Jumat, 07 Mei 2010

konseling indonesia?

KONSELING INDONESIA: Yang Bagaimana?

Oleh: Boy Soedarmadji


Pengantar

Perkembangan konseling di dunia saat mengalami perubahan-perubahan yang sangat pesat. Hal ini terjadi di negara-negara yang sudah maju seperti di Amerika, Inggris dan kebanyakan negara-negara di Eropa. Pesatnya perkembangan ilmu konseling di negara-negara barat ada kemungkinan disebabkan karena semakin kompleksnya masalah yang dihadapi oleh negara-negara barat, sehingga mereka terus berpacu dengan waktu untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang muncul.
Awalnya pelaksanaan konseling di barat seringkali didasarkan pada nilai nilai yang berlaku bagi kaum mayoritas, atau dapat dikatakan bahwa layanan konseling itu merupakan kegiatan kelas menengah ke atas bagi orang kulit putih yang masih memegang teguh nilai nilai dimilikinya. Konseling seringkali dilakukan antara orang kulit putih dengan orang kulit putih. Hal ini dapat dimaklumi, karena perkembangan konseling ini sendiri diawali oleh orang kulit putih.
Lambat laun masalah dalam konseling mulai muncul. Dalam pelaksanaan konseling, ternyata bukan menjadi otonomi masyarakat kulit putih saia, tetapi juga menjadi kebutuhan bagi masyarakat lainnya. Masyarakat lain yang dimaksud adalah kaum pendatang (siswa, mahasiswa, imigran dll). Mereka lebih sering disebut dengan masyarakat minoritas. Kaum minoritas di Amerika terdiri dari kaum pendatang (siswa, mahasiswa dan imigran gelap). Secara umum mereka datang ke Amerika dengan membawa budaya yang masih melekat kuat bagi pribadi masing masing. Siswa dan maha¬siswa yang berasal dari Asia (terutama) seringkali menga¬lami kesulitan didalam melaksanakan studinya. Kesulitan ini seringkali berasal dari budaya atau nilai nilai yang berbeda dengan nilai nilai yang dipergunakan oleh orang barat. Kesulitan kesulitan studi mereka segera ditangkap oleh konselor barat. Tetapi kenyataannya, konselor barat itu sendiri juga merasa kesulitan untuk membantu mahasiswa yang berasal dari negara timur.
Golongan minoritas tidak saia mengacu pada apa yang telah disebutkan di atas saja. Satu kelompok lain yang masuk dalam golongan minoritas adalah kaum perempuan. Secara umum, perempuan masih digolongkan sebagai orang kedua dalam hal pekerjaan dan lain lain. Perempuan selama ini masih dianggap sebagai golongan yang lemah dan golongan yang harus dilindungi. Padahal dalam beberapa dekade terakhir ini, kaum perempuan mulai "mengeliat" dan berusaha untuk bisa menunjukkan eksistensinya. Gerakan gerakan tersebut demikian kuatnya sehingga mengakibatkan para ahli konseling berpikir untuk dapat “melayani" mereka. Hal ini membuat posisi ilmu konseling untuk terus melakukan penelitian penelitian yang dapat mangungkap hal hal yang berkaitan dengan konseling lintas budaya. Sehingga diharapkan nantinya akan muncul metode metode baru atau teknik teknik baru yang dapat dipergunakan untuk melakukan konseling dengan klien yang mempunyai perbedaan buda¬ya.

Perkembangan di Indonesia
Indonesia sebagai negara kesatuan memiliki kurang lebih 300 etnis yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Banyaknya etnis ini merupakan berkah yang tak terhingga bagi kita, sebab keragaman/kemajemukan ini akan memunculkan warna kehidupan. Pada setiap suku/etnis tersebut terdapat model bantuan yang sifatnya masih tradisional. Pada umumnya, bantuan yang diberikan kepada orang yang membutuhkan dilakukan oleh tokoh masyarakat yang dianggap mempunyai kelebihan spiritual (kyai, pastor, pendeta) atau mereka yang dianggap sebagai “orang tua” atau mereka yang dituakan (paranormal, “orang pinter”. “orang tua” dan sebagainya) [Rosjidan, 1995]. Orang-orang ini dipandang mempunyai kemampuan lebih untuk mengatasi masalah tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Indonesia masih mempunyai ketergantungan pada mereka, sebagai salah satu contoh pada saat mencari pekerjaan. Mereka tidak segan-segan datang kepada orang-orang tersebut untuk mendapatkan petuah, wejangan bahkan jampi-jampi. Ada keyakinan yang kuat bagi sebagian masyarakat Indonesia bahwa dengan mendatangi guru (kyai, dukun, paranormal dll) akan membuat masalah mereka selesai.
Dari uraian di atas, maka dapat ditarik simpulan bahwa profesi konseling akan lebih menguntungkan jika mempergunakan pendekatan-pendekatan yang dipergunakan oleh kaum pribumi. Hal ini disebabkan setiap budaya mempunyai cara-cara tertentu untuk menyelesaikan masalah yang timbul di dalam masyarakat tersebut (Lee & Sirch, 1994).
Perkembangan konseling di Indonesia mengalami kemajuan yang signifikan, walaupun kemajuan tersebut berjalan dengan lambat. Pada tahun 1995 dengan dilakukannya kongres dan Konvensi Nasional IPBI (sekarang ABKIN) telah dimulai suatu gerakan untuk menemukan konseling yang bercirikan budaya Indonesia. Saat itu, pemerhati masalah Bimbingan dan Konseling telah menyadari akan perlunya identitas konseling di Indonesia.
Terbentuknya ABKIN (Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia) merupakan tonggak bersejarah bagi pelaksanaan konseling di Indonesia. Saat ini, perjuangan ABKIN bagi keberadaan konselor di sekolah semakin terasa, apalagi sampai munculnya istilah “konselor” sebagai salah satu jenis tenaga kependidikan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada Bab I Pasal 1 ayat (4) dinyatakan bahwa “pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Pernyataan secara eksplisit ini pada akhirnya memunculkan kepercayaan masyarakat (public trust).
Sebutan konselor memiliki tanggungjawab yang besar. Hal ini dikarenakan sebutan ini menuntut profesionalisme dari diri masing-masing konselor yang ada, sehingga dalam hal ini, LPTK merasa terpanggil untuk mempersiapkan tenaga konselor yang professional. Salah satu bentuk profesionalisme konselor adalah menerapkan teori-teori konseling terbaru yang berkembang. Untuk hal tersebut, maka ABKIN mengeluarkan keputusan no. 011 tahun 2005 tentang Standar Kompetensi Konselor Indonesia (SKKI) yang merupakan salah satu acuan penyelenggaraan pendidikan bagi semua perguruan tinggi penyelenggaran Program Studi Bimbingan dan Konseling di Indonesia.
Salah satu hal menarik yang tercantum dalam SKKI disebutkan bahwa Konselor bekerja dalam berbagai setting, dan setting itu menjadi kekhususan dari wilayah layanan bimbingan dan konseling. Keragaman setting pekerjaan konselor ini mengandung makna adanya pengetahuan, sikap, dan keterampilan bersama yang harus dikuasai oleh konselor dalam setting manapun. Kompetensi ini disebut kompetensi bersama (common competencies), yang harus dikuasai oleh konselor sekolah, perkawinan, karir, traumatic, rehabilitasi dan kesehatan mental. Setiap setting bimbingan dan konseling menghendaki kompetensi khusus yang harus dikuasai konselor untuk dapat memberikan layanan dalam setting/wilayah khusus itu (ABKIN, 2005).
Sejalan dengan perkembangan teori-teori tersebut, maka di Indonesia saat ini sedang getol-getolnya dikembangkan suatu pendekatan konseling yang berbasis Indonesia. Salah satu alternatif yang ditawarkan adalah Teknik Konseling PADI.

Konseling PADI
Konseling PADI atau yang sering disebut dengan teknik PADI, saat ini telah dikembangkan di beberapa negara Asia, khusunya Asia Tenggara seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Philipina. Teknik ini dikembangkan dengan memadukan dua pendekatan konseling yaitu pendekatan humanistik dan behavioristik, selain ada juga unsur-unsur budaya Timur yang menyertainya. Perkembangan ini ditunjukkan dengan munculnya teknik-teknik konseling baru yang mungkin (juga) baru kita kenal. Salah satu teknik konseling yang saat ini mulai dikembangkan di Asia adalah teknik konseling PADI. PADI sendiri merupakan akronim dari Problem definition, Atempted solution, Desired changes dan Intervention plan.
Problem definition, merupakan suatu usaha untuk mendefinisikan masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh individu. Mendefinisikan masalah merupakan tahapan yang paling penting, sebab seringkali klien datang ke ruang konseling dengan membawa berbagai macam masalah dimana mereka tidak tahu masalah mana yang akan diselesaikan. Hal lain yang sering muncul adalah pengungkapan masalah yang sebenarnya bukan masalah. Sebagai contoh, seorang ibu mengeluh karena tidak bisa mengatur anak ABG-nya. Dia mengatakan bahwa saat ini anaknya susah diatur dan cenderung untuk bermain dengan teman-teman sebayanya. Ungkapan ibu tadi sepertinya masalah, tetapi jika dilihat dari psikologi perkembangan, usia anak ABG memang memiliki perilaku untuk berkelompok dengan teman sebayanya. Lebih lanjut, masalah yang dimiliki ibu tadi seakan-akan bukan masalahnya, tetapi dipandang bahwa anaknya yang bermasalah. Untuk mendefinisikan masalah klien, maka perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
a. Masalah dinyatakan secara positif (biasanya dalam bentuk perilaku)
b. Masalah adalah milik klien
c. Perjelas kapan masalah muncul
d. Bagaimana pengaruh masalah tersebut terhadap diri dan lingkungan klien
e. Siapa yang harus dilibatkan
f. Perlu dipertimbangkan masalah budaya klien
Yeoh (2003) menyatakan bahwa jika konselor mengetahui letak permasalahan klien, maka konselor sebaiknya menyatakan kepada klien. Hal ini dilakukan agar klien tersadar dan dengan mudah untuk melakukan diskusi dengan konselor. Melalui diskusi ini, maka antara konselor dan klien akan memiliki kesepakatan tentang masalah apa yang ingin diselesaikan melalui konseling, sehingga akan membuat konselor lebih fokus dalam usaha membantu klien.
Atempted solution, merupakan usaha-usaha pemecahan masalah yang pernah dicoba oleh klien. Untuk hal ini, konselor perlu menanyakan kepada klien tentang apa saja yang pernah dilakukan oleh oleh klien untuk memecahkan masalahnya serta menanyakan bagaimana hasilnya. Pemberian pertanyaan ini dimaksudkan untuk memberikan penguatan serta memotivasi klien untuk dapat menyelesaikan masalahnya. Satu hal penting bagi konselor adalah tidak memberikan persepsi terhadap usaha-usaha yang telah dilakukan oleh klien sehubungan dengan usaha pemecahan masalah yang dilakukannya. Walaupun usaha yang dilakukan oleh klien bertentangan nilai-nilai yang dimiliki oleh konselor. Perilaku konselor dengan tidak memberikan persepsi kepada usaha-usaha yang dilakukan oleh klien akan membantu konselor untuk berpijak pada hal-hal yang bersifat obyektif.
Pengungkapan diri klien terhadap usaha pemecahan masalah yang telah dilakukan pada akhirnya akan membantu konselor dan klien untuk bersama-sama menemukan cara-cara baru untuk mengentaskan masalah klien. Untuk hal ini sebaiknya konselor telah mengidentifikasi kelebihan dan kelemahan masing-masing cara yang telah dilakukan oleh klien. Lebih lanjut, Yeoh (2003) menyatakan bahwa usaha menemukan usaha-usaha yang pernah dilakukan oleh klien juga bertujuan untuk membuang usaha-usaha yang tidak berhasil, dan membicarakan lagi usaha-usaha yang pernah berhasil untuk diangkat kembali sebagai salah satu alternative pemecahan masalah klien. Tentu saja hal ini disesuaikan dengan keadaan klien saat ini.
Desired changes, merupakan perubahan-perubahan yang diinginkan oleh klien selama proses konseling. Sebagaimana menentukan masalah, perubahan-perubahan yang diinginkan oleh klien sebaiknya dimunculkan dalam bentuk perilaku atau kata kerja aktif dan positif. Konselor bisa bertanya “Apa yang anda harapkan setelah mengikuti proses konseling?” Pertanyaan ini dapat dipergunakan oleh konselor untuk mengukur sejauh mana harapan-harapan untuk berubah pada diri klien serta apa yang akan dilakukan oleh klien.
Intervention plan, merupakan tahap pelaksanaan. Pada tahap ini, konselor telah menentukan strategi konseling yang akan dipergunakan untuk mengentaskan masalah yang dihadapi oleh klien. Yeoh (2003) menyatakan bahwa untuk merencanakan intervensi, maka beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh konselor adalah (a) jangan terburu-buru, (b) mulailah dengan perubahan-perubahan kecil yang telah dilakukan klien, (c) perkuat komitmen klien untuk berubah dan (d) bertindak kreatif.
Cormier & Cormier (1985) menyatakan bahwa saat menentukan strategi apa yang akan diberikan kepada klien, sebaiknya konselor mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a. Apakah strategi tersebut sesuai dengan karakteristik pribadi klien?
b. Apakah strategi tersebut sesuai dengan karakteristik masalah klien?
c. Apakah strategi itu lebih bersifat positif daripada menghukum?
d. Apakah strategi tersebut dapat mendorong tumbuhnya keterampilan manajemen diri siswa (self-management skills)?
e. Apakah pelaksanaan strategi itu didukung dengan literatur yang ada?
f. Apakah strategi itu mudah dilaksanakan?
g. Apakah strategi itu akan menimbulkan masalah baru bagi klien atau orang terdekat klien (significant other)?
h. Apakah strategi ini memerlukan konselor lebih dari satu orang?
i. Apakah strategi itu akan mengulang kegagalan yang sama?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sebaiknya menjadi pertimbangan bagi konselor untuk menentukan strategi apa yang akan dipergunakan untuk membantu memecahkan masalah klien.
Sebagai salah satu teknik konseling yang berbasis eklektik, maka salah satu hal penting yang perlu dilakukan adalah memberikan batas akhir bagi pelaksanaan proses konseling. Hal ini seringkali kita temui pada pendekatan-pendekatan konseling behavioristik. Penentuan waktu akhir merupakan usaha untuk melihat apakah klien komitmen dengan rencana-rencana perubahan yang telah dibicarakan bersama. Selain itu, penetapan waktu ini akan “memaksa” klien untuk lebih bertanggungjawab dalam menyelesaikan masalahnya.

Referensi

ABKIN. 2005. Standar Kompetensi Konselor Indonesia (SKKI). Jakarta: PB ABKIN.
Bolton-Brownlee, Ann. 1987. Issues in Multicultural Counseling. www.ericdigest.org/pre-925/issues.htm. Diakses tanggal 18 Juli 2006.Cormier, William., Cormier, Sherrilyn. 1985. Intervieving Strategies for Helpers: fundamental skills and cognitive behavioral interventions (2nd ed). California: Brooks/Cole Publishiing Company.
Hartono., Soedarmadji, Boy. 2006. Psikologi Konseling. Surabaya: University Press UNIPA Surabaya.
Rosjidan. 1995. Pengembangan Bimbingan dan Konseling dengan Budaya Nasional: rintisan. Makalah disampaikan dalam Kongres VIII dan Konvensi nasional X IPBI di Surabaya.

Soedarmadji, Boy., Sutijono. 2005. Model-model Konseling. Surabaya: University Press UNIPA Surabaya.
Soedarmadji, Boy., Sutijono. 2005. Pengantar Proses Konseling. Surabaya: University Press UNIPA Surabaya.
Vontrees, Clemmont. Culture and Counseling. www.ac.wwu.edu/culture/Vontress.htm Diakses tanggal 18 Juli 2006.
Westbrook, Franklin., Seadlacek, william. 1991. Forty Years of Using Labels to Communicate About Nontraditional Students: Does It Help or Hurt? Journal of Counseling & development. 70 (1): 18-20.
Yeoh, Anthony. Counseling: a Problem Solving Approach (diterjemahkan oleh Wuisan). Jakarta: Gunung Mulia



Tugas:
1. kritisi makalah tersebut dengan mempergunakan pendekatan konseling lintas budaya.

3 komentar:

dianazulyetti mengatakan...

bisa jadi bahan pertimbangan buat kuliah TA ku nih, hehe...
visit me ya @ Blog saya
trims :)

noermuhammad mengatakan...

kenapa kita tidak mau menggunakn konsep-konsep islam,padahal kita tahu bagaimana islam mengangkat harkat dan martabat manusia dari semua sisi

BOY SOEDARMADJI, S.Pd., M.Pd., CH., CHt mengatakan...

ok. bisa dipertimbangkan

Kesurupan .......... Tulisan ini mencoba untuk menjawab berbagai pertanyaan tentang proses terjadinya kesurupan massal yang menjadi fe...