Selasa, 09 September 2008

Perkembangan Individu

PERKEMBANGAN INDIVIDU


MASA KANAK-KANAK

Sepanjang rentang kehidupannya, seorang individu mempunyai tugas-tugas perkem-bangan yang harus diselesaikannya (accomplished). Pada usia-usia tertentu, mereka akan mengalami suatu perkembangan phisik dan psikis. Banyak ahli yang telah memberikan indicator-indikator perkembangan masing-masing individu sepanjang rentang kehidupannya. Salah satu ahli adalah Piaget (ahli psikologi kognitif). Piaget menyatakan bahwa perkembang-an anak antara usia 0 – 2 tahun terbagi menjadi 6 stadium.

Tabel 1. Stadium Perkembangan anak usia 0 – 11 tahun menurut Piaget
Stadium Umur/bln Perkembangan kognitif
1 0 - 1 Refleks-refleks bawaan
2 1 - 4 Mulai terjadi koordinasi antara mata dan tangan (bayi sering bermain jari tangan atau jari kaki)
3 4 - 8 Mulai dapat bergaul dengan lingkungannya, terutama orang-orang terdekat
4 8 - 12 Mulai berjalan dan mencari barang-barang yang dipindahkan
5 12 - 18 Mulai mengeksplorasi diri dengan mencari barang-barang yang disimpan (trial and error)
6 18 – 24 Anak mulai dapat membayangkan adanya perpindahan suatu benda, walaupun benda tersebut tidak ada.
7 24 – 7 thn Merupakan masa pra-operasional
- penguasaan bahasa yang sistematis
- permainan simbolis (bermain peran)
- Dapat bermain secara pura-pura (imaginasi)
- Berpikir secara egosentris
- Tidak dapat berpikir secara terbalik (irreversible)
8 7 – 11 thn Masa operasional konkrit
- anak dapat melakukan aktivitas-aktivitas tertentu dalam situasi yang konkrit
berpikir egosentrisme sudah mulai berkurang
9 11 thn ke atas Masa opersional formal
- berpikir deduktif-hipotesis
- berpikir operasional formal dan kombinatoris
Diadopsi dari: Psikologi perkembangan, Monks., Knoers., Haditono. 1991:186.

Piaget merupakan tokoh psikologi yang berasal dari Swiss. Dalam teorinya, Piaget mempunyai kecenderungan untuk menggabungkan istilah-istilah biologi kedalam dunia psikologi perkembangan. Teori yang dikenalkan kepada masyarakat umum bahwa setiap organisme yang dilahirkan ke dunia ini mempunyai dua kecenderungan mendasar yaitu kecenderungan untuk beradaptasi dan organisasi (Haditono, 1991).
Kecenderungan adaptasi merupakan suatu bawaan yang dimiliki oleh individu untuk dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungan. Dalam hal ini dilakukan dengan cara asimilasi yaitu usaha untuk mengubah lingkungannya guna menyesuaikan dengan dirinya dan akomodasi yaitu merubah dirinya untuk dapat diterima oleh lingkungannya.
Kecenderungan organisasi merupakan bawaan yang dimiliki oleh individu untuk mengintegrasikan proses-proses yang berada dalam dirinya sendiri menjadi suatu sistemn yang lebih berhubungan. Pada tahap ini, seorang anak sudah mulai dapat mengintegrasikan kegiatan-kegiatan fisiknya yang selama ini masih terpisah-pisah. Proses integrasi antara kecenderungan akomodasi dan organisasi ini disebut sebagai ekulibrium (keseimbangan).
Piaget membagi perkembangan kognitif siswa menjadi beberapa tahapan atau stadium. Stadium-stadium tersebut adalah sebagai berikut:
1. Stadium sensori-motorik
2. Stadium pra-operasional
3. Stadium operasional konkrit
4. Stadium operasional formal

Penjelasan masing-masing stadium adalah sebagai berikut:
1. Stadium sensori-motorik (0-18 atau 24 bulan)
Stadium sensori motorik ini lebih mengarah kepada kegiatan-kegiatan reflek yang dilakukan oleh anak semasa masih bayi. Gerakan refleks ini merupakan sesuatu yang seringkali tidak diajarkan oleh lingkungan (orang tua) seperti menghisap, menggerakkan tangan atau bahkan menangis. Selanjutnya Piaget (dalam Haditono, dkk, 1991) menjelaskannya lebih lanjut dalam bentuk tabel yang menunjukkan sub-stadium senso-motorik sebagai berikut:

Perkembangan kognitif Permanensi Obyek
Stadium 1 (0-1bln)
Skema-skema refleks

Stadium 2 (1-4 bln)
Modifikasi stadium 1 dan telah muncul koordinasi dan lebih berorientasi kepada bada sendiri (memegang jari kaki)

Stadium 3 (4-8 bln)
Bergaul secara efektif dengan lingkungan di sekitarnya

Stadium 4 (8-12 bln)
Tingkah laku yang muncul semakin intensif

Stadium 5 (12-18 bln)
Trial error yang aktif, ada dorongan untuk mengadaka eksplorasi terhadap obyek-obyek yang baru

Stadium 6 (18-24 bln)
Anak sudah mulai bisa berpikir
Stadium 1 dan 2
Bayi mulai bisa mengikuti perpindahan obyek yang bergerak

Stadium 3
Anak mampu mengikuti menghilangnya obyek yang dilihat sampai melampaui tempat menghilangnya obyek (misal membungkuk untuk melihat obyek yang jatuh)

Stadium 4
Mencoba memegang obyek yang dengan tangan. Saat ini anak mulai dapat mengidentifikasi peletakan suatu barang di suatu tempat, dan dia akan mencari jika tidak ada.

Stadium 5
Mencari barang yang hilang

Stadium 6
Mulai mempergunakan imajinasinya untuk membayangkan adanya kemungkinan-kemungkinan perpindahan suatu benda yang tersembunyi.

2. Stadium pra-operasional
Masa stadium pra-operasional ini ditandai dengan penguasaan bahasa yang dilakukan secara sistematis, anak mulai bisa menjawab pertanyaan-pertanyan yang diajukan oleh orang lain, dapat melakukan permainan-permainan simbolis dan mengimitasi perilaku. Hal lain pada usia ini adalah kemampuan anak untuk berpura-pura. Pada usia ini anak dapat berpura-pura “menjadi” orang lain yang dibayangkan-nya.
Pada usia ini, pola berpikir anak masih egosentris (berpusat pada diri sendiri). Dengan demikian, segala sesuatu yang diungkapkannya merupakan manifestasi dari sudut pandangnya sendiri. Jika dia ditanya mengenai seorang MJ (Michael Jakcson), maka dia tidak akan berbicara tentang MJ yang tenar, tetapi lebih pada bagaimana dia menyenangi MJ sesuai dengan sudut pandangnya sendiri.
3. Stadium operasional konkrit
Pada stadium ini, sifat egosentris yang dimiliki oleh anak sudah mulai berkurang. Sehingga dapam menyampaikan pendapatnya dia tidak hanya menyampaikan pendapatnya sesuai dengan keadaan dirinya saja, tetapi sudah mulai dapat berpikir dengan mempertimbangkan ldimensi-dimensi lain di luar dirinya. Hanya saja, karena disebut sebagai stadium oerasional konkrit, maka anak ini hanya dapat “bekeja” dalam situasi yang konkrit (nyata). Dengan demikian, pada usia ini seorang anak tidak dapat diajak untuk memprediksi dan memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang sesuai dengan apa yang dikerjakannya pada saat ini.

4. Stadium operasional formal
Stadium operasional formal mempunyai dua sifat penting a) sifat deduktif-hipotesis yaitu cara berpikir secara teoritis, menganalisa permasalahan, mengajukan hipotesis dan kemudian menyelesaikan masalah. Di tingkat sekolah dasar, seringkali penyelesaian masalah ini disajikan dalam bentuk soal cerita yang mengkombinasikan beberapa permasalaha dan b) berfikir kombinatoris yaitu tingkatan pikir anak yang dapat ditunjukkan dengan kemampuan anak untuk mengkombinasikan dimensi-dimensi atau hal-hal di luar dirinya untuk menyelesaikan permasalahan. Contoh, seorang anak diberi 5 gelas berisi air warna-warni, kemudian guru memberikan suatu warna dan kemudian anak diminta untuk mencampur air dalam gelas tadi agar didapat warna yang sesuai dengan gelas yang ditunjukkan oleh gurunya. Pada saat ini sudah muncul kemampuan memecahkan masalah (problem solving). Dengan demikian, siswa telah dapat memikirkan munculnya variabel-variabel yang mungkin atau hubungan-hubungan yang kemudian dapat diselidiki kebenarannya melalui eksperimen atau observasi (nasution, 2003).
Menurut Hurlock (1994), pada usia ini tugas perkembangan fisik yang terjadi pada masa kanak-kanak antara lain adalah:
1. Tinggi badan, tinggi badan anak usia ini kurang lebih 46,6 inci atau sekitar 100-120 cm.
2. Berat badan, berat badan anak usia TK atau pada usia 6 tahun setidaknya harus enam atau tujuh kali dari saat mereka dilahirkan.
3. Perbandingan tubuh, pada usia anak TK pertumbuhan fisik (tubuh) akan semakin memperlihatkan bentuknya seperti wajah tetap kecil tetapi dagu lebih besar, perut rata (tidak buncit) dan dada yang lebih bidang dan rata.
4. Postur tubuh, postur tubuh anak TK pada umumnya dibadi menjadi tiga yaitu gemuk lembek (endomofrik), kuat berotot (mesomofrik) dan kurus (ektomofrik).
5. Tulang dan otot, pada usia anak TK pertumbuhan tulang dan otot akan sangat bervariasi. Seringkali terlihat bahwa otot mereka semakin kuat dan besar, tetapi tampak lebih kurus walaupun berat mereka bertambah.
6. Lemak, anak yang endomofrik cenderung memiliki lemak lebih banyak, anak yang mesomofrik cenderung memiliki jaringan otot yang banyak dibanding lemaknya, sedangkan anak ektomofrik mempunyai otot yang kecil dan sedikit jaringan lemak.
7. Gigi, anak usia ini sudah mulai muncul gigi tetap yang mempunyai celah diantara masing-masing gigi yang memungkinkan munculnya gigi baru.

Perlu kita ingat bersama bahwa pada anak-anak usia sekolah dasar adalah daya kemauan anak belum kuat dan belum berkembang penuh, oleh karena itu perlu tuntunan yang bijaksana dan kewibawaan untuk memupuk disiplin di segala bidang (kartono, 2001).

PERKEMBANGAN MASA REMAJA
Havigurst (dalam Haditono, dkk:1991) menyebutkan bahwa remaja adalah mereka yang berusia antara 12 – 18 tahun dengan mempunyai ciri-ciri 1) mengalami perkembangan aspek biologis, 2) menerima peranan dewasa berdasarkan pengaruh kebiasaan masyarakat sendiri, 3) mendapatkan kebebasan emosional dari orang tua dan atau orang dewasa lain, 4) mendapatkan pandangan hidupnya sendiri dan 5) realisasi suatu indentitas sendiri dan dapat mengadakan partisipasi-partisipasi dalam kebudayaan pemuda sendiri.
Definisi di atas secara tidak disadari menempatkan remaja pada posisi yang tidak menguntungkan, karena di satu sisi mereka tidak mau dikatakan sebagai anak kecil, tetapi di sisi lain mereka masih belum dapat berperan sebagaimana orang dewasa. Ironisnya, orang dewasa mengatakan bahwa bahwa mereka belum dewasa. Masa remaja awal secara umum dicirikan sebagai masa badai dan topan. Masa ini ditandai dengan banyaknya permasalahan yang dialami oleh individu dan mempengaruhi pola pikir serta bagaimana remaja berperilaku.
Hurlock (1994) menyatakan bahwa ciri-ciri masa puber adalah 1) masa puber adalah masa tumpang tindih, 2) masa puber adalah periode yang singkat, 3) masa puber merupakan masa pertumbuhan yang sangat pesat, 4) masa puber merupakan fase negatif, dan 5) pubertas terjadi pada berbagai tingkatann usia. Penjelasan keterangan di atas adalah sebagai berikut:
1) masa puber adalah masa tumpang tindih, masa puber merupakan masa peralihan dari usia anak-anak untuk memasuki masa remaja. Pada masa ini individu mengalami suatu keadaan dimana mereka tidak mau disebut sebagai “anak-anak”, tetapi masyarakat masih belum mau menyebut mereka sebagai “remaja”. Kondisi ini memunculkan perilaku-perilaku yang tumpang tindih. Seringkali mereka berperilaku sebagaimana perilaku anak-anak pada umumnya seperti bermain, berlari-larian, berkejar-kejaran dan lain sebagainya. Tetapi di lain pihak, mereka juga memunculkan perilaku-perilaku anak usia remaja seperti kongkow-kongkow, mencoba merokok, bergerombol membentuk gank dan lain sebagainya. Anak pada usia ini melakukan usaha trial and error untuk bisa menemukan perilaku yang sesuai dengan keadaan dirinya. Jika suatu perilaku dianggap tidak pantas (terutama oleh komunitasnya) maka akan ditinggalkan, sebaliknya, jika perilaku tersebut dapat diterima oleh komunitasnya, maka perilaku tersebut akan semakin menguat.
2) masa puber adalah periode yang singkat, masa puber terjadi selama kurang lebih 2-3 tahun. Individu yang mengalami masa puber antara 1-2 tahun, maka dianggap sebagai anak yang “cepat matang”. Kaum perempuan pada umumnya lebih cepat matang jika dibandingkan dengan usia kematangan yang dimiliki oleh laki-laki. Kematangan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain gizi dan lingkungan dimana seseorang berada. Saat ini asupan gizi yang diterima oleh anak sudah sangat baik. Sumber-sumber protein yang mempercepat proses kematangan sudah semakin mudah untuk didapatkan. Anak-anak saat ini cenderung memiliki perilaku konsumtif yang lebih besar jika dibandingkan dengan kondisi 5-10 tahun yang lalu. Telur dan makanan fast food saat ini sudah bukan menjadi barang mahal, setiap individu bisa membelinya. Jika disimak lebih jauh, makanan-makanan siap saji ini memiliki kadar lemak dan protein yang tinggi, dilain pihak protein yang tinggi akan mempercepat proses kematangan seorang anak. Sehingga masa mentruasi anak perempuan seringkali menjadi lebih cepat, yang biasanya usia 10-12 tahun, saat ini telah ditemukan usia 8-10 telah mengalami menstruasi pertama.
3) masa puber merupakan masa pertumbuhan yang sangat pesat, saat seorang anak memasuki masa puber, maka akan terjadi pertumbuhan yang sangat pesat, terutama tampak pada pertumbuhan fisik. Hal ini sangat mungkin, karena pada masa puber seseorang akan melakukan aktivitas yang luar biasa banyaknya. Aktivitas yang luar biasa ini membutuhkan tenaga pendorong yaitu makanan. Dengan aktivitas yang luar biasa kemudian ditambah dengan asupan gizi yang cukup, maka pertumbuhan fisik akan semakin terlihat. Anak laki-laki akan mengalami perubahan tinggi badan yang signifikan dengan pertumbuhan-pertumbuhan ototnya. Anak perempuan akan meunjukkan perubahan ke ”samping” atau mekar.
4) masa puber merupakan fase negatif, sebagaimana dijelaskan di atas bahwa pada masa puber seorang anak seringkali berada pada kondisi ”bingung”. Suatu kondisi dimana seorang anak tidak tahu bagaimana mereka memposisikan dirinya. Kondisi ini akan membuat seorang anak mencoba perilaku-perilaku baru, yang mana perilaku ini ditujukan agar mereka memperoleh posisi yang jelas. Perilaku yang dicoba oleh anak usia puber seringkali justru meniru perilaku orang-orang dewasa, seperti merokok, membentuk gank, kongkow-kongkow sampai larut malam dan perilaku-perilaku lain yang dilakukan oleh orang dewasa. Hanya perlu diketahui bahwa fase ini hanya akan berlangsung singkat, sehingga jika mendapatkan bimbingan yang benar, maka anak tersebut tidak akan larut dalam perilaku-perilaku yang dianggap negatif oleh orang dewasa.
5) pubertas terjadi pada berbagai tingkatan usia, Hurlock menyatakan bahwa pubertas ada dasarnya adalah masa transisi. Dengan demikian, pubertas ini bisa saja terjadi pada berbagai tingkatan usia. Arti dari berbagai tingkatan usia ini pada dasarnya merupakan rentangan waktu terjadinya masa pubertas yang ditandai dengan menstruasi pertama bagi perempuan atau mimpi basah bagi laki-laki. Banyak kondisi yang bisa menyebabkan terjadinya perbedaan masa pubertas sebagaimana telah dijelaskan di atas. Perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan kita juga akan mempercepat munculnya masa pubertas.

Kebingungan akan jati diri ini salah satu penyebabnya adalah adanya perubahan-perubahan biologis yang dialaminya. Padahal perubahan-perubahan biologis ini adalah hal yang alami. Seringkali remaja tidak bias menerima keadaan dirinya sendiri karena mereka menganggap bahwa pertumbuhan dirinya tidak sama dengan remaja lain. Ironisnya, orang tua atau lingkungan juga mendukung. Menurut beberapa penelitian di luar negeri (data di Indonesia belum ada) disebutkan sebagai berikut:

Tabel 2. Gambaran mengenai penyebaran perkembangan biologis seksual
Pertumbuhan/
Perkembangan Perempuan Laki-laki
Permulaan Penyebaran Permulaan Penyebaran
Payudara 8 - 13 8 - 18 - -
Testis dan Skrotum - - 9,5 – 13,5 9,5 – 17
Menarche/Haid 10 10 – 16,5 - -
Ejakulasi (mimpi basah) - - 13,5 ?
Penis - - 10,5 – 14,5 10,5 – 16,5
Rambut kemaluan 10,25 11,25-13,25 12,25 12,25-13,25
Suara 13 13 - 16 13 13 – 16
Rambut ketiak 12,75 12,75-14,75 14,25 14,25-14,75
Rambut muka - - 15,25 15,25 - 16
Rambut dada - - Biasanya setelah 16 thn
Percepatan pertumbuhan 9,5 - 12 9,5 – 14,5 10,5 - 14 10,5 – 17,5
Diadopsi dari: Psikologi perkembangan, Monks., Knoers., Haditono. 1991: 228.

Batasan remaja saat ini juga semakin kabur. Kekaburan ini muncul karena peran remaja di masyarakat yang semakin menonjol terutama di negara yang sedang berkembang (developing countries). Di masyarakat, seringkali ditemukan para pekerja adalah mereka yang mempunyai usia antara 15 sampai dengan 18 tahun, dimana ada anggapan bahwa jika seseorang sudah bekerja, maka mereka dapat dikatakan sebagai orang dewasa.
Sebagai individu yang berada pada posisi marginal, remaja pada akhirnya mempunyai pola pikir yang oleh sebagian orang dikatakan tidak logis, tidak dapat diterima dengan akal sehat dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan remaja berpikir dalam konteks “dunianya”. Dunia yang serba ingin cepat, radikal bahkan seringkali melawan arus atau norma-norma yang berlaku di masyarakat. Sebagai contoh, peristiwa tawuran antar remaja. Mereka berpikir bahwa penyelesaian masalah sebaiknya dilakukan dengan cepat, jika perlu dengan adu phisik dengan kata lain remaja masih mengutamakan kekuatan phisiknya daripada kekuatan afektifnya.
Dari ciri-ciri yang telah disebutkan di atas, tampak bahwa masa remaja didominasi oleh keinginan untuk mengeksplorasi diri.Kecenderungan ini mengakibatkan remaja lebih sering terlihat dalam situasi-situasi yang membutuhkan kegiatan-kegiatan yang memungkinkan penampakan kegiatan phisik. Dengan demikian, kita sebagai pembimbing hendaknya menyadari akan kebutuhan remaja atau siswa didik kita, sehingga pada akhirnya kita dapat memberikan strategi pembeajaran atau metode pembelajaran yang sesuai dengan karakterstik remaja pada umumnya.

MASA DEWASA
Hurlock (1994) menyatakan bahwa dewasa berasal dari istilah adultus, yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa, sehingga orang dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap untuk menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya.
Untuk membatasi rentangan umur usia dini, saat ini masih belum terjadi kesamaan pendapat. Hurlock menyatakan bahwa di Amerika pada tahun 1990-an orang diang dianggap dewasa jika talah mencapai usia 21 tahun yang kemudian dirubah menjadi usia 18. Di Indonesia sendiri juga masih belum jelas. Ada kemungkinan masih mempergunakan batasan umur seperti yang terjadi di Amerika pada dekade tahun 90-an yaitu 21 tahun. Tetapi, jika seseorang telah menikah, walaupun umurnya di bawah 21 tahun, maka mereka dianggap telah dewasa.
Haditono, dkk (1991) menunjukkan beberapa ciri psikologis individu yang telah dianggap dewasa. Adapun ciri-ciri tersebut adalah:
1. Adanya usaha pribadi pada salah satu lapangan yang penting dalam kebudayaan yaitu pekerjaan, politik, agama, kesenian dan ilmu pengetahuan;
2. Kemampuan untuk mengadakan kontak yang hangat dalam hubungan-hubungan yang fungsional maupun yang tidak fungsional;
3. Suatu stabilitas batin yang fundamental dalam dunia perasaan dan dalam hubungan dengan penerimaan diri sendiri;
4. Pengamatan, fikiran dan tingkah laku menunjukkan sifat realitas yang jelas, namun masih ada relativismenya juga;
5. Dapat melihat diri sendiri seperti adanya dan juga dapat melihat segi-segi kehidupan yang menyenangkan; dan
6. Menemukan suatu bentuk kehidupan yang sesuai dengan gambaran dunia, atau filsafat hidup yang dapat merangkum kehidupan menjadi suatu kesatuan.

Lebih lanjut, Hurlock (1994) memberikan beberapa ciri masa dewasa dini sebagai berikut:
1. Masa dewasa dini sebagai masa ”pengaturan”
Sebagai proses dari kematangan hormon-hormon seksual, maka individu akan berusaha untuk mencari “pacar”. Pada masa ini, baik laki-laki maupun perempuan akan berusaha untuk mencari pasangan masing-masing. Dalam tahap ini mereka akan mengatur diri mereka untuk bisa menerima dan diterima oleh orang lain, terutama pasangan hidupnya. Mereka mulai mengatur diri mereka sendiri, yang tentu saja disesuaikan dengan calon pasangan hidupnya.
Sejalan dengan usaha untuk menemukan pasangan hidup ini, seseorang akan mulai mengatur dirinya untuk bisa mendapatkan jenis-jenis pekerjaan yang layak. Layak dalam hal ini adalah yang mampu menghasilkan uang yang dapat dipergunakan sebagai bekal meneruskan kehidupan berumah tangga. Sehingga, tidak jarang pada usia ini, seseorang seringkali melkukan kegiatan berpindah jenis pekerjaan. Tetapi, jika jenis pekerjaan tersebut sudah dianggap mencukupi, maka mereka akan cenderung menetap terhadap pekerjaan tersebut.

2. Masa dewasa dini sebagai “usia reproduktif”
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa usia dewasa dini adalah suatu tahap dimana hormon-hormon dan organ reproduksi telah berkembang dan tumbuh dengan matang. Sehingga, tahapan berikutnya adalah melakukan kegitan reproduksi. Dalam budaya timur, seringkali tahapan reproduksi ini dilakukan setelah seseorang memperoleh pekerjaan tertentu atau setelah mereka selesai mengikuti pendidikan di Perguruan Tinggi, walaupun ada juga yang tidak.

3. Masa dewasa dini sebagai “masa bermasalah”
Setelah individu melewati masa remaja yang penuh dengan masalah, selanjutnya mereka akan memasuki suatu tahapan yang penuh dengan masalah pula. Pada masa remaja, seringkali masalah yang timbul adalah bagaimana mengenal diri mereka sendiri sehingga dapat memposisikan mereka dalam pergaulan dengan teman sebaya.
Saat individu memasuki masa dewasa dini, individu akan mengalami masalah-masalah seperti menyelesaikan perkuliahan, mencari pekerjaan dan mencari jodoh. Mencari pekerjaan bukan perkara yang mudah bagi sebagian individu. Karena dalam budaya tertentu, mendapatkan pekerjaan yang layak akan menjadi simbol bahwa seseorang telah dianggap dewasa. Setelah mereka mendapatkan pekerjaan, timbul masalah baru, yaitu mencari dan memilih pasangan hidup. Butuh penyesuaian yang harus dilakukan oleh dua orang dalam menentukan pilihan pasangan hidup. Setelah mereka enentukan pilihan, masalah berikutnyaadalah bagaimana menyesuaikan dua kepribadian yang berbeda dalam satu atap rumah tangga dan mungkin masih banyak lagi masalah yang tidak mungkin kami sebutkan di sini.
Hal lain terkait dengan masa bermasalah ini adalah ketidakmauan seseorang untuk membicarakan masalah yang dimiliki kepada orang lain. Ada kesan bahwa individu yang dianggap telah dewasa akan dianggap sebagai orang yang tidak dewasa jika membicarakan masalahnya kepada orang lain. Pandangan ini mungkin ada benarnya, tetapi jika seseorang menganggap bahwa masalah yang dihadapinya sudah sedemikian kompleks, maka sebaiknya segera dicari solusi.

4. Masa dewasa dini sebagai masa ketegangan emosional
Permasalahan-permasalahan yang telah disebutkan di atas, seringkali memunculkan ketegangan-ketegangan emosional seperti stress dan bahkan depresi. Ketegangan emosional ini semakin diperparah dengan perilaku individu yang tidak mau melakukan konsultasi atau konseling dengan para ahli, sehingga masalah yang pada awalnya sepele menjadi sangat berat, sehingga memunculkan depresi.

5. Masa dewasa dini sebagai masa ketegangan sosial
Permasalahan-permasalahan emosional seringkali memunculkan ketegangan-ketegangan sosial bagi individu. Dengan semakin berkembangnya perilaku-perilaku sosial yang baru, individu secara tidak sadar telah “menjauhkan” diri dengan kelompok-kelompok sosialnya terdahulu. Perilaku ini dapat memunculkan ketegangan sosial dengan kelompok yang lama, ada kesan kelompok lama tidak diperhatikan. Selanjutnya, sebagai “individu baru” mereka akan memasuki dunia yang mungkin berbeda dengan dunianya yang lama. Tentu saja saat ini dibutuhkan penyesuaian-penyesuaian diri. Proses adaptasi bukan merupakan hal mudah bagi kebanyakan individu. Proses adaptasi ini akan memunculkan ketegangan-ketegangan sosial yang perlu diwaspadai oleh individu.
Lebih lanjut, Hurlock menyatakan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi partisipasi sosial pada masa dewasa dini (yang dapat memicu ketegangan sosial) antara lain adalah: a) mobilitas sosial, b) status sosio ekonomi, c) lamanya tinggal dalam suatu kelompok tertentu, d) kelas sosial, e) lingkungan, f) jenis kelamin, g) umur kematangan sosial, h) urutan kelahiran, dan i) keanggotaan gereja.

6. Masa dewasa dini sebagai masa komitmen
Pada usia dewasa dini mulai terbentuk komitmen-komitmen yang harus dijalani oleh individu. Saat mereka menentukan salah satu pasangan hidupnya, maka mereka akan membuat komitmen untuk hidup bersama, mengatasi masalah bersama. Selain itu, saat seseorang mencari pekerjaan, maka mereka akan membuat komitmen-komitmen tertentu sebagai konsekuensi dari pekerjaan yang telah dipilihnya. Jika seseorang memilih pekerjaan sebagai tentara, maka dia akan berkomitmen bahwa pekerjaan tentara seringkali meninggalkan rumah dan keluarga untuk tugas negara, pekerjaan tentara akan berhubungan dengan peperangan dan kematian. Komitmen-komitmen ini akan dipertahankan oleh individu sebagai usaha untuk menjalankan tanggungjawab sebagai manusia dewasa.

7. Masa dewasa dini merupakan masa ketergantungan
Masa ketergantungan ini seringkali terjadi pada awal-awal masa dewasa dini. Pada satu sisi, mereka ingin sekali menjadi manusia yang indipenden, tidak seperti yang mereka alami saat masih masa remaja, tetapi di sisi lain, pada kenyataannya mereka belum siap untuk menjalani kehidupan yang mandiri. Seseorang yang baru menikah, seringkali masih meminta bantuan orang tuanya untuk mengasuh anak atau usaha untuk mengenal pasangan hidupnya. Ketergantungan ini merupakan hal yang wajar, karena proses pendewasaan diri tidak akan pernah dapat terlepas dari peran orang tua.

8. Masa dewasa dini sebagai masa perubahan nilai
Saat individu memasuki masa dewasa dini, terjadi perubahan-perubahan nilai yang selama ini diyakini. Terutama adalah nilai-nilai kemandirian dan kebebasan. Individu akan semakin memantabkan nilai-nilai yang menjadi miliknya. Hal ini sangat mungkin, karena selama masa remaja, mereka sulit sekali untuk mengembangkan nilai-nilai dirinya karena masih dalam kontrol orang tua. Sehingga yang terjadi adalah pembentukan nilai yang didasarkan pada nilai-nilai yang dimiliki oleh orang tua.
Saat mereka telah lepas dari orang tua, maka mereka akan mengembangkan dan memilih nilainilai yang cocok dengan keadaan dirinya. Mereka cenderung untuk melakukan eksplorasi nilai-nilai yang selama ini dimiliki, sehingga terbentuklah suatu pribadi utuh dengan nilai-nilai yang lebih matang. Saat mereka mencari pasangan hidup, tentu saja nilai-nilai yang berlaku pada individu akan tercermin pada karakteristik pasangannya, yang kemudian, setelah mereka menjalani hidup bersama maka mereka akan menentukan nilai-nilai baru bagi keluarga yang telah dibentuk.

9. Masa dewasa dini sebagai masa penyesuaian diri dengan cara hidup baru
Pada masa ini seseorang akan dihadapkan dengan pasangan hidup baru dan lingkungan hidup yang beru pula. Tentu saja hidup dengan pasangan ini membutuhkan penyesuaian diri antara satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan dua orang ini berasal dari individu yang berbeda yang memiliki komitmen bersama untuk membina sebuah rumah tangga. Penyesuaian ini antara lain penyesuaian gaya hidup, penyesuaian sikap, penyesuaian perilaku dan masih banyak lagi.
Selain proses penyesuaian diri, di antara individu tersebut juga melakukan penyesuaian dengan keadaan lingkungan yang baru. Lingkungan ini seperti lingkungan keluarga, baik dari pihak laki-laki atau pihak perempuan. Proses penyesuaian ini membutuhkan waktu yang relatif lama, sehingga dibutuhkan komitemen yang kuat diantara pasangan hidup tersebut.
Hal ketiga terkait dengan menyesuaian cara hidup baru adalah pasangan ini akan melakukan peran yang berbeda dari sebelumnya. Laki-laki akan berperan sebagai suami dan ayah sedangkan perempuan akan berperan sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya. Perkembangan keluarga ini tentu membutuhkan cara-cara baru yang harus dilakukan dan disepakati oleh banyak pihak di dalam keluarga tersebut.

10. Masa dewasa dini sebagai masa kreatif
Kreativitas individu pada usia dewasa dini mulai menunjukkan titik yang optimal. Salah satu penyebabnya adalah dimilikinya kemandirian. Saat mereka masih dalam usia remaja, seringkali kreativitas mereka terhalang oleh perilaku orang tua yang sering melarang pemenuhan minat dan bakat mereka. Dalam budaya tertentu, seringkali orang tua melarang anak untuk melakukan kegiatan tertentu karena dipandang sebagai suatu perilaku yang “tidak pantas”.
Saat sesorang telah mengalami suatu masa kemandirian, justru kreativitas tersebut bisa muncul karena tidak adanya “larangan”. Individu lebih mudah untuk mengekspresikan dirinya baik dalam bentuk hobby maupun pekerjaan. Seseorang lebih terdorong untuk melakukan sesuatu, terutama yang dapat mencukupi kebutuhannya pribadi dan keluarga yang dibinanya.
Lebih lanjut, Hurlock menyebutkan beberapa kondisi yang mempengaruhi perubahan minat pada masa dewasa dini sebagai berikut: a) perubahan dalam kondisi kesehatan, b) perubahan dalam status ekonomi, c) perubahan dalam pola kehidupan, d) perubahan dalam nilai, e) perubahan peran seks, f) perubahan dari status belum menikah ke status menikah, g) menjadi orang tua, h) perubahan kesenangan, dan i) perubahan dalam tekanan-tekanan budaya dan lingkungan.

Berdasar pada ciri-ciri masa dewasa yang telah disebutkan di atas, Hermans (dalam Hurlock, 1994) menyimpilkan bahwa pada masa dewasa terdapat tema-tema kehidupan yang harus diselesaikan (accomplished) oleh seseorang yaitu:
1. mempertahankan pekerjaan
2. membangun dan mempertahankan kebahagiaan keluarga
3. konfrontasi dengan ketidaksempurnaan kehidupan
4. konfrontasi dengan sifat yang selaluu sama
5. pengambilan distansi; dan
6. memahami ketidaklanggengan kehidupan

SIMPULAN
1. Rentangan kehidupan individu memiliki tugas perkembangan dan pertumbuhan tertentu
2. Setiap tugas perkembangan dan pertumbuhan memiliki permasalahan-permasalahan yang spesifik yang tidak bisa disamakan antara satu individu dengan individu yang lain
3. Setiap permasalahan yang dimiliki oleh individu pada tiap periode berpotensi memunculkan masalah
4. Setiap masalah yang spesifik membutuhkan bantuan yang spesifik pula
5. Bantuan yang spesifik hanya dapat dilakukan oleh profesional tertentu.

REFERENSI
Gunarsa, Singgih. 2001. Psikologi Praktis: anak, remaja dan keluarga. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Hurlock, Elizabeth. 1994. Psikologi Perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Kartono, Kartini. 1995. Psikolologi Anak: psikologi perkembangan. Bandung: Mandar Maju

Monks., Knoers., Haditono, Siti, Rahayu. 1991. Psikologi Perkembangan: pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Nasution, S. 2003. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar. Jakarta: Bina Aksara.

Setyosari, Punaji. 1997. Model Belajar Konstruktivistik. Sumber Belajar: kajian teori dan aplikasinya. Tahun 4 Nopember 1997.

BOY SOEDARMADJI: Konseling

BOY SOEDARMADJI: Konseling

BOY SOEDARMADJI: Teori Karir Anne Roe

BOY SOEDARMADJI: Teori Karir Anne Roe

BOY SOEDARMADJI: konseling kedaerahan

BOY SOEDARMADJI: konseling kedaerahan

BOY SOEDARMADJI: Studi Kasus

BOY SOEDARMADJI: Studi Kasus

BOY SOEDARMADJI: Media BK

BOY SOEDARMADJI: Media BK

Jumat, 05 September 2008

BK pada setting sekolah

PELAKSANAAN BIMBINGAN DAN KONSELING
PADA SETTING SEKOLAH

Boy Soedarmadji

A. Latar Belakang
Pelaksanaan bimbingan dan konseling telah dirintis sejak tahun 1960-an dan dilaksanakan secara serempak di sekolah sejak tahun 1975, yaitu saat diberlakukannya kurikulum ’75. Pada saat itu istilah yang diperkenalkan dan dipergunakan adalah Bimbingan dan Penyuluhan (BP). Istilah tersebut pada akhirnya memunculkan suatu sebutan bagi pelaksanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah dengan sebutan guru BP.
Perkembangan dunia bimbingan dan konseling di Indonesia mengalami proses yang berliku, hingga pada tahun 1994, melalui kurikulum 1994, istilah Bimbingan dan Penyuluhan mulai diganti dengan istilah Bimbingan dan Konseling (BK). Perubahan mendasar dari istilah “penyuluhan” menjadi “konseling” didasari pada paradigma bahwa konselor tidak melakukan penyuluhan yang mempunyai konotasi sebagai pekerja lapangan (mis: penyuluh pertanian atau penyuluh KB), tetapi lebih pada usaha membantu Konseli/siswa sesuai dengan karakter siswa yang bersangkutan. Siswa lebih dihargai untuk dapat menyelesaikan masalahnya sendiri. Dengan demikian, istilah guru BP dirubah menjadi guru BK.
Menurut SK Menpan no. 84/1993 tentang jabatan fungsional guru dan angka kreditnya, pada pasal (3) disebutkan bahwa tugas pokok guru pembimbing adalah menyusun program bimbingan, melaksanakan program bimbingan, evaluasi pelaksanaan bimbingan, analisis hasil pelaksanaan bimbingan dan tindak lanjut dalam program bimbingan terhadap peserta didik yang menjadi tanggungjawabnya.
Pada tahun 2003, terjadi perubahan mendasar terhadap pelaksana bimbingan dan konseling di sekolah. Menurut Undang-undang nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I pasal 1 ayat (4) dinyatakan bahwa pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor … . Dengan demikian penggunaan istilah guru BK di lingkungan sekolah akan berubah menjadi konselor sekolah. Paradigma ini mengacu pada pelaksana konseling adalah konselor. Dengan kata lain bahwa konselor termasuk salah satu tenaga pendidik.
Bimbingan dan konseling di sekolah merupakan satu kesatuan (integral) dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah (Munandir:1993). Dengan kata lain bahwa pelaksanaan pendidikan atau pembelajaran di sekolah akan mempunyai ketergantungan yang timbal balik antara proses belajar klasikal di kelas dengan bantuan bimbingan dan konseling.
Kesatuan ini tampak dalam pelaksanaan pembelajaran di lapangan. Pembelajaran yang berorientasi kognitif secara umum telah dilakukan oleh guru bidang studi di kelas. Guru mata pelajaran memberikan bahan atau materi pembelajaran kepada siswa dengan penekanan-penekanan pada bidang kognitif. Peranan guru BK pada tahap ini adalah menyeimbangkan antara kekuatan kognitif dan afektif yang dimiliki siswa.
Seringkali kita temui bahwa siswa mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan segala bentuk tugas yang diberikanoleh guru bidang studi. Tetapi pada saat mereka dihadapkan untuk menentukan pilihan masa depan atau mengambil keputusan tentang masa depannya, mereka mengalami kesulitan yang luar biasa. Mereka dihadapkan pada banyak pilihan serta konflik-konflik batin. Pada saat inilah peranan guru BK akan tampak semakin nyata. Konselor sekolah akan membantu siswa dalam mengatasi masalah-masalah yang timbul sesuai dengan karakteristik siswa yang bersangkutan.
Permasalahan yang dihadapi siswa tidak bisa diselesaikan dengan mempergunakan kekuatan kognitif atau logika berpikir semata. Seringkali permasalahan yang muncul adalah kerena pertentangan emosi (afeksi) siswa. Sebagai contoh, masalah penjurusan tidak bisa diselesaikan hanya dengan melihat hasil kogitif siswa melalui nilai rapor, tetapi juga melihat kepribadian, minat, bakat dan keadaan lingkungan siswa tersebut. Di sini terlihat perspektrum yang semakin luas untuk dapat menyelesaikan masalah siswa secara tuntas.
Permasalahan yang diuraikan di atas merupakan permasalahan yang sifatnya khusus terjadi pada dunia pendidikan. Secara umum Nurihsan (2003) menyebutkan beberapa masalah umum yang terjadi di sekitar kita akibat berkembangnya isu globalisasi sebagai berikut, (1) keresahan hidup di kalangan masyarakat yang semakin meningkat karena banyaknya konflik, stres, kecemasan dan frustrasi, (2) adanya kecenderungan pelanggaran disiplin, kolusi, korupsi, makin sulit diterapkannya ukuran baik-jahat dan benar-salah secara lugas, (3) adanya ambisi kelompok yang dapat menimbulkan konflik, tidak saja konflik psikis tapi juga konflik phisik dan (4) pelarian dari masalag melalui jalan pintas yang bersifat sementara dan adiktif seperti penggunaan obat-obatann terlarang (drugs). Permasalahan tersebut pada akhirnya membutuhklan bantuan layanan bimbingan dan konseling, terutama di setting sekolah.
Akibat lain dari adanya globalisasi adalah meningkatnya “virus” informasi baru (Prayitno & Amti, 1999). Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini terlalu banyak informasi baru yang muncul di sekitar kita. Suatu masalah belum terselesaikan dengan baik muncul lagi masalah yang lebih baru dan lebih membutuhkan penanganan yang khusus. Sebagai contoh informasi mengenai telepon genggam (HP). Pada saat yang bersamaan dapat muncul 4 model HP di masyarakat. Belum selesai kita analisa dengan mantap, sudah muncul genre legi yang lebih baru dengan menawarkan hal-hal baru. Informasi ini seringkali membuat masyarakat bingung untuk memilih.
Lebih lanjut, Wibowo (2003) menyatakan bahwa pendidikan dapat memanfaatkan bimbingan dan konseling sebagai mitra kerja dalam melaksanakan tugasnya sebagai rangkaian upaya pemberian bantuan. Konseling menyediakan unsur-unsur di luar individu yang dipergunakan untuk memperkembangkan diri. Integrasi konseling dalam pendidikan juga tampak dari dimasukkannya secara terus menerus program-program konseling ke dalam program-program sekolah dengan demikian konsep dan praktek konseling merupakan bagian integral upaya pendidikan.

B. Pelaksanaan Layanan Bimbingan dan Konseling
Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di sekolah disesuaikan dengan tujuan pendidkan nasional yang termaktub dalam Sistem Pendidikan Nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga yang demokratis dan bertanggungjawab.
Sesuai dengan amanat yang tercantum dalam UU sisdiknas tersebut, maka layanan bimbingan dan konseling di sekolah melakukan fungsi-fungsi sebagai usaha pemahaman. Fungsi pemahaman meletakkan upaya upaya untuk mengenal individu secara totalitas. Artinya Konseli atau individu yang sedang dibantu perlu dipahami tentang:
1. identitas individu: nama, jenis kelamin, tempat tinggal, tanggal lahir.
2. pendidikan
3. status perkawinan (bagi klein dewasa)
4. status sosial-ekonomi
5. kemampuan (bakat, minat, hobby)
6. kesehatan
7. kecenderungan sikap atau kebiasaan
8. cita-cita pendidikan dan pekerjaan
9. keadaan lingkungan tempat tinggal
10. kedudukan danprestasi yang pernah dicapai
11. kegiatan sosial dankemasyarakatan.
Fungsi kedua adalah preventif yaitu mencoba untuk mencegah munculnya permasalahan-permasalahan yang dialami oleh siswa. Tindakan pencegahan ini seringkali dilakukan dengan memberikan layanan orientasi dan informasi kepada siswa di sekolah.
Fungsi ketiga adalah melakukan tindakan kuratif, yaitu melakukan tindakan penangan terhadap siswa-siswa yang mengalami masalah di sekolah. Permasalahan siswa di sekolah dapat muncul dari diri pribadi siswa itu sendiri atau muncul karena akibat berhubungan dengan lingkungan di luar diri mereka sendiri. Pada fungsi terapi ini, dipergunakan berbagai macam pendekatan bimbingan dan konseling. Konselor memberikan upaya bantuan kepada siswa sesuai dengan karakteristik mereka masing-masing.
Fungsi keempat adalah follow up atau tindak lanjut, yang merupakan usaha konselor untuk menjaga agar siswa baik yang bermasalah atau yang tidak bermasalah dapat terjada kesejahteraannya. Bagi mereka yang telah dapat menangani masalahnya sendiri, maka konselor berupaya untuk membantu mereka agar dapat menyelesaikan masalahnya yang lain sesuai dengan hasil atau pengalaman yang telah di dapat selama konseling.

1. Bidang BK
a. Bimbingan Pribadi-Sosial
Bimbingan pribadi-sosial dilaksanakan untuk memberikan bantuan kepada siswa yang mengalami masalah-masalah yang berhubungan dengan keadaan pribadi serta hubungan sosialnya. Seringkali masalah siswa muncul bukan karena mereka mengalami kesulitan dalam melakukan hubungan sosial dengan lingkungan di sekitarnya, tetapi seringkali karena mereka tidak mampu mengenal dan memahami diri mereka sendiri. Nurihsan (2003) menyatakan bahwa bimbingan sosial-pribadi diarahkan untuk memantapkan kepribadian danmengembangkan kemampuan individu dalam menangani masalah-masalah dirinya.
Bidang bimbingan sosial (dalam Soenarjo, 2004) di tingkat SMA meliputi materi sebagai berikut:
1. pemantapan kemampuan berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan secara efektif, efisien dan produktif;
2. pemantapan kemampuan menerima dan mengemukakan pendapat serta beragumentasi secara dinamis dan kreatif;
3. pemantapan kemampuan bertingklah laku dan berhubungan sosial, baik di rumah, di sekolah, di tempat latihan/kerja/unit produksi maupun di masyarakat luas dengan menjunjung tinggi tata krama, sopan santun, serta nilai-nilai agama, adat istiadat, hukum, ilmu dan kebiasaan yang berlaku;
4. pemantapan hubungan yang dinamis, harmonis dan produktif dengan teman sebaya, baik di sekolah yang sama, di sekolah lain, di luar sekolah, maupun di masyarakat pada umumnya;
5. pemantapan pemahaman tentang peraturan, kondisi rumah, sekolah dan lingkungan serta upaya pelaksanaannya secara dinamis dan bertanggungjawab; dan
6. orientasi tentang kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

b. Bimbingan Akademik/Belajar
Bimbingan diberikan kepada siswa baik yang bermasalah atau tidak bermasalah terhadap proses akademik di sekolah. Konselor memberikan tindakan preventif kepada semua siswa agar terhindar dari masalah yang akan muncul selam amenempuh pendidikan di tingkat pendidikan tertentu. Sebagai tindakan preventif, konselor sekolah dapat memberikan layanan orientasi dan informasi mengenai keseluruhan proses pendidikan di sekolah yang bersangkutan. Hal-hal yang perlu diperkenalkan kepada siswa antara lain; pengenalan terhadap kurikulum yang berlaku di sekolah, waktu belajar, pengenalan cara belajar, penggunaan sumber belajar di sekolah serta bagaimana menyusun rencana karir (Nurihsan, 2003).
Tindakan kuratif diberikan kepada siswa yang mengalami masalah dengan proses pembelajaran di sekolah. Tindakan kuritif ini seringkali dilakukan oleh konselor dengan melakukan kerja sama dengan guru bidang studi untuk membantu siswa-siswa yang bermasalah. Dalam hal ini, tugas terpenting konselor adalah mengidentifikasi sebab-sebab permasalahan dan dampak psikologisnya serta memberikan treatment kepada siswa sesuai dengan kebutuhan siswa.
Bidang bimbingan belajar (dalam Soenarjo, 2004) di tingkat SMA meliputi materi sebagai berikut:
1. Pemantapan sikap, kebiasaan dan keterampilan belajar yang efektif dan efisien serta produktif, dengan sumber belajar yang lebih bervariasi;
2. Pemantapan disiplin belajar dan berlatih baik secara mandiri maupun berkelompok;
3. Pemantapan penguasaan materi program belajar keilmuan, teknologi dan atau seni di SMA dan penerapannya, serta sebagai persiapan untuk mengikuti pendidikan yang lebih tinggi;
4. Pemantapan pemahaman dan pemanfaatan kondisi fisik, sosial dan budaya di lingkungan sekolah, dan atau alam sekitar serta masyarakat untuk pengembangan diri; dan
5. Orientasi belajar untuk pendidikan tambahan dan pendidikan yang lebih tinggi.

c. Bimbingan Karir
Bimbingan karir merupakan bantuan yang diberikan kepada individu atau siswa agar mereka dapat merencanakan, mengembangkan dan memecahkan masalah-masalah yang berhubungan dengan karir seperti pemahaman terhadap jabatan dan tugas kerja, pemahaman terhadap kondisi dan kemampuan diri, pemahaman kondisi lingkungan, perencanaan dan pengembangan karir, penyesuaian pekerjaan dan pemecahan masalah-masalah karir yang dihadapi (nurihsan, 2003).
Bidang bimbingan karir (dalam Soenarjo, 2004) di tingkat SMA meliputi materi sebagai berikut:
1. Pemantapan pemahaman diri berkenaan dengan kecenderungan karir yang hendak dikembangkan;
2. Pemantapan orientasi dan informasi karir pada umumnya, khususnya karir yang hendak dikembangkan;
3. Orientasi dan informasi terhadap dunia kerja dan usaha memperoleh penghasilan untuk memenuhi kebutuhyan dan tuntutan hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
4. Pengenalan berbagai lapangan kerja yang dapat dimasuki setelah lulus SMA;
5. Orientasi dan informasi terhadap pendidikan tambahan dan pendidikan yang lebih tinggi, khususnya sesuai dengan karir yang hendak dikembangkan; dan
6. Khusus untuk sekolah kejuruan: pelatihan diri untuk keterampilan kejuruan khusus pada lembaga kerja (perusahaan, industri) sesuai dengan program kurikulum sekolah menengah kejuruan yang bersangkutan.

2. Satuan Layanan BK
a. Layanan Orientasi
Layanan orientasi mempunyai fungsi sebagai usaha pengenalan lingkungan sekolah sebagai lingkungan yang baru bagi siswa. Pengenalan-pengenalan lain yang dapat diberikan kepada siswa seperti kurikulum baru yang diterapkan sekolah, waktu proses belajar di sekolah. Pelaksanaan layanan orientasi ini berdasar pada anggapan bahwa memasuki lingkungan baru dan mengadakan penyesuaian bukanlah hal yang mudah (Prayitno & Amti, 1999).
Apabila diibaratkan seseorang yang akan membangun sebuah rumah, maka mereka perlu mengenal lingkungan baru tersebut. Seringkali mereka “buta” terhadap keadaan sekitarnya misalnya tentang dimana memperoleh bahan bangunan yang murah? Dimana mereka bisa mendapatkan bahan makanan? Bagaimana corak kehidupan sosial masyarakat sekitar? dan buta terhadap yang lain-lainnya. Akibat kebutaan tersebut seringkali mereka mengalami masalah dalam usaha membangun rumah.
Allan & McKean (dalam Prayitno dan Amti, 1999) menunjukkan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan layanan orientasi yaitu:
1. program orientasi yang efektif mempercepat proses adaptasi; dan juga memberikan kemudahan untuk mengambangkan kemampuan memecahkan masalah;
2. murid-murid yang mengalami masalah penyesuaian ternyata kurang berhasil di sekolah
3. anak-anak dari kelas sosial sosio-ekonomi yang rendah memerlukan waktu yang lebih lama untuk menyesuaikan diri daripada anak-anak dari kelas sosio-ekonomi yang lebih tinggi.
Layanan orientasi di sekolah dapat diberikan dengan memberikan materi layanan orientasi sekolah sebagai berikut (Prayitno & Amti, 1999):
1. Sistem penyelenggaraan pendidikan pada umumnya;
2. kurikulum yang ada;
3. penyelenggaraan pengajaran;
4. kegiatan belajar siswa yang diharapkan;
5. sistem penilaian, ujian, dan kenaikan kelas;
6. fasilitas dan sumber belajar yang ada;
7. fasilitas penunjang;
8. staf pengajar dan tata usaha;
9. hak dan kewajiban siswa;
10. organisasi siswa;
11. organisasi orang tua siswa; dan
12. organisasi sekolah secara menyeluruh.

b. Layanan Informasi
Layanan informasi merupakan layanan yang seringkali dilakukan oleh konselor sekolah. Layanan ini dilakukan oleh konselor dengan melakukan tatap muka dengan siswa di dalam kelas, dimana konselor memberikan informasi-informasi yang berkaitan dengan kebutuhan siswa selama menempuh pendidikan. Layanan informasi ini bertujuan agar siswa yang mendapatkan informasi bisa menambah wawasan dan bila perlu dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil keputusan bagi siswa (Arsitun, 2004).
Menurut Prayitno dan Amti (1999) layanan informasi membicarakan tiga jenis informasi yaitu (a) informasi pendidikan, (b) informasi jabatan dan (c) informasi sosial-budaya.

c. Layanan Pengumpulan data
Layanan pengumpulan data merupakan suatu proses pengumpulan keseluruhan data siswa. Dalam layanan ini konselor mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan kondisi pribadi, kondisi keluarga, minat, bakat serta kemampuan yang dimiliki oleh siswa.
Data yang terkumpul akan didokumentasikan secara tertib dan dipergunakan oleh konselor untuk membantu siswa dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi selama menempuh pendidikan di sekolah.
Data-data yang perlu dikumpulkan oleh konselor sekolah meliputi beberapa hal (prayitno & Amti, 1999) yaitu:
1. identitas pribadi
2. latar belakang rumah dan keluarga
3. kemampuan mental, bakat dan kondisi kepribadian
4. sejarah pendidikan, hasil belajar, nilai-nilai mata pelajaran
5. hasil tes diagnostik
6. sejarah kesehatan
7. pengalaman ekstrakurikuler dan kegiatan di luar sekolah
8. minat dan cita-cita pendidikan dan pekerjaan/jabatan
9. prestasi khusus yang pernah diperoleh.
Lebih lanjut diungkapkan bahwa hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menghimpun data adalah:
1. materi yang dikumpulkan harus akurat dan lengkap
2. data individu sebaiknya selalu bertambah dan berkembang
3. data yang dikumpulkan disusun dalam format-format yang teratur menurut sistem tertentu
4. data yang terkumpul bersifat rahasia

d. Layanan penempatan dan penyaluran
Layanan penempatan diberikan kepada Konseli untuk membantu mereka dalam menempatkan diri sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan selama menempuh proses pendidikan. Layanan penempatan dapat berupa menempatkan siswa dalam posisi tertentu di kelas, menempatkan siswa dalam pemilihan kegiatan ekstrakurikuler serta menempatkan siswa dalam program penjurusan di sekolah. Kegiatan ekstrakurikuler di sekolah biasanya menempatkan siswa pada kegiatan seperti Palang merah Remaja (PMR), Kepecinta Alaman, Pramuka dan lain sebagainya.

e. Konseling
Konseling merupakan jantung hati pelaksanaan bimbingan di sekolah. Dikatakan sebagai jantung hati program bimbingan karena konseling ini dilakukan setelah proses bimbingan diberikan kepada siswa. Konseling ini diberikan kepada siswa apabila permasalahan yang dihadapi oleh siswa sudah memunculkan perubahan perilaku yang negatif atau Konseli mengalami gangguan emosi ringan.
Konseling merupakan suatu proses bantuan yang diberikan oleh konselor profesional kepada Konseli untuk membantu memecahkan masalah Konseli, dimana keputusan berada di tangan Konseli. Menilik definisi tersebut, tampak bahwa konseling bukan kegiatan yang bisa dilakukanoleh semua orang. Konseling hanya dapat dilakukan oleh konselor yang profesional, yaitu mereka yang telah menempuh jenjang pendidikan tertentu.

f. Layanan Referal
Referal merupakan suatu tindakan alih tangan kasus. Pengalihan penanganan masalah Konseli merupakan sesuatu yang wajar, terlebih jika kita melihat kompetensi konselor. Referal ini dilakukan oleh konselor sekolah karena beberapa sebab, antara lain karena (1) Konseli tidak menunjukkan kemajuan (progress) yang positif selama dilakukan proses konseling, (2) kemampuan/kompetensi konselor tidak mengijinkan mereka untuk membantu menyelesaikan masalah Konseli.

g. Layanan evaluasi dan tindak lanjut
Evaluasi dan tindak lanjut merupakan serangkaian layanan dalam proses bimbingan yang berusaha untuk menilai kinerja konselor dan staf serta menilai keberhasilan program bimbingan dan konseling yang telah dibuat. Dari hasi evaluasi ini selanjutnya akan ditindak lanjuti dengan pembuatan atau pengembangan program bimbingan dan konseling selanjutnya. Metode evaluasi yang dipakai antara lain metode SWOT (Strenghten, Weakness, Opportunity and Threatness) atau metode CIPP (Contex, Input, Process dan Product).

C. Kurikulum Berbasis Kompetensi
Pada tahun 2004 ini mulai diperkenalkan kurikulum pendidikan yang baru dengan sebutan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) atau (Competency Based Curriculum). Rencananya kurikulum baru ini akan dilaksanakan secara menyeluruh di Indonesia pada tahun ajaran baru 2004/2005. Pelaksanaan kurikulum KBK ini secara langsung akan berdampak pada program layanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah.
McAshan (dalam Mulyana, 2002) mengemukakan pengertian kompetensi sebagai pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya. Lebih lanjut, Finch dan Crunkilton mendefinisikan kompetensi sebagai penguasaan terhadap suatu tugas, keterampilan, sikap dan apresiasi yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan.
Depdiknas (dalam Mulyana, 2002) menyebutkan beberapa ciri atau karakteristik kurikulum berbasis kompetensi sebagai berikut:
1. Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikan;
2. Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman;
3. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi;
4. Sumber belajarbukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang mempunyai unsur edukatif; dan
5. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
Lebih lanjut, Arsitun menekankan bahwa orientasi kurikulum berbasis kompetensi adalah (1) hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna dan (2) keberagaman kondisi individu yang dimanifestasikan sesuai dengan potensi dan kebutuhannya.
Untuk mengembangkan kurikulum barbasis kompetensi pada program bimbingan dan konseling di sekolah, beberapa langkah yang harus dilakukan oleh konselor (dalam Arsitun, 2004) adalah sebagai berikut:
1. Perhatikan masing-masing tugas perkembangan siswa (SD, SMP, SMA/SMK);
2. Butir-butir tugas perkembangan diorientasikan pada empat bidang bimbingan dan konseling;
3. Butir tugas perkembangan yang sudah diorientasikan pada bidang bimbingan dan konseling kemudian dijabarkan kedalam bentuk kompetensi yang relevan;
4. Kompetensi yang disebutkan dalam butir (3) selanjutnya dipergunakan sebagai acuan untuk membuat isi layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling; dan
5. Berdasarkan materi yang ditetapkan pada langkah (4) selanjutnya dilakukan evaluasi

Selanjutnya, di bawah ini akan disajikan beberapa perbedaan mendasar antara kurikulum 1994 dengan kurikulum berbasis kompetensi. Adapun perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:
Kurikulum 1994 Kurikulum Berbasis Kompetensi
Knowledge Competency
To Know Performance
To Know
To Do
To Be
To Life Together
Informatif Development (aplikatif)
Siswa sebagai wadah Siswa sebagai bibit potensial
Sumber belajar seragam Sumber belajar beragam
Ketuntasan materi Ketuntasan kemampuan (materi sebagai tools)
Penilaian normatif (kognisi) Penilaian authentic portofolio (kognisi, afeksi dan psikomotor)



REFERENSI
Arsitun. 2004. Layanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Berbasik Kompetensi. Makalah disampaikan pada In Service Training Persiapan Implementasi KBK Bimbingan Konseling SMU dan Pembekalan di LPMP Jawa Timur. Surabaya: Depdiknas.

Arsitun. 2004. Pengembangan Bimbingan dan Konseling Standard dan Analisis Kompetensi Siswa dalam BK. Makalah disampaikan pada In Service Training Persiapan Implementasi KBK Bimbingan Konseling SMU dan Pembekalan di LPMP Jawa Timur. Surabaya: Depdiknas.

Loekmono, Lobby, JT. 1991. Tantangan Konseling. Semarang: Penerbit Satya Wacana.

Mulyasa, E. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi: konsep, karakteristik dan implementasi. Bandung: Rosdakarya.

Munandir. 1993. Masalah Mutu Pnedidikan dan Peranan Pendidikan dalam Pengembangan Sumber Daya Manusia. Pidato Pengukuhan Guru Besar IKIP Malang tanggal 18 Oktober 1993. Malang: IKIP Malang.

Nurihsan, Juntika. 2003. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Bandung: Mutiara.

Prayitno. 1987. Profesionalisasi Konseling dan Pendidikan Konselor. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.

Prayitno., Amti, erman. 1999. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta.

Rysiew, Kathy, J. 1999. Multipotentiality, Giftedness, and Career Choice: A Review. Journal of Counseling and Development. 77: 423-430.

Soenarjo, Moendisari. 2004. Wawasan dan Pengembangan Bimbingan dan Konseling. Materi Disampaikan pada In Service Training Persiapan Implementasi KBK Bimbingan Konseling SMU dan Pembekalan di LPMP Jawa Timur. Surabaya: Depdiknas.

Supriadi, Dedi. 2003. Reposisi Bimbingan dan Konseling di Tengah Lingkungan yang Berubah. Makalah disampaikan dalam Konvensi Nasional XIII Bimbingan dan Konseling di Bandung tanggal 10-13 Desember 2003.

Trusty, Jerry. 2002. Effects of High School Course-taking and Other Variables on Choice of Science and Mathematic College Majors. Journal of Counseling and Development. 80. 464-475.

Wibowo, Eddy, Mungin. 2003. Bimbingan dan Konseling dalam Sistem Pendidikan Nasional. Makalah disampaikan dalam Konvensi Nasional XIII Bimbingan dan Konseling di Bandung tanggal 10-13 Desember 2003.

Yusuf, Syamsu. 2003. Konseling Keterampilan Hidup (lifeskills counseling). Makalah disampaikan dalam Konvensi Nasional XIII Bimbingan dan Konseling di Bandung tanggal 10-13 Desember 2003.

Jumat, 28 Maret 2008

Media BK

MEDIA BIMBINGAN DAN KONSELING

Oleh: Boy Soedarmadji

A. Definisi
Seringkali kita temui dalam proses pembelajaran di kelas, guru mengalami masalah untuk memberikan pengertian kepada siswa tentang satu pokok bahasan. Guru mengeluh karena sudah seringkali diulang, tetapi siswa tidak dengan segera dapat memahami pokok bahasan tersebut. Kasus ini mengindikasikan bahwa dalam proses komunikasi antara guru dan siswa terdapat kesenjangan. Dimana kesenjangan ini muncul mungkin akibat bahan ajar yang diberikan kepada siswa kurang menarik atau mungkin media yang dipergunakan tidak sesuai dengan karakteristik bahan ajar yang diberikan.
Seringkali guru menyampaikan bahan ajar kepada siswa hanya dengan mempergunakan cara-cara yang “kuno”. Dalam arti bahwa guru hanya sebatas menjelaskan atau memberi ceramah kepada siswa. Keterbatasan metode ini akan membuat siswa merasa cepat bosan walaupun materi yang diberikan oleh guru sebenarnya sangat menarik.
Sadiman (2002) menyatakan bahwa proses pembelajaran di kelas pada dasarnya adalah proses komunikasi. Hal ini menunjukkan bahwa guru sebagai sumber informasi memiliki kebutuhan untuk menyampaikan informasi (bahan ajar) kepada siswa sebagai penerima informasi. Penyampaian informasi ini dapat melalui cara-cara biasa seperti berbicara kepada siswa, atau melalui perantara yang disebut sebagai media.
Istilah media berasal dari bahasa latin, yaitu medium yang memiliki arti perantara. Dalam Dictionary of Education, disebutkan bahwa media adalah bentuk perantara dalam berbagai jenis kegiatan berkomunikasi. Sebagai perantara, maka media ini dapat berupa koran, radio, televisi bahkan komputer. Gagne (dalam Sadiman, dkk, 2002) menyatakan bahwa media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsangnya untuk belajar. Lebih lanjut, Briggs (dalam Sadiman, dkk, 2002) menyatakan bahwa media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta merangsang siswa untuk belajar.
Definisi tersebut mengarahkan kita untuk menarik suatu simpulan bahwa media adalah segala jenis (benda) perantara yang dapat menyalurkan informasi dari sumber informasi kepada orang yang membutuhkan informasi. Lebih singkatnya, dapat disajikan pada gambar sebagai berikut:





Lebih lanjut, dalam proses pembelajaran dikenal pula istilah media pembelajaran. Suyitno (1997) menyatakan bahwa media pembelajaran adalah suatu peralatan baik berupa perangkat lunak maupun perangkat keras yang berfungsi sebagai belajar dan alat bantu mengajar. Sebagai alat bantu dalam proses pembelajaran, maka media belajar ini akan disesuaikan dengan karakteristik masing-masing bahan ajar yang akan disajikan juga memperhatikan karakteristik siswa.

B. Jenis-jenis media
Saat ini, dengan cepatnya teknologi komunikasi maka semakin banyak pula media komunikasi yang muncul. Pada pembahasan ini, media komunikasi yang dimaksud adalah media untuk membantu pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di sekolah. Beberapa media yang dimaksud adalah komputer (internet), peralatan audio seperti tape recorder dan peralatan visual seperti VCD/DVD.
1. Komputer
Perkembangan perangkat komputer saat ini mengalami kemajuan yang sangat pesat. Hampir setiap bulan muncul genre-genre baru dalam dunia komputer. Sebagai contoh adalah perkembangan prosessor sebagai otak dalam sebuah komputer mulai dari Intel Pentium 1 sampai dengan Pentium 4. Sebagian orang belum bisa menikmati kecanggihan Prosesor Pentium 4, saat ini sudah muncul Centrino bahkan Centrino Duo Core. Belum lagi sebagian orang berpikir kehebatan Centrino Duo Core, telah muncul pula AMD 690.
Pesatnya perkembangan teknologi komputer ini memang sebagai jawaban untuk akses data atau informasi. Perubahan di masyarakat yang semakin cepat pada akhirnya menuntut perkembangan teknologi komputer yang semakin canggih. Saat ini dibutuhkan akses data yang cepat, sehingga pada akhirnya prosesor yang ada juga semakin cepat.

2. Peralatan Audio
Perkembangan peralatan audio saat ini juga mengalami perkembangan yang pesat. Peralatan audio yang di pergunakan dalam proses bimbingan dan konseling seperti tape recorder. Penggunaan tape recorder ini antara lain adalah untuk merekam sesi konseling dan memutar kembali hasil-hasil yang diperoleh selama sesi konseling.
Tape recorder membutuhkan kaset untuk bisa melakukan tindakan perekaman. Kaset memiliki pita magnetik yang berfungsi untuk menyimpan data atau informasi percakapan.
Saat ini telah berkembang alat perekam yang tidak membutuhkan pita perekam. Alat ini disebut MP3 dan MP4. Pada dasarnya alat ini berfungsi sebagai player, dimana di dalam alat ini terdapat sebuah mini harddisk yang memiliki kapasitas sampai dengan 4 Gb. Sebagai sebuah player, maka alat ini dapat memainkan musik dan dapat dipergunakan untuk merekam suara.
Ukuran MP3 dan MP4 saat ini amat kecil jika dibandingkan dengan sebuah mini tape recorder biasa. Seringkali kita jumpai, alat MP3 atau MP4 seukuran sebuah spidol atau ballpoint.

3. Peralatan Visual
Alat visual dapat bermacam-macam ragamnya seperti video player dan VCD/DVD player. Pada awalnya, penggunaan peralatan visual adalah dengan mempergunakan projector. Penggunaan proyektor ini dipandang tidak efisien, karena dalam proses produksinya membutuhkan tahapan-tahapan yang panjang. Mulai dari merekam gambar sampai dengan menampilkan gambar. Bahkan seringkali dijumpai mutu gambar yang tidak bagus dan bahkan mudah rusak. Sehingga lambat laun peralatan ini mulai ditinggalkan.
Video player dulu merupakan peralatan yang lumayan banyak dipergunakan orang. Hanya saja, saat ini sudah banyak ditinggalkan karena proses produksinya tertalu berbelit. Untuk menghasilkan sebuah hasil rekaman yang baik, dibutuhkan kamera perekam yang lumayan besar dan berat, selain itu kaset yang dipergunakan juga relatif besar, sehingga dipandang tidak praktis. Terlebih, hasil rekaman seringkali tidak begitu jernih.
Peralatan visual yang sering kita jumpai antara lain adalah video player atau CD player. Peralatan ini banyak dijumpai karena memiliki tingkat pengoperasian yang mudah dan memiliki harga yang relatif murah. Penggunaan video player ini tidak akan bisa lepas dari keberadaan sebuah disc atau keping VCD/DVD. Dengan kecanggihan teknologi yang ada saat ini, proses perekaman gambar tidak perlu mempergunakan perangkat yang bermacam-macam. Saat ini telah berkembang alat perekam (handycam) yang secara langsung dapat merekam gambar langsung ke dalam keping VCD/DVD. Dengan kata lain, pengoperasian VCD/DVD ke player akan semakin mudah.

Perkembangan teknologi informasi saat ini, pada akhirnya bertujuan untuk memudahkan konsumen menikmati hiburan antau informasi dengan efisien. Hal ini pada akhirnya memunculkan perangkat-perangkat multi media. Teknologi multi media yang berkembang saat ini sudah demikian canggihnya, sehingga sehingga seringkali konsumen bingun untuk memilih teknologi apa yang akan dibeli.
Saat ini peralatan komputer yang dijumpai di pasaran pun sudah mempergunakan teknologi multi media. Dulu, komputer hanya dipergunakan sebagai alat pengolah data saja. Tetapi selanjutnya berkembang juga sebagai alat entertainment. Komputer saat ini hampir bisa dipergunakan untuk membantu segala macam permasalahan manusia, mulai dari mengolah data sampai dengan memproduksi sebuah tayangan video yang baik.

C. Manfaat Penggunaan Media dalam Konseling
Tidak dapat disangkal bahwa saat ini kita hidup dalam dunia teknologi. Hampir seluruh sisi kehidupan kita bergantung pada kecanggihan teknologi, terutama teknologi komunikasi. Bahkan, menurut Pelling (2002) ketergantungan kepada teknologi ini tidak saja di kantor, tetapi sampai di rumah-rumah.
Konseling sebagai usaha bantuan kepada siswa, saat ini telah mengalami perubahan-perubahan yang sangat cepat. Perubahan ini dapat ditemukan pada bagaimana teori-teori konseling muncul sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau bagaimana media teknologi bersinggungan dengan konseling. Media dalam konseling antara lain adalah komputer dan perangkat audio visual.
Komputer merupakan salah satu media yang dapat dipergunakan oleh konselor dalam proses konseling. Pelling (2002) menyatakan bahwa penggunaan komputer (internet) dapat dipergunakan untuk membantu siswa dalam proses pilihan karir sampai pada tahap pengambilan keputusan pilihan karir. Hal ini sangat memungkinkan, karena dengan membuka internet, maka siswa akan dapat melihat banyak informasi atau data yang dibutuhkan untuk menentukan pilihan studi lanjut atau pilihan karirnya.
Data-data yang didapat melalui internet, dapat dianggap sebagai data yang dapat dipertanggungjawabkan dan masuk akal (Pearson, dalam Pelling 2002; Hohenshill, 2000). Data atau informasi yang didapat melalui internet adalah data-data yang sudah memiliki tingkat validitas tinggi. Hal ini sangat beralasan, karena data yang ada di internet dapat dibaca oleh semua orang di muka bumi. Sehingga kecil kemungkinan jika data yang dimasukkan berupa data-data sampah.
Sebagai contoh, saat ini dapat kita lihat di internet tentang profil sebuah perguruan tinggi. Bahkan, informasi yang didapat tidak sebatas pada perguruan tinggi saja, tetapi bisa sampai masing-masing program studi dan bahkan sampai pada kurikulum yang dipergunakan oleh masing-masing program studi. Data-data yang didapat oleh siswa pada akhirnya menjadi suatu dasar pilihan yang dapat dipertanggungjawabkan. Tentu saja, pendampingan konselor sekolah dalam hal ini sangat diperlukan.
Sampsons (2000) mengungkapkan bahwa fasilitas di internet dapat dapat dipergunakan untuk melakukan testing bagi siswa. Tentu saja hal ini harus didasari pada kebutuhan siswa. Penggunaan komputer di kelas sebagai media bimbingan dan konseling akan memiliki beberapa keuntungan seperti yang dinyatakan oleh Baggerly sebagai berikut:
1. Akan meningkatkan kreativitas, meningkatkan keingintahuan dan memberikan variasi pengajaran, sehingga kelas akan menjadi lebih menarik;
2. Akan meningkatkan kunjungan ke web site, terutama yang berhubungan dengan kebutuhan siswa;
3. Konselor akan memiliki pandangan yang baik dan bijaksana terhadap materi yang diberikan;
4. Akan memunculkan respon yang positif terhadap penggunaan email;
5. Tidak akan memunculkan kebosanan;
6. Dapat ditemukan silabus, kurikulum dan lain sebagainya melalui website; dan
7. Terdapat pengaturan yang baik

Selain penggunaan internet seperti yang telah diuraikan di atas, dapat dipergunakan pula software seperti microsoft power point. Software ini dapat membantu konselor dalam menyambaikan bahan bimbingan secara lebih interaktif. Konselor dituntut untuk dapat menyajikan bahan layanan dengan mempergunakan imajinasinya agar bahan layanannya tidak membosankan.
Program software power point memberikan kesempatan bagi konselor untuk memberikan sentuhan-sentuhan seni dalam bahan layanan informasi. Melalui program ini, yang ditayangkan tidak saja berupa tulisan-tulisan yang mungkin sangat membosankan, tetapi dapat juga ditampilkan gambar-gambar dan suara-suara yang menarik yang tersedia dalam program power point. Melalui fasilitas ini, konselor dapat pula memasukkan gambar-gambar di luar fasilitas power point, sehingga sasaran yang akan dicapai menjadi lebih optimal.
Gambar-gambar yang disajikan melalui program power point tidak statis seperti yang terdapat pada Over Head Projector (OHP). Konselor dapat memasukkan gambar-gambar yang bergerak, bahkan konselor bisa melakukan insert gambar-gambar yang ada di sebuah film.
Media lain yang dapat dipergunakan dalam proses bimbingan dan konseling di kelas antara lain adalah VCD/DVD player. Peralatan ini seringkali dipergunakan oleh konselor untuk menunjukkan perilaku-perilaku tertentu. Perilaku-perilaku yang tampak pada tayangan tersebut dipergunakan oleh konselor untuk merubah perilaku klien yang tidak diinginkan (Alssid & Hitchinson, 1977; Ivey, 1971, dalam Baggerly 2002). Dalam proses pendidikan konselor pun, penggunaan video modeling ini juga dipergunakan untuk meningkatkan keterampilan dan prinsip konseling yang akan dikembangkan bagi calon konselor (Koch & Dollarhide, 2000, dalam Baggerly, 2002).
Sebelum VCD/DVD player ini ditayangkan, seorang konselor sebaiknya memberikan arahan terlebih dahulu kepada siswa tentang alasan ditayangkannya sebuah film. Hal ini sangat penting, sebab dengan memiliki gambaran dan tujuan film tersebut ditayangkan, maka siswa akan memiliki kerangka berpikir yang sama. Setelah film selesai ditayangkan, maka konselor meminta siswa untuk memberikan tanggapan terhadap apa yang telah mereka lihat. Tanggapan-tanggapan ini pada akhirnya akan mempengaruhi bagaimana klien berpikir dan bersikap, yang kemudian diharapkan akan dapat merubah perilaku klien atau siswa.

D. Kerugian Penggunaan Media dalam Konseling
Pelling (2002) menyatakan bahwa, walaupun saat ini masyarakat sangat tergantung pada teknologi, tetapi di lain pihak, masih banyak diantara kita yang mengalami ketakutan untuk mempergunakan teknologi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar masyarakat kita masih percaya bahwa pernyataan-pernyataan yang diberikan oleh orang tua atau orang yang dituakan masih dianggap lebih baik. Hal ini tidak lepas dari budaya paternalistik yang melingkupi masyarakat kita.
Sebaik apapun teknologi yang berkembang, tetapi jika pola pikir masyarakat masih terkungkung dengan nilai-nilai yang diyakini benar, maka data atau informasi yang didapat seakan-akan menjadi tidak berguna. Sebagai contoh, seorang siswa akan memilih jurusan di perguruan tinggi. Mungkin mereka akan mencari informasi sebanyak mungkin, dan konselor akan memfasilitasi keinginan mereka. Tetapi, pada saat mereka dihadapkan untuk menentukan dan memilih jurusan yang akan diambil, maka tidak jarang dari mereka akan berkata, “Saya senang dengan jurusan A, tetapi nanti tergantung pada orang tua saya”.
Contoh lain, saat ini perkembangan teknologi sudah berkembang dengan demikian pesat. Tiap manusia dapat berkomunikasi tanpa dibatasi rentang ruang dan waktu. Tetapi dalam budaya tertentu, alat komunikasi ini bisa menjadi “tidak bermanfaat”. Restu orang tua merupakan hal yang dianggap sakral oleh sebagian budaya tertentu, bahkan meminta restu ini akan lebih afdol jika dilakukan dengan melakukan sungkem. Untuk menunjukkan perilaku ini, maka seringkali mereka melupakan kecanggihan piranti komunikasi yang sudah canggih, walau jarak yang ditempuh untuk mendatangi orang tua relatif jauh.
Hal lain yang terkait dengan penggunaan media dalam bimbingan dan konseling adalah sasaran pengguna seringkali disamakan. Walaupun ragam media sudah bermacam-macam, tetapi media ini seringkali masih belum bisa menyentuh sisi afektif seseorang. Dalam bimbingan dan konseling dikenal istilah empati. Penggunaan media, seringkali pula akan “menghilangkan” empati konselor, jika konselor mempergunakan media sebagai alat bantu utama.
Klien datang ke ruang konseling tidak selalu membutuhkan informasi dari internet atau komputer, bahkan ada kemungkinan klien atau siswa datang ke ruang konseling juga tidak membutuhkan bantuan dari konselor secara langsung melalui proses konseling. Tetapi adakalanya, siswa atau klien datang ke ruang konseling hanya ingin mendapatkan senyuman dari konselor atau penerimaan tanpa syarat dari konselor.
Sebagai benda mati, peralatan teknologi yang ada saat ini hanya bisa bermanfaat jika dimanfaatkan oleh mereka yang memahami penggunaan masing-masing alat tersebut. Artinya penggunaan teknologi ini akan memunculkan efek yang baik jika dijalankan oleh mereka yang paham peralatan tersebut. Sebaliknya, peralatan ini akan memberikan dampak negatif jika pelaksananya tidak memahami dampak yang akan ditimbulkan. Banyak contoh kasus dampak negatif penyalahgunaan teknologi informasi seperti beredarnya rekaman video porno di ponsel, beredarnya video porno bajakan yang dilakukan oleh anak negeri dan lain sebagainya.

E. Simpulan
1. Media bimbingan dan konseling saat ini telah berkembang dengan pesat sesuai dengan perkembangan jaman dan kebutuhan manusia yang semakin meningkat;
2. Media bimbingan dan konseling seperti internet akan menyediakan data atau informasi yang akurat bagi siswa;
3. Hubungan konseling memerlukan empati, sehingga penggunaan media sebaiknya terbatas pada usaha perolehan data dan informasi saja;
4. Untuk mempergunakan media bimbingan dan konseling perlu diperhatikan budaya yang dimiliki oleh siswa, sehingga pemilihan media bimbingan dan konseling akan efektif;
5. Perlu pelatihan atau peningkatan kompetensi konselor dalam menguasai teknologi informasi;

F. Referensi

Baggerly, Jennifer. 2002. Practical Technological Applications to Promote Pedagogical Principles and Active Learning in Counselor Education. Journal of Technology in Counseling. Vol. 2_2.

Hartono., Soedarmadji, Boy. 2005. Psikologi Konseling. Surabaya: University Press UNIPA Surabaya.

Hohenshill, Thomas, H. 2000. High Tech Counseling. Journal of Counseling and Development. V 78: 365-368.

Menanti, Asih. 2005. Konseling Indigenous. Makalah disampaikan pada Konvensi Nasional ABKIN di Bandung 2005.

Pelling, Nadine. 2002. The Use Technology In Career Counseling. Journal of Technology in Counseling. Vol. 2_2.

Sadiman, Arief. Dkk. 2002. Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya. Jakarta: Rajawali Press.

Sampson, James, P. 2000. Using the Internet to Enchance Testing in Counseling. Journal of Counseling and Development. V 78: 348-356.

Suyitno, Imam. 1997. Pemanfaatan Media dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA). Jurnal Sumber Belajar: Kajian Teori dan Aplikasi. 4 Nopember 1997.

Konseling LB

Jumat, 22 Februari 2008

Konseling Lintas Budaya

KONSELING LINTAS BUDAYA
Oleh: Boy Soedarmadji

A. Pengantar
Sesuai dengan kodrat yang dimiliki oleh manusia bahwa manusia diciptakan sebagai individu dan mahkluk sosial. Sebagai individu, manusia diciptakan dengan mempunyai ciri yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, manusia atau individu dapat dikenali oleh orang lain dengan mengenal ciri ciri tertentu yang dimilikinya.
Sebagai mahkluk sosial, manusia merupakan bagian da¬ri masyarakat di sekitarnya. Bagian lingkungan terkecil yang mempengaruhi pola kehidupan manusia adalah keluarga (family). Setelah itu, individu tersebut mulai melakukan interaksi dengan lingkungan yang lebih luas, yaitu lingkungan masyarakat sekitarnya. Hal ini mengartikan bahwa seluruh tingkah laku manusia tidak akan lepas dari kehidupan masyarakat yang ada di sekelilingnya. Hal ini meng¬artikan pula bahwa individu tersebut hidup bersama dalam suatu kelompok masyarakat tertentu.
Dalam keadaan hidup bersama ini masyarakat menciptakan sesuatu yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup. Sesuatu yang diciptakan itu bisa berupa benda¬-benda (artifak), peraturan dan nilai nilai yang dipakai secara kolektif. Dengan mempergunakan kematangan dirinya, maka masyarakat tersebut menciptakan suatu ben¬tuk budaya tertentu. Spesifikasi budaya yang dimiliki oleh masyarakat tertentu akan berbeda dengan budaya yang dimiliki oleh masyarakat lainnya (Herr, 1999). Dengan demikian, budaya akan dapat dipakai sebagai salah satu cara untuk mengenal masyarakat tertentu (Goldenweiser, 1963; Vontress, 2002).
Pedoman hidup yang telah diciptakan itu dipakai secara bersama sama dan dilakukan secara turun temurun. Kebersamaan ini dapat dilihat dari serangkaian proses kehidupan manusia. Manusia lahir ke dunia selalu membutuhkan orang tua untuk dapat bertahan hidup. Pada usia anak anak, mereka akan mengadopsi nilai nilai yang diajarkan oleh orang tuanya tanpa ada protes yang berarti. Dalam hal ini, orang tua meletakkan dasar dasar¬ pergaulan di dalam rumah dan di masyarakat. Setelah dia menginjak masa remaja, dia mulai mengadopsi nilai nilai yang ada di masyarakat, dan selanjutnya dia akan mulai belajar untuk hidup mandiri.
Individu dalam berperilaku mengacu pada sesuatu yang diyakini baik dan dianggap benar oleh masyarakat yang ada di sekitarnya. Keyakinan ini menjadi panutan bagi masyarakat secara umum. Keyakinan ini dapat bersumber dari agama atau kesepakatan umum. Keyakinan yang berasal dari agama tidak akan dapat dirubah oleh manusia, artinya bersifat dogmatis. Tetapi, masyarakat juga menciptakan suatu keyakinan yang lebih khusus lagi, dimana keyakinan ini menjadi panutan, pedoman hidup dan diagungkan. Keyakinan yang muncul di masyarakat ini diwujudkan dalam bentuk ide ide/pemikiran (idea), tujuan tujuan tertentu (goals), serta suatu perilaku yang sifatnya sangat mendasar dan diyakini kebenarannya oleh individu (spesific behavior). Hal ini lebih dikenal dengan istilah nilai/value (Kluckhohn, 1962, Albert. 1963. Dalam Biggs, Pulvino & Beck: 19 ... ;Fraenkel, 1977).
Nilai yang dimiliki oleh seseorang akan memberikan arah bagi individu untuk mengartikan sesuatu hal yang berkenaan dengan perilaku yang akan ditampakkannya. Selain itu, nilai nilai yang dianutnya akan menjadi suatu gaya hidup individu tersebut. Dengan demikian, yang diinginkannya untuk masa depannya sudah mulai tergambar (Weinstock & O'dowd, 1970. Dalam Biggs, Pulvino Beck, 19 ).
Nilai yang dimiliki oleh individu diadopsi dari lingkungan di mana dia berada. Lingkungan terkecil dan terdekat dengan individu adalah keluarga. Individu akan menginternalisasi nilai nilai yang ada dalam keluarga. Hal hal apa saja yang dianggap baik akan diinternalisasi oleh individu tersebut. Lebih luas lagi, in¬dividu juga mengadopsi nilai nilai yang berkembang di masyarakat. Masyarakat ini merupakan tempat atau wadah bagi individu untuk melakukan sosialisasi. Adopsi nilai nilai yang berkembang di masyarakat akan di¬lakukan oleh individu. Selain dua hal tersebut, media massa (mass media) juga merupakan suatu media yang dapat dipergunakan oleh individu untuk mengadopsi nilai nilai budaya tertentu.

B. Budaya
Dalam kehidupan sehari hari, tiap individu akan ber¬usaha untuk menunjukkan siapa sebenarnya dirinya. Hal ini ditunjukkan dengan memberikan pendapat dan perilaku tertentu, bagaimana bersikap dan mungkin menunjukkan be¬berapa "keanehan" tertentu. Aktualisasi diri ini bisa ja¬di berbeda dengan apa yang selama ini dianut oleh masya¬rakat sekitarnya, tetapi seringkali pula (bahkan harus) seorang individu menampakkan perilaku sesuai dengan apa yang sering dimunculkan oleh masyarakat di mana dia berada. Kesamaan perilaku, sikap, penampilan, pendapat dan lain sebagainya itu tercermin dalam keseharian individu. Hal ini ditunjang pula dengan adanya "restu" dari masyarakat. Sehingga, tampak adanya kesamaan perilaku, sikap, pendapat antara individu, dengan masyarakat disekitarnya. Bahkan seringkali hal hal yang ditampakkan oleh individu bisa dijadikan acuan untuk mengenal dari mana individu itu berasal.
Definisi kebudayaan dapat didekati dari beberapa macam pendekatan. Pendekatan pendekatan itu seperti pendekatan antropologi, psikologi bahkan dari pendidikan. Salah satu tokoh antropologi yaitu E. B. Tylor (dalam Ahmadi, 1986; Soekanto, 1997) mendefinisikan budaya sebagai berikut, kebudayaan adalah keseluruhan yang komplek, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat dan kemampuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Para ahli antropologi lainnya, mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu bentuk perilaku, suatu hubungan atau interaksi antara manusia yang di dalamnya terdapat keyakinan, nilai nilai dan peraturan (Graves, 1986: Rose et all, 1982; Spradley, 1979; McDermot, 1980; Brislin, 1981; Linton, 1939. Dalam Herr, 1989). Kluckhohn (dalam Rosjidan:1995) mendefinisikan budaya sebagai berikut:
Budaya terdiri dari berbagai pola tingkah laku, ekspli¬sit dan implisit, dan pola tingkah laku itu (diperoleh dan dipindahkan melalui simbol, merupakan karya khusus kelompok kelompok manusia, termasuk penjelmaannya dalam bentuk hasil budi manusia; inti utama budaya terdiri dari ide ide tradisional, terutama nilai nilai yang me¬lekatnya; sistem budaya pada satu sisi dapat dipandang sebagai hasil perbuatan, pada sisi lain, sebagai penga¬ruh yang menentukan perbuatan perbuatan selanjutnya.

Lebih lanjut, tokoh pendidikan nasional kita bapak Ki Haiar Dewantara (1977) memberikan definisi budaya sebagai berikut:
Budaya berarti buah budi manusia, adalah hasil perjoa¬ngan manusia terhadap dua pengaruh yang kuat, yakni alam dan jaman (kodrat dan masyarakat), dalam mana terbukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai bagal rintangan dan kesukaran didalam hidup penghidupannya, guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan, yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.

Pendapat Ki Hajar Dewantara diperkuat oleh Soekanto (1997) dan Ahmadi (1996) yang mengarahkan budaya dari bahasa sanskerta yaitu buddhayah yang merupakan suatu bentuk jamak kata "buddhi" yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal hal yang bersangkutan dengan budi atau akal". Lebih ringkas, Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, mendefinisikan kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat
Dari definisi di atas, tampak bahwa suatu budaya tertentu akan mempengaruhi kehidupan masyarakat tertentu (walau bagaimanapun kecilnya). Dengan demikian, Suatu hasil budaya kelompok masyarakat tertentu akan dianggap lebih tinggi dan bahkan mungkin lebih diinginkan. Hal ini dilakukan agar kelompok masyarakat tertentu itu memiliki derajat atau tingkatan yang lebih baik dari "tetangganya".
Nilai selalu berhubungan dengan hal hal yang bersifat baik atau buruk, bagus atau jelek, positif atau negatif, indah atau buruk. Karena nilai berkaitan erat dengan keyakinan yang dimiliki oleh individu, maka hal tersebut akan terkait pula dengan bagaimana individu mengadopsi nilai nilai. Sedangkan apa yang telah diadopsi tersebut akan ditampakkan dalam wujud perilaku, sikap, ide ide serta penalaran. Dengan demikian, antara individu yang satu dengan individu yang lain dapat mempunyai perbedaan walau mereka berasal dari latar budaya yang sama.

C. SIFAT BUDAYA
Sifat budaya ada dua, yaitu budaya yang bersifat universal (umum) dan budaya yang khas (unik). Budaya universa! mengandung pengertian bahwa nilai nilai yang dimiliki oleh semua lapisan masyarakat. Nilai nilai ini dijunjung tinggi oleh segenap manusia. Dengan demikian, secara umum umat manusia yang ada dunia ini memiliki ke¬samaan nilai nilai tersebut. Contoh dari nilai universal ini antara lain manusia berhak menentukan hidupnya sendi¬ri, manusia anti dengan peperangan, manusia mementingkan perdamaian, manusia mempunyai kebabasan dan lain lain.
Nilai budaya yang khas (unik) adalah suatu nilai yang dimiliki oleh bangsa tertentu. Lebih dari itu, ni¬lai nilai ini hanya dimiliki oleh masyarakat atau suku/ etnis tertentu dimana keunikan ini berbeda dencan kelompok atau bangsa lain. Keunikan nilai ini dapat meniadi barometer untuk mengenal bangsa atau kelompok tertentu.
Nilai budaya yang dianut oleh masyarakat tertentu pada umumnya dianggap mutlak kebenarannya. Hal ini tampak pada perilaku yang ditampakkan oleh anggota masyarakat itu. Mereka mempunyai keyakinan bahwa apa yang dianggap benar itu dapat dijadikan panutan dalam menjalani hidup sehari hari. Selain itu, nilai budaya yang diyakini kebe¬narannya tersebut dapat dipergunakan untuk membantu menyelesaikan masalah yang timbul. Dengan kata lain bahwa nilai budaya tertentu yang ada dalam suatu masyarakat mempunyai suatu cara tersendiri untuk memecahkan permasa¬lahan yang timbul dalam anggota masyarakat tersebut (Lee & Sirch, 1994).
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar, yang multi etnis. Dengan demikian sangat banyak nilai-nilai unik yang ada di dalam etnis bangsa Indonesia. Tiap daerah mempunyai nilai nilai khas yang sangat dijunjung tinggi oleh kelompok masyarakatnya. Kalimat tersebut mengundang suatu pertanyaan yaitu, apakah bangsa Indonesia tidak mempunyai budaya nasional? Punya!
Setelah kita merdeka dan menyatakan sebagai bangsa yang bersatu, saat itu pulalah mulai digali nilai nilai yang ada di dalam kelompok etnis bangsa Indonesia. Dalam hal ini, disusun suatu pola yang dapat mewakili budaya Indonesia secara utuh. Nilai nilai yang disatukan itu dijadikan pandangan hidup bangsa Indonesia yaitu kesatuan lima sila dalam Pancasila; Ketuhanan Yang Maha Esa, Kema¬nusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia (Rosjidan 1995).
Kebudayaan universal atau lebih dikenal dengan kebudayaan nasional bangsa Indonesia tidak bersifat dogmatis dan statis. Hal ini memungkinkan terjadi proses penyempurnaan secara terus menerus. Penyempurnaan ini digali dari budaya yang unik tersebut. Artinya budaya atau nilai nilai yang khas yang dimiliki oleh suku suku di Indonesia secara terus menerus memberikan sumbangan untuk sempurnanya budaya nasional ini juga untuk menjawab tuntut¬an jaman yang terus berkembang dan semakin maju.
Ki Hajar Dewantara (1977) menjelaskan lebih lanjut tentang sifat kebudayaan yang tidak statis tersebut. Kebudayaan mempunyai tujuan untuk memajukan hidup manusia kearah keadaban. Oleh sebab itu perlu diingat bahwa:

1. Pemeliharaan kebudayaan harus bermaksud memajukan dan kebudayaan dengan tiap tiap pergantian alam dan jaman;
2. Karena pengasingan (isolasi) kebudayaan menyebabkan kemunduran dan kematian, maka harus selalu ada hubung an antara kebudayaan dan masyarakat;
3. Pembaharuan kebudayaan mengharuskan pula adanya hu¬bungan dengan kebudayaan lain, yang dapat memperkembangkan (memajukan, menyempurnakan) atau memperkaya (yakni menambah) kebudayaan sendiri;
4. Memasukkan kebudayaan lain, yang tidak sesuai dengan alam dan jamannya, hingga merupakan "pergantian kebu¬dayaan" yang menyalahi tuntutan kodrat dan masyarakat selalu membahayakan;
5. Kemajuan kebudayaan harus berupa lanjutan langsung dari kebudayaan sendiri, menuju kearah kesatuan kebuda¬yaan dunia dan tetap terus mempunyai sifat kepribadian di dalam Iingkungan kemanusiaan sedunia.

D. SOSIALISASI BUDAYA
1. Peran Keluarga
Proses kepemilikan (sosialisasi) budaya dari generasi ke generasi tidak bersifat herediter. Proses kepemilikan budaya antar generasi melalui proses belajar (Ihrom, 1988). Hal ini menunjukkan bahwa peran orang yang lebih tua akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan budaya itu sendiri. Pengertian sosialisasi dalam bahasan ini adalah suatu proses yang harus dilalui manusia muda untuk memperoleh nilai nilai dan pengetahuan mengenai kelompoknya dan belajar mengenai peran sosialnya yang cocok dengan kedudukannya di situ (Goode, 1991).
Individu akan belajar mengenal keadaan sekitarnya pertama kali melalui orang orang yang paling dekat dengan dirinya. Orang orang yang paling dekat dengan dirinya tidak lain adalah keluarga, terutama adalah orang tuanya. Dengan demikian, orang tua merupakan orang pertama yang mengajarkan budaya kepada anaknya. Nilai nilai ini diajarkan kepada generasi muda (anak) karena akan menunjukkan kepada mereka tentang bagaima cara bertindak secara benar dan bisa diterima oleh masyarakat (Fraenkel, 1977).
Orang tua akan mengajarkan kepada anaknya tentang bagaimana bertindak, bersikap, berpikir dan berkeya¬kinan terhadap sesuatu hal. Disengaia atau tidak, proses belaiar ini berlangsung terus menerus tanpa henti. Secara sadar. biasanya orang tua langsung meng¬ajarkan sesuatu kepada anaknya. Secara tidak sadar, orang tua melakukan perilaku tertentu dan oleh anak. Dengan demikian, orang tua secara tidak sengaja mengajarkan sesuatu kepada anak. Sebagai salah satu contoh, dalam budaya Jawa orang jawa akan mengajarkan cara makan kepada anaknya. Seringkali orang jawa mengatakan Nek mangan ojo karo ngomong mengko dikancani setan" (Kalau makan jangan sambil berbicara, nanti ditemani setan). Dalam hal ini, orang tua mengaiarkan perilaku tertentu kepada anaknya, yaitu berperilaku sopan. Hanya saia, penyampaiannya mempergunakan simbol simbol tertentu.
Dalam tatanan budaya Jawa, anak telah diajarkan tentang nilai nilai (budaya) sejak anak mereka masih bayi. Hal ini tampak pada saat ibu menggendong bayinya. Bayi akan digendong oleh ibunya pada posisi pinggang kiri. Dengan digendong pada pinggang kiri ini, maka tangan kanan anaknya akan dapat bergerak dengan bebas untuk menerima apa saia yang diberikan oleh ibu atau bapaknya. Secara tidak langsung, orang tua telah mangajarkan budaya atau nilai nilai kesopanan pada anaknya (Gertz, 1993),
Dari contoh di atas, tampak bahwa orang tua akan berusaha untuk menanamkan nilai nilai atau norma norma tertentu kepada generasi berikutnya (anak). Sebagai salah satu contoh apa yang telah diuraikan panjang lebar di atas adalah sebagai berikut:

Semua orang mempunyai kebutuhan untuk makan. Hal ini merupakan insting setiap manusia. Dimanapun di muka bumi ini pasti orang butuh untuk makan. Tetapi makan ini bukan suatu budaya. Tetapi bagaimana cara makan, itu yang merupakan budaya. Orang tua yang akan menga¬jarkan bagaimana cara makan yang baik menurut ukuran keluarga tersebut.

Orang jawa mengajarkan makan dengan cara memakai tangan (muluk) dan harus memakai tangan kanan. Ini adalah hal yang dianggap baik. Orang Eropa akan mengajarkan kepada anaknya makkan dengan mempergunakan garpu dan pisau dan lain sebagainya.

2. Peran Masyarakat.

Dari peran lingkup sosial yang paling kecil, selanjutnya akan kita bahas peran lingkup sosial yang berikutnya, yaitu masyarakat. Masyarakat merupakan suatu kesatuan dari beberapa keluarga inti yang mempu¬nyai ciri ciri yang hampir sama. Masyarakat ini pada, umumnya tinggal di suatu daerah yang mempunyai batas dengan dengan daerah daerah lainnya. Pada masyarakat tertentu, batasan batasan ini biasanya dengan mempergunakan tembok tembok besar atau tanaman tanaman bambu (Koentjaraningrat, 1988). Pembatasan daerah yang satu dengan daerah lain ini bertujuan agar ketenangan suatu masyarakat tertentu tidak terusik oleh masyarakat yang lainnya. Pada masa lalu batasan atau pagar desa ini mempunyai tujuan agar mereka tidak diserang oleh desa atau masyara¬kat lainnya (Koentjaraningrat, 1988). Lebih daripada itu, pagar desa ini bertujuan agar mereka dapat meles¬tarikan budaya yang selama ini dianutnya,.
Peran masyarakat dalam proses inkulturasi atau sosialisasi budaya adalah sangat penting. Dalam pendekatan behaviorisme, dinyatakan bahwa perilaku dan kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh lingkungan dimana dia berada. Lingkungan yang pertama adalah lingkungan keluarga dan yang berikutnya adalah masya¬rakat sekelilingnya. Masyarakat mempunyai beberapa peraturan (hasil budaya) yang secara langsung mengikat seseorang yang menjadi anggota masyarakatnya.
Masyarakat menciptakan hukum adat, dimana hukum adat itu dibuat untuk menjaga tata tertib dan dijaga sedemikian rupa sehingga mereka mempunyai suatu ketaatan yang seolah olah otomatis terhadap adat, dan kalau ada pelanggaran, maka secara otomatis pula akan timbul reaksi mesyarakat untuk menghukum pelanggar itu (Radclifle & Brown, dalam Koentjaraningrat:1990). Dengan demikkian, hukum adat itu akan langsung mengikat anggota masyarakatnya, dan mereka tidak akan lepas dari nilai nilai atau peraturan yang telah dise¬pakati bersama.
Contoh peraturan yang mengikat anggota masyarakat untuk terus melaksanakan adat atau budaya bisa kita jumpai dari beberapa suku bangsa kita seper¬ti suku Nias. Pada suku Nias, terdapat peraturan yang disebut dengan fondrako (Koentjaraningrat, 1998), peraturan ini dibuat dengan disertai kutukan lekas mati bagi anggota kelompok masyarakat itu yang berani melanggar. Hukum adat ini ditetapkan dalam suatu sidang tertentu. Peraturan yang demikian keras ini akan menjadi semacam hukuman atau punishment bagi mereka yang melanggar.
Dalam masyarakat Jawa juga terlihat peraturan ¬peraturan yang mengikat dan masih sering dilaksanakan. Walaupun tidak terlalu keras, tetapi masyarakat Jawa mengikutinya dengan penuh kesadaran. Masyarakat Jawa dikenal dengan perasaan yang sangat halus, dengan demikian, ungkapan ungkapan yang bertujuan untuk mela¬rang suatu tindakan tertentu juga diungkapkan dengan halus pula. Apabila orang jawa mengatakan “saru" (tabu) atau “ora njawa", biasanya mereka yang melakukan tindakan tertentu (salah) akan merasa "isin" (malu) dan tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi.
Peraturan yang mengikat dari sekelompok Masyarakat tertentu akan membentuk suatu pola perilaku dari seseorang. Bagaimana dia berperilaku, berpikir, bersikap dan lain sebagainya akan merefleksikan aturan yang dibuat oleh masyarakat dimana dia tinggal (Riesman, dalam Herr, 1989). Sehingga akan terbentuk suatu kepribadian dasar (basic personality) atau kepribadian rata rata (lhrom, 1990).
Generasi muda mempunyai kecenderungan untuk mencontoh apa apa yang dilakukan oleh generasi sebelumnya. Hal ini memang salah satu proses pemilikan yang dilakukan oleh kaum muda. Dalam proses peniruan ini terjadi suatu proses belajar yang tidak disadari. Artinya dari pihak generasi tua tidak mengajarkan budaya tertentu kepada generasi mudanya secara langsung. Mungkin, apa yang dilakukan oleh generasi tua itu juga merupakan proses belajar meniru dari generasi sebelumnya.
Bateson (dalam Ihrom, 1983) mengilustrasikan suatu peristiwa yang menunjukkan proses belajar melalui perilaku meniru dari suku pengayau latmul (lrian jaya) sebagai berikut:

“Seorang yang berkedudukan penting, waktu memasuki gedung upacara, sadar bahwa mata khalayak ramai sedang memperhatikannya dan reaksinya terhadap hal itu adalah menunjukkan sikap yang berlebih lebihan. Dia akan memasuki ruangan dengan berbagai gerak gerik dan men¬coba menarik perhatian orang terhadap kehadirannya dengan sesuatu ucapan. Kadang kadang dia cenderung untuk bersikap berlagak dan merasa bangga secara agak berlebih lebihan. Kadang kadang pula reaksinya ialah membadut ... bertambah tinggi kedudukannya bertambah menyolok tingkah lakunya.
Pada kaum muda, yang belum lagi mempunyai kedu¬dukan, ditemukan sikap lebih menguasai diri. Mereka akan memasuki gedung upacara dengan tenang, tanpa menarik perhatian, dan diantara orang orang yang lebih senior dan sedang berlagak itu, mereka duduk diam diam serta bersungguh sungguh. Tetapi untuk pemuda pemuda ini ada pula sebuah gedung upacara yang lebih sederhana. Di gedung ini mereka secara miniatur melakukan upacara seperti yang dilakukan golongan senior, dan dalam upacara di kalangannya itu mereka meniru sikap orang senior dan menunjukkan sikap angkuh bercampur ¬membadut".

llustrasi di atas memang tidak bermaksud untuk digeneralisasikan, tetapi adalah kenyataan bahwa belajar yang dilakukan oleh generasi penerus adalah melalui cara cara meniru atau mencontoh.
Masyarakat akan memberikan hadiah (reward) terhadap mereka mereka yang berjalan sesuai dengan aturan yang telah disepakati bersama (konsensus). Hadiah atau reward ini dapat berupa pujian pujian yang diberikan pada seseorang. Selain itu, masyarakat juga akan memberikan hukuman (punishment) kepada anggota masyarakat yang tidak dapat menjalankan konsensus atau menyimpang dari konsensus yang telah disepakati. Hukuman ini bermacam macam bentuk seperti dikenakan denda (pada suku dayak), dipasung (pada beberapa suku jawa), melalui hukum Islam (di Aceh) dan lain sebagainya (Koentjaraningrat, 1988)
Dari apa yang dilakukan oleh masyarakat terhadap anggota masyarakatnya itu, maka seseorang akan banyak belajar tentang suatu perilaku, sikap atau cara berpikir (berdasar reward and punishment). Dari sinilah proses pelestarian budaya itu bisa berjalan dengan ketat dan masyarakat akan menentukan segala apa yang akan dilakukan dan dipikirkan oleh individu.

C. Konseling Lintas Budaya
Dalam mendefinisikan konseling lintas budaya, kita tidak akan dapat lepas dari istilah konseling dan budaya. Pada paparan paparan terdahulu telah disajikan secara lengkap mengenai pengertian konseling dan pengertian budaya. Dalam pengertian konseling terdapat empat elemen pokok yaitu (adanya hubungan, (2) adanya dua individu atau lebih, (3) adanya proses, (4) membantu individu dalam memecahkan masalah dan membuat keputusan. Sedangkan dalam pengertian budaya, ada tiga elemen yaitu (1) merupakan produk budidaya manusia, (2) menentukan ciri seseorang, (3) manusia tidak akan bisa dipisahkan dari budayanya.
Konseling lintas budaya (cross-culture counseling) mempunyai arti suatu hubungan konseling dalam mana dua peserta atau lebih, berbeda dalam latar belakang budaya, nilai nilai dan gaya hidup (Sue et al dalam Suzette et all 1991; Atkinson, dalam Herr, 1939). Definisi singkat yang disampaikan oleh Sue dan Atkinson tersebut ternyata telah memberikan definisi konseling lintas budaya secara luas dan menyeluruh.
Dari pengertian di atas, maka konseling lintas buda¬ya akan dapat terjadi jika antara konselor dan klien mempunyai perbedaan. Kita tahu bahwa antara konselor dan klien pasti mempunyai perbedaan budaya yang sangat mendasar. Perbedaan budaya itu bisa mengenai nilai nilai, keyakinan, perilaku dan lain sebagainya. Perbedaan ini muncul karena antara konselor dan klien berasal dari budaya yang berbeda. Konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika konselor kulit putih memberikan layanan konseling kepada klien kulit hitam atau konselor orang Batak memberikan layanan konseling pada klien yang bera¬sal dari Ambon.
Layanan konseling lintas budaya tidak saja terjadi, pada mereka yang berasal dari dua suku bangsa yang berbeda. Tetapi layanan konseling lintas dapat pula muncul pada suatu suku bangsa yang sama. Sebagai contoh, konselor yang berasal dari jawa Timur memberikan layanan konseling pada klien yang berasal dari jawa tengah, mereka sama sama berasal dari suku atau etnis jawa. Tetapi perlu kita ingat, ada perbedaan mendasar antara orang jawa Timur dengan orang Jawa Tengah. Mungkin¬ orang Jawa Timur lebih terlihat "kasar", sedangkan orang jawa Tengah lebih "halus".
Dari contoh di atas, terlihat bahwa orang jawa Timur mempunyai nilai nilai sendiri yang berhubungan dengan kesopanan, perilaku, pemikiran dan lain sebagainya dan ini terbungkus dalam satu kata "kasar". Demikian pula individu yang berasal dari jawa Tengah, tentunya dia akan membawa seperangkat nilai nilai, ide, pikiran dan perilaku tertentu yang terbungkus dalam satu kata "halus". Kenyataannya, antara "halus" dan "kasar" itu sulit sekali untuk disatukan dalam kehidupan sehari. Ini akan menjadi permasalahan tersendiri dalam proses konseling.
Dalam praktik sehari-hari, konselor pasti akan berhadapan dengan klien yang berbeda latar belakang sosial budayanya. Dengan demikian, tidak akan mungkin disamakan dalam penanganannya (Prayit¬no, 1994). Perbedaan perbedaan ini memungkinkan terjadinya pertentangan, saling mencurigai, atau perasaan perasaan negatif lainnya. Pertentangan, saling mencurigai atau perasaan yang negatif terhadap mereka yang berlainan budaya sifatnya adalah alamiah atau manusiawi. Sebab, individu akan selalu berusaha untuk bisa mempertahankan atau melestarikan nilai nilai yang selama ini dipegangnya. Jika hal ini muncul dalam pelaksanaan konseling, maka memungkinkan untuk timbul hambatan dalam konseling.
Jika kita memakai pengertian tersebut di atas, maka semua proses konseling akan dikatagorikan sebagai konseling lintas budaya (Speight et all, 1991; Atkinson, dalam Herr, 1939). Hal ini disebabkan setiap konselor dan klien adalah pribadi yang unik. Unik dalam hal ini mempunyai pengertian adanya perbedaan perbedaan tertentu yang sangat prinsip. Setiap manusia adalah berbeda (indivi¬dual deferences). Pertanyaan berikutnya adalah apakah kita hanya sampai pada definisi konseling lintas budaya saja? Apakah keadaan demikian membuat konseling tidak perlu untuk dilaksanakan? Tidak.
Hal lain yang berhubungan dengan definisi konseling lintas budaya adalah bagaimana konselor dapat bekerja sama dengan klien? Dalam melakukan hubungan konseling dengan klien, maka konselor sebaiknya bisa memahami klien seutuhnya. Memahami klien seutuhnya ini berarti konselar¬ harus dapat memahami budaya spesifik yang mempengaruhi klien, memahami keunikan klien dan memahami manusia secara umum/universal (Speight, 1991).
Memahami budaya spesifik mengandung pengertian bahwa konselor sebaiknya mengerti dan memahami budaya yang dibawa oleh klien sebagai hasil dari sosialisasi dan adaptasi klien dari lingkungannya. Hal ini sangat penting karena setiap klien akan membawa budayanya sendiri¬-sendiri. Klien yang berasal dari budaya barat, tentu akan berbeda dengan klien yang berbudaya timur. Klien yang berbudaya timur jauh akan berbeda dengan klien yang berasal dari asia tenggara dan lain lain.
Pemahaman mengenai budaya spesifik yang dimiliki oleh klien tidak akan terjadi dengan mudah. Untuk hal ini, konselor perlu mempelajarinya dari berbagai Sumber ¬yang menunjang seperti literatur atau pengamatan langsung terhadap budaya klien. Konselor dituntut untuk dapat bertindak secara proaktif didalam usahanya memahami budaya klien. Dengan demikian, sebagai individu yang bersosialisasi, selayaknyalah konselor sering “turun” untuk mengetahui budaya di sekitar klien. Kemampuan konselor untuk dapat memahami kebudayaan di sekitarnya, secara tidak langsung akan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuannya yang pada akhirnya akan mempermudah konselor di dalam memahami klien (Hunt, 1975; Herr, 1989 Lon¬ner & ibrahim,1991).
Memahami keunikan klien mengandung pengertian bahwa klien sebagai individu yang selalu berkembang akan memba¬wa nilai nilai sendiri sesuai dengan tugas perkembangan-nya. Klien selain membawa budaya yang berasal dari lingkungannya, pada akhirnya klien juga membawa seperangkat nilai nilai yang sesuai dengan tugas perkembangan. Sebagai individu yang unik, maka klien akan menentukan sendiri nilai nilai yang akan dipergunakannya. Bahkan bisa terjadi nilai nilai yang diyakini oleh klien ini. bertolak belakang dengan nilai nilai atau budaya yang selama ini dikembangkan di lingkungannya. Hal ini perlu juga dipahami oleh konselor. Karena apapun yang dibicara¬kan dalam konseling, tidak bisa dilepaskan dari individu itu sendiri.
Memahami manusia secara universal mengandung pengertian bahwa nilai nilai yang berlaku di masyarakat ada yang berlaku secara universal atau berlaku di mana saja kita berada. Nilai nilai ini diterima oleh semua masyara¬kat di dunia ini. Salah satu nilai yang sangat umum adalah penghargaan terhadap hidup. Manusia sangat menghargai hidup dan merdeka. Nilai nilai ini mutlak dimiliki oleh semua orang. Nilai-nilai ini akan kita temukan pada saat kita berada di pedalaman Afrika atau pedalaman Irian, sampai dengan di kota-kota besar seperti Los Angeles dan Jakarta.
Konselor perlu menyadari akan nilai-nilai yang berlaku secara umum. Kesadaran akan nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya akan membuat konselor mempunyai pandangan yang sama tentang sesuatu hal. Persamaan pandangan atau persepsi ini merupakan langkah awal bagi konselor untuk melaksanakan konseling.
Sebagai rangkuman dari apa yang telah dijelaskan di atas, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan konseling lintas budaya. Menurut Pedersen (1980) dinyatakan bahwa konseling lintas budaya memiliki tiga elemen yaitu:
1. konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) klien;
2. konselor danklien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalamlatar belakang budaya (tempat) konselor; dan
3. konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukankonseling di tempat yang berbeda pula.

Lebih lanjut, menurut Pedersesn, Lonner dan Draguns (dalam Carter, 1991) dinyatakan bahwa beberapa aspek dalam konseling lintas budaya adalah (1) latar belakang budaya yang dimiliki oleh konselor, (2) latar belakang budaya yang diimiliki oleh klien, (3) asumsi-asumsi terhadap masalah yang akan dihadapi selama konseling, dan (4) nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan konseling, yaitu adanya kesempatan dan hambatan yang berlatar belakang tempat di mana konseling itu dilaksanakan.
Dalam pelaksanaan konseling, terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi lancarnya proses konseling. Kita ketahui bersama bahwa antara konselor dan klien sudah pasti akan membawa budayanya sendiri sendiri. Konselor akan membawa seperangkat budaya yang dibawa dari lingkup dimana dia berasal, dan klien alcan membawa superangkat budaya yang dibawa dari, lingkungan dimana dia berasal.
Selain lingkup (tempat) di mana konselor dan klien berasal, ada satu hal yang penting dan tidak boleh dilupakan bahwa antara konselor dan klien membawa tugas perkembangan masing masing masing. Dan kita ketahui bersama bahwa masing masing tugas perkembangan yang dibawa oleh setiap individu adalah tidak sama. Konselor akan membawa tugas perkembangannya sesuai dengan usianya. Begitu pula dengan klien, dia akan membawa tugas perkembangannya sesuai dengan umurnya.
Adapun faktor faktor lain yang secara signifikan mempengaruhi proses konseling lintas budaya adalah a) keadaan demografi yang meliputi jenis kelamin, umur tem¬pat tinggal, b) variabel status seperti pendidikan, poli¬tik dan ekonomi, serta variabel etnografi seperti agama, adat, sistem nilai (Arredondo & Gonsalves, 1980; Canary & Levin dalam Chinapah, 1997; Speight dkk, 1991; Pedersens, 1991; Lipton dalam Westbrook & Sedlacek, 1991).

D. Aplikasi di Sekolah
Dalam proses konseling selalu ada komponen konselor dan klien. Konselor sebagai agen kedua (second agent) akan membantu klien (first agent) dalam memecahkan masalah yang dihadapi klien. Agar pelaksanaan konseling dapat berjalan dengan baik maka ada rambu-rambu yang seharusnya disadari oleh konselor. Rambu-rambu ini diwujudkan dalam bentukpernyataan sebagai konselor lintas budaya yang efektif. Menurut Sue (dalam Arredondo & Gonsalves, 1980) konselor lintas budaya yang efektif adalah konselor yang:
1. memahami nilai-nilaipribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia danmengenali bahwa tiap manusia itu berbeda;
2. sadar bahwa “tidak ada teori konseling yang netral secara politik dan moral”;
3. memehami bahwa kekuatan sosiopolitik akan mempengaruhi dan akan menajamkan perbedaan budaya dalam kelompok;
4. dapat berbagi pandangan tentang dunia klien dan tidak tertutup; dan
5. jujur dalam menggunakan konseling eklektik, mempergunakan keterampilannya daripada kepentingan mereka untuk membedakan pengalaman dan gaya hidup mereka.

Uraian di atas akan dijelaskan sebegai berikut di bawah ini.

1. Memahami nilai nilai pribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia dan mengenali bahwa tiap manusia berbeda.
Dalam melaksanakan konseling dengan klien, konselor harus sadar penuh terhadap nilai nilai yang dimilikina. Konselor harus sadar bahwa dalam melaksanakan konseling, konselor tidak akan bisa lepas dari nilai nilai yang dibawa dari lingkungan di mana dia berada, juga nilai nilai yang sesuai dengan tugas perkembang¬annya. Nilai nilai yang dibawa dari lingkungan di mana dia berasal adalah nilai nilai yang tidak akan bisa dilepaskannya, walaupun dia akan berhubungan dengan klien yang berbeda latar belakangnya.
Menyadari hal tersebut di atas maks konselor sebaiknya juga menyadari bahwa klien yang dibantunya juga berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan tentunya akan membawa seperangkat nilai nilai yang berbeda pula. Klien akan membawa seperangkat nilai-nilai yang berasal di mana klien itu berada dan tentunya nilai nilai klien ini tidak dapat dihilang¬kan begitu saja. Nilai nilai yang dibawa oleh klien akan menentukan segenap perilaku klien pada saat berhadapan dengan konselor.
Sebagai seseorang yang mengetahui banyak tentang ilmu jiwa atau psikologi, konselor tentu memahami adanya tugas tugas perkembangan yang harus dijalani oleh klien. Selain itu, konselor juga harus mengetahui bahwa masing masing tugas perkembangan yang dijalani oleh masing masing individu itu berbeda beda sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Dengan demikian, konselor harus memandang individu yang ada secara berbeda (individual differences).

2.. Sadar bahwa tidak ada teori yang netral secara politik don moral::

Dalam pelaksanaan konseling, konselor harus sadar ¬bahwa teori teori konse!ing yang diciptakan saat ini adalah suatu teori yang dibuat berdasarkan kepentingan para penemunya masing masing atau dapat dikatakan bahwa teori konseling yang ada saat ini tidak akan terlepas dari pengalaman pribadi masing masing penemunya. Oleh karena itu, teori-teori konseling yang diciptakan ada kemungkinan tidak akan terlepas dari moral yang dimiliki oleh penemunya. Juga, tidak akan dapat terlepas dari muatan politik dari penemunya.
Kesadaran akan muatan muatan moral dan politik ini akan menjadikan konselor semakin tajam dalam melakukan praktik konseling. Sebab dengan mengetahui moral dan muatan politik yang dimiliki oleh penemu teori konseling tersebut berarti konselor akan semakin sadar terhadap "arah" teori konseling itu. Dengan demikiam konselor dapat memilah dan memilih teori mana yang cocok (fit/matching) dengan masalah yang dihadapi oleh klien yang berbeda pula muatan moral dan politiknya.
3. Memahami bahwa kekuatan susiopolitik akan mempengaruhi dan menajamkan perbedaan budaya dalam kelompok
Anggota masyarakat suatu kelompok tertentu, seperti yang telah dije!askan pada bab bab terdahulu pasti mempunyai aturan aturan tertentu yang berbeda dengan aturan anggota kelompok yang lainnya. Perbedaan ini bisa terimbas dengan adanya keadaan politik suatu negara. Politik memungkinkan terjadinya permusuhan antar etnis untuk kepentingan kekuasaan.
Perbedaan sosio budaya dalam suatu negeri bisa meruncing karena adanya intervensi kekuatan kekuatan politik yang memang memakai isu perbadaan sosio budaya untuk kepentingannya. Masih teringat dengan jelas di benak kita adanya perbedaan etnis di Jugoslavia. Pada kurun waktu lima belas tahun yang lalu, etnis Islam masih bisa hidup berdampingan dengan etnis asli jugoslavia. Tetapi apa yang terjadi kemudian, demi kepen¬tingan politik tertentu, terjadi usaha pembersihan etnis. Di sini terjadi pergolakan antar etnis yang pada akhirnya memakan beberapa ribu nyawa manusia dan meruntuhkan budaya yang dimilikinya.
Konselor sebaiknya melihat fenomena yang terjadi sebagai suatu pangetahuan bahwa pergolakan yang terjadi antar etnis sangat dimungkinkan akan muncul jika ada kepentingan politik di dalamnya. Dengan demikian konselor akan sadar, dengan siapa dia akan berhadapan. Harus muncul pertanyaan dari diri konselor, “Siapakah klien saya?”, “Berasal dari etnis manakah klien saya?”, “Bagaimana budaya klien saya?”, “Bagaimana cara saya melayaninya dengan seobyektif mungkin?”

4. Dapat berbagi pandangannya tentang dunia klien dan tidak tertutup.
Konselor yang efektif adalah konselor yang mampu menginterpretasikan dunia klien sebagaimana adanya tanpa adanya interpretasi yang berlebih dari pihak konselor. Konselor sebaiknya mampu memahami pandangan klien dan budaya yang dibawa oleh klien. Dalam hal ini konselor tidak boleh secara mendadak menolak pandangan klien yang mungkin berbeda dengan pandangan konselor.
Klien datang ke ruang konseling seringka!i dengan membawa masalah yang berkaitan erat dengan masalah budaya atau nilai nilai yang dimilikinya. Masalah ini seringkaii memunculkan perbedaan dengan konselor. Konselor ¬yang tidak sadar akan nilai nilai budaya yang berbeda dengan klien seringkali menutup diri dengan perbedaan itu. Konselor lebih sering mempertahankan nilai nilainya atau jika mungkin mengintervensi klien dengan nilai nilai yang dimilikinya.
Intervensi nilai nilai konselor akan menghambat proses konseling yang dilaksanakan. Hal ini terjadi karena klien merasa bahwa dia tidak diterima oleh konselor dengan apa adanya. Jika ini terjadi ada kemungkinan klien akan mengalami stagnasi (kemandegan) dan ujung-ujungnya, konseling tidak akan berjalan. Klien merasa bahwa pandangannya tentang nilai¬-nilai yang dimiliki tidak bisa diterima oleh konselor.
Jika perbedaan yang muncul antara konselor dan klien ini demikian besarnya, memang tidak ada cara lain bagi konselor untuk menghentikan proses konseling yang telah berjalan. Hanya saja, perlu diingat bahwa pemutusan hubungan itu adalah langkah terbaik bagi keduanya. Dan pemutusan hubungan itu demi kebaikan/kesejahteraan klien sendiri. Sebab, jika dipaksakan, maka kesejahteraan jiwa klien tidak akan tercapai, dan konselor sendiri akan melanggar kode etik profesi konseling.

5. Jujur dalam konseling eklektik, mempergunakan keterampilannya daripada kepentingan mereka untuk membedakan pengalaman dan gaya hidup mereka.
Dalam melaksanakan konseling satu syarat yang harus dimiliki oleh konselor adalah adanya kejujuran. Kejujuran ini mengacu pada banyak hal, salah satunya adalah dalam melaksanakan tehnik tehnik yang akan diberikan kepada klien. Kejujuran ini diungkapkan oleh konselor dengan cara memberikan rasional yang jelas kepada klien. Dengan adanya rasionel ini diharapkan klien akan mengetahui apa hak dan kewajibannya selama pelaksanaan konseling.
Hal demikian juga mengena jika konselor mempergunakan praktik atau pendekatan konseling yang bersifat eklektik. Untuk hal ini, konselor harus benar benar mengetahui teori mana yang akan dipergunakan untuk membantu klien. Selain itu, jika konselor akan mempergunakan pendekatan budaya di dalam membantu klien maka konselor harus benar benar mengetahui latar belakang budaya klien dengan jelas.
Pendekatan yang berlandaskan pada budaya yang dimiliki oleh klien memang sebaiknya dilakukan oleh konselor. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa suatu masyarakat tertentu mempunyai cara tertentu pula untuk. menyelesaikan masalah yang dimilikinya. Berdasarkan asumsi itu, maka konselor bisa memberikan bantuan kepada klien berdasar pada latar belakang budaya yang dimiliki oleh klien. Tetapi harus diingat bahwa konselor harus benar benar menguasai teknik teknik penyelesaian masalah yang berkaitan dengan budaya yang dimak¬sud.
Konselor sebagai pelaksana konseling di lapangan tentu saja harus dibekali dengan seperangkat ilmu yang dapat dipergunakan sebagai “senjata” untuk berhubungan dengan klien. Tanpa adanya seperangkat kompetensi atau kemampuan yang dimiliki oleh konselor, maka sulit bagi konselor untuk bisa membantu klien mengatasi masalahnya.

a. kompetensi yang dikehendaki
Untuk menunjang pelaksanaan konseling lintas budaya dibutuhkan konselor yang mempunyai spesifikasi. tertentu. Pedersen (dalam Mcrae & jhonson) menyatakan bahwa konselor lintas budaya harus mempunyai kompetensi kesadaran, pengetahuan dan keterampilan.
Kesadaran, konselor lintas budaya harus benar benar mengetahui adanya perbedaan yang mendasar antara dia dengan klien yang akan dibantunya. Selain itu, konselor harus menyadari benar akan timbulnya konflik jika dia memberikan layanan konseling kepada klien yang berbeda latar belakang sosial budayanya.
Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa konselor lintas budaya harus mengerti dan memahami budaya di Indonesia, terutama nilai nilai budaya yang dimilikinya. Sebab bukan tidak mungkin macetnya proses konseling hanya karena konselor tidak mengetahui dengan pasti nilai nilai apa yang dianutnya. Dengan demikian, kesadaran akan nilai nilai yang dimiliki oleh konselor dan nilai nilai yang dimiliki oleh klien, akan dapat dijadikan landasan untuk melaksanakan konseling.
Pengetahuan, konselor lintas budaya sebaiknya terus mengembangkan pengetahuannya mengenai budaya yang ada di Indonesia. Pengetahuan yang perlu dimiliki oleh konselor lintas budaya adalah sisi sosio politik dan susio budaya dari kelompok etnis tertentu. Semakin banyak latar belakang etnis yang dipelajari oleh konselor, maka semakin baragam pula masalah klien yang dapat ditangani. Pengetahuan konselor terhadap nilai nilai budaya yang ada di masyarakat tidak saja melalui membaca buku atau hasil penelitian saja, tetapi dapat pula dilakukan dengan cara melakukan penelitian itu sendiri. Hal ini akan semakin mempermudah konselar untuk menambah pengetahuan mengenai suatu budaya tertentu.
Keterampilan, konselor lintas budaya harus selalu mengembangkan keterampilan untuk berhubungan dengan individu yang berasal dari latar belakang etnis yang berbeda. Dengan banyaknya berlatih untuk berhubungan dengan masyarakat luas, maka konselor akan mendapatkan keterampilan (perilaku) yang sesuai dengan kebutuhan. Misal, konselor banyak berhubungan dengan orang jawa, maka konselor akan belaiar bagaimana berperilaku sebagaimana orang Jawa. jika konselor sering berhubungan dengan orang Minangkabau, maka konselor akan belajar bagaimana orang Minangkabau berperilaku.
Tiga kompetensi di atas wajib dimiliki oleh konselor lintas budaya. Sebab dengan dimilikinya ketiga kamampuan itu, akan semakin mempermudah konselor untuk bisa berhubungan dengan klien yang berbeda latar belakang budaya

b. Karakteristik konselor yang efektif
Dalam pelaksanaan konseling lintas budaya konse¬lor tidak saia dituntut untuk mempunyai kompetensi atau kemampuan seperti yang telah disajikan di atas. Tetapi dalam hal ini perlu pula disajikan karakteristik atau ciri ciri khusus dari konselor yang melaksa¬nakan layanan konseling lintas budaya. Sue (Dalam George & Cristiani: 1990) menyatakan beberapa karakteristik konselor sebagai berikut:
1. Konselor lintas budaya sadar terhadap nilai-nilai pribadi yang dimilikinya dan sumsi asumsi terbaru tentang perilaku manusia.
Dalam hal ini, konselor yang melakukan praktik konseling lintas budaya, seharusnya sadar bahwa dia memiliki nilai nilai sendiri yang harus dijunjung tinggi. Konselor harus sadar bahwa nilai nilai dan norma norma yang dimilikinya itu akan terus dipertahankan sampai kapanpun juga. Di sisi lain, konselor harus menyadari bahwa klien yang akan dihadapinya adalah mereka yang mempunyai nilai nilai dan norma yang berbeda dengan dirinya. Untuk hal itu, maka konselor harus bisa menerima nilai nilai yang berbeda itu dan sekaligus mempelajarinya.

2. Konselor lintas budaya sadar terhadap karakteristik konseling secara umum.
Konselor dalam melaksanakan konseling sebaiknya sadar terhadap pengertian dan kaidah dalam melaksanakan konseling. Hal ini sangat perlu karena pengertian terhadap kaidah kanseling yang terbaru akan membantu konselor dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh klien. Terutama mengenai kekuatan baru dalam dunia konseling yaitu konseling !intas budaya.

3. Konselor lintas budaya harus mengetahui pengaruh kesukuan, dan mereka harus mempunyai perhatian terhadap lingkungannya.
Konselor dalam melaksanakan tugasnya harus tanggap terhadap perbedaan yang berpotensi untuk menghambat proses konseling. Terutama yang berkaitan dengan nilai nilai atau norma norma yang dimili¬ki oleh suku suku tertentu. Terlebih lagi, jika konse!or melakukan praktek konseling di indonesia. Dia harus sadar bahwa Indonesia mempunyai kurang lebih 357 etnis, yang tentu saja membawa nilai nilai dan norma yang berbeda.
Untuk mencegah timbulnya hambatan tersebut, maka konselor harus mau belajar dan memperhatikan lingkungan di mana dia melakukan praktik. Dengan mengadakan perhatian atau observasi nilai-nilai lingkungan di sekitarnya, diharapkan konselor dapat mencegah terjadinya kemandegan atau pertentangan selama proses konseling.

4. Konselor lintas budaya tidak boleh mendorong seseorang (klien) untuk dapat memahami budayanya (nilai-nilai yang dimiliki konselor)
Untuk hal ini, ada aturan main yang harus ditaati oleh setiap konselor. Konselor mempunyai kode etik konseling, yang secara tegas menyatakan ¬bahwa konselor tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada klien. Hal ini mengimplikasikan bahwa sekecil apapun kamauan konselor tidak bolah dipaksakan kepada klien. Klien tidak boleh diintervensi oleh konselor tanpa persetujuan klien.

5. Konselor lintas budaya dalam melaksanakan konseling harus mempergunakan pendekaten eklektik
Pendekatan eklektik adalah suatu pendekatan dalam konseling yang mencoba untuk menggabungkan beberapa pendekatan dalam konseling untuk membantu memecahkan masalah klien. Penggabungan ini dilakukan untuk membantu klien yang mempunyai perbedaan gaya hidup. Selain itu, konseling eklektik dapat berupa penggabungan pendekatan konseling yang ada dengan pendekatan yang digali dari masyarakat pri¬bumi (indegenous).

E. Referensi
Ahmadi, Abu. 1986. Antropologi Budaya: mengenal kebudayaan dan suku-suku bangsa di Indonesia. Surabaya: Pelangi.
Anderson, D.J., Gingras, A.C. 1991. Sensitizing Counselor and Educators to Multicultural Issues: an interactive approach. Journal of Counseling and Development. 70: 91-93.

Arredondo, Patricia., Gonsalves, John. 1980. Preparing Culturally Effective Counselors. The Presonnel and Guidance Journal. Juni.

Barnadib. 1995. Meninjau Kebudayaan Nasional dan Sumbangan bagi Bimbingan dan Konseling. Makalah disampaikan dalam Kongres VIII dan Konvensi Nasional X IPBI di Surabaya.

Bilton, Tony., et al. 1981. Introductory Sosiology. London: The Macmillan Press Ltd.

Brammer, Lawrence., Shostrom, Everett. 1982. Therapeutic Psychology: fundamentals of counseling and psychotherapy (4th ed). New Jersey: Prentice-Hall Inc.

Brislin, Richard. 1981. Cross-Cultural Encounter. New York: Pergamon Press.

Budi. 11 Pebruari 1995. Penyimpangan Sosial Remaja Perkotaan. Harian Jayakarta. Hal IV. Kolom 4-9.

Carter, RT. 1991. Cultural Values: a review of empirical research and implications for counseling. Journal of Counseling & Development. 70: 164-173.

Chinapah, V. 1987. Differential Acces to Primary Schooling: can education promote equality in a multi-cultural society? International Journal for the Advanced of Counseling. 10: 5-17.

Davenport, Donna., Yurich, John. 1991. Multicultural Gender Issues. Journal of Counseling & Development. 70 (1): 64-71.

Dewantara, KH. 1977. Pendidikan 9(cetakan kedua). Yogyakarta: Majalis Luhur Persatuan Taman Siswa.

D”Andrea, Michael., Daniels, Judy, 1991. Exploring the Different Levels of Multicultural Counseling Training in Counselor Educations. Journal of Counseling & Development. 70: 78-85.

Fetterman, David. 1984. Ethnography in Educational Evaluation (2nd ed). California: Sage Publications.

Ford, Robert. 1987. Cultural Awareness and Cross-Cultural Counseling. International Journal for the Advanced Counseling. 10: 71-78.

Fraenkel, Jack. 1977. How to Teach About Values: an analityc approach. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Gerertz, Hildred. 1983. Keluara Jawa. Jakarta: Grafiti Pres.

Goldenweiser, Alexander. 1968. History, Psychology and Culture. Oregon: Gloucester, Mass.

Goode, William. 1991. Sosiologi Keluarga (terjemahan oleh Lailahanum Hasyim). Jakarta: Bumi Aksara.

Graves, Desmond. 1986. Coorporate Culture – Diagnosis and Change. New York: The Free Press.

Herr, Edmin (ed). 1989. Counseling in a Dynamic Society: opportunities and chalenges. American Association for Counseling and Development.

Ihromi, TO. 1990. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia.

Keesing, Roger., Keesing, Felix. 1971. New Perspective ini Cultural Antrhopology. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc.

Koentjaraningrat. 1988. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Loekmono, Lobby. 1991. Tantangan Konseling. Semarang: Penerbit Satya Wacana.

McRae, Mary., Johnson, Samuel. 1991. Toward Training for Competence in Multicultural Counselor Education. Journal of Counseling & development. 70 (1): 131-135.

Menanti, Asih. 2005. Konseling Indigenous. Makalah disampaikan pada Konvensi Nasional ABKIN di Bandung 2005.

Munandir. 1989. Bimbingan Sekolah di Indonesia: Corak yang Bagaimana. Disajikan dallam pidato pengukuhan guru besar IKIP Malang tanggal 6 Juli 1989.

Mulder, Niels. 1985. Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.

Nwachuku, Uchena., Ivey, Allene. 1991. Culture-Specific Counseling: an alternative training model. Journal of Counseling and Development. 70: 106-111.

Persell, Caroline. 1990. Understanding Society (3rd ed). New York: Harper and Row Publishers, Inc.

Prayitno. 1987. Profesionalisasi Konseling dan Pendidikan Konselor. Jakarta: Depdikbud.

Ritzer, George (et al). 1979. Sosiology: experiencing a changing society. Boston: Allyn and Bacon, Inc.

Rosjidan. 1994. Proses dan Teknik Konseling yang Memperhatikan Budaya Setempat. Pendidik Konselor. 4 Juni, h. 17-22.

Rosjidan. 1995. Pengembangan Bimbingan dan Konseling dengan Budaya Nasional: rintisan. Makalah disampaikan dalam Kongres VIII dan Konvensi nasional X IPBI di Surabaya.

Shertzer, Bruce., Stone, Shelley. 1981. Fundamentals of Guidance (4th ed). Boston: Houghton Mifflin Company.

Soetarno. 1996. Tesis: telaah nilai-nilai bimbingan yang terkandung di dalam serat wedhatama dan implikasinya terhadap penyusunan bahan bimbingan pribadi dan sosial kurikulum SMU 1994. Malang: Pasca Sarjana IKIP Malang (tidak dipublikasikan).

Spradley, James., McCurdy, David. 1979. Issues in Cultural Antrhopology. Boston: Little, Brown and Company.

Suara Karya. 13 Maret 1995. Sifat “Gay” dan sifat “Lesbian” Tumbuh dari Faktor Biologis, Sosial ataukah …? Hal VIII, kolom 4-9.

Sujamto. 1992. Refleksi Budaya Jawa. Semarang: Dahara Prize.

Surabaya Post. 14 Maret 1995. Kejar Karier, Mereka Enggan Menikah. Hal IX, kolom 1-6.

Surya, Muhammad. 1994. Peranan Konselor di Mada Depan. Jurnal Pendidik Konselor. 4 Juni, h. 3-8.

Surya, Muhammad. 1995. Identifikasi Kebutuhan, Tantangan dan Masalah Bimbingan dan Konseling dan Implikasinya bagi Pengembangan Profil Konselor Abad XXI. Makalah disampaikan dalam Kongres VIII dan Konvensi Nasional X IPBI di Surabaya.

Suseno, Magnis, Franz. 1993. Etika Jawa. Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Vontress, Clemmont. 2002. Online Readings in Psychology and Culture (Unit 10, Chapter 1), (http://www.wwu.edu/~culture). Diakses tanggal 20 Mei 2007.
Wells, Alan. 1970. Social Institutions. London: Heinemann.

Westbrook, Franklin., Seadlacek, william. 1991. Forty Years of Using Labels to Communicate About Nontraditional Students: does it help or hurt? Journal of Counseling & development. 70 (1): 18-20.

Yusuf, Yusmar. 1991. Psikologi Antar Budaya. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Kesurupan .......... Tulisan ini mencoba untuk menjawab berbagai pertanyaan tentang proses terjadinya kesurupan massal yang menjadi fe...