang positif (contoh, belajar tekun diganjar dengan nilai A, sebaliknya, individu akan menghindari perilaku tertentu jika dia mendapatkan hukuman);
b. Pengalaman Belajar Asosiatif, pengalaman ini akan muncul saat seseorang berhubungan dengan stimulus yang telah ada atau berhubungan dengan peristiwa-peristiwa netral (Contoh, seseorang akan menghubungkan rumah sakit dengan kematian orang terdekat dan kemudian menjadi sangat segan/malas untuk melakukan suatu aktivitas yang berhubungan dengan rumah sakit. Dengan demikian dia tidak akan memilih pekerjaan yang berhubungan dengan dunia kedokteran); dan
c. Pengalaman sendiri, manusia adalah mahkluk yang pandai yang dapat mengolah informasi, sehingga mereka dapat belajar perilaku dan keterampilan baru dengan sangat mudah. Perolehan perilaku ini bisa didapat melalui informasi dari media seperti buku, televisi, bioskop dan film.
4. Teori pilihan karir Krumboltz didasarkan pada 4 katagori/faktor yang mempengaruhi proses pilihan karir:
a. Genetik dan kemampuan spesial (Genetic endowment & Special Abilities)
Genetik dan kemampuan spesial yang dimiliki oleh seseorang dalam ilmu behavioristik masih menjadi perdebatan yang hangat. Artinya masih terjadi pertentangan terhadap kemampuan spesifik masing-masing individu. Hal ini didasarkan bahwa penganut paham behaviorisme masih tidak mempercayai kemampuan individu, bahkan, kemampuan individu saat ini merupakan hasil interaksi (belajar) dengan lingkungan. Lingkup genetik dan kemampuan spesial meliputi ras, jenis kelamin, kemampuan diri, karakteristik individu dan termasuk di dalamnya adalah cacat fisik (Physical handicaps). Bahkan masuk akal jika kemapuan spesial seperti intelegensi, kemampuan bermusik, kemampuan akan seni dan koordinasi otot lebih merupakan hasil dari interaksi dari lingkungan tertentu.
b. Kondisi dan peristiwa di lingkungan (Environmental Conditions & Events)
Kondisi dan peristiwa di sekitar yang mempengaruhi proses pilihan karir seseorang antara lain keadaan sosial, keadaan budaya, sistim politik, tekanan perekonomian, bencana alam dan kekayaan alam. Hal lain yang mempengaruhi proses pilihan karir seseorang adalah, (1) jumlah dan jenis kesempatan kerja, (2) jumlah dan jenis kesempatan untuk mengikuti pelatihan/kursus, (3) kebijakan sosial dan prosedur untuk memilih tenaga kerja, (3) peraturan dan hukum tentang ketenagakerjaan, (4) keberadaan dan permintaan akan tenaga kerja, (5) perkembangan teknologi, (6) perubahan pada organisasi-organisasii sosial, (7) pengalaman pelatihan, (8) sistem pendidikan, dan (9) pengaruh lingkungan (tetangga dan masyarakat umum).
c. Pengalaman Belajar (Learning Experience)
Kecenderungan pilihan karir seseorang sangat dipengaruhi oleh pengalaman belajar yang telah dialami oleh seseorang di masa lalu. Hasil belajar yang berhubungan dengan Genetik dan kemampuan spesial oleh Krumboltz diartikan sebagai antecendent (dalam teori ABC)

d. Keterampilan Pendekatan Tugas (Task Approach Skills)
Keterampilan pendekatan tugas merupakan hasil dari interaksi antara pengalaman belajar, karakteristik generik, kemampuan spesial dan pengaruh lingkungan. Keterampilan ini meliputi standar kinerja, standar nilai-nilai, kebiasaan dalam bekerja, proses kognitif dan persepsi, keutuhan mental dan respon-respon emosi. Perolehan keterampilan ini dilakukan melalui kegiatan:
1. Generalisasi pengamatan diri (Self-Observation Generalization/SOG)
Pengamatan diri untuk menyelesaikan tugas berkaitan dengann bagaimana seseorang dapat menyelesaikan tugas/pekerjaan tersebut sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Hal ini dapat dilihat bagaimana orang mengatakan, ”Saya memiliki kemampuan yang baik dalam hal matematika, tetapi sangat sulit untuk memahami bahasa inggris” atau “sangat sulit bagi saya untuk berdebat dalam sebuah tim, tetapi saya lebih bisa berbicara dengan gaya saya sendiri”.
Dengan kata lain, kemampuan melakukan pengamatan diri sendiri dalam pekerjaan akan menghasilkan kenyamanan seseorang dalam melakukan pekerjaan/tugas tertentu.
2. Generalisasi pengamatan lingkungan sekitar (World-View Generalization/ WVG)
Pengamatan ini dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan gambaran tentang lingkungan di mana dia hidup. Hasil pengamatan ini dipergunakan untuk memprediksi apa yang akan terjadi di masa yang akan datang pada lingkungan yang lain. Hasil pengamatan ini antara lain ”profesi layanan seperti konselor, hanya pantas dilakukan oleh orang yang memiliki kehangatan dan intuitif terhadap orang lain”.
Perlu diketahui bahwa keakuratan pengamatan ini akan dipengaruhi oleh seberapa banyak seseorang mendapatkan (belajar) pengalaman yang representatif.

Teori Krumboltz

POKOK-POKOK PIKIRAN TEORI KRUMBOLTZ

1. Krumboltz adalah salah satu tokoh teori Behaviorisme.
2. Asumsi teori pilihan karir Krumboltz adalah kepribadian seseorang dan daftar perilaku seseorang muncul karena mereka telah belajar sesuatu yang unik dari lingkungannya. Perilaku unik tersebut bukan karena mereka memiliki keunikan yang berasal dari dalam diri mereka sendiri dan bukan karena tugas perkembangan mereka sendiri.
3. Teori belajar sosial memiliki 3 tipe pengalaman belajar yaitu
a. Pengalaman Belajar Instrumental, Individu akan memiliki kecenderungan untuk mengulang perilaku tertentu jika perilaku tersebut mendapatkan reinforcemen (hadiah) yang positif (contoh, belajar tekun diganjar dengan nilai A, sebaliknya, individu akan menghindari perilaku tertentu jika dia mendapatkan hukuman);
b. Pengalaman Belajar Asosiatif, pengalaman ini akan muncul saat seseorang berhubungan dengan stimulus yang telah ada atau berhubungan dengan peristiwa-peristiwa netral (Contoh, seseorang akan menghubungkan rumah sakit dengan kematian orang terdekat dan kemudian menjadi sangat segan/malas untuk melakukan suatu aktivitas yang berhubungan dengan rumah sakit. Dengan demikian dia tidak akan memilih pekerjaan yang berhubungan dengan dunia kedokteran); dan
c. Pengalaman sendiri, manusia adalah mahkluk yang pandai yang dapat mengolah informasi, sehingga mereka dapat belajar perilaku dan keterampilan baru dengan sangat mudah. Perolehan perilaku ini bisa didapat melalui informasi dari media seperti buku, televisi, bioskop dan film.
4. Teori pilihan karir Krumboltz didasarkan pada 4 katagori/faktor yang mempengaruhi proses pilihan karir:
a. Genetik dan kemampuan spesial (Genetic endowment & Special Abilities)
Genetik dan kemampuan spesial yang dimiliki oleh seseorang dalam ilmu behavioristik masih menjadi perdebatan yang hangat. Artinya masih terjadi pertentangan terhadap kemampuan spesifik masing-masing individu. Hal ini didasarkan bahwa penganut paham behaviorisme masih tidak mempercayai kemampuan individu, bahkan, kemampuan individu saat ini merupakan hasil interaksi (belajar) dengan lingkungan. Lingkup genetik dan kemampuan spesial meliputi ras, jenis kelamin, kemampuan diri, karakteristik individu dan termasuk di dalamnya adalah cacat fisik (Physical handicaps). Bahkan masuk akal jika kemapuan spesial seperti intelegensi, kemampuan bermusik, kemampuan akan seni dan koordinasi otot lebih merupakan hasil dari interaksi dari lingkungan tertentu.
b. Kondisi dan peristiwa di lingkungan (Environmental Conditions & Events)
Kondisi dan peristiwa di sekitar yang mempengaruhi proses pilihan karir seseorang antara lain keadaan sosial, keadaan budaya, sistim politik, tekanan perekonomian, bencana alam dan kekayaan alam. Hal lain yang mempengaruhi proses pilihan karir seseorang adalah, (1) jumlah dan jenis kesempatan kerja, (2) jumlah dan jenis kesempatan untuk mengikuti pelatihan/kursus, (3) kebijakan sosial dan prosedur untuk memilih tenaga kerja, (3) peraturan dan hukum tentang ketenagakerjaan, (4) keberadaan dan permintaan akan tenaga kerja, (5) perkembangan teknologi, (6) perubahan pada organisasi-organisasii sosial, (7) pengalaman pelatihan, (8) sistem pendidikan, dan (9) pengaruh lingkungan (tetangga dan masyarakat umum).
c. Pengalaman Belajar (Learning Experience)
Kecenderungan pilihan karir seseorang sangat dipengaruhi oleh pengalaman belajar yang telah dialami oleh seseorang di masa lalu. Hasil belajar yang berhubungan dengan Genetik dan kemampuan spesial oleh Krumboltz diartikan sebagai antecendent (dalam teori ABC) dapat digambarkan sebagai berikut:
ANTECENDENT
BEHAVIORS
CONSEQUENCES
Genetik endowment
Special abilities & Skills

Directly observable results of action
Planned and unplanned environmental contitions or events
Covert and Overt Actions
Covert reactions to consequences (cognitive and emotional responses)
Task or Problem

Impact on significant others

d. Keterampilan Pendekatan Tugas (Task Approach Skills)
Keterampilan pendekatan tugas merupakan hasil dari interaksi antara pengalaman belajar, karakteristik generik, kemampuan spesial dan pengaruh lingkungan. Keterampilan ini meliputi standar kinerja, standar nilai-nilai, kebiasaan dalam bekerja, proses kognitif dan persepsi, keutuhan mental dan respon-respon emosi. Perolehan keterampilan ini dilakukan melalui kegiatan:
1. Generalisasi pengamatan diri (Self-Observation Generalization/SOG)
Pengamatan diri untuk menyelesaikan tugas berkaitan dengann bagaimana seseorang dapat menyelesaikan tugas/pekerjaan tersebut sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Hal ini dapat dilihat bagaimana orang mengatakan, ”Saya memiliki kemampuan yang baik dalam hal matematika, tetapi sangat sulit untuk memahami bahasa inggris” atau “sangat sulit bagi saya untuk berdebat dalam sebuah tim, tetapi saya lebih bisa berbicara dengan gaya saya sendiri”.
Dengan kata lain, kemampuan melakukan pengamatan diri sendiri dalam pekerjaan akan menghasilkan kenyamanan seseorang dalam melakukan pekerjaan/tugas tertentu.
2. Generalisasi pengamatan lingkungan sekitar (World-View Generalization/ WVG)
Pengamatan ini dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan gambaran tentang lingkungan di mana dia hidup. Hasil pengamatan ini dipergunakan untuk memprediksi apa yang akan terjadi di masa yang akan datang pada lingkungan yang lain. Hasil pengamatan ini antara lain ”profesi layanan seperti konselor, hanya pantas dilakukan oleh orang yang memiliki kehangatan dan intuitif terhadap orang lain”.
Perlu diketahui bahwa keakuratan pengamatan ini akan dipengaruhi oleh seberapa banyak seseorang mendapatkan (belajar) pengalaman yang representatif.

Kesurupan .......... Tulisan ini mencoba untuk menjawab berbagai pertanyaan tentang proses terjadinya kesurupan massal yang menjadi fe...