STUDI KASUS
Studi kasus didefinisikan sebagai usaha penyelesaian masalah siswa dengan cara melakukan pengumpulan dan pelaporan seluruh bukti konkrit tentang keadaan siswa seperti keadaan sosial, psikologis, lingkungan dan vocasional dari siswa yang dihubungankan dengan data-data lain yang mendukung (Shertzer & Stone, 1981). Selanjutnya Winkel (1991) menyatakan bahwa studi kasus merupakan metode untuk mempelajari keadaan dan perkembangan seseorang secara lengkap dan mendalam dengan tujuan untuk memahami individualitas siswa dengan lebih baik dan membantunya dalam perkembangan selanjutnya.
Studi kasus merupakan metode yang komprehensif untuk mengumpulkan dan menyimpulkan data tentang individu Dikatakan sebagai cara yang komprehensif karena dalam melakukan studi kasus maka konselor sekolah perlu untuk mengumpulkan data-data individu dari sumber-sumber yang relevan dan terkini seperti catatan kumulatif, hasil observasi, hasil wawancara, data autobiografi individu, data-data dari angket, data dari tes (mis: tes psikologis), data dari guru (bidang studi, wali kelas), data dari hasil wawancara dengan orang tua dan data-data lain yang dianggap relevan dan terkini.
Pelaksanaan studi kasus di sekolah merupakan suatu kegiatan yang dapat dikatakan mahal. Sebab permasalahan yang dihadapi oleh siswa pada intinya merupakan masalah khusus, dimana tidak dapat diselesaikan dengan mempergunakan pendekatan-pendekatan biasa. Selain itu, pendekatan yang dipergunakan dalam studi kasus merupakan pendekatan yang sistemik dan membutuhkan koordinasi dengan banyak pihak baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah.
Banyak konselor sekolah mempergunakan strategi studi kasus ini sebagai upaya untuk mengenal klien lebih dalam. Hal ini dilakuka oleh konselor sekolah dengan harapan bahwa semakin dalam konselor dapat mengenal klien maka diharapkan proses konseling akan lebih produktif. Selain itu, melalui studi kasus ini konselor akan dapat mengklarifikasi data yang telah ada, sehingga dapat dipisahkan antara data yang penting dan yang tidak. Hanya saja, dalam melakukan usaha pengumpulan data ini konselor harus menuliskan permasalahan secara jelas, akurat dan obyektif dengan meminimalisasi bias dalam melakukan interpretasi. Di bawah ini akan disajikan tabel mengenai keuntungan dan kerugian penggunaan metode studi kasus menurut Shertzer dan Stone 1981.
Advantages
Disadvantages
1. Isolates key factors in situations wherein conflicting accounts become confusing
2. Indentifies multiple causation and a constellation of contributing factors
3. Yields systematic diagnosis and treatment plans
4. Results in predictive outcomes
1. Requires extensive time dan efforts
2. May contain inadequate or questionable past data
3. May delay treatment
4. May focus undue attention upon a single troubled individual to detriment of others
Hal mendasar yang perlu dicermati oleh konselor sekolah dalam melakukan studi kasus adalah asas kerahasiaan. Sebab, pada saat konselor melakukan pengumpulan data dan kemudian melakukan menyimpulkannya, seringkali ada beberapa pihak yang secara intensif mengetahui data-data klien. Pihak ini adalah orang tua. Orang tua menjadi sosok yang dapat melakukan intervensi terhadap permasalahan anaknya. Padahal dalam konseling, hubungan konseling dilandasi atas kepercayaan antara konselor dan klien. Akan sangat berbahaya jika data-data klien diketahui oleh orang lain apalagi jika tanpa seijin klien yang bersangkutan.
Shertzer dan Stone (1981) memberikan rekomendasi atau saran-saran bagi usaha pengumpulan data di sekolah sebagai berikut:
1. Informasi yang dikumpulkan di sekolah sebaiknya berasal dari diri siswa sendiri dan orang tua siswa. Data siswa akan lebih baik jika mencakup data-data tentang hasil tes sikap dan kemampuan.
2. Informasi yang dikumpulkan oleh sekolah sebaiknya diklasifikasikan berdasar tingkat urgensinya dan dibedakan berdasar tingkat keamanan dan akses untuk membuka data tersebut
3. Sekolah sebaiknya mengembangkan suatu prosedur untuk melakukan verifikasi data keakuratan data
4. Orang tua sebaiknya memiliki akses penuh terhadap catatan anaknya (untuk konselor sekolah, sebaiknya hal ini perlu dicermati!)
5. Tidak semua personil sekolah dapat mengakses data siswa tanpa adanya ijin dari siswa dan orang tua siswa.
Pernyataan tersebut di atas diperkuat oleh American Personnel and Guidance Association (APGA) bahwa catatan konseling seperti catatan wawanvara, tes, data, hasil surat menyurat, hasil rekaman dan lain sebagainya merupakan informasi yang dipergunakan secara profesional dalam konseling dan ini bukan merupakan bagian yang dapat diinformasikan kepada publik atau pada orang lain di mana konselor sekolah bekerja. Pelanggaran terhadap aturan ini akan menimbulkan konflik yang berbahaya bagi klien, konselor dan sekolah itu sendiri.
Winkel (1991) mempertanyakan sampai seberapa jauh data dan informasi yang diperoleh melalui alat tes dan nontes harus dirahasiakan? Data-data yang berisfat umum seperti identitas nama, tanggal lahir, alamat, jenis kelamin, agama merupakan data yang “dapat” diketahui oleh orang lain. Tetapi data seperti latar belakang keluarga, riwayat pendidikan, hasil evaluasi belajar, pengalaman di luar sekolah, catatan kesehatan jasmani, hasil tes psikologis, laporan kunjungan rumah, laporan studi kasus, pergaulan sosial adalah data khusus yang tidak dapat dikonsumsi umum.
Penyelesaian masalah siswa melalui studi kasus dapat dilakukan dengan mempergunakan berbagai pendekatan dalam konseling. Pendekatan ini disebut dengan pendekatan eklektik, dimana konselor menggabungkan beberapa pendekatan untuk menyelesaikan satu permasalahan yang dihadapi oleh siswa. Pertimbangan penggunaan pendekatan eklektik ini menurut Slameto (2002) adalah:
1. Ekonomis dari segi waktu baik bagi konselor maupun konseli
2. Efektifitas teknis yang dipakai cocok untuk beragam konseli
3. Kesegaran hasil yang dicapai
4. Kedalaman, tahan lama serta dapat dipakai konseli untuk melakukan konseling dirinya sendiri.
CONTOH STUDI KASUS
Slameto (2002) memberikan contoh studi kasus yang secara lengkap akan dikutip oleh penulis sebagai berikut di bawah ini.
Deskripsi kasus
Lia (samaran) adalah siswa kelas I SMU favorit Salatiga yang berusaha untuk naik kelas II. Ia berasal dari keluarga petani yang terbilang cukup secara sosial ekonomi di desa pedalaman kurang lebih 17 km di luar kota Salatiga. Sebagai anak pertama semula orang tuanya berkeberatan setamat SLTP anaknya melanjutnya ke SMU di Salatiga. Orang tua sebetulnya berharap agar anaknya tidak susah-susah melanjutkan sekolah ke kota, tetapi atas bujukan wali kelas anaknya saat pengambilan STTB dengan berat hati merelakan anaknya melanjutkan sekolah. Pertimbangan wali kelasnya karena Lia terbilang cerdas diantara teman-teman yang lain sehingga wajar jika bisa diterima di SMU favorit. Sejak diterima di SMU favorit di satu pihak Lia bangga sebagai anak desa toh bisa diterima, tetapi di lain pihak mulai minder dengan teman-temannya yang sebagian besar berasal dari keluarga kaya dengan pola pergaulan yang begitu beda dengan latar belakang Lia. Ia menganggap teman-teman dari keluarga tersebut sebagai orang yang egois, kurang bersahabat, pilih-pilih teman yang sama-sama dari keluarga kaya saja dan sombong. Makin lama perasaan ditolak, terisolir dan kesepian makin mencekam dan mulai timbul sikap dan anggapan sekolahnya itu bukan untuk dirinyaq, tidak kerasan, tetapi mau keluar malu dengan orang tua dan teman sekampung, terus bertahan, susah tak ada/punya teman yang peduli. “Dasar saya anak desa, anak miskin” (dibanding dengan teman-teman di kota) hujatnya pada diri sendiri. Akhirnya benar-benar menjadi anak minder, pemalu dan serta ragu dan takut bergaul sebagaimana mestinya. Makin lama nilainya semakin jatuh sehingga beban pikiran dan perasaan makin berat, sampai-sampai ragu apakah bisa naik kelas atau tidak.
Memahami Lia dalam perspektif RET
Menurut pandangan RET (rasional emotif Terapi), manusia memiliki kemampuan inheren untukberbuat rasional ataupun tidak rasional. Manusia seringkali menyalahkan diri sendiri, orang lain dan dunia apabila tidak segera memperoleh apa yang diinginkannya. Akibatnya berpikir kekanak-kanakan (sebagai hal yang manusiawi) seluruh kehidupannya, akhirnya hanya kesulitan yang luar biasa besar yang didapat. Selain itu, manusia juga mempunyai kecenderungan untuk melebih-lebihkan pentingnya penerimaan orang lain yang justru menyebabkan emosinya menjadi tidak wajar dan dan menyalahkan dirinya sendiri. Berpikir dan merasa itu mempunyai dibedakan dengan selaput yang sangat tipis: pikiran dapat menjadi perasaan dan sebaliknya. Apa yang dipikirkan dan atau apa yang dirasakan atas sesuatu kejadian diwujudkan dalam suatu tindakan/perilaku rasional atau irasional. Bagaimana tindakan/perilaku itu sangat mudah dipengaruhi oleh orang lain dan dorongan-dorongan yang kuat untuk mempertahankan diri dan memuaskan diri sekalipun irasional.
Lia sebetulnya terlahir dengan potensi unggul, ia menjadi bermasalah karena perilakunya dikendalikan oleh pikiran/perasaan irasional. Ia telah menempatkan harga diri pada konsep/kepercayaan yang salah yaitu jika kaya, semua teman akan memperhatikan/mendukung, peduli dan lain-lain. Itu semua tidak ada/didapatkan sejak di SMU, sampai pada akhirnya menyalahkan dirinya sendiri dengan hujatan dan penderitaan serta mengisolir dirinya sendiri. Ia telah berhasil membangun konsep dirinya secara tidak realistis berdasarkan anggapan yang salah terhadap (dan dari) teman-teman lingkungannya. Ia menjadi minder, pemalu, penakut dan akhirnya ragu-ragu terhadap prestasi/keberhasilannya kelak yang sebetulnya tidak perlu terjadi.
Tujuan dan Teknik Konseling
Tujuan konseling dalam kasus Lia ini adalah memerangi pemikiran irasional yang dimiliki Lia yang melatarbelakangi ketakutan/kecemasannya yaitu konsep diri yang salah. Dalam proses konseling ini, konselor lebih bersikap otoritatif. Konselor memanggil Lia, mengajak berdiskusi dan melakukan konfrontasi langsung untuk menolongnya agar segera beranjak meninggalkan pola pikir yang irasional/tidak logis ke pola pikir yang rasional/logis melalui persuasif, sugestif, pemberian nasehat secara tepat, terapi dengan menerapkan prinsip-prinsip belajar untuk PR serta bibiliografi terapi.
Konseling kognitif: untuk menunjukkan bahwa Lia harus membongkar pola pikir irasionalnya tentang konsep harga diri yang salah, sikap terhadap sesama teman yang salah jika ingin lebih bahagia dan sukses. Konselor lebih bergaya mengajar: memberikan nasehat, konfrontasi langsung dengan peta pikir rasional-irasional, sugesti, asertif training dengan simulasi diri menerapkan konsep diri yang benar dan sikap/ketergantungan pada orang lain yang benar/rasional dilanjutkan sebagai PR melatih, mengobservasi dan evaluasi diri. Contoh: “Seseorang berharga bukan karena kekayaan atau jumlah dan status teman yang mendukung, tetapi pada kasih Tuhan dan perwujudan-Nya. Tuhan mengasihi saya, karena saya berharga di hadiratNya. Terhadap diri saya sendiri suatu saat saya senang, puas dan bangga, tetapi kadang-kadang acuh tak acuh, bahkan adakalanya saya benci, memaki-maki diri sendiri, sehingga wajar dan realistis jika sejumlah 40 orang teman satu kelas misalnya ada + 40% yang baik, 50% netral, hanya 10% saja yang membenci saya. Adalah tidak mungkinmenuntut semua/setiap orang setiap saat untuk baik pada saya”. Ide-ide ini terus dilatihkan dan diajarkan melalui cara-cara ilmiah.
Konseling emotif-evolatif: untuk mengubah sistem nilai Lia dengan menggunakan teknik penyadaran antara yang benar dan salah seperti pemberian contoh, bermain peran dan pelepasan beban agar Lia melepaskan pikiran dan perasaannya yang tidak rasional dan menggantinya dengan yang rasional sebagai kelanjutan teknik kognitif di atas. Konseling behavior digunakan untuk mengubah perilaku yang negatif dengan merubah akar-akar keyakinan Lia yang irasional/tidak logis melalui kontrak, reinforcement, sosial modeling dan relaksasi/meditasi.
REFERENSI
Nurihsan, Juntika. 2003. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Bandung: Mutiara.
Shertzer, Bruce., Stone, Shelley. 1981. Fundamentals of Guidance (4th ed). Boston: Houghton Mifflin Company.
Slameto. 2002. Studi Kasus untuk Bimbingan dan Konseling. www. Pendidikan.net\artikel\memahami dan menolong siswa yang kurang PD.html.
Winkel, WS. 1991. Bimbingan dan Konsel
Blog ini dapat dipergunakan sebagai referensi bagi para mahasiswa, konselor sekolah, dan pemerhati konseling. Khususnya terhadap hipnokonseling Gestalt (HiGest). Semoga bermanfaat, terima kasih.
Kamis, 04 Oktober 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Kesurupan .......... Tulisan ini mencoba untuk menjawab berbagai pertanyaan tentang proses terjadinya kesurupan massal yang menjadi fe...
-
PELAKSANAAN BIMBINGAN DAN KONSELING PADA SETTING SEKOLAH Boy Soedarmadji A. Latar Belakang Pelaksanaan bimbingan dan konseling telah dirinti...
-
KONSELING LINTAS BUDAYA Oleh: Boy Soedarmadji A. Pengantar Sesuai dengan kodrat yang dimiliki oleh manusia bahwa manusia diciptakan sebagai ...
-
PENDEKATAN GESTALT Oleh: Boy Soedarmadji Frederick Perls (1893-1970) adalah pendiri pendekatan konseling Gestalt. Frederick dilahirkan...
1 komentar:
Saya Nina
Terima kasih ya pak tulisannya sangat m'bantu dlm pneyususna skripsi saya.
Posting Komentar