Kamis, 02 Januari 2014

OPTIMALISASI PERAN KONSELOR MENYONGSONG PEMBERLAKUKAN KURIKULUM 2013

OPTIMALISASI PERAN KONSELOR MENYONGSONG PEMBERLAKUKAN KURIKULUM 2013 Latar Belakang Indonesia memiliki keragaman sosial budaya. Hal ini tidak dapat dipungkiri. keberagaman ini mengarahkan kita untuk berpikir bahwa layanan bimbingan dan konseling di sekolah sebaiknya disesuaikan dengan keberagaman latar belakang peserta didik. Kita pahami bersama bahwa perbedaan atau keragaman nilai-nilai budaya yang ada di sekitar kita memiliki kandungan nilai-nilai yang adi luhung. Sebuah nilai-nilai kehidupan yang sebaiknya kita pelihara untuk kebaikan kita bersama. Pemerintah melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2013 telah menggulirkan regulasi dalam dunia pendidikan yaitu kurikulum 2013. Pada satu sisi, digulirkannya regulasi ini disambut baik oleh kalangan pendidikan, karena proses pembelajaran yang terjadi di sekolah akan berbasis pada pengalaman (evidence/experience based) peserta didik untuk mendapatkan pemahaman yang utuh terhadap bahan ajar yang disajikan. Peserta didik akan diajak untuk melakukan serangkaian eksplorasi agar dapat memahami tujuan bahan ajar yang telah ditetapkan oleh guru bidang studi. Baker dan Kleijnen (dalam Kidd, 2006) menyarankan bahwa untuk pelaksanaan layanan konseling dan psikoterapi berbasis bukti (evidence) maka ada lima tahap yang sebaiknya dilakukan yaitu, a) The formulation of questions about effectiveness in such a way that they can be answered, 2) A search for the best evidence, 3) Assessment of that evidence for its validity and importance, 4) Application of approaches and techniques in practice, dan 5) Evaluation of effectiveness. Di bawah ini, ditampilkan beberapa kompetensi inti untuk masing-masing jenjang pendidikan. Kompetensi inti Siswa SMP/MTs KOMPETENSI INTI KELAS VII KOMPETENSI INTI KELAS VIII KOMPETENSI INTI KELAS IX Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya Menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tang-gungjawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri, dalam berinteraksi secara efektif dengan ling-kungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya Menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tang-gungjawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, per-caya diri, dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya Menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tang-gung jawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri, dalam berin-teraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya Memahami pengetahuan (fak-tual, konseptual, dan prose-dural) berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu penge-tahuan, teknologi, seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata Memahami dan menerapkan pengetahuan (faktual, kon-septual, dan prosedural) ber-dasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tam-pak mata Memahami dan menerapkan pengetahuan (faktual, konsep-tual, dan prosedural) berdasar-kan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata Mencoba, mengolah, dan menyaji dalam ranah konkret (meng-gunakan, mengurai, me-rangkai, memodifikasi, dan membuat) dan ranah abstrak (menulis, membaca, menghi-tung, menggambar, dan mengarang) sesuai dengan yang dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang/ teori Mengolah, menyaji, dan me-nalar dalam ranah konkret (menggunakan, mengurai, merangkai, memodifikasi, dan membuat) dan ranah abstrak (menulis, membaca, meng-hitung, menggambar, dan mengarang) sesuai dengan yang dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang/teori Mengolah, menyaji, dan me-nalar dalam ranah konkret (menggunakan, mengurai, merangkai, memodifikasi, dan membuat) dan ranah abstrak (menulis, membaca, menghi-tung, menggambar, dan mengarang) sesuai dengan yang dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang/teori Kompetensi siswa SMA/MA KOMPETENSI INTI KELAS X KOMPETENSI INTI KELAS XI KOMPETENSI INTI KELAS XII Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tang-gungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan pro-aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari so-lusi atas berbagai permasa-lahan dalam berinteraksi secara efektif dengan ling-kungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri se-bagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia. Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tang-gungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan pro-aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasa-lahan dalam berinteraksi se-cara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam per-gaulan dunia Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tang-gungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan pro-aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasa-lahan dalam berinteraksi se-cara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam per-gaulan dunia Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural berdasarkan rasa ingintahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta mene-rapkan pengetahuan prose-dural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk meme-cahkan masalah Memahami, menerapkan, dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prose-dural, dan metakognitif ber-dasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta mene-rapkan pengetahuan prose-dural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk meme-cahkan masalah Memahami, menerapkan, menganalisis dan menge-valuasi pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora de-ngan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, bertindak se-cara efektif dan kreatif, serta mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan Mengolah, menalar, menyaji, dan mencipta dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri serta bertindak secara efektif dan kreatif, dan mampu meng-gunakan metoda sesuai kaidah keilmuan Terkait dengan kondisi tersebut di atas, maka konselor sebaiknya menyelaraskan program layanan bimbingan dan konseling agar sesuai dengan visi, misi dan tujuan sekolah. Selanjutnya Rita (2008) menyatakan bahwa visi konselor sekolah dijabarkan dalam aktivitas konseling ditujukan untuk mencapai standar akademik yang telah ditetapkan oleh sekolah. Dengan demikian dibutuhkan adanya pengetahuan, keterampilan dalam mengembangkan evaluasi program yang didasarkan pada data, standar yang berlaku, dukungan penelitian serta difokuskan pada sistem yang berlaku. Peran Konselor Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 81a/2013 menyatakan bahwa Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor adalah guru yang mempunyai tugas, tanggungjawab, wewenang, dan hak secara penuh dalam kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling terhadap sejumlah siswa. Selanjutnya disebutkan bahwa layanan bimbingan dan konseling adalah kegiatan Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor dalam menyusun rencana pelayanan bimbingan dan konseling, melaksanakan pelayanan bimbingan dan konseling, mengevaluasi proses dan hasil pelayanan bimbingan dan konseling serta melakukan perbaikan tindak lanjut memanfaatkan hasil evaluasi. Permendikbud no 81a/2013 merupakan pedoman bagi para konselor di sekolah untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya di sekolah. Artinya dengan menyandang nama konselor, maka tugas yang akan dilaksanakan di sekolah harus disesuaikan dengan aturan yang ada. Di sini dibutuhkan pemahaman yang sama antara unsur-unsur terkait di sekolah. Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 Pasal 1 ayat 6, tersirat bahwa posisi Konselor sekolah sejajar dengan para pendidik lain seperti guru, dosen, pamong belajar, widyaiswara dan instruktur. Artinya, kualifikasi akademik yang dimiliki oleh Konselor sekolah minimal adalah sarjana strata satu jurusan/program studi Bimbingan dan Konseling. Persyaratan minimal ini menjadi acuan mutlak untuk dapat menunjukkan eksistensinya di masyarakat. Peran Konselor dalam menyongsong diberlakukannya Kurikulum 2013 pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan kurikulum yang telah ada di Indonesia. Pada tahun 1984, dalam kurikulum tersebut terdapat program bimbingan karir. Guru Pembimbing pada masa itu mempersiapkan penjurusan pada siswa SMA dengan memberikan layanan informasi tentang jurusan A1, A2, A3 dan A4. Proses pemberian layanan informasi selanjutnya ditindaklanjuti dengan layanan penempatan siswa sesuai dengan bakat dan minatnya. Pada tahun 2006, Pemerintah menggulirkan regulasi dengan nama Kurikulum Satuan Pendidikan (KTSP). Pada Kurikulum ini, istilah bimbingan karir diganti dengan pengembangan diri. Kita pahami bersama bahwa pengembangan diri peserta didik akan disesuaikan dengan informasi yang ada di lingkungan sekitar. Konselor bersama guru mata pelajaran memiliki kesempatan yang luas untuk mengeksplorasi sumber daya yang ada di sekitar sekolah. Peserta didik diberikan kesempatan yang luas untuk mengembangkan potensi yang dimiliki dengan difasilitasi oleh sekolah. Pada tahun 2013, Pemerintah melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan kembali menggulirkan kurikulum baru, yaitu kurikulum 2013. Fahrozin (2013) menyatakan bahwa program peminatan peserta didik merupakan salah satu program BK yaitu dengan nama penyaluran dan penempatan, atau komponen perancanaan individual. Pada dasarnya kegiatan penyaluran atau penempatan dilaksanakan di sekolah dengan nama layanan bimbingan karir yang dikembangkan secara sistematik untuk mendukung sistem pendidikan yang kuat, sehingga akan menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas dan kuat pada dunia kerja (Surya, 2013). Ada satu hal yang unik pada implementasi kurikulum 2013, khususnya terkait dengan pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling. Hal unik ini adalah adanya peminatan siswa untuk memilih program IPA atau IPS yang dilakukan pada saat peserta didik mulai masuk di Sekolah Menengah Atas, dengan kata lain penjurusan dilakukan sejak awal peserta didik memasuki jenjang SMA/MA. Keadaan ini menjadi permasalahan bagi Konselor sekolah SMA/MA. Banyak diantara mereka mengatakan, “Bagaimana ini, penjurusan kok tidak didasarkan pada data konkrit siswa?”, ada yang mengatakan, “Kami tidak bertanggungjawab jika terjadi “salah pilihan”, bahkan ada yang mengatakan, “Ini tanggungjawab guru SMP”. Kita lihat di sini, ada kesan saling menyalahkan dan lempar tanggungjawab. Pernyataan-pernyataan tersebut mengarahkan kita untuk berpikir dengan memunculkan sebuah pertanyaan, “Apa yang sebaiknya dilakukan oleh guru SD/MI,SMP/MTs dan SMA/MA, terkait dengan kegiatan layanan bimbingan dan konseling di sekolah?” Kondisi yang ada saat ini sebaiknya disikapi dengan pemikiran yang positif. Artinya “perbedaan-perbedaan” tersebut menunjukkan adanya dinamika perkembangan dalam dunia bimbingan dan konseling. “Perbedaan” yang ada ini menunjukkan bahwa bimbingan dan konseling sedang berproses untuk menjadi sebuah layanan yang lebih bermartabat dan bermanfaat bagi peserta didik khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Peran Konselor sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan no. 81 A tahun 2013 adalah sebagai pelaksana pelayanan bimbingan dan konseling, Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor bertugas dan berkewajiban menyelenggarakan layanan yang mengarah pada 1) pelayanan dasar, 2) pelayanan pengembangan, 3) pelayanan peminatan studi, 4) pelayanan teraputik, dan 5) pelayanan diperluas. Pelayanan dasar, pelayanan dasar mengarahkan konselor untuk memunculkan terpenuhinya kebutuhan siswa yang paling elementer, yaitu kebutuhan makan dan minum, udara segar, dan kesehatan, serta kebutuhan hubungan sosio-emosional (Depdikbud, 2013). Hal ini bukan berarti Konselor memberikan kebutuhan-kebutuhan siswa secara langsung. Pengertian ini mengandung makna bahwa upaya pemenuhan kebutuhan dasar peserta didik sebaiknya dipenuhi dengan melakukan kerjasama antara Konselor dengan pihak-pihak tertentu seperti, orang tua, keluarga dan masyarakat sekitar. Lebih konkrit lagi adalah kerjasama dengan orang-orang terdekat dari peserta didik (significant others). Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa merekalah yang lebih mengerti kebutuhan peserta didik di luar sekolah. Bukan tidak mungkin, seorang konselor sekolah melakukan konseling atau konsultasi dengan orang tua siswa, khususnya bagi konselor yang bertugas di Sekolah Dasar (SD/MI). Hal didasarkan pada pemikiran bahwa siswa sekolah dasar mungkin tidak bisa diajak untuk melakukan konseling. Justru, orang tua peserta didik ini yang diberikan “layanan konseling” untuk menyelesaikan masalah anak-anaknya. Artinya orang tua diajarkan bagaimana menyelesaikan masalah anaknya melalui program konseling atau konsultasi. Pelayanan pengembangan, merupakan pelayanan untuk mengembangkan potensi peserta didik sesuai dengan tahap-tahap dan tugas-tugas perkembangannya. Hal yang penting dalam pernyataan tersebut adalah tugas perkembangan. Peserta didik akan mencapai tugas perkembangan yang sama dalam satu tahapan tertentu, hanya bagaimana cara menyelesaikan tugas perkembangan itu yang masing-masing peserta didik berbeda. Dalam posisi ini, seorang Konselor akan dituntut untuk dapat memberikan layanan sesuai dengan tugas perkembangan dan pertumbuhan peserta didik. Terkait dengan layanan perkembangan ini, Hurlock (1994) memberikan beberapa fakta terkait dengan tugas perkembangan yaitu, a) Adanya peran kematangan dan belajar dalam perkembangan, b) Perkembangan mengikuti pola tertentu yang dapat diramalkan, c) Semua individu berbeda, d) Setiap tahap perkembangan mempunyai perilaku khusus, e) Setiap tahap perkembangan memiliki resiko, f) Perkembangan dibantu rangsangan, dan g) Perkembangan dipengaruhi oleh perubahan budaya. Pelayanan peminatan studi, pelayanan yang secara khusus tertuju kepada peminatan/lintas minat/pendalaman minat peserta didik sesuai dengan konstruk dan isi kurikulum yang ada. Arah peminatan/lintas minat/pendalaman minat ini terkait dengan bidang bimbingan pribadi, sosial, belajar, dan karir dengan menggunakan segenap perangkat (jenis layanan dan kegiatan pendukung) yang ada dalam pelayanan Bimbingan dan Konseling. Perlu kita pahami bersama bahwa proses peminatan studi dan karir yang akan dilaksanakan oleh peserta didik sebaiknya dibantu oleh Konselor dengan berbasis data dan teori. Berbasis data dimaksudkan bahwa layanan peminatan ini sebaiknya didasarkan pada data aktual yang dimiliki oleh peserta didik seperti bakat, minat, ketrampilan yang dimiliki, data orang tua, data lingkungan dan masih banyak data lain yang sebaiknya dikumpulkan oleh Konselor. Hal kedua terkait dengan upaya membantu layanan peminatan peserta didik adalah penggunaan teori pilihan karir yang dipergunakan oleh Konselor sebagai basis pelaksanaan. Banyak teori karir yang berkembang dan dapat dipergunakan oleh konselor untuk membantu peserta didik dalam pemilihan peminatan. Salah satu teori pilihan karir yang bisa diterapkan di sekolah adalah teori pilihan karir RIASEC yang diperkenalkan oleh Holland. RIASEC adalah akronim dari R (Realistik), I (Investigative), A (Artistic), S (Social), E (Entrepreneur), dan C (Conventional). ILO (2011) yang bekerja sama dengan ABKIN memberikan daftar pekerjaan yang terkait dengan teori karir RIASEC sebagai berikut. Realistik Investigatif Artistic Social Entrepreneur Conventional Polisi Udara Guru mesin Guru Seni, drama dan musik Guru ekonomi Manajer penjualan Akuntan Tukang listrik Insinyur Piranti lunak komputer, sistem Guru bahasa Inggris & sastra Guru antropologi dan arkeologi Analis manajemen Auditor Pemasang pipa Insinyur piranti lunak komputer, aplikasi Guru bahasa asing dan sastra Guru ilmu politik Manajer sistem informatika dan komputer Pekerja administratif Pemasang pipa Guru ilmu pertanian Manajer periklanan dan promosi Guru Ilmu Budaya Manajer, Pemimpin Cabang dan Divisi Keuangan Pelayanan Mekanik mesin pendingin dan penghangat ruang kesehatan Guru khusus Direktur Guru sosiologi Eksekutif pemerintah Sekretaris bidang hukum Mekanik kulkas Ahli anestesi Produser Guru sejarah Manajer pelayanan kesehatan Ispektur bea cukai dan imigrasi Pengemudi truk dan trailer Ahli penyakit dalam Direktur pencari bakat Instruktur dan guru bidang keperawatan Eksekutif sektor swasta Petugas polisi bidang investigasi dst dst dst dst dst dst Pelayanan teraputik, pelayanan untuk menangani pemasalahan yang diakibatkan oleh gangguan terhadap pelayanan dasar dan pelayanan pengembangan, serta pelayanan peminatan. Permasalahan tersebut dapat terkait dengan kehidupan pribadi, kehidupan sosial, kehidupan keluarga, kegiatan belajar, karir. Pelayanan teraputik masuk dalam katagori tindakan kuratif, dimana peserta didik akan mendapatkan layanan pengentasan terhadap masalah yang sudah ada baik terkait dengan masalah pribadi, sosial, keluarga, belajar dan karir. Pada pelayanan teraputik ini, maka keterampilan konselor dalam mempergunakan strategi konseling akan sangat dibutuhkan. Pada dasarnya disinilah bentuk profesionalisme konselor akan sangat dibutuhkan, mulai dari bagaimana melakukan identifikasi masalah, diagnosis masalah, prognosis, treatment dan follow up. Para konselor sekolah sebaiknya mulai melakukan introspeksi dengan memunculkan pertanyaan, “Sudah layakkah saya menjadi konselor sekolah?” Pertanyaan ini mengandung makna yang sangat dalam, artinya, jika dijawab “ya” maka pertanyaan selanjutnya adalah “Apa yang bisa saya tingkatkan dari ketrampilan saya?” dst. Jika jawabannya adalah “tidak”, maka perlu dimunculkan pertanyaan, “Bagaimana saya bisa menyetalakan ketrampilan konseling saya?” Kondisi ini perlu dilakukan bagi semua konselor, agar pelayanan yang diberikan kepada peserta didik menjadi sebuah pelayanan yang bermakna dan bermartabat. Pemahaman dan keterampilan konselor untuk melaksanakan kegiatan layanan teraputik ini menjadi perhatian utama bagi para konselor. Upaya perolehan keterampilan ini dapat dilakukan melalui berbagai cara seperti mengikuti pelatihan, workshop atau seminar tentang ke-BK-an. Sejauh pengamatan penulis, masih banyak layanan konseling dilakukan dengan tidak memperhatikan kaidah-kaidah konseling. Penggunaan keterampilan dasar konseling dan penggunaan strategi konseling masih dilakukan sembarangan. Kondisi ini sebaiknya segera kita kikis bersama, jika kita mengatas namakan KONSELOR. Pelayanan diperluas, pelayanan dengan sasaran di luar diri siswa pada satuan pendidikan, seperti personil satuan pendidikan, orang tua, dan warga masyarakat lainnya yang semuanya itu terkait dengan kehidupan satuan pendidikan dengan arah pokok terselenggaranya dan suskesnya tugas utama satuan pendidikan, proses pembelajaran, optimalisasi pengembangan potensi peserta didik. Pengertian tersebut mengarahkan kita untuk berpikir bahwa layanan bimbingan dan konseling tidak terfokus pada layanan peminatan saja. Kolaborasi antara Konselor dengan pihak-pihak lain di luar sekolah sangat diperlukan untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi siswa untuk dapat menuntaskan tugas perkembangan dan pertumbuhannya. Simpulan Kurikulum 2013 merupakan sebuah awal dilakukannya program pengembangan peserta didik secara terpadu Referensi Depdikbud. 2013. Kompetensi Dasar SMA/MA. Jakarta: Depdikbud Depdikbud. 2013. Kompetensi Dasar SMP/MTs. Jakarta: Depdikbud Depdikbud. 2013 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 81A/2013 tentang Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: Depdikbud. Fahrozin. Muh. 2013. Penguatan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Implementasi Kurikulum 2013. Makalah Disampaikan dalam Seminar Internasional Forum FIP JIP se-Indonesia. Medan 2013. Hurlock, Elisabeth. 1994. Psikologi Perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga. ILO. 2011. Panduan Pelayanan Bimbingan Karir. Jakarta: Kantor Perburuhan Internasional Kidd, Jennifer. 2006. Understanding Career Counselling:Theory, Research and Practice. London: Sage Publications Mozdzierz, Gerald J., Peluso, Paul R., Lisiecki, Joseph. 2009. Principles of Counseling and Psychotherapy: Learning the Essential Domains and Nonlinear Thinking of Master Practitioners. New York: Routledge Schellenberg, Rita. 2008. The New School Counselor: Strategies for Universal Academic Achievement. New York: Rowman & Littlefield Education Surya, Muhammad. 2013. Career Guidance in the Globalization Era.Makalah disampaikan dalam international conference: “new careers in new era” di surabaya, tanggal 5-6 juli 2013

TEKNOLOGI INFORMASI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK

TEKNOLOGI INFORMASI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK Oleh: Boy Soedarmadji Program Studi Bimbingan dan Konseling UNIPA Surabaya Pengantar ASCA (2008) menengarai bahwa saat ini anak-anak kita hidup dalam waktu yang “menarik”, dimana terjadi peningkatan perubahan di masyarakat, munculnya banyak kesempatan karena adanya teknologi baru berdampak pada perubahan perilaku masyarakat. Saat ini perbedaan antara golongan masyarakat kaya dengan golongan masyarakat miskin menjadi semakin jelas, kelompok masyarakat marginal juga semakin tampak. Masyarakat menjadi semakin memiliki kesempatan luas untuk mengakses informasi yang dibutuhkan. Bahkan seringkali informasi yang negatifpun tersedia. Kasus-kasus seperti pemalakan liar, sex bebas/sex pranikah, dan konsumenisme banyak sekali terjadi, walaupun kesempatan-memperoleh informasi yang positif juga seringkali terjadi. Teknologi Informasi (TI) saat ini telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini ditunjukkan dengan beragamnya peralatan informasi canggih yang beredar di masyarakat. Proses-proses yang terkait dengan upaya mencukupi kebutuhan dasar manusia sudah dilakukan dengan mempergunakan peralatan canggih. Hampir semua lini kehidupan manusia tidak bisa terlepas dari penggunaan peralatan yang terkait dengan Teknologi Informasi. Sebagai contoh, peralatan handphone, saat ini tidak saja dipergunakan sebagai salah satu alat komunikasi saja, tetapi juga sebagai perangkat untuk dapat meningkatkan gengsi seseorang, maka tidak menutup kemungkinan bahwa seseorang akan mengejar merk handphone terbaru dan tercanggih hanya untuk mengejar kebutuhan akan harga diri. Shaffer dan Kipp (2007) menyajikan data bahwa 98% masyarakat di Amerika memiliki 1-2 televisi, dan anak usia 3-11 tahun menonton televisi 3-4 jam perhari. dan pada remaja usia 18 tahun, mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk menonton televisi dibandingkan kegiatan lain. Sedangkan anak laki-laki lebih banyak menghabiskan waktu untuk menonton televisi jika dibandingkan dengan perempuan. Shaffer dan Kipp (2007) menyatakan sebagaimana televisi, penggunaan piranti komputer juga memiliki dampak terhadap bagaimana anak belajar serta gaya hidup mereka. Walaupun banyak para pendidik mengakui bahwa komputer merupakan suplement penting dalam proses pembelajaran dikarenakan dengan bantuan komputer maka pembelajaran dapat lebih menarik dan lebih kaya referensi. Lebih lanjut, Shaffer dan Skipp (2007) menyatakan bahwa sejak tahun 1996 lebih dari 98% sekolah di Amerika Serikat mempergunakan komputer sebagai salah satu peralatan instruksional, dan pada tahun 2003 lebih dari 60% rumah tangga telah memiliki dan memanfaatkan komputer dan lebih dari 50% telah memanfaatkan akses internet. Beberapa contoh kasus yang dapat diakses oleh anak-anak kita secara langsung antara lain perilaku seperti bunuh diri dapat dengan mudah dilakukan oleh anak. Penyebab perilaku bunuh diri ini disebabkan oleh bermacam-macam motif. Sebagaimana terjadi di Bali, seorang anak kelas enam SD bunuh diri di dekat kandang sapi lengkap dengan pakaian seragamnya. (Republika online, Sabtu, 16 Oktober 2010, 17:34 WIB). Lebih lanjut, adapula siswa yang gantung diri setelah menerima rapor, bahkan saat gantung diri, siswa tersebut masih memakai seragam sekolahnya (TVOne NewsThicker, Minggu, 19 Desember 2010, 02:40 WIB). Perilaku menyimpang lain adalah ditemukannya anak SD merokok di Tebing Tinggi (http://kabar.in/2010/sumatra/sumatera-bagian-utara/11/02/anak-sd-kedapatan-merokok.html). Apakah pemanfaatan Teknologi Informasi ini berdampak pada perkembangan kognitif, sosial dan emosional siswa? Perkembangan Peserta Didik Perkembangan akhir masa kanak-kanak dapat dibagi menjadi dua fase yaitu masa kelas rendah dengan usia antara 6 – 9 tahun dan kelas tinggi dengan usia antara 10 – 12/13 tahun. Munandar (dalam Soedarmadji, 2009) menyebutkan bahwa dua fase tersebut di atas memiliki ciri sebagai berikut, usia antara 6-9 tahun memiliki sifat khas (a) ada korelasi positif yang tinggi antara keadaan jasmani dengan prestasi sekolah, (b) sikap tunduk kepada peraturaan permainan tradisional, (c) ada kecenderungan untuk memuji diri sendiri, (d) suka membandingkan dirinya dengan anak lain, kalau hal itu menguntungkan, (e) kalau tidak dapat menyelesaikan suatu soal, maka soal itu dianggapnya tidak penting dan (f) pada masa ini anak menghendaki nilai (rapor) yang baik tanpa mengingat apakah prestasinya memang pantas diberi nilai baik atau tidak. Sedangkan untuk anak-anak usia 10 -12/13 tahun, memiliki sifat khas yaitu (a) minat kepada kehidupan praktis konkret sehari-hari, (b) amat realistis, ingin tahu, ingin belajar, (c) menjelang akhir masa ini telah ada minat kepada hal-hal dan mata pelajaran-mata pelajaran khusus, (d) sampai kira-kira umur 11 tahun, anak membutuhkan guru atau orang dewasa lain untuk menyelesaikan tugasnya, (e) pada usia ini anak memandang nilai rapor sebagai ukuran yang tepat terhadap prestasi sekolah, dan (f) dalam permainan biasanya anak tidak terikat pada aturan permainan tradisional. Zgourides (200) menyatakan bahwa masa pubertas merupakan saat dimana pertumbuhan phisik seorang anak terjadi dengan sangat cepat. Hal ini memberikan sinyal bahwa mereka akan segera meninggalkan masa anak-anak dan mulai pada siklus kematangan seksual. Walaupun masa pubertas tidak sama untuk setiap individu, tetapi secara umum mereka memiliki beberapa ciri atau karakteristik yang sama. Beberapa diantara mereka mulai puber pada usia 6-7 tahun tetapi ada pula yang baru mulai pada usia 14 tahun. Di bawah ini disajikan tabel yang berisi tentang tugas pertumbuhan fisik anak-anak dan remaja. Pertumbuhan/ Perkembangan Perempuan Laki-laki Permulaan Penyebaran Permulaan Penyebaran Payudara 8 - 13 8 - 18 - - Testis dan Skrotum - - 9,5 – 13,5 9,5 – 17 Menarche/Haid 10 10 – 16,5 - - Ejakulasi (mimpi basah) - - 13,5 ? Penis - - 10,5 – 14,5 10,5 – 16,5 Rambut kemaluan 10,25 11,25-13,25 12,25 12,25-13,25 Suara 13 13 - 16 13 13 – 16 Rambut ketiak 12,75 12,75-14,75 14,25 14,25-14,75 Rambut muka - - 15,25 15,25 - 16 Rambut dada - - Biasanya setelah 16 thn Percepatan pertumbuhan 9,5 - 12 9,5 – 14,5 10,5 - 14 10,5 – 17,5 Diadaptasi dari Psikologi perkembangan, Monks., Knoers., Haditono. 1991: 228. Penelitian Pinyerd and Zipf (2005) dan Tanner (1988) (dalam Shaffer dan Kipps, 2007) menyatakan bahwa anak perempuan akan memasuki masa pertumbuhan yang cepat saat dia berusia 10,5 tahun dan mencapai puncaknya pada usia 12-13 tahun sebelum memasuki masa menstruasi pertama, dan selanjutnya akan mengalami masa pertumbuhan normal kembali saat usia 13-13,5 tahun. Selanjutnya, anak laki-laki mengalami petumbuhan yang pesat saat menginjak usia 13 tahun, dan puncaknya pada usia 14 tahun. Setelah itu akan mengalami masa pertumbuhan normal pada usia 16 tahun. Pada penelitian ini diketahui bahwa pertumbuhan pria lebih lambat antara 2-3 tahun dibandingkan dengan kaum perempuan. Shaffer dan Kipp (2007) menyatakan bahwa reaksi perempuan saat mengalami menstruasi pertama sangat beragam. Beberapa diantara mereka merasa senang, tetapi ada pula diantara mereka yang merasa bingung, terutama jika masa menstruasi datang lebih awal. Bahkan saat ini, ada diantara kaum perempuan yang memiliki pengalaman traumatis tentang menstruasi, tetapi di saat yang sama banyak diantara mereka merasa bangga karena telah memasuki masa dewasa (perempuan sejati). Hal lain akan dirasakan oleh anak laki-laki. Anaka laki-laki cenderung melihat dirinya lebih positif jika dibandingkan dengan anak perempuan (Rosenblum & Lewis, dalam Shaffer dan Kipp, 2007). Anak laki-laki cenderung berharap dapat lebih tinggi, lebih ganteng, dan bangga dengan tumbuhnya rambut. Dengan kata lain, anak lelaki lebih bangga dengan aspek-aspek pertumbuhannya. Anak lelaki jarang membicarakan tentang mimpi basahnya, tetapi mereka tahu bahwa itu adalah tanda kematangan. Pengaruh Perkembangan Teknologi Informasi terhadap Perkembangan Peserta Didik Akibat lain dari adanya globalisasi adalah meningkatnya “virus” informasi baru (Prayitno & Amti, 1999). Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini terlalu banyak informasi baru yang muncul di sekitar kita. Suatu masalah belum terselesaikan dengan baik muncul lagi masalah yang lebih baru dan lebih membutuhkan penanganan yang khusus. Sebagai contoh informasi mengenai notebook. Pada saat yang bersamaan dapat muncul 4 model notebook di masyarakat. Belum selesai kita analisa dengan mantap, sudah muncul genre lagi yang lebih baru dengan menawarkan hal-hal baru. Informasi ini seringkali membuat masyarakat bingung untuk memilih. Shaffer dan Skipp (2007) menyatakan bahwa anak usia antara 8-9 tahun lebih tertarik pada acara-acara televisi yang memiliki karakteristik, suara keras, pergerakan yang cepat, dan acara-acara film kartun. Acara seperti ini, seringkali sulit untuk diikuti oleh anak-anak usia 6 tahun. Hal ini dikarenakan anak usia 6 tahun belum mampu untuk mengikuti atau memahami konten acara secara runtut. Mereka hanya mampu menangkap gambar-gambar yang menonjol dan sesaat. Kondisi ini yang patut diwaspadai oleh orang tua. Shaffer dan Kipp (2007) menyatakan bahwa beberapa hal yang tidak diinginkan dari acara televisi adalah adanya 1) Kekerasan/Agresi, 2) Stereotipe Sosial, dan 3) Pesan Komersial. Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini masyarakat kita seringkali dijejali dengan tontonan yang berisi tentang kekerasan baik secara individual maupun secara berkelompok. Bagi orang dewasa, mungkin tontonan demo yang penuh dengan kekerasan dapat diterima secara logika, tetapi bagi anak-anak? Anak-anak hanya melnangkap potret orang teriak-teriak, orang memaki, orang memukul, orang terjatuh dan sakit dan lain sebagainya. Selanjutnya, potret itu akan disimpan dalam long term memory mereka, sehingga sangat mungkin dalam waktu tertentu, kekerasan itu akan muncul dalam bentuk yang lain. Tayangan televisi seringkali menyajikan pesan-pesan komersial yang mungkin juga tidak sesuai dengan perkembangan anak. Layanan iklan memang ditujukan untuk dapat dilihat oleh banyak orang dalam waktu/durasi sesingkat mungkin. Durasi singkat ini, pada akhirnya “memaksa” pembuat iklan untuk menyajikan gambar yang eye catching. Permasalahannya adalah apakah hal ini sudah dipikirkan bahwa pemirsanya adalah semua kalangan? Bessi`ere, dkk (dalam Bucy dan Newhagen, 2004) menyatakan bahwa pada kenyataannya, komputer yang disebut sebagai piranti canggih seringkali memunculkan masalah bagi penggunanya. Masalah itu adalah frustrasi. Seringkali komputer yang kita pergunakan “ngadat” saat kita sedang asyik bekerja. Permasalahan muncul manakala komputer kita mengalami crash tanpa ada peringatan dini, yang semua itu berakibat pada hilangnya data yang telah kita kerjakan. Kondisi ini sebaiknya dipandang sebagai sebuah peringatan bagi pengguna komputer bahwa kemungkinan-kemungkinan muncul masalah yang memunculkan rasa frustrasi atau stress. Sampsons (2000) mengungkapkan bahwa fasilitas di internet dapat dapat dipergunakan untuk melakukan testing bagi siswa. Tentu saja hal ini harus didasari pada kebutuhan siswa. Penggunaan komputer di kelas sebagai media bimbingan dan konseling akan memiliki beberapa keuntungan seperti yang dinyatakan oleh Baggerly (dalam Sampson, 200) sebagai berikut: 1. Akan meningkatkan kreativitas, meningkatkan keingintahuan dan memberikan variasi pengajaran, sehingga kelas akan menjadi lebih menarik; 2. Akan meningkatkan kunjungan ke web site, terutama yang berhubungan dengan kebutuhan siswa; 3. Konselor akan memiliki pandangan yang baik dan bijaksana terhadap materi yang diberikan; 4. Akan memunculkan respon yang positif terhadap penggunaan email; 5. Tidak akan memunculkan kebosanan; 6. Dapat ditemukan silabus, kurikulum dan lain sebagainya melalui website; dan 7. Terdapat pengaturan yang baik Upaya Penyelesaian Masalah Berpikir Positif Berpikir positif memiliki kekuatan yang sangat luar biasa. Beberapa ahli menyatakan bahwa kekuatan berpikir positif terhadap sesuatu hal akan mengarahkan seseorang untuk berperilaku yang positif pula. Tidak jarang, seseorang yang memiliki keterbatasan dapat menunjukkan sebuah prestasi yang luar biasa hanya karena dia berpikir positif terhadap dirinya dan lingkungannya. Pengaruh lingkungan memiliki andil yang cukup kuat untuk dapat menumbuhkan pemikiran positif terhadap seseorang. Ironisnya, masyarakat kita masih sering terkungkung dalam pola pikir yang apriori. Banyak pemikiran-pemikiran di sekitar kita yang menunjukkan bahwa kita seringkali tidak bisa berpikir positi, sebagai contoh, “Kalau bapaknya pencuri, maka tidak heran jika anaknya juga pencuri”. Pelabelan ini menjadi sesuatu yang tidak mengenakkan. Harris (2003) menyatakan bahwa dalam pendekatan analisis transaksional terdapat empat posisi pemikiran atau kedudukan seseorang yaitu, 1) I’m not OK – You’re OK, 2) I’m not OK – You’re not OK, 3) I’m OK – You’re not OK, dan 4) I’m OK – You’re OK. Pola pikir masyarakat kita masih seringkali dalam posisi satu sampai tiga, masih jarang yang berada dalam posisi 4. Hal ini menjadi sangat mungkin karena nilai-nilai yang kita pergunakan adalah nilai-nilai paternalisme. Dalam budaya paternalisme, nilai-nilai yang dimiliki oleh orang tua atau yang dituakan adalah sangat mutlak. Melanggarnya dapat dianggap dosa atau kualat. Oran tua atau yang dituakan seringkali (tanpa disadari) memposisikan dirinya sebagai I’m OK dan memandang anak/remaja sebagai You’re not OK. Orang Tua atau yang dituakan merasa “lebih” punya pengalaman, “lebih” tahu, dan “lebih” bisa. Jika hal ini berjalan terus,maka tidak mengherankan jika anak-anak kita selalu tidak percaya diri, atau not OK. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa tanpa disadari bahwa orang tua atau orang yang dituakan telah berpikir negatif terhadap anak atau remaja. Komunikasi orang tua dan anak Komunikasi antara orang tua dan anak untuk mengurai masalah terkait dengan perkembangan Teknologi Informasi menjadi sangat penting. Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa tontonan yang disajikan dalam acara televisi atau pilihan-pilihan program di internet memiliki konten yang mungkin tidak sesuai dengan perkembangan anak/remaja. Walaupun hal itu tidak dapat dihindari oleh pengguna. Kondisi ini menuntut kebijakan dari orang tua untuk “membatasi” apa yang sebaiknya ditonton oleh anak-anaknya. Dalam acara televisi seringkali kita lihat, disudut kanan atas tertulis BO (Bimbingan Orang Tua). Tulisan tersebut bertujuan agar orang tua mendampingi anak saat menonton acara televisi, tetapi, apakah semua orang tua memiliki kesempatan untuk mendampingi anak-anaknya saat menonton televisi? Selain, itu, juga ada huruf R (Remaja), dimana acara tersebut selayaknya ditonton oleh para remaja. tetapi apakah kita yakin bahwa acara tersebut tidak ditontotn oleh anak-anak? Pertanyaan-pertanyaan ini membutuhkan solusi yang sebaiknya dilakukan oleh orang tua. Shaffer dan Kipp (2007) memberikan beberapa upaya penyelesaian masalah sebagai berikut. Tujuan Strategi Mengurangi waktu menonton televisi Bekerjasama dengan anak untuk membuat chart yang berisi tentang, waktu menonton, waktu belajar, serta waktu bermain dengan teman-teman. Atur waktu menonton TV, seperti sebelum makan pagi atau malam hari Jangan meletakkan televisi di ruang anak Ingatlah, saat orang tua menonton TV terlalu lama, maka anak akan melakukannya juga Membatasi efek kekerasan dari televisi Beri kesempatan untuk menilai kekerasan yang mincul di TV dengan melihat tampilan-tampilan lain. Menonton TV bersama anak dan diskusikan tentang kekerasan yang dilihat di TV. Diskusikan bagaiman kekerasan akan mengakibatkan rasa sakit, dan kemudian tanyakan kepada anak, bagaimana mengatasi konflik tanpa kekerasan. Jelaskan kepada anak bahwa kekerasan dalam film (entertainment) adalah sebuah kebohongan Jangan putar video tentang kekerasan Dorong anak untuk menonton program TV yang memiliki tokoh berkarakter baik. Melakukan Counteract negative Terhadap gambaran yang muncul di TV Mintalah kepada anak untuk membandingkan apa yang tampak di TV dengan kehidupan nyata Diskusikan dengan anak tentang hal-hal yang realistis dan apa yang sebenarnya terjadi di acara TV Jelaskan kepada anak tentang nilai-nilai yang anda yakini, terutama tentang sex, alkohol dan obat-obatan terlarang Mulailah untuk melakukan seleksi terhadap materi video, terutama untuk anak-anak Sebelum memasang TV kabel, sadarlah bahwa terdapat banyak pilihan program acara yang dapat dilihat. Mintalah kepada provider untuk mengunci acara TV khusus dewasa Lakukan transaksi terhadap efek periklanan Katakan kepada anak-anak bahwa iklan dipergunakan untuk menjual produk kepada banyak pemirsa Jelaskan tentang iklan kepada anak-anak dengan bahasa yang mudah dipahami Saat berbelanja, tunjukkan kepada anak-anak bahwa materi yang terlihat besar, cepat dan menarik seringkali tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya, karena semua itu dilakukan dengan close up. Diadaptasi dari Shaffer,David R., Kipp, Katherine. 2007. Developmental Psychology: Childhood and Adolescence (7th ed). Belmont, CA: Thomson Learning, Inc Komunikasi dengan Pendidik Thompson (2006) menyatakan bahwa upaya menyelesaikan permasalahan anak dan remaja dapat dilakukan dengan melakukan komunikasi dengan para pendidik/guru. hal ini dipandang penting, karena guru memiliki peran penting dalam mempersiapkan masa depan anak, khususnya terhadap perkembangan mental anak. Dalam hal ini, Thompson menyajikan beberapa hal yang dapat dikomunikasikan kepada pendidik/guru sebagai berikut: • Mengenal keunikan manusia. • Belajar bahwa manusia memiliki perbedaan kualitas dan karakteristik. • Belajar bahwa manusia memiliki kekuatan dan kelemahan. • Belajar bahwa kesalahan adalah kejadian yang alami dan tidak akan membuat seseorang menjadi jahat atau bodoh. • Belajar membedakan antara apa yang dikatakan orang lain tentang dirimu, dan dirimu yang sebenarnya. • Topik pembicaraan tentang remaja sebaiknya berisi tentang:  Mengenal hubungan antara penerimaan diri, penerimaan perilaku dan perasaan.  mengidentifikasi aspek diri yang meliputi, kondisi fisik, intelektual, spiritual, emosional, dan sosial. • Belajar tentang pentingnya penerimaan diri walaupun mungkin ditolak oleh orang lain. • Membedakan antara apa yang dikritikkan oleh seseorang dengan siapa yang memberi kritik. • Belajar untuk menerima pujian. • Belajar mengembangkan teknik pemuatan tujuan untuk menghadapi kemungkinan kegagalan. • Menggunakan penguatan positif untuk meningkatkan keyakinan diri yang positif Komunikasi dengan Sekolah Thompson (2006) menyatakan bahwa upaya menyelesaikan masalah anak dan remaja dapat dilakukan dengan melakukan koordinasi dengan pihak sekolah. Beberapa upaya koordinasi atau kolaborasi antara orang tua dengan pihak sekolah diantaranya adalah sebagai berikut. • Menetapkan standar pencapaian yang tinggi untuk semua siswa • Akuntabilitas bagi guru dan siswa • Kolaborasi antara sekolah dan keluarga • Pengembangan ketrampilan dasar yang efektif • Individualized instruction • Team teaching • Cooperative learning • School‑based management • Lingkungan sekolah yang sehat • Keikutsertaan orang tua dalam program sekolah • Pendisiplinan yang efektif • Kurikulum yang terintegrasi • Penggunaan teknologi dalam kegiatan instruksional serta komunikasi antara guru, siswa dan orang tua. • Pendidikan kesehatan yang komprehensif • Pelatihan ketrampilan sosial. emosional dan kognitif • Persiapan untuk menghadapi dunia kerja Komunikasi dengan Lembaga lain Thomson (2006) menyatakan bahwa premasalahan yang kompleks membutuhkan layanan yang kompleks pula. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan layanan intervensi yang bersumber dari berbagai pihak terkait. Dengan kata lain, sebaiknya orang tua melakukan upaya untuk mendapatkan berbagai informasi, melakukan inisiatif untuk membentuk kelompok-kelomok diskusi, merencanakan tindakan yang efektif dengan lembaga lain serta bergabung dengan komunitas tertentu. Lebih lanjut, Thompson (2006) juga menyatakan bahwa upaya menyelesaikan masalah anak dan remaja dapat dilakukan dengan melakukan kerjasama atau koordinasi dengan lembaga lain seperti dinas kesehatan, kepolisian, atau dinas sosial. Beberapa bentuk program yang dapat dikembangkan antara lain sebagai berikut. • Pemeriksaan Kesehatan • Imunisasi • Layanan pemeriksaan gigi • Perencanaan keluarga (KB) • Konseling Individu • Konseling Kelompok • Layanan Kesehatan Mental • Pengaturan tinggi badan dan berat badan • Referral dan follow‑up • Rekreasi, Olahraga dan Seni/Budaya • Layanan Kesejahteraan Keluarha (PKK) • Pendidikan atau Pelatihan menjadi orang tua yang efektif, serta menyediakan referensinya • Pengawasan Anak • Manajemen Kasus • Intervensi krisis • Kebijakan Publik Simpulan  Perkembangan teknologi Informasi merupakan kondisi yang tidak bisa dihentikan  Perkembangan Teknologi Informasi menuntut pemikiran yang bijaksana dari orang tua, sekolah, masyarakat dan lembaga lain. Hal ini ditunjukkan dengan koordinasi dan kolaborasi yang efektif dan nyata.  Setiap tahap perkembangan dan pertumbuhan peserta didik membutuhkan perhatian yang intensif dari orang tua, guru, masyarakat dan lembaga lain. Referensi ASCA. 2008. Why Elementary School Counselor?. Alexandria: American School Counselor Association Bucy Erik P., Newhagen, John E. 2004. Media access : social and psychological dimensions of new technology use. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc. Harris Thomas A. 2003. I’m OK – You’re OK. California: Institute for Transactional Analysis Monks., Knoers., Haditono, Siti, Rahayu. 1991. Psikologi Perkembangan: pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Republika Online. 2010. Polisi Usut Motif Siswa SD Gantung Diri. Sabtu, 16 Oktober 2010. Sampson, James, P. 2000. Using the Internet to Enchance Testing in Counseling. Journal of Counseling and Development. V 78: 348-356. Shaffer,David R., Kipp, Katherine. 2007. Developmental Psychology: Childhood and Adolescence (7th ed). Belmont, CA: Thomson Learning, Inc. Soedarmadji, Boy. 2009. Bimbingan dan Konseling di SD (Implementasi PHK PGSD-B). Jakarta: Ditjen Dikti Depdiknas Thompson, Rosemary A. 2006. Nurturing Future Generations: Promoting Resilience in Children and Adolescents Through Social, Emotional and Cognitive Skills (2nd ed). New York: Routledge TVOne NewsThicker. 2010. Siswa SD kelas Tiga Gantung Diri Usai Terima Rapor. Minggu, 19 Desember 2010, 02:40 WIB Zgourides,George. 2000. Developmental Psychology. New York: IDG Books Worldwide, Inc.

Kesurupan .......... Tulisan ini mencoba untuk menjawab berbagai pertanyaan tentang proses terjadinya kesurupan massal yang menjadi fe...