Minggu, 18 Februari 2018


Kesurupan ..........

Tulisan ini mencoba untuk menjawab berbagai pertanyaan tentang proses terjadinya kesurupan massal yang menjadi fenomena menarik saat ini. Saat melakukan pelatihan HiGest, penulis seringkali mendapat pertanyaan tentang bagaimana terjadinya proses kesurupan massal di sekolah. Apakah hal ini adalah proses supranatural ataukah dapat dijelaskan dengan mempergunakan teori Gestalt?
Saat menjawab pertanyaan itu, saya menegaskan bahwa saya bukan ahli dalam bidang supranatural. Jika permasalahan itu ditangani oleh pihak-pihak yang memahami dunia supranatural, maka sebaiknya para konselor “mendiamkan dulu”, sebab sudah ada “ahli” yang menanganinya. Jika tidak ada “ahli” lain? Konselor sebaiknya mendiamkan siswa yang dalam kondisi “kesurupan” itu, sambil menjaga mereka untuk tidak melukai diri sendiri dan orang lain. Peserta pelatihan HiGest bertanya, “alasannya pak?”
Teori gestalt merupakan teori konseling yang mencoba untuk menggabungkan semua teori konseling yang ada. Hal ini menjadi prinsip Gestalt tentang keseluruhan (whole). Penggabungan ini justru memunculkan sifat saling melengkapi (complementary) terhadap teori Gestalt itu sendiri.
Teori gestalt menyatakan bahwa orang yang sehat adalah mereka yang sadar (awareness) terhadap kondisi pikiran, emosi serta perilakunya pada kondisi di sini dan saat ini (here and now). Permasalahan siswa saat ini seringkali ditimbulkan karena adanya masalah yang belum selesai (unfinished business) antara siswa dengan orang lain (significant other). Penyelesaian masalah yang tidak tuntas atau tidak dapat diselesaikan akan disimpan dalam alam bawah sadara siswa (siswa). Jika siswa dapat dengan segera menuntaskan masalahnya, maka pada dasarnya mereka telah menyalurkan energi-energinya secara positif, tetapi jika dia tidak dapat melakukan upaya memecahkan masalah maka sebenarnya mereka telah menghambat energinya (block to energy).
Kondisi yang terjadi saat “kesurupan” sebenarnya merupakan luapan energi-energi yang terhambat dan disimpan di alam bawah sadar. Freud menyebutnya sebagai sampah-sampah yang disimpan di alam bawah sadar. Energi-energi yang disimpan ini mirip dengan id yang selalu ingin menyelesaikan masalahnya. Penyelesaian masalah ini seringkali bersifat destruktif atau merusak.
Saat siswa tidak dalam kondisi here and now (misal: melamun), maka sebenarnya dia tidak dalam kondisi sadar. Gestalt memahami bahwa antara alam sadar dan tidak sadar itu memiliki batas yang relatif tipis, dan itu rentan untuk ditembus oleh kekuatan-kekuatan energi yang dihambat atau id. Sesorang yang dalam melamun karena adanya masalah yang belum selesai seringkali mengalami masalah-masalah “kesurupan”. Hal ini dikarenakan saat siswa dalam kondisi melamun, maka alam ambang sadar atau pintu ambang sadarnya menjadi terbuka. Kondisi ini memberikan kesempatan kepada energi-energi yang diblokir atau id yang dipendam lama memiliki kesempatan untuk menerobos ke alam sadar siswa. Waktu yang dibutuhkan untuk menerobos alam ambang sadar tidak lama, bahkan sangat singkat.
Apabila energi negatif yang tersimpan atau id yang ditahan di alam bawah sadar keluar, maka tidak menutup kemungkinan akan mendorong siswa untuk bertindak atau berperilaku negatif bahkan destruktif. Perilaku negatif ini seperti menangis, berteriak, memukul dan lain sebagainya. Pada dasarnya perilaku negatif ini merupakan katarsis bagi siswa untuk melepaskan energi-energi yang selama ini ditahan, atau menjadi sarana bagi id untuk memperoleh kenikmatan.
Pada kasus “kesurupan” massal, proses yang dialami oleh masing-masing siswa pada dasarnya sama. Mereka tidak dalam kondisi di sini dan saat ini. Saat mereka melihat teman mereka dalam kondisi “kesurupan”, seringkali mereka terkejut. Kondisi terkejut yang terjadi dalam beberapa detik, pada dasarnya mengarahkan mereka untuk masuk ke alam ambang sadar. Ironisnya, mereka seringkali memiliki masalah yang belum terselesaikan juga, sehingga energi-energi yang selama ini dipendam juga muncul. Jika terjadi pada banyak siswa di sekitarnya, maka akan muncul kondisi “kesurupan” massal.
Pada dasarnya untuk menangani siswa yang “kesurupan” adalah dengan memberikan kesempatan bagi mereka untuk melakukan katarsis. Artinya jika konselor menemukan kasus seperti ini, maka sebaiknya konselor membiarkan terlebih dahulu sambil mengamati apakah katarsis ini menuju pada perilaku destruktif atau tidak. Jika siswa tidak menunjukkan perilaku destruktif, maka boleh dibiarkan, tetapi jika menunjukkan perilaku destruktif seperti memukul, atau menabrakkan kepala ke tembok, maka konselor sebaiknya menahan siswa tersebut sampai dalam kondisi lemas.
Siswa yang mengalami katarsis akan merasakan lemas saat energi-energi yang ditahannya telah keluar. Saat siswa dalam keadaan lemas ini, sebaiknya konselor juga tidak memberikan reaksi yang berlebihan. Konselor cukup memberikan senyuman kepada siswa tersebut. Hal ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa siswa tidak sendirian dalam kondisi ini. Setelah kurang lebih 10 menit, dan konselor melihat kondisi siswa sudah tenang, maka selanjutnya konselor boleh memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada siswa tentang apa yang sudah terjadi.


Jumat, 09 Februari 2018


PENDEKATAN GESTALT DALAM PERSPEKTIF BUDAYA
(Aplikasinya dalam praktik konseling di Indonesia)

Oleh
Boy Soedarmadji, S.Pd., M.Pd., CHt

Latar Belakang
Saat ini media sosial sering memunculkan berita tentang kasus-kasus yang dilakukan oleh para siswa, baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat pada umumnya. Beberapa kasus yang terjadi di lingkungan sekolah dan masyarakat saat ini membuat miris bagi orang yang menyaksikan atau membacanya.
Salah satu kasus yang menjadi viral di media massa dan media sosial baru-baru ini adalah perilaku penganiayaan yang dilakukan oleh seorang siswa kepada gurunya, yang (mungkin) menyebabkan gurunya meninggal dunia saat sampai di rumah sakit. Kasus tersebut menjadi polemik baik di kalangan guru, siswa, perguruan tinggi bahkan di masyarakat.
Polemik yang muncul di media sosial cenderung untuk membela guru sebagai seorang pahlawan yang meninggal saat bertugas. Tidak sedikit simpati yang diberikan kepada guru tersebut.
Pada sisi lain, siswa sebagai “pelaku penganiayaan” mendapatkan perlakuan yang berbanding terbalik. Siswa ini mendapatkan hujatan yang sangat keras di masyarakat. Cacian dan label-label negatif diberikan kepada siswa ini. Bahkan demi “pengamanan”, siswa ini telah “diamankan” oleh pihak berwajib setempat.

Kondisi Sisiokultural
Indonesia dikenal dengan keragaman etnis dan budaya. Lebih dari 367 etnis yang ada di Indonesia. Kesemuanya memiliki keragaman nilai yang menjadikan kekayaan tiada terkira. Keragaman ini pada akhirnya akan memunculkan individu-individu yang unik, dimana mereka berpikir, merrasakan dan berperilaku yang berbeda sesuai dengan apa yang telah dipelajari atau diturunkan oleh lingkungan.
Sifat budaya ada dua yaitu budaya yang bersifat khas (unik) dan budaya yang bersifat umum. Nilai budaya yang khas (unik) adalah suatu nilai yang dimiliki oleh bangsa tertentu. Lebih dari itu, ni­lai‑nilai ini hanya dimiliki oleh masyarakat atau suku/ etnis tertentu dimana keunikan ini berbeda dencan kelompok atau bangsa lain. Keunikan nilai ini dapat meniadi barometer untuk mengenal bangsa atau kelompok tertentu.
Nilai budaya yang dianut oleh masyarakat tertentu pada umumnya dianggap mutlak kebenarannya. Hal ini tampak pada perilaku yang ditampakkan oleh anggota masyarakat itu. Mereka mempunyai keyakinan bahwa apa yang dianggap benar itu dapat dijadikan panutan dalam menialani hidup sehari‑hari. Selain itu, nilai budaya yang diyakini kebe­narannya tersebut dapat dipergunakan untuk membantu menyelesaikan masalah yang timbul. Dengan kata lain bahwa nilai budaya tertentu yang ada dalam suatu masyarakat mempunyai suatu cara tersendiri untuk memecahkan permasa­lahan yang timbul dalam anggota masyarakat tersebut (Lee & Sirch, 1994).
Suatu budaya tertentu akan mempengaruhi kehidupan masyarakat tertentu (walau bagaimanapun kecilnya). Dengan demikian, Suatu hasil budaya kelompok masyarakat tertentu akan dianggap lebih tinggi dan bahkan mungkin lebih diinginkan. Hal ini dilakukan agar kelompok masyarakat tertentu itu memiliki derajat atau tingkatan yang lebih baik dari "tetangganya". Dengan kata lain bahwa budaya merupakan cara hidup suatu kelompok tertentu yang diturunkan kepada setiap generasi kelompok tersebut (Vontress, 2006).
Supriatna (2008)  menyatakan khusus dalam kebudayaan Jawa, ketaatan merupakan sifat yang dinilai sangat tinggi. Anak yang manut (yaitu taat) adalah anak yang sangat terpuji, sementara anak yang selalu mempunyai kehendak sendiri dan gemar mengeksplorasi segala hal di sekitarnya, dianggap mengganggu dan tidak dianggap sebagai anak yang sopan dan santun.
Budaya universal mengandung pengertian bahwa nilai‑nilai yang dimiliki oleh semua lapisan masyarakat. Nilai‑nilai ini dijunjung tinggi oleh segenap manusia. Dengan demikian, secara umum umat manusia yang ada dunia ini memiliki ke­samaan nilai‑nilai tersebut. Contoh dari nilai universal ini antara lain manusia berhak menentukan hidupnya sendi­ri, manusia anti dengan peperangan, manusia mementingkan perdamaian, manusia mempunyai kebabasan dan lain‑ lain.
Proses kepemilikan budaya dari generasi ke generasi tidak bersifat herediter. Proses kepemilikan budaya antar generasi melalui proses belajar (Ihrom, 1988). Hal ini menunjukkan bahwa peran orang yang lebih tua akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan budaya itu sendiri. Pengertian sosialisasi dalam bahasan ini adalah suatu proses yang harus dilalui manusia muda untuk memperoleh nilai‑nilai dan pengetahuan mengenai kelompoknya dan belajar mengenai peran sosialnya yang cocok dengan kedudukannya di situ (Goode, 1991).

Pendekatan Gestalt
Pendekatan Gestalt diperkenalkan oleh Frederick Perls (1893-1970) dan Laura (Lore) Posner (1905-1990). Dimana kedua orang ini (yang kemudian menjadi suami istri) secara intensif melakukan kolaborasi dalam mengembangkan teori Gestalt, hingga akhirnya pada tahun 1952 mendirikan New York Institute for Gestalt Therapy. Pendekatan Gestalt ini didasarkan pada pandangan bahwa manusia memiliki untuk melakukan perubahan-perubahan pada dirinya sendiri.
Sebagai salah satu aliran humanistik, maka Gestalt meyakini bahwa individu harus dipahami dunianya dengan memperhatikan tiga kondisi yaitu a) sebagai keseluruhan yang penuh arti (whole and meaningfull), b) kesadaran di sini dan saat ini (here-and-now), dan c) pengalaman individu dilihat melalui introspeksi. Selain itu, aliran humanistik memiliki karakteristik a) memandang manusia sebagai individu yang tidak mekanistik, b) tidak menerima prinsip-prinsip determinasi, c) memandang indiviu sebagai subyek, c) berpusat pada status holistik untuk memahami perilaku manusia dan, d) tiap perilaku individu unik, sehingga penyelesaian masalah harus didasarkan pada kesadaran mereka melihat dunianya.
Pendekatan Gestalt memiliki keunikan tersendiri yang mampu menunjukkan eksistensinya dalam aliran humanistik. Perls (dalam McLeod, 2006) menyatakan bahwa Gestalt menentang segala sesuatu yang yang terlalu rasional, atau apa yang disebutnya dengan “omong kosong”. Karena itu pendekatannya memberikan fokus kepada pengalaman atau kesadaran konseli “saat ini”, dengan tujuan menghilangkan halangan untu melakukan kontak autentik dengan lingkungan karena pola lama (unfinished bussines).
Pendekatan Gestalt memiliki delapan asumsi pandangan tentang manusia.  Kedelapan asumsi tersebut adalah:
  • Manusia merupakan suatu komposisi yang menyeluruh (whole) yang diciptakan dari adanya interrelasi bagian-bagian. Tidak ada satu bagian tubuh (tubuh, emosi, pemikiran, perhatian, sensasi dan persepsi) yang dapat dipahami tanpa melihat manusia itu secara keseluruhan;
  • Seseorang juga merupakan bagian dari lingkungannya dan tidak dapat dipahami dengan memisahkannya
  • Seseorang memilih bagaimana merespon stimuli eksternal, dia merupakan aktor dalam dunianya dan bukan reaktor
  • Seseorang mempunyai potensi untuk secara penuh menyadari keseluruhan sensasi, pemikiran, emosi, dan persepsinya
  • Seseorang mampu untuk membuat pilihan karena kesadarannya
  • Seseorang mempunyai kemampuan untuk menentukan kehidupan secara efektif;
  • Seseorang tidak mengalami masa lalu dan masa yang akan datang; mereka hanya akan dapat mengalami dirinya pada saat ini
  • Seseorang itu pada dasarnya baik dan bukan buruk.


Lebih lanjut, Yontef (1993) menyatakan bahwa hubungan antara konselor dengan konseli memiliki empat karakteristik yaitu:
  • Penyertaan. Karakteristik ini merupakan keterampilan tingkat tinggi, karena konselor dituntut untuk dapat melakukan empati, yaitu menempatkan diri konselor secara penuh dalam kerangka pengalaman konseli, tanpa ada unsur penilaian, analisis atau penafsiran. Hal ini sangat penting dilakukan agar konseli tetap berada dalam keadaan otonom dan menghindari regresi, sehingga kesadaran akan dapat muncul.
  • Keberadaan. Gestalt mengakui bahwa keberadaan konselor dengan konseli dapat dilakukan melalui sebuah proses dialog. Keberadaan konselor bersama konseli memungkinkan konselor melakukan observasi dan penggalian pengalaman, perasaan, pengalaman dan pikiran yang dimiliki oleh konseli. Keberadaan ini akan memunculkan kepercayaan konseli, sehingga apa yang diungkapkan oleh konseli bukan merupakan proyeksi masa lalunya.
  • Komitmen untuk dialog. Gestalt mengakui bahwa untuk proses konseling, maka konseli sebaiknya memiliki komitmen untuk melakukan dialog (kontak) secara aktif dengan konselor. Komitmen untuk dialog ini secara langsung akan menampakan proses internal yang terjadi dalam diri konseli, sehingga akan terhindar adanya manipulasi-manipulasi data yang dilakukan oleh konseli. Jika ini terjadi, maka konseli akan mampu mengendalikan dirinya dan “hidup” pada saat ini.
  • Dialog yang hidup. Dialog yang hidup diartikan sebagai “mengalami saat ini” daripada hanya berbicara “tentang” atau “melihat sesuatu”. Proses dialog ini merupakan sebuah proses sharing dari apa yang dirasakan oleh konseli pada saat ini, sehingga energai yang dimiliki oleh konseli dapat tersalurkan. Dalam dialog ini, sebenarnya konseli melakukan proses dialog dengan dirinya sendiri. Dia mencari sumber masalahnya, menyadari bahwa dia memiliki masalah, mencari alternatif pemecahan masalahnya dan akhirnya memecahkan masalahnya sendiri


Pendekatan Gestalt secara umum memiliki perhatian terhadap kondisi yang mempengaruhi proses konseling. Beberapa hal ini adalah keseluruhan (holism), teori medan (field theory), pengorganisasian dan manipulasi (The Figure-Formation Process), proses menjaga keseimbangan (Organismic Self-Regulation), saat ini (the now), urusan yang belum selesai (unfinished bussiness), kontak dan resistensi terhadap kontak (contact & resisstance to contact), energi dan blok energi (energy & block of energy) (Perls, dalam Corey, 2013).
Secara singkat, penerapannya sebagai berikut, bahwa kejadian (masalah) yang terjadi saat ini (now) dilihat sebagai sebuah keseluruhan (whole) bagian diri individu. Keseluruhan ini berarti memandang masalah individu sebaiknya dilihat dalam kacamata internal dan eksternal individu (field theory). Masalah yang muncul saat ini seringkali karena individu memiliki masalah yang belum terselesaikan (unfinished business) dengan lingkungannya atau dengan orang yang dikenalnya (contact), sehingga individu melakukan upaya menhentikan hubungan dengan lingkungannya (block contact). Upaya memblokir ini (block energy) pada dasarnya merupakan sebuah wujud dari ciri-ciri individu yang memiliki masalah. Secara tidak disadari, individu melakukan upaya-upaya menjaga keseimbangan dirinya dengan lingkungannya (Organismic Self-Regulation), walaupun upaya ini seringkali memunculkan masalah bagi individu. Oleh sebab itu, tujuan konseling Gestalt adalah membangun kesadaran terhadap apa yang terjadi pada saat ini, dengan mengumpulkan data masa lalu dan masa depan individu.

Aplikasi
Berdasar pada beragamnya budaya yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia, menjadikan proses konseling di Indonesia menjadi sangat unik. Konselor dituntut untuk dapat memahami masing-masing budaya konseli, terutama saat konselor melakukan praktik konseling di daerah konseli.
Masyarakat Indonesia selalu mencoba untuk berada dalam dua sisi yang berbeda, yaitu sisi modern dan sisi tradisional. Pada­ sisi modern, masyarakat Indonesia berupaya untuk tidak ketinggalan dengan kemajuan jaman. Sebab masih terdapat keyakinan bahwa bangsa ini akan maju jika mereka bisa menguasai teknologi modern. Hal ini dapat dilihat pada perkembangan IPTEK di Indonesia yang semakin pesat. Hampir seluruh kehidupan masyarakat kita saat ini bergantung pada teknologi. Di lain pihak, masyarakat Indonesia juga masih mempercayai hal‑hal yang bersifat tradisional (supranatural). Hal ini merupakan peninggalan budaya nenek moyang yang masih sulit untuk ditinggalkan.
Perls (dalam Corey, 2013) menyatakan bahwa pendekatan Gestalt memiliki kesempatan untuk bisa dilakukan dalam latar budaya yang berbeda, terutama dalam masyarakat, dimana masih terjadi polaritas pandangan. Bahkan seringkali bisa dilaksanakan pada suatu budaya, dimana budaya yang dimiliki oleh konseli adalah budaya perilaku non verbal.
Apa yang telah dinyatakan dalam teori Gestalt, rupanya terjadi pada budaya masyarakat Indonesia. Sampai saat ini, masyarakat Indonesia masih “terjebak” dalam polaritas kehidupan, Di satu sisi, mereka ingin disebut sebagai bangsa yang melek teknologi dan di sisi lainnya mereka masih sulit untuk meninggalkan tradisi budaya. Ironisnya, dua kutub ini seringkali bertentangan.
Terlebih, budaya kita (sebagai masyarakat timur) seringkali menunjukkan perilaku-perilaku manusia yang “sopan” seperti tidak boleh mengatakan “tidak” kepada orang yang lebih dituakan. Dimana penolakan yang tidak diutarakan tersebut lebih diekspresikan kepada perilaku-perilaku non verbal yang seringkali tidak disadari oleh individu. Apa yang dilakukan oleh individu, yang mana perilaku individu tersebut tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh orang lain, maka seringkali pula hal ini menjadi sebuah masalah yang belum selesai (unfinished business). Mengapa? Karena individu yang saat ini berposisi sebagai orang yang “lemah” tidak berani “melawan” (underdog) orang lain yang dianggap lebih kuat (top dog). Penolakan (introjections) ini akan memunculkan perilaku-perilaku yang menyimpang, dan seringkali tidak disadari.
Beberapa pengalaman penulis dalam proses konseling dengan siswa sekolah menengah, kasus-kasus ini seringkali terjadi. Siswa (karena budaya) seringkali tidak berani untuk beradu argumentasi dengan orang tua atau orang yang lebih dituakan. Sehingga keadaan ini memunculkan perilaku wadul. Siswa merasa bahwa dengan mengeluarkan uneg-unegnya (karena ketidak setujuan) merasa lebih baik. Tetapi pada dasarnya masalah itu belum selesai, karena mereka hanya bercerita masa lalunya saja (unfinished bussiness) dengan orang tua atau orang yang dituakan. Mereka masih belum bisa berorientasi tantang apa yang apa yang yang akan dilakukan dan bagaimana mereka akan menyelesaikan masalahnya.
Sebagai salah satu contoh, saat siswa akan memilih sebuah jurusan di sekolah. Seringkali siswa ini mengalami kebingungan untuk memilih jurusan IPA atau IPS. Kebingungan ini disebabkan karena orang tua menekankan kepada anak untuk memilih jurusan tertentu, padalah jurusan yang dipilih oleh orang tua dianggap anak sebagai jurusan yang berat. Tetapi, karena anak tidak berani untuk beragumentasi (takut kualat) maka dia diam saja dan memilih jurusan yang pada hakikatnya tidak disukai. Setelah siswa ini memilih jurusan tersebut, maka seringkali perilaku-perilaku tidak produktif muncul seperti suka membolos, sering datang terlambat, mengganggu teman atau bahkan membenci guru laki-laki (karena tekanan berasal dari orang tua laki-laki dan masih banyak perilaku tidak produktif lainnya.
Salah satu strategi konseling yang dapat dipergunakan untuk menangani masalah terkait dengan masyarakat timur antara lain adalah latihan dialog internal (the internal dialogue exercise) atau lebih dikenal dengan terapi kursi kosong (empty chair therapy). Strategi konseling ini lebih mengajak konseli untuk bisa memahami percakapan diri yang selama ini ditolak dan berusaha untuk bisa memilikinya kembali. Fokus pada latihan ini adalah memusatkan konseli untuk bisa memahami posisi top dog dan underdog.
Posisi top dog menggambarkan suatu poisisi dimana seseorang dapat menjadi sangat berkuasa, orang yang selalu benar, orang yang harus dituruti, orang yang sangat bermoral. Ini ditunjukkan dengan perilaku orang tua yang selalu mengatakan “kamu harus…” atau “sebaiknya….”. Sebaliknya, posisi underdog adalah memposisikan seseorang yang tidak mampu melakukan sesuatu, orang yang selalu bertahan, orang yang lemah dan orang tidak memiliki kekuatan apapun.
Penggunaan strategi empty chair ini pada intinya adalah membantu konseli untuk dapat mengeluarkan apa-apa yang selama ini telah ditolaknya (unfinished business). Penolakan (introjections) yang dirasakan oleh individu secara lambat laun akan muncul ke permukaan dan individu diajak oleh konselor untuk menyadarinya dan menerimanya.
 Simpulan
Pendekatan Gestalt lebih terfokus untuk membantu konseli agar sadar terhadap perilaku di masa lampau dapat mengganggu efektifitas kehidupan pada saat ini. Dalam situasi dimana senbuah masyarakat hidup dalam dua budaya, maka pendekatann Gestalt memiliki kesempatan untuk dapat dikembangkan. Beberapa budaya ketimuran yang adi luhung, secara tidak langsung juga menyumbang permasalahan bagi individu. Permasalahan ini muncul karena pada satu sisi individu berusaha untuk melestarikan nilai budaya yang diyakini, tetapi di lain pihak, kehidupan yang serba “modern” mengakibatkan individu seringkali tidak bisa mengutarakan pendapatnya, sehingga pada akhirnya ini memunculkan urusan yang belum selesai.

Referensi
Corey, Gerald. 2013. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy (8th ed). Belmont: Thomson Brooks/Cole.
Cottone, Rocco. 1992. Theories and Paradigms of Counseling and Psychotherapy. Boston: Allyn and Bacon.
Goode, William. 1991. Sosiologi Keluarga (terjemahan oleh Lailahanum Hasyim). Jakarta: Bumi Aksara.
Kirchner, Maria. 2000. Gestalt Therapy Theory: An Overview. www.newyorkgestalt.org, diakses tanggal 31 Desember 2008.
McLeod, John. 2006. Pengantar Konseling: teori dan studi kasus. Jakarta: Kencana.
Supriyatna, Mamat. 2007. Konseling Lintas Budaya Sebagai Strategi Sosialisasi Penuntasan WAJAR 9 Tahun. Pelangi Pendidikan. Diakses tanggal 26 Januari 2008.
Vontrees, Clemmont. Culture and Counseling. www.ac.wwu.edu/culture/Vontress.htm  Diakses tanggal 18 Juli 2006.
Yontef, Gary. 1993. Gestalt Therapy: An Introduction. www.gjpstore.com, diakses tanggal 31 Desember 2008.


Sabtu, 03 Februari 2018


01022018

Saya terkejut setelah mendengar berita adanya siswa sekolah yang ditangkap oleh polisi dengan sangkaan telah melakukan penganiayaan terhadap guru, hingga guru tersebut meninggal. Kondisi ini langsung mengarahkan saya untuk berpikir apa yang telah terjadi dalam dunia pendidikan kita? khususnya bidang Bimbingan dan Konseling sebagai bidang perhatian saya selama ini.
Tulisan ini tidak bertujuan untuk “menyalahkan” atau “memojokkan” peran Konselor sekolah dan di sisi lain tidak bertujuan untuk “membela” siswa yang telah melakukan pelanggaran hukum.
Saya mencoba untuk memandang tulisan ini dari teori Gestalt. Gestalt memandang individu sebagai sosok positif. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada manusia yang tidak baik. Sebuah masalah muncul karena seseorang tidak menyadari apa yang dilakukan pada saat ini. Pada umumnya masalah yang muncul pada saat ini karena adanya akumulasi permasalahan di masa lalu, atau adanya adanya impian-impian yang mungkin tidak dapat dilaksanakan. Permasalahan masa lalu bisa terjadi karena adanya urusan yang belum selesai, utamanya dengan orang-orang yang signifikan (mis: orang tua, teman dekat, guru dll). Mereka tidak menyadari bahwa mereka memiliki masalah. Permasalahan ini pada akhirnya akan membentuk perilaku pada saat ini (here and now). Uniknya, perilaku bermasalah ini muncul dengan tidak disadari oleh siswa.
Dalam teori Gestalt, kasus ini terjadi karena ada kemungkinan siswa tersebut memiliki urusan yang belum selesai (unfinished business) dengan guru yang menjadi korban, atau mungkin dengan guru lain. Pernyataan guru yang bersangkutan bisa jadi sudah dilakukan berulang kali, atau pernyataan yang sama sudah dilakukan oleh guru lain secara berulang-ulang, dan siswa tidak mampu menyatakan ketidaksenangannya (block energy). Dalam kasus ini, siswa dalam posisi under dog. Posisi under dog merupakan sebuah posisi “kalah”. Kondisi “kalah” ini merupakan sebuah posisi yang tidak disukai oleh id. Id akan selalu berusaha untuk menyelesaikan masalahnya dengan caranya sendiri.
Dalam kasus ini, siswa hanya melihat bahwa yang melakukan adalah sosok guru. Pernyataan negatif yang sering diterima oleh siswa ini dipendam pada alam bawah sadarnya, karena mungkin saat kondisi sadarnya siswa ini tidak mampu untuk “melawan”. Jika ini terjadi secara berulang-ulang, maka akan menjadi tumpukan sampah yang mengendap dalam alam bawah sadarnya.
Tumpukan sampah ini memiliki tingkat batas tertentu, yang akan meledak pada saat tumpukan itu sudah jenuh. Ledakan itu akan dimanifestasikan dalam berbagai bentuk, yang biasanya bersifat destruktif atau merusak. Luapan ini seringkali tidak disadari oleh siswa, karena perilaku ini didorong oleh id yang ingin mencari kebebasan atau kesenangan. Beberapa referensi menunjukkan bahwa perpindahan dari alam tidak sadar ke alam sadar hanya dibatasi oleh alam ambang sadar yang sangat tipis dan mudah sekali terbuka, apalagi jika masalah atau tmpukan masalah sudah mencapai ttik nadirnya.
Terkait dengan kasus Sampang, saat siswa ditegur oleh gurunya, ada kemungkinan dia merasa tidak nyaman. Kondisi tidak nyaman ini pada dasarnya sudah membuat batasan alam ambang sadarnya terbuka. Saat alam ambang sadarnya terbuka, maka tumpukan sampah akan keluar dengan tidak terkendali dan biasanya terwujud dalam bentuk perilaku yang negatif. Kekuatan sampah negatif ini akan mendorong perilaku negatif seperti berteriak, memukul atau perilaku negatif lainnya. Biasanya pelaku yang dikuasai oleh sampah-sampah negatif ini akan melakukannya dengan membabi buta (orang mengatakan buta mata) sampai seluruh energi yang ditahan (block energy) keluar semua. Biasanya perilaku siswa setelah melakukan hal itu adalah ngos-ngosan.
Berdasar pada kejadian ini, ada pertanyaan yang mendasar. Apakah yang sudah dilakukan oleh para konselor kita (termasuk saya)? Pertanyaan yang menyelimuti otak saya adalah, a) apakah pekerjaan kita sebagai konselor sudah didasarkan pada teori konseling? Jika ya, teori konseling apa yang dijadikan rujukan oleh konselor?, b) apakah kita sudah melakukan deteksi masalah dengan mempergunakan istrumen yang ada (mis: DCM atau AUM)? Jika sudah, apa bentuk penanganan kita?, dan c) masihkah kita mempergunakan “seragam” guru dan bukan sebagai konselor?
Pertanyaan tersebut mungkin dapat kita pergunakan sebagai alat untuk mendeteksi kinerja kita sebagai konselor baik di sekolah maupun di tempat lain. Artinya apa? Saat kita melakukan pekerjaan dengan mengatas namakan konseling, maka orang yang berhak melakukan konseling (utamanya di sekolah) adalah konselor. Setiap kita mengatas namakan diri kita konselor, maka konselor adalah sebuah profesi, dan kerana sebuah profesi maka segala tindakan kita seharusnya berpatokan pada teori konseling.
Terkait dengan pertanyaan kedua, apakah kita sudah melakukan tindakan-tindakan preventif? Tindakan preventif saya lihat sebagai sebuah kegiatan yang sangat penting, karena melalui kegiatan ini, maka konselor sekolah akan dapat mendeteksi permasalahan-permasalahan siswa. Tindakan preventif ini dapat dilakukan oleh konselor dengan menyebar instrumen seperti Daftar Cek Masalah (DCM) atau Alat Ungkap Masalah (AUM) yang ada. Berdasar pada instrumen ini, maka konselor akan mendapatkan data tentang siswa yang diindikasikan memiliki masalah, sehingga pada akhirnya dapat melakukan tindakan-tindakan tertentu.
Pertanyaan ketiga mengarahkan kita untuk berpikir bahwa seorang konselor memiliki kepribadian yang berbeda dengan guru pada umumnya. Konselor memiliki keterampilan-keterampilan yang berbeda dengan para guru, dan itu sangat spesifik. Salah satu keterampilan seperti mendengarkan secara aktif, bisa kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari di sekolah. Ciri-ciri seperi ini  bisa membedakan “seragam” seorang konselor dengan guru yang lainnya.
Semoga tulisan ini bisa memberikan pencerahan bagi kita semua, sayapun masih terus belajar menjadi konselor.

Kesurupan .......... Tulisan ini mencoba untuk menjawab berbagai pertanyaan tentang proses terjadinya kesurupan massal yang menjadi fe...