Jumat, 26 Juni 2015

DIAGNOSIS MASALAH DALAM PRAKTIK KONSELING DI SEKOLAH 
Oleh: Boy Soedarmadji, S.Pd., M.Pd., CH., CHt 

A. Latar Belakang 
Permasalahan yang dihadpi oleh individu saat ini begitu beragam, baik yang disebabkan oleh faktor internal maupun internal. Permasalahan internal seringkali muncul karena individu mengalami kesulitan untuk memenuhi tugas perkembangan dan tugas pertumbuhan. Tugas perkembangan terkait dengan hal-hal yang bersifat psikologis seperti mengenal “siapa saya” dan hal-hal yang bersifat afektif. Sedangkan tugas pertumbuhan terkait dengan hal-hal yang berhubungan dengan fisiologis individu. Bahkan tidak jarang, masalah fisiologis akan sangat mempengaruhi emosi atau afektif individu. Permasalahan eksternal muncul diakibatkan oleh lingkungan di mana individu berada, seperti di keluarga, sekolah dan masyarakat. Individu seringkali mengalami ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya. Pada praktik konseling di sekolah masih banyak ditemui adanya malpraktik. Artinya, penanganan masalah yang dihadapi oleh individu seringkali tidak didasarkan pada teori konseling yang ada, bahkan seringkali terjadi bahwa penanganan masalah individu hanya dilakukan dengan cara yang “diwariskan”. Pada prinsipnya, penanganan masalah siswa/individu dilakukan dengan memperhatikan langkah-langkah sebagai berikut, a) identifikasi masalah, b) diagnosis masalah, c) prognosis, yaitu menentukan strategi konseling, d) treatment, yaitu aplikasi strategi konseling, e) follow up, yaitu memberikan tindak lanjut dari hasil konseling. Identifikasi masalah dilakukan saat pertemuan awal konseling. Pada kegiatan ini, setelah rapport terbentuk maka konselor akan mengeksplorasi masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa. Pada tahap ini, sangat mungkin individu akan menceritakan banyak masalah yang dihadapi. Dalam kondisi ini, konselor sebaiknya fokus pada semua cerita individu dan tidak memikirkan apa masalah individu secara bersamaan. Pada tahap diagnosis, konselor mulai mengajak individu untuk memilah dan memilih permasalahan mana yang menjadi permasalahan utama individu. Tahap ini merupakan tahap paling penting dalam keseluruhan proses konseling, karena pada tahap ini, konselor dan konseli/invidu akan menemukan permasalahan yang sebenarnya. Pada dasarnya, jika kita mempergunakan teori Freud, maka permasalahan yang diutarakan oleh konseli masih pada posisi puncak gunung es, yang artinya permasalahan sebenarnya mungkin masih perlu digali lagi. Tahap selanjutnya adalah prognosis. Tahap ini merupakan sebuah tahapan dimana konselor akan menentukan strategi intervensi terhadap permasalahan individu. Perlu kita ketahui bahwa permasalahan individu mungkin tidak bisa diselesaikan dengan satu strategi intervensi saja, tetapi mungkin membutuhkan strategi konseling gabungan. Hal penting di sini adalah kemampuan konselor dalam menemukan masalah akan sangat berpengaruh terhadap penentuan strategi konseling. Treatment merupakan tahapan dimana strategi konseling dilaksanakan. Pada proses ini, ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh konselor yaitu, a) pemberian rasional strategi, b) pemberian contoh pelaksanaan strategi, c) melatih individu, d) memberikan pekerjaan rumah, dan e) evaluasi. Hal ini mengindikasikan bahwa individu tidak dapat diberikan treatment tanpa mempergunakan tahapan-tahapan tersebut. Follow up merupakan tahapan dimana konselor akan mengupayakan agar perubahan perilaku yang dialami oleh individu dapat terjaga terus. Upaya yang dapat dilakukan oleh konselor sekolah adalah bekerja sama dengan significant others (orang terdekat). Tentu saja hal ini dilakukan dengan persetujuan konseli/individu.

B. Diagnosis Masalah Model A-B-C 
Diagnosis model A-B-C merupakan akronim dari Antecedent (peristiwa yang mendahului, Behavior (Perilaku yang mengikuti), dan Consequence (konsekuensi yang mengikuti). Model diagnosis ini seringkali dipergunakan dalam pendekatan konseling behaviorisme (pendekatan perilaku), sebab pendekatan ini lebih memfokuskan pada perilaku individu. 1. Peristiwa yang mendahului/Antecedent (A) Perilaku menyimpang yang dimiliki oleh seseorang seringkali bersifat situasional (Mickel:1968). Sebagai contoh, seorang anak terbiasa menggosok gigi pada saat saat bangun tidur dan akan tidur. Pada suatu saat, dia diharuskan untuk menggosok gigi pada waktu dan tempat yang berbeda. Kejadian ini secara tidak disadari dapat memunculkan perilaku seperti ingin muntah, kikuk dan lain sebagainya. Selain itu kejadian itu dapat memunculkan reaksi-reaksi fisiologis seperti gemetar, tekanan darah naik, mata merah dan lain sebagainya. Antecedent biasanya menyangkut lebih dari satu sumber atau tipe kejadian. Sumber antecedent dapat berupa afeksi (perasaan/emosi), somatis (keadaan fisik dan sensasi yang berhubungan dengan tubuh), perilaku (verbal, nonverbal dan respon motorik), kognitif (pemikiran, keyakinan, bayangan, dialog internal), konstektual (waktu, tempat, kejadian tertentu) dan relasional (kehadiran atau ketidakhadiran seseorang). Sebagai ilustrasi pernyataan di atas adalah kejadian sebagai berikut di bawah ini: Seorang individu datang kepada Konselor sekolah dan menyatakan bahwa dirinya merasa cemas. Dalam hal ini, Konselor sekolah dapat memprediksikan beberapa sumber kecemasan individu yang menjadi antecedent seperti kehilangan kontrol (kognitif), merasa bahwa tubuhnya tidak menarik (somatis), seringkali bangun terlambat (perilaku), berada di terminal (kontekstual) atau tidak mempunyai teman (relasional). Individu mengalami antecedent dalam keadaan yang berbeda-beda walaupun situasinya sama. Hal ini disebabkan masing-masing individu mempunyai pengalaman atau sejarah hidup yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain bahwa antecedent yang dihadapi oleh indvidu dipengaruhi oleh hasil belajarnya terhadap pengalaman hidup yang telah dilalui. Perlu diingat bahwa tidak semua sumber atau kejadian dapat dikatagorikan sebagai antecedent. Katagori antecedent adalah segala sesuatu yang mempengaruhi perilaku secara langsung. Artinya perilaku yang muncul pada saat ini dilakukan sebagai upaya merespon secara langsung terhadap kejadian atau sumber tertentu. Jika tidak mempengaruhi secara langsung, maka hal ini tidak dapat dikatagorikan sebagai antecedent. Dari penjelasan di atas, maka sangat penting bagi Konselor sekolah untuk mengetahui dan memahami sumber atau kejadian yang secara langsung mempengaruhi perilaku individu. Jika Konselor sekolah dapat mengidentifikasi antecendent secara tepat, maka secara tidak langsung Konselor sekolah telah memfasilitasi proses penyelesaian masalah. Selain itu, jika memungkinkan pemahaman terhadap kejadian tersebut dapat dipergunakan oleh Konselor sekolah untuk mengeliminasi perilaku yang menyimpang atau bahkan mengeliminasi sumber atau kejadian itu sendiri. 2. Perilaku/Behavior (B) Perilaku manusia dibedakan menjadi dua yaitu perilaku yang tampak (overt) dan perilaku tidak tampak (covert). Perilaku tampak adalah perilaku yang secara langsung dapat diamati oleh orang-orang di sekeliling kita. Contoh perilaku ini antara lain makan, minum, menari, berteriak, berbicara, memukul meja, memeluk dan lain sebagainya. Sedangkan perilaku tidak tampak adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam diri kita (internal) yang sulit diamati dari luar. Contoh perilaku ini antara lain berpikir, merasa sedih, berkeyakinan, berkhayal dan lain sebagainya. Perilaku individu yang bermasalah tidak bisa dipandang dari satu sisi perilaku saja. Tetapi permasalahan tersebut dapat muncul karena banyak komponen yang terdapat dalam dirinya. Komponen tersebut antara lain komponen afektif (suasana hati), komponen kognitif (pikiran) dan komponen motorik (perilaku). Bisa jadi, perilaku yang tampak dianggap sebagai sumber masalah, tetapi sebenarnya masalah itu adalah pada perilaku yang tidak tampak. Usaha membantu memecahkan masalah individu dituntut kejelian didalam memahami permasalahan individu. Artinya, Konselor sekolah didalam memandang permasalahan yang dimiliki oleh individu sebaiknya dapat melihat komponen-komponen mana yang berpengaruh sangat kuat terhadap perilaku menyimpang individu. Kejelian didalam menangkap komponen mana yang mempengaruhi individu akan berpengaruh terhadap strategi pemecahan masalah apa yang akan diberikan. 3. Konsekuensi/Consequence (C) Konsekuensi suatu perilaku adalah kejadian yang mengikuti perilaku atau secara fungsional dihubungkan dengan perilaku. Tetapi perlu diingat bahwa tidak semua kejadian yang mengikuti perilaku tertentu dapat disebut sebagai konsekuensi. Pernyataan tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut, anggap anda melakukan pembicaraan dengan seorang wanita gemuk yang gemar makan enak dan minum. Perempuan ini melaporkan kepada anda bahwa setelah makan dan minum dia merasa bersalah dan kemudian perempuan ini mngatakan pada dirinya bahwa dirinya tidak menarik. Selain itu, perempuan ini mengatakan kepada anda bahwa dia mengalami sulit tidur (insomnia). Walaupun kejadian (gemuk dan tidak menarik) tersebut merupakan hasil dari cara makannya yang salah, tetapi tidak bisa disebut sebagai konsekuen, kecuali jika hal itu justru mempengaruhi cara makannya yang salah. Konsekuensi dapat dikatagorikan sebagai sesuatu yang positif dan negatif. Konsekuensi positif mengarah pada suatu reward atau reinforcement. Artinya bahwa konsekuensi ini dapat menjaga atau malah meningkatkan perilaku yang telah terjadi. Sebagai contoh, seorang anak dapat menulis huruf A-H dengan baik dan benar. Secara langsung dia mendapatkan reinforcement dari guru dengan ungkapan “baik”. Maka ungkapan “baik” ini merupakan konsekuensi positif bagi anak. Dengan demikian, perilaku anak menulis dengan baik dan benar huruf A-H tersebut dapat dipertahankan atau malah meningkat. Hal ini dapat menjadi terbalik apabila anak tersebut mendapat punishment dari guru. Pada beberapa kasus atau kejadian, seringkali orang atau individu justru melakukan tindakan atau perilaku yang negatif, tetapi di lain pihak perilaku negatif ini dapat memberikan kepuasan bagi dirinya. Sebagai ilustrasi, individu minum minuman beralkohol pada saat dia mengalami masalah yang berat (DO, perceraian, PHK dll). Pada dasarnya perilaku minum minuman beralkohol tersebut adalah negatif, tetapi bagi individu yang bersangkutan, perilaku tersebut dapat menjadi positif, karena dengan minum minuman beralkohol tersebut dia dapat menghindar atau melupakan masalah. Ilustrasi lain, seorang ibu yang melahirkan anak yang tidak dikehendaki. Untuk melupakan anak tersebut, ibu ini meminum pil ekstasi atau pil psikotropika. Pada dasarnya pil tersebut adalah negatif, tetapi bagi ibu ini pil tersebut akan bermakna positif. Sebab dengan mengkonsumsi obat-obatan tersebut, maka ibu ini dapat terlepas dari tanggungjawab yang sebenarnya tidak diinginkan. Konsekuensi negatif dapat mengurangi atau menghilangkan perilaku tertentu yang tidak diinginkan. Perilaku yang tidak diinginkan akan menurun jika terus menerus diikuti dengan stimulus atau kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan. Sebagai ilustrasi, seorang istri senang makan dan minum yang enak-enak. Setelah makan dan minum perempuan tersebut mendapatkan kepuasan (konsekuensi +). Pada saat lain, suaminya menyatakan bahwa jika istrinya makan dan minum tanpa kontrol, maka pada saat belanja, sang istri tidak akan diajak (konsekuensi -). Pemberian konsekuensi negatif yang terus menerus memungkinkan perilaku negatif (makan tidak terkontrol) dapat berkurang atau bahkan dihilangkan. Pemberian konsekuensi negatif ini seringkali diberikan untuk merubah perilaku seseorang secara langsung. Hal ini seringkali dilakukan di sekolah. Wujud nyata dari pemberian konsekuensi negatif ini adalah dengan pemberian hukuman kepada individu. Hanya saja, Konselor sekolah perlu mempertimbangkan kembali terhadap efek jangka yang akan diterima oleh individu di sekolah. Sebab, pemberian konsekuensi negatif ini tidak jarang pula justru menambah daftar masalah yang dialami oleh individu. Konsekuensi juga meliputi beberapa sumber atau tipe kejadian. Hal ini sama dengan antecedent yang meliputi afektif, kognitif, konstektual dan relasional. Pada saat memecahkan masalah, Konselor sekolah perlu mengadakan identifikasi tentang konsekuensi-konsekuensi apa yang dapat mempertahankan, meningkatkan atau bahkan melemahkan perilaku individu. Informasi tentang konsekuensi ini pada akhirnya akan membantu Konselor sekolah untuk memberikan strategi intervensi. Akhirnya Konselor sekolah sebaiknya menyadari bahwa antecedent, konsekuensi dan komponen-komponen permasalahan individu sebaiknya diidentifikasikan secara cermat. Hal ini didasarkan pada suatu prinsip bahwa tidak ada individu yang sama dimana penanganan masalah untuk masing-masing individu juga berbeda.

C. Diagnosis SWOT
Model SWOT sebenarnya sbanyak dilakukan pada bidang manajemen industri. Tetapi ada beberapa hal yang menarik yang dapat kita adopsi untuk membantu mendiagnosis permasalahan yang dialami oleh individu. Sebagaimana kita pahami bersama bahwa SWOT merupakan singkatan dari Strengths (kekuatan), Weakness (kelemahan), Opportunities (kesempatan) Threats (ancaman). Dalam proses layanan bimbingan dan konseling di sekolah, penggunaan strategi SWOT ini dapat dipegunakan untuk membantu individu dalam menyelesaikan masalah seperti pilihan jurusan, pilihan karier, penyesuaian diri dan lain-lain.
1. Strengths adalah faktor internal yang dimiliki oleh individu seperti percaya diri, tampan, cantik, tabah, sabar dan lain sebagainya. Untuk hal ini, konselor sekolah dapat membantu siswa untuk mengembangkan self-awareness (kesadaran diri) siswa melalui serangkaian daftar pertanyaan yang bisa dikembangkan sendiri oleh konselor sekolah.
2. Weakness adalah faktor internal yang berisi kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh siswa seperti rendah diri, pemalu, tidak sabaran, tidak bisa menyelesaikan masalah berhitung, jelek, gemuk, pendek dan lain sebagainya.
3. Opprtunities adalah faktor eksternal yang memungkinkan dilakukan oleh individu untuk mencapai apa yang diinginkan atau dibutuhkan. Kesempatan-kesempatan apa saja yang bisa dipergunakan oleh individu untuk mencapai tujuannya?
4. Threats adalah faktor eksternal yang mengancam keberadaan individu. Dalam hal ini, konseli/individu dapat menyatakan masalah-masalah yang mengancam dirinya. Berdasar pada uraian di atas, maka pada dasarnya pelaksanaan konseling dalam penggunaan strategi SWOT ini adalah melihat ancaman yang dinyatakan oleh individu. Berdasar pada ancaman ini, maka konselor akan dapat menentukan strategi konseling apa yang akan digunakan untuk membantu mengatasi masalah individu.

Simpulan
1. Kebanyakan perilaku seseorang adalah hasil belajar, walaupun itu bukan penyebab secara biologis terhadap permasalahan psikologis;
2. Penyebab masalah seseorang sangat komplek/multidimensional;
3. Permasalahan yang muncul sebaiknya dipandang secara konkrit dan operasonal;
4. Permasalahan muncul dalam kontek sosial dan dipengaruhi oleh antecedent internal dan eksternal yang secara fungsional mempengaruhi permasalahan dalam banyak hal; dan
5. Komponen permasalahan yang mempengaruhi antecedent dan konsekuensi dapat berupa afektif, somatis, perilaku, kognitif, kontekstual dan relasional.

Kesurupan .......... Tulisan ini mencoba untuk menjawab berbagai pertanyaan tentang proses terjadinya kesurupan massal yang menjadi fe...