Rabu, 26 Desember 2007

media BK

MEDIA BIMBINGAN DAN KONSELING

Oleh: Boy Soedarmadji

A. Definisi
Seringkali kita temui dalam proses pembelajaran di kelas, guru mengalami masalah untuk memberikan pengertian kepada siswa tentang satu pokok bahasan. Guru mengeluh karena sudah seringkali diulang, tetapi siswa tidak dengan segera dapat memahami pokok bahasan tersebut. Kasus ini mengindikasikan bahwa dalam proses komunikasi antara guru dan siswa terdapat kesenjangan. Dimana kesenjangan ini muncul mungkin akibat bahan ajar yang diberikan kepada siswa kurang menarik atau mungkin media yang dipergunakan tidak sesuai dengan karakteristik bahan ajar yang diberikan.
Seringkali guru menyampaikan bahan ajar kepada siswa hanya dengan mempergunakan cara-cara yang “kuno”. Dalam arti bahwa guru hanya sebatas menjelaskan atau memberi ceramah kepada siswa. Keterbatasan metode ini akan membuat siswa merasa cepat bosan walaupun materi yang diberikan oleh guru sebenarnya sangat menarik.
Sadiman (2002) menyatakan bahwa proses pembelajaran di kelas pada dasarnya adalah proses komunikasi. Hal ini menunjukkan bahwa guru sebagai sumber informasi memiliki kebutuhan untuk menyampaikan informasi (bahan ajar) kepada siswa sebagai penerima informasi. Penyampaian informasi ini dapat melalui cara-cara biasa seperti berbicara kepada siswa, atau melalui perantara yang disebut sebagai media.
Istilah media berasal dari bahasa latin, yaitu medium yang memiliki arti perantara. Dalam Dictionary of Education, disebutkan bahwa media adalah bentuk perantara dalam berbagai jenis kegiatan berkomunikasi. Sebagai perantara, maka media ini dapat berupa koran, radio, televisi bahkan komputer. Gagne (dalam Sadiman, dkk, 2002) menyatakan bahwa media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsangnya untuk belajar. Lebih lanjut, Briggs (dalam Sadiman, dkk, 2002) menyatakan bahwa media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta merangsang siswa untuk belajar.
Definisi tersebut mengarahkan kita untuk menarik suatu simpulan bahwa media adalah segala jenis (benda) perantara yang dapat menyalurkan informasi dari sumber informasi kepada orang yang membutuhkan informasi. Lebih singkatnya, dapat disajikan pada gambar sebagai berikut:
Sumber Informasi
MEDIA
Penerima Informasi



Lebih lanjut, dalam proses pembelajaran dikenal pula istilah media pembelajaran. Suyitno (1997) menyatakan bahwa media pembelajaran adalah suatu peralatan baik berupa perangkat lunak maupun perangkat keras yang berfungsi sebagai belajar dan alat bantu mengajar. Sebagai alat bantu dalam proses pembelajaran, maka media belajar ini akan disesuaikan dengan karakteristik masing-masing bahan ajar yang akan disajikan juga memperhatikan karakteristik siswa.

B. Jenis-jenis media
Saat ini, dengan cepatnya teknologi komunikasi maka semakin banyak pula media komunikasi yang muncul. Pada pembahasan ini, media komunikasi yang dimaksud adalah media untuk membantu pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di sekolah. Beberapa media yang dimaksud adalah komputer (internet), peralatan audio seperti tape recorder dan peralatan visual seperti VCD/DVD.
1. Komputer
Perkembangan perangkat komputer saat ini mengalami kemajuan yang sangat pesat. Hampir setiap bulan muncul genre-genre baru dalam dunia komputer. Sebagai contoh adalah perkembangan prosessor sebagai otak dalam sebuah komputer mulai dari Intel Pentium 1 sampai dengan Pentium 4. Sebagian orang belum bisa menikmati kecanggihan Prosesor Pentium 4, saat ini sudah muncul Centrino bahkan Centrino Duo Core. Belum lagi sebagian orang berpikir kehebatan Centrino Duo Core, telah muncul pula AMD 690.
Pesatnya perkembangan teknologi komputer ini memang sebagai jawaban untuk akses data atau informasi. Perubahan di masyarakat yang semakin cepat pada akhirnya menuntut perkembangan teknologi komputer yang semakin canggih. Saat ini dibutuhkan akses data yang cepat, sehingga pada akhirnya prosesor yang ada juga semakin cepat.

2. Peralatan Audio
Perkembangan peralatan audio saat ini juga mengalami perkembangan yang pesat. Peralatan audio yang di pergunakan dalam proses bimbingan dan konseling seperti tape recorder. Penggunaan tape recorder ini antara lain adalah untuk merekam sesi konseling dan memutar kembali hasil-hasil yang diperoleh selama sesi konseling.
Tape recorder membutuhkan kaset untuk bisa melakukan tindakan perekaman. Kaset memiliki pita magnetik yang berfungsi untuk menyimpan data atau informasi percakapan.
Saat ini telah berkembang alat perekam yang tidak membutuhkan pita perekam. Alat ini disebut MP3 dan MP4. Pada dasarnya alat ini berfungsi sebagai player, dimana di dalam alat ini terdapat sebuah mini harddisk yang memiliki kapasitas sampai dengan 4 Gb. Sebagai sebuah player, maka alat ini dapat memainkan musik dan dapat dipergunakan untuk merekam suara.
Ukuran MP3 dan MP4 saat ini amat kecil jika dibandingkan dengan sebuah mini tape recorder biasa. Seringkali kita jumpai, alat MP3 atau MP4 seukuran sebuah spidol atau ballpoint.

3. Peralatan Visual
Alat visual dapat bermacam-macam ragamnya seperti video player dan VCD/DVD player. Pada awalnya, penggunaan peralatan visual adalah dengan mempergunakan projector. Penggunaan proyektor ini dipandang tidak efisien, karena dalam proses produksinya membutuhkan tahapan-tahapan yang panjang. Mulai dari merekam gambar sampai dengan menampilkan gambar. Bahkan seringkali dijumpai mutu gambar yang tidak bagus dan bahkan mudah rusak. Sehingga lambat laun peralatan ini mulai ditinggalkan.
Video player dulu merupakan peralatan yang lumayan banyak dipergunakan orang. Hanya saja, saat ini sudah banyak ditinggalkan karena proses produksinya tertalu berbelit. Untuk menghasilkan sebuah hasil rekaman yang baik, dibutuhkan kamera perekam yang lumayan besar dan berat, selain itu kaset yang dipergunakan juga relatif besar, sehingga dipandang tidak praktis. Terlebih, hasil rekaman seringkali tidak begitu jernih.
Peralatan visual yang sering kita jumpai antara lain adalah video player atau CD player. Peralatan ini banyak dijumpai karena memiliki tingkat pengoperasian yang mudah dan memiliki harga yang relatif murah. Penggunaan video player ini tidak akan bisa lepas dari keberadaan sebuah disc atau keping VCD/DVD. Dengan kecanggihan teknologi yang ada saat ini, proses perekaman gambar tidak perlu mempergunakan perangkat yang bermacam-macam. Saat ini telah berkembang alat perekam (handycam) yang secara langsung dapat merekam gambar langsung ke dalam keping VCD/DVD. Dengan kata lain, pengoperasian VCD/DVD ke player akan semakin mudah.

Perkembangan teknologi informasi saat ini, pada akhirnya bertujuan untuk memudahkan konsumen menikmati hiburan antau informasi dengan efisien. Hal ini pada akhirnya memunculkan perangkat-perangkat multi media. Teknologi multi media yang berkembang saat ini sudah demikian canggihnya, sehingga sehingga seringkali konsumen bingun untuk memilih teknologi apa yang akan dibeli.
Saat ini peralatan komputer yang dijumpai di pasaran pun sudah mempergunakan teknologi multi media. Dulu, komputer hanya dipergunakan sebagai alat pengolah data saja. Tetapi selanjutnya berkembang juga sebagai alat entertainment. Komputer saat ini hampir bisa dipergunakan untuk membantu segala macam permasalahan manusia, mulai dari mengolah data sampai dengan memproduksi sebuah tayangan video yang baik.

C. Manfaat Penggunaan Media dalam Konseling
Tidak dapat disangkal bahwa saat ini kita hidup dalam dunia teknologi. Hampir seluruh sisi kehidupan kita bergantung pada kecanggihan teknologi, terutama teknologi komunikasi. Bahkan, menurut Pelling (2002) ketergantungan kepada teknologi ini tidak saja di kantor, tetapi sampai di rumah-rumah.
Konseling sebagai usaha bantuan kepada siswa, saat ini telah mengalami perubahan-perubahan yang sangat cepat. Perubahan ini dapat ditemukan pada bagaimana teori-teori konseling muncul sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau bagaimana media teknologi bersinggungan dengan konseling. Media dalam konseling antara lain adalah komputer dan perangkat audio visual.
Komputer merupakan salah satu media yang dapat dipergunakan oleh konselor dalam proses konseling. Pelling (2002) menyatakan bahwa penggunaan komputer (internet) dapat dipergunakan untuk membantu siswa dalam proses pilihan karir sampai pada tahap pengambilan keputusan pilihan karir. Hal ini sangat memungkinkan, karena dengan membuka internet, maka siswa akan dapat melihat banyak informasi atau data yang dibutuhkan untuk menentukan pilihan studi lanjut atau pilihan karirnya.
Data-data yang didapat melalui internet, dapat dianggap sebagai data yang dapat dipertanggungjawabkan dan masuk akal (Pearson, dalam Pelling 2002; Hohenshill, 2000). Data atau informasi yang didapat melalui internet adalah data-data yang sudah memiliki tingkat validitas tinggi. Hal ini sangat beralasan, karena data yang ada di internet dapat dibaca oleh semua orang di muka bumi. Sehingga kecil kemungkinan jika data yang dimasukkan berupa data-data sampah.
Sebagai contoh, saat ini dapat kita lihat di internet tentang profil sebuah perguruan tinggi. Bahkan, informasi yang didapat tidak sebatas pada perguruan tinggi saja, tetapi bisa sampai masing-masing program studi dan bahkan sampai pada kurikulum yang dipergunakan oleh masing-masing program studi. Data-data yang didapat oleh siswa pada akhirnya menjadi suatu dasar pilihan yang dapat dipertanggungjawabkan. Tentu saja, pendampingan konselor sekolah dalam hal ini sangat diperlukan.
Sampsons (2000) mengungkapkan bahwa fasilitas di internet dapat dapat dipergunakan untuk melakukan testing bagi siswa. Tentu saja hal ini harus didasari pada kebutuhan siswa. Penggunaan komputer di kelas sebagai media bimbingan dan konseling akan memiliki beberapa keuntungan seperti yang dinyatakan oleh Baggerly sebagai berikut:
1. Akan meningkatkan kreativitas, meningkatkan keingintahuan dan memberikan variasi pengajaran, sehingga kelas akan menjadi lebih menarik;
2. Akan meningkatkan kunjungan ke web site, terutama yang berhubungan dengan kebutuhan siswa;
3. Konselor akan memiliki pandangan yang baik dan bijaksana terhadap materi yang diberikan;
4. Akan memunculkan respon yang positif terhadap penggunaan email;
5. Tidak akan memunculkan kebosanan;
6. Dapat ditemukan silabus, kurikulum dan lain sebagainya melalui website; dan
7. Terdapat pengaturan yang baik

Selain penggunaan internet seperti yang telah diuraikan di atas, dapat dipergunakan pula software seperti microsoft power point. Software ini dapat membantu konselor dalam menyambaikan bahan bimbingan secara lebih interaktif. Konselor dituntut untuk dapat menyajikan bahan layanan dengan mempergunakan imajinasinya agar bahan layanannya tidak membosankan.
Program software power point memberikan kesempatan bagi konselor untuk memberikan sentuhan-sentuhan seni dalam bahan layanan informasi. Melalui program ini, yang ditayangkan tidak saja berupa tulisan-tulisan yang mungkin sangat membosankan, tetapi dapat juga ditampilkan gambar-gambar dan suara-suara yang menarik yang tersedia dalam program power point. Melalui fasilitas ini, konselor dapat pula memasukkan gambar-gambar di luar fasilitas power point, sehingga sasaran yang akan dicapai menjadi lebih optimal.
Gambar-gambar yang disajikan melalui program power point tidak statis seperti yang terdapat pada Over Head Projector (OHP). Konselor dapat memasukkan gambar-gambar yang bergerak, bahkan konselor bisa melakukan insert gambar-gambar yang ada di sebuah film.
Media lain yang dapat dipergunakan dalam proses bimbingan dan konseling di kelas antara lain adalah VCD/DVD player. Peralatan ini seringkali dipergunakan oleh konselor untuk menunjukkan perilaku-perilaku tertentu. Perilaku-perilaku yang tampak pada tayangan tersebut dipergunakan oleh konselor untuk merubah perilaku klien yang tidak diinginkan (Alssid & Hitchinson, 1977; Ivey, 1971, dalam Baggerly 2002). Dalam proses pendidikan konselor pun, penggunaan video modeling ini juga dipergunakan untuk meningkatkan keterampilan dan prinsip konseling yang akan dikembangkan bagi calon konselor (Koch & Dollarhide, 2000, dalam Baggerly, 2002).
Sebelum VCD/DVD player ini ditayangkan, seorang konselor sebaiknya memberikan arahan terlebih dahulu kepada siswa tentang alasan ditayangkannya sebuah film. Hal ini sangat penting, sebab dengan memiliki gambaran dan tujuan film tersebut ditayangkan, maka siswa akan memiliki kerangka berpikir yang sama. Setelah film selesai ditayangkan, maka konselor meminta siswa untuk memberikan tanggapan terhadap apa yang telah mereka lihat. Tanggapan-tanggapan ini pada akhirnya akan mempengaruhi bagaimana klien berpikir dan bersikap, yang kemudian diharapkan akan dapat merubah perilaku klien atau siswa.

D. Kerugian Penggunaan Media dalam Konseling
Pelling (2002) menyatakan bahwa, walaupun saat ini masyarakat sangat tergantung pada teknologi, tetapi di lain pihak, masih banyak diantara kita yang mengalami ketakutan untuk mempergunakan teknologi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar masyarakat kita masih percaya bahwa pernyataan-pernyataan yang diberikan oleh orang tua atau orang yang dituakan masih dianggap lebih baik. Hal ini tidak lepas dari budaya paternalistik yang melingkupi masyarakat kita.
Sebaik apapun teknologi yang berkembang, tetapi jika pola pikir masyarakat masih terkungkung dengan nilai-nilai yang diyakini benar, maka data atau informasi yang didapat seakan-akan menjadi tidak berguna. Sebagai contoh, seorang siswa akan memilih jurusan di perguruan tinggi. Mungkin mereka akan mencari informasi sebanyak mungkin, dan konselor akan memfasilitasi keinginan mereka. Tetapi, pada saat mereka dihadapkan untuk menentukan dan memilih jurusan yang akan diambil, maka tidak jarang dari mereka akan berkata, “Saya senang dengan jurusan A, tetapi nanti tergantung pada orang tua saya”.
Contoh lain, saat ini perkembangan teknologi sudah berkembang dengan demikian pesat. Tiap manusia dapat berkomunikasi tanpa dibatasi rentang ruang dan waktu. Tetapi dalam budaya tertentu, alat komunikasi ini bisa menjadi “tidak bermanfaat”. Restu orang tua merupakan hal yang dianggap sakral oleh sebagian budaya tertentu, bahkan meminta restu ini akan lebih afdol jika dilakukan dengan melakukan sungkem. Untuk menunjukkan perilaku ini, maka seringkali mereka melupakan kecanggihan piranti komunikasi yang sudah canggih, walau jarak yang ditempuh untuk mendatangi orang tua relatif jauh.
Hal lain yang terkait dengan penggunaan media dalam bimbingan dan konseling adalah sasaran pengguna seringkali disamakan. Walaupun ragam media sudah bermacam-macam, tetapi media ini seringkali masih belum bisa menyentuh sisi afektif seseorang. Dalam bimbingan dan konseling dikenal istilah empati. Penggunaan media, seringkali pula akan “menghilangkan” empati konselor, jika konselor mempergunakan media sebagai alat bantu utama.
Klien datang ke ruang konseling tidak selalu membutuhkan informasi dari internet atau komputer, bahkan ada kemungkinan klien atau siswa datang ke ruang konseling juga tidak membutuhkan bantuan dari konselor secara langsung melalui proses konseling. Tetapi adakalanya, siswa atau klien datang ke ruang konseling hanya ingin mendapatkan senyuman dari konselor atau penerimaan tanpa syarat dari konselor.
Sebagai benda mati, peralatan teknologi yang ada saat ini hanya bisa bermanfaat jika dimanfaatkan oleh mereka yang memahami penggunaan masing-masing alat tersebut. Artinya penggunaan teknologi ini akan memunculkan efek yang baik jika dijalankan oleh mereka yang paham peralatan tersebut. Sebaliknya, peralatan ini akan memberikan dampak negatif jika pelaksananya tidak memahami dampak yang akan ditimbulkan. Banyak contoh kasus dampak negatif penyalahgunaan teknologi informasi seperti beredarnya rekaman video porno di ponsel, beredarnya video porno bajakan yang dilakukan oleh anak negeri dan lain sebagainya.

E. Simpulan
1. Media bimbingan dan konseling saat ini telah berkembang dengan pesat sesuai dengan perkembangan jaman dan kebutuhan manusia yang semakin meningkat;
2. Media bimbingan dan konseling seperti internet akan menyediakan data atau informasi yang akurat bagi siswa;
3. Hubungan konseling memerlukan empati, sehingga penggunaan media sebaiknya terbatas pada usaha perolehan data dan informasi saja;
4. Untuk mempergunakan media bimbingan dan konseling perlu diperhatikan budaya yang dimiliki oleh siswa, sehingga pemilihan media bimbingan dan konseling akan efektif;
5. Perlu pelatihan atau peningkatan kompetensi konselor dalam menguasai teknologi informasi;

F. Referensi

Baggerly, Jennifer. 2002. Practical Technological Applications to Promote Pedagogical Principles and Active Learning in Counselor Education. Journal of Technology in Counseling. Vol. 2_2.

Hartono., Soedarmadji, Boy. 2005. Psikologi Konseling. Surabaya: University Press UNIPA Surabaya.

Hohenshill, Thomas, H. 2000. High Tech Counseling. Journal of Counseling and Development. V 78: 365-368.

Menanti, Asih. 2005. Konseling Indigenous. Makalah disampaikan pada Konvensi Nasional ABKIN di Bandung 2005.

Pelling, Nadine. 2002. The Use Technology In Career Counseling. Journal of Technology in Counseling. Vol. 2_2.

Sadiman, Arief. Dkk. 2002. Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya. Jakarta: Rajawali Press.

Sampson, James, P. 2000. Using the Internet to Enchance Testing in Counseling. Journal of Counseling and Development. V 78: 348-356.

Suyitno, Imam. 1997. Pemanfaatan Media dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA). Jurnal Sumber Belajar: Kajian Teori dan Aplikasi. 4 Nopember 1997.

Konseling Kedaerahan


KONSELING INDONESIA: Yang Bagaimana?

Oleh: Boy Soedarmadji


Pengantar

Perkembangan konseling di dunia saat mengalami perubahan-perubahan yang sangat pesat. Hal ini terjadi di negara-negara yang sudah maju seperti di Amerika, Inggris dan kebanyakan negara-negara di Eropa. Pesatnya perkembangan ilmu konseling di negara-negara barat ada kemungkinan disebabkan karena semakin kompleksnya masalah yang dihadapi oleh negara-negara barat, sehingga mereka terus berpacu dengan waktu untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang muncul.
Awalnya pelaksanaan konseling di barat seringkali didasarkan pada nilai‑nilai yang berlaku bagi kaum mayoritas, atau dapat dikatakan bahwa layanan konseling itu merupakan kegiatan kelas menengah ke atas bagi orang kulit putih yang masih memegang teguh nilai‑nilai dimilikinya. Konseling seringkali dilakukan antara orang kulit putih dengan orang kulit putih. Hal ini dapat dimaklumi, karena perkembangan konseling ini sendiri diawali oleh orang kulit putih.
Lambat laun masalah dalam konseling mulai muncul. Dalam pelaksanaan konseling, ternyata bukan menjadi otonomi masyarakat kulit putih saia, tetapi juga menjadi kebutuhan bagi masyarakat lainnya. Masyarakat lain yang dimaksud adalah kaum pendatang (siswa, mahasiswa, imigran dll). Mereka lebih sering disebut dengan masyarakat minoritas. Kaum minoritas di Amerika terdiri dari kaum pendatang (siswa, mahasiswa dan imigran gelap). Secara umum mereka datang ke Amerika dengan membawa budaya yang masih melekat kuat bagi pribadi masing‑masing. Siswa dan maha­siswa yang berasal dari Asia (terutama) seringkali menga­lami kesulitan didalam melaksanakan studinya. Kesulitan ini seringkali berasal dari budaya atau nilai‑nilai yang berbeda dengan nilai‑nilai yang dipergunakan oleh orang barat. Kesulitan‑kesulitan studi mereka segera ditangkap oleh konselor barat. Tetapi kenyataannya, konselor barat itu sendiri juga merasa kesulitan untuk membantu mahasiswa yang berasal dari negara timur.
Golongan minoritas tidak saia mengacu pada apa yang telah disebutkan di atas saja. Satu kelompok lain yang masuk dalam golongan minoritas adalah kaum perempuan. Secara umum, perempuan masih digolongkan sebagai orang kedua dalam hal pekerjaan dan lain‑lain. Perempuan selama ini masih dianggap sebagai golongan yang lemah dan golongan yang harus dilindungi. Padahal dalam beberapa dekade terakhir ini, kaum perempuan mulai "mengeliat" dan berusaha untuk bisa menunjukkan eksistensinya. Gerakan‑gerakan tersebut demikian kuatnya sehingga mengakibatkan para ahli konseling berpikir untuk dapat “melayani" mereka. Hal ini membuat posisi ilmu konseling untuk terus melakukan penelitian‑penelitian yang dapat mangungkap hal‑hal yang berkaitan dengan konseling lintas budaya. Sehingga diharapkan nantinya akan muncul metode‑metode baru atau teknik‑teknik baru yang dapat dipergunakan untuk melakukan konseling dengan klien yang mempunyai perbedaan buda­ya.

Perkembangan di Indonesia
Indonesia sebagai negara kesatuan memiliki kurang lebih 300 etnis yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Banyaknya etnis ini merupakan berkah yang tak terhingga bagi kita, sebab keragaman/kemajemukan ini akan memunculkan warna kehidupan. Pada setiap suku/etnis tersebut terdapat model bantuan yang sifatnya masih tradisional. Pada umumnya, bantuan yang diberikan kepada orang yang membutuhkan dilakukan oleh tokoh masyarakat yang dianggap mempunyai kelebihan spiritual (kyai, pastor, pendeta) atau mereka yang dianggap sebagai “orang tua” atau mereka yang dituakan (paranormal, “orang pinter”. “orang tua” dan sebagainya) [Rosjidan, 1995]. Orang-orang ini dipandang mempunyai kemampuan lebih untuk mengatasi masalah tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Indonesia masih mempunyai ketergantungan pada mereka, sebagai salah satu contoh pada saat mencari pekerjaan. Mereka tidak segan-segan datang kepada orang-orang tersebut untuk mendapatkan petuah, wejangan bahkan jampi-jampi. Ada keyakinan yang kuat bagi sebagian masyarakat Indonesia bahwa dengan mendatangi guru (kyai, dukun, paranormal dll) akan membuat masalah mereka selesai.
Dari uraian di atas, maka dapat ditarik simpulan bahwa profesi konseling akan lebih menguntungkan jika mempergunakan pendekatan-pendekatan yang dipergunakan oleh kaum pribumi. Hal ini disebabkan setiap budaya mempunyai cara-cara tertentu untuk menyelesaikan masalah yang timbul di dalam masyarakat tersebut (Lee & Sirch, 1994).
Perkembangan konseling di Indonesia mengalami kemajuan yang signifikan, walaupun kemajuan tersebut berjalan dengan lambat. Pada tahun 1995 dengan dilakukannya kongres dan Konvensi Nasional IPBI (sekarang ABKIN) telah dimulai suatu gerakan untuk menemukan konseling yang bercirikan budaya Indonesia. Saat itu, pemerhati masalah Bimbingan dan Konseling telah menyadari akan perlunya identitas konseling di Indonesia.
Terbentuknya ABKIN (Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia) merupakan tonggak bersejarah bagi pelaksanaan konseling di Indonesia. Saat ini, perjuangan ABKIN bagi keberadaan konselor di sekolah semakin terasa, apalagi sampai munculnya istilah “konselor” sebagai salah satu jenis tenaga kependidikan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada Bab I Pasal 1 ayat (4) dinyatakan bahwa “pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Pernyataan secara eksplisit ini pada akhirnya memunculkan kepercayaan masyarakat (public trust).
Sebutan konselor memiliki tanggungjawab yang besar. Hal ini dikarenakan sebutan ini menuntut profesionalisme dari diri masing-masing konselor yang ada, sehingga dalam hal ini, LPTK merasa terpanggil untuk mempersiapkan tenaga konselor yang professional. Salah satu bentuk profesionalisme konselor adalah menerapkan teori-teori konseling terbaru yang berkembang. Untuk hal tersebut, maka ABKIN mengeluarkan keputusan no. 011 tahun 2005 tentang Standar Kompetensi Konselor Indonesia (SKKI) yang merupakan salah satu acuan penyelenggaraan pendidikan bagi semua perguruan tinggi penyelenggaran Program Studi Bimbingan dan Konseling di Indonesia.
Salah satu hal menarik yang tercantum dalam SKKI disebutkan bahwa Konselor bekerja dalam berbagai seting, dan seting itu menjadi kekhususan dari wilayah layanan bimbingan dan konseling. Keragaman seting pekerjaan konselor ini mengandung makna adanya pengetahuan, sikap, dan keterampilan bersama yang harus dikuasai oleh konselor dalam seting manapun. Kompetensi ini disebut kompetensi bersama (common competencies), yang harus dikuasai oleh konselor sekolah, perkawinan, karir, traumatic, rehabilitasi dan kesehatan mental. Setiap seting bimbingan dan konseling menghendaki kompetensi khusus yang harus dikuasai konselor untuk dapat memberikan layanan dalam seting/wilayah khusus itu (ABKIN, 2005).
Sejalan dengan perkembangan teori-teori tersebut, maka di Indonesia saat ini sedang getol-getolnya dikembangkan suatu pendekatan konseling yang berbasis Indonesia. Salah satu alternatif yang ditawarkan adalah Teknik Konseling PADI.

Konseling PADI
Konseling PADI atau yang sering disebut dengan teknik PADI, saat ini telah dikembangkan di beberapa negara Asia, khusunya Asia Tenggara seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Philipina. Teknik ini dikembangkan dengan memadukan dua pendekatan konseling yaitu pendekatan humanistik dan behavioristik, selain ada juga unsur-unsur budaya Timur yang menyertainya. Perkembangan ini ditunjukkan dengan munculnya teknik-teknik konseling baru yang mungkin (juga) baru kita kenal. Salah satu teknik konseling yang saat ini mulai dikembangkan di Asia adalah teknik konseling PADI. PADI sendiri merupakan akronim dari Problem definition, Atempted solution, Desired changes dan Intervention plan.
Problem definition, merupakan suatu usaha untuk mendefinisikan masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh individu. Mendefinisikan masalah merupakan tahapan yang paling penting, sebab seringkali klien datang ke ruang konseling dengan membawa berbagai macam masalah dimana mereka tidak tahu masalah mana yang akan diselesaikan. Hal lain yang sering muncul adalah pengungkapan masalah yang sebenarnya bukan masalah. Sebagai contoh, seorang ibu mengeluh karena tidak bisa mengatur anak ABG-nya. Dia mengatakan bahwa saat ini anaknya susah diatur dan cenderung untuk bermain dengan teman-teman sebayanya. Ungkapan ibu tadi sepertinya masalah, tetapi jika dilihat dari psikologi perkembangan, usia anak ABG memang memiliki perilaku untuk berkelompok dengan teman sebayanya. Lebih lanjut, masalah yang dimiliki ibu tadi seakan-akan bukan masalahnya, tetapi dipandang bahwa anaknya yang bermasalah. Untuk mendefinisikan masalah klien, maka perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
a. Masalah dinyatakan secara positif (biasanya dalam bentuk perilaku)
b. Masalah adalah milik klien
c. Perjelas kapan masalah muncul
d. Bagaimana pengaruh masalah tersebut terhadap diri dan lingkungan klien
e. Siapa yang harus dilibatkan
f. Perlu dipertimbangkan masalah budaya klien
Yeoh (2003) menyatakan bahwa jika konselor mengetahui letak permasalahan klien, maka konselor sebaiknya menyatakan kepada klien. Hal ini dilakukan agar klien tersadar dan dengan mudah untuk melakukan diskusi dengan konselor. Melalui diskusi ini, maka antara konselor dan klien akan memiliki kesepakatan tentang masalah apa yang ingin diselesaikan melalui konseling, sehingga akan membuat konselor lebih fokus dalam usaha membantu klien.
Atempted solution, merupakan usaha-usaha pemecahan masalah yang pernah dicoba oleh klien. Untuk hal ini, konselor perlu menanyakan kepada klien tentang apa saja yang pernah dilakukan oleh oleh klien untuk memecahkan masalahnya serta menanyakan bagaimana hasilnya. Pemberian pertanyaan ini dimaksudkan untuk memberikan penguatan serta memotivasi klien untuk dapat menyelesaikan masalahnya. Satu hal penting bagi konselor adalah tidak memberikan persepsi terhadap usaha-usaha yang telah dilakukan oleh klien sehubungan dengan usaha pemecahan masalah yang dilakukannya. Walaupun usaha yang dilakukan oleh klien bertentangan nilai-nilai yang dimiliki oleh konselor. Perilaku konselor dengan tidak memberikan persepsi kepada usaha-usaha yang dilakukan oleh klien akan membantu konselor untuk berpijak pada hal-hal yang bersifat obyektif.
Pengungkapan diri klien terhadap usaha pemecahan masalah yang telah dilakukan pada akhirnya akan membantu konselor dan klien untuk bersama-sama menemukan cara-cara baru untuk mengentaskan masalah klien. Untuk hal ini sebaiknya konselor telah mengidentifikasi kelebihan dan kelemahan masing-masing cara yang telah dilakukan oleh klien. Lebih lanjut, Yeoh (2003) menyatakan bahwa usaha menemukan usaha-usaha yang pernah dilakukan oleh klien juga bertujuan untuk membuang usaha-usaha yang tidak berhasil, dan membicarakan lagi usaha-usaha yang pernah berhasil untuk diangkat kembali sebagai salah satu alternative pemecahan masalah klien. Tentu saja hal ini disesuaikan dengan keadaan klien saat ini.
Desired changes, merupakan perubahan-perubahan yang diinginkan oleh klien selama proses konseling. Sebagaimana menentukan masalah, perubahan-perubahan yang diinginkan oleh klien sebaiknya dimunculkan dalam bentuk perilaku atau kata kerja aktif dan positif. Konselor bisa bertanya “Apa yang anda harapkan setelah mengikuti proses konseling?” Pertanyaan ini dapat dipergunakan oleh konselor untuk mengukur sejauh mana harapan-harapan untuk berubah pada diri klien serta apa yang akan dilakukan oleh klien.
Intervention plan, merupakan tahap pelaksanaan. Pada tahap ini, konselor telah menentukan strategi konseling yang akan dipergunakan untuk mengentaskan masalah yang dihadapi oleh klien. Yeoh (2003) menyatakan bahwa untuk merencanakan intervensi, maka beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh konselor adalah (a) jangan terburu-buru, (b) mulailah dengan perubahan-perubahan kecil yang telah dilakukan klien, (c) perkuat komitmen klien untuk berubah dan (d) bertindak kreatif.
Cormier & Cormier (1985) menyatakan bahwa saat menentukan strategi apa yang akan diberikan kepada klien, sebaiknya konselor mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a. Apakah strategi tersebut sesuai dengan karakteristik pribadi klien?
b. Apakah strategi tersebut sesuai dengan karakteristik masalah klien?
c. Apakah strategi itu lebih bersifat positif daripada menghukum?
d. Apakah strategi tersebut dapat mendorong tumbuhnya keterampilan manajemen diri siswa (self-management skills)?
e. Apakah pelaksanaan strategi itu didukung dengan literatur yang ada?
f. Apakah strategi itu mudah dilaksanakan?
g. Apakah strategi itu akan menimbulkan masalah baru bagi klien atau orang terdekat klien (significant other)?
h. Apakah strategi ini memerlukan konselor lebih dari satu orang?
i. Apakah strategi itu akan mengulang kegagalan yang sama?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sebaiknya menjadi pertimbangan bagi konselor untuk menentukan strategi apa yang akan dipergunakan untuk membantu memecahkan masalah klien.
Sebagai salah satu teknik konseling yang berbasis eklektik, maka salah satu hal penting yang perlu dilakukan adalah memberikan batas akhir bagi pelaksanaan proses konseling. Hal ini seringkali kita temui pada pendekatan-pendekatan konseling behavioristik. Penentuan waktu akhir merupakan usaha untuk melihat apakah klien komitmen dengan rencana-rencana perubahan yang telah dibicarakan bersama. Selain itu, penetapan waktu ini akan “memaksa” klien untuk lebih bertanggungjawab dalam menyelesaikan masalahnya.

Referensi

ABKIN. 2005. Standar Kompetensi Konselor Indonesia (SKKI). Jakarta: PB ABKIN.

Bolton-Brownlee, Ann. 1987. Issues in Multicultural Counseling. www.ericdigest.org/pre-925/issues.htm. Diakses tanggal 18 Juli 2006.

Cormier, William., Cormier, Sherrilyn. 1985. Intervieving Strategies for Helpers: fundamental skills and cognitive behavioral interventions (2nd ed). California: Brooks/Cole Publishiing Company.

Hartono., Soedarmadji, Boy. 2006. Psikologi Konseling. Surabaya: University Press UNIPA Surabaya.

Rosjidan. 1995. Pengembangan Bimbingan dan Konseling dengan Budaya Nasional: rintisan. Makalah disampaikan dalam Kongres VIII dan Konvensi nasional X IPBI di Surabaya.

Soedarmadji, Boy., Sutijono. 2005. Model-model Konseling. Surabaya: University Press UNIPA Surabaya.

Soedarmadji, Boy., Sutijono. 2005. Pengantar Proses Konseling. Surabaya: University Press UNIPA Surabaya.

Vontrees, Clemmont. Culture and Counseling. www.ac.wwu.edu/culture/Vontress.htm Diakses tanggal 18 Juli 2006.

Westbrook, Franklin., Seadlacek, william. 1991. Forty Years of Using Labels to Communicate About Nontraditional Students: Does It Help or Hurt? Journal of Counseling & development. 70 (1): 18-20.

Yeoh, Anthony. Counseling: a Problem Solving Approach (diterjemahkan oleh Wuisan). Jakarta: Gunung Mulia.

Kesurupan .......... Tulisan ini mencoba untuk menjawab berbagai pertanyaan tentang proses terjadinya kesurupan massal yang menjadi fe...