Jumat, 20 November 2009

KEKERASAN DI SEKOLAH

Kekerasan di Sekolah

Oleh

Boy Soedarmadji
(Dosen Tetap Prodi BK FKIP UNIPA Surabaya)

Disajikan dalam seminar sehari
“Peran Gender Dalam Pendidikan”
Program Studi S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar FKIP UNIPA Surabaya
Tanggal 12 Oktober 2009


A. Pendahuluan
Dunia pendidikan di Indonesia saat ini sedang berupaya untuk mengejar ketertinggalannya dengan Negara lain, khususnya negera-negara yang sedang berkembang. Segala upaya telah dilakukan oleh pemerintah seperti melakukan revisi kurikulum yang ada. Bahkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang telah berjalan masih saja ditemukan kekurangan-kekurangan yang memelukan revisi lebih lanjut.
Untuk mengejar ketertinggalan tersebut, maka pemerintah saat ini berupaya agar semua sekolah yang ada di negeri tercinta ini dapat terhubung dengan dunia luar. Upaya yang dilakukan antara lain adalah internetisasi sekolah-sekolah baik yang berada di kota besar sampai dengan pelosok-pelosok desa. Bahkan sebelum internet dikenal oleh masyarakat desa, pemerintah telah membuat sebuat program yang disebut dengan televisi pendidikan, dimana guru dan siswa dapat belajar dengan mempergunakan media televisi, sehingga proses pembelajaran menjadi semakin menarik.
Semua ini terjadi karena perkembangan teknologi informasi mengalami kemajuan yang sangat pesat. Hampir semua sendi kehidupan manusia dikuasai oleh oleh teknologi informasi. Sepuluh tahun yang lalu telepon genggam merupakan perangkat komunikasi yang dianggap canggih dan mahal, sehingga tidak semua orang bisa memilikinya. Tetapi saat ini, telepon genggam sudah menjadi komoditi yang bisa dijangkau oleh semua orang, mulai dari pejabat sampai dengan tukang becak sekalipun. Perkembangan yang sangat pesat ini pada akhirnya menimbulkan berbagai dampak, baik positif maupun negatif. Sebab penyebaran informasi melalui media teknologi informasi ini dapat dilakukan dengan mudah, dengan berbagai macam tujuan pula.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa perkembangan teknologi informasi saat ini tidak bisa dibendung dan oleh karenanya sangat mempengaruhi berbagai sendi kehidupan masyarakat. Hampir setiap orang melihat televisi dengan berbagai acara menarik yang ada, hamper semua orang bisa melakukan komunikasi menggunakan telepon seluler, hampi semua orang yang memiliki telepon seluler dapat mengunduh berbagai informasi, bahkan internet yang semula hanya bisa diakses melalui computer atau laptop, saat ini sudah bisa diakses dengan mempergunakan telepon seluler.
Kondisi sebagaimana disebutkan di atas, pada akhirnya dapat mempengaruhi orang-orang yang mempergunakan “keistimewaan” perangkat cangguh tersebut. Semua orang akan menyasikan siaran televisi baik yang berasal dari luar negeri atau dalam negeri. Dengan demikian, budaya luar negeri yang mungkin tidak sesuai dengan latar belakang budaya kita juga akan ditonton oleh jutaan orang.
Salah satu penikmat acara telivisi atau tanyangan di internet adalah siswa sekolah baik dari tingkat Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Mereka menyaksikan berbagai acara yang ditanyangkan oleh stasiun televisi mulai yang bertema romantisme sampai dengan sadisme.
Menurut hasil penelitian Arist (2008), kekerasan yang terjadi di sekolah dilakukan oleh guru (42%), oleh teman (42%) dan sisanya oleh unsur-unsur yang terdapat di sekolah, semisal penjaga sekolah. Data ini tentu saja sangat mengejutkan banyak pihak. Walaupun sampai saat ini masih dicari penyebab munculnya perilaku kekerasan tersebut. Menurut hemat penulis, berdasar pada uraian di atas, maka penulis mencoba untuk menyumbangkan pemikiran untuk menguraikan kekusutan penanganan kekerasan anak di sekolah.


B. Pembahasan
1. Perkembangan remaja
Sekolah sebagai salah satu tempat untuk belajar bersosialisasi bagi anak-anak tentu tidak bisa dilepaskan dari bagaimana cara seorang pendidik menempatkan siswa tersebut sesuai dengan usia perkembangan siswa. Fase remaja Menurut Konpka (Pikunas, 1976) meliputi: a) Remaja awal dengan kisaran usia 12-15 tahun, b) Remaja madya dengan kisaran usia 15-18 tahun, dan c) Remaja akhir dengan kisaran usia 19-22 tahun. Beberapa ciri perkembangan remaja adalah sebagai berikut:
a) Masa remaja sebagai periode peralihan.
Yaitu peralihan dari masa kanak-kanak ke peralihan masa dewasa. Pada tahapn ini, usia remaja merupakan suatu tahapan dimana seorang individu sudah mulai meninggalkan masa anak-anak dan akan memasuki usia dewasa awal. Kondisi antara masa anak-anak dan masa dewasa awal inilah yang disebut dengan masa remaja.
b) Masa remaja sebagai periode perubahan.
Pada masa remaja ini banyak sekali terjadi perubahan-perubahan yang signifikan baik perubahan psikis maupun phisik. Anak laki-laki dan anak perempuan memiliki perubahan-perubahan phisik yang sangat cepat. Pada anak laki-laki perubahan phisik antara lain seperti; 1) suara bertambah besar dan serak, 2) mulai tumbuh jakun, 3) pertumbuhan otot yang semakin pesat, 4) mulai tumbuh kumis, 5) mulai tumbuh bulu di sekitar organ reproduksi, dan 6) mengalami mimpi basah. Sedangkan pada perempuan, perubahan-perubahan terjadi seperti; 1) payudara membesar, 2) pinggul membesar, 3) suara menjadi lebih merdu, 4) mulai tumbuh bulu di sekitar organ reproduksi, dan 5) mulai mengalami menstruasi. Sedangkan perubahan psikis (yang dunjukkan dengan perilaku) antara lain; 1) mulai senang bersolek, 2) senang menyendiri, 3) berkelompok sesuai dengan jenis kelamin, dan 4) menunjukkan maskulinitas dan feminitas.
c) Masa remaja sebagai usia bermasalah.
Perubahan-perubahan yang dialami oleh siswa saat mereka memasuki usia remaja seringkali memunculkan masalah-masalah yang disebabkan kurangkan informasi terhadap perubahan-perubahan fisik yang dialami oleh siswa tersebut. Pada saat mereka masih kelas V Sekolah Dasar, seorang siswa seringkali mengalami kebingungan manakala mereka mendapatkan menstruasi untuk pertama kalinya, mereka cenderung menarik diri (withdrawl). Atau anak laki pada usia yang sama melakukan tindakan “sok kuasa” karena dirinya telah memiliki bulu di kaki dan berkumis.
d) Masa remaja sebagai masa mencari identitas.
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa masa remaja merupakan suatu masa dimana seseorang berada pada suatu kondisi antara masa anak-anak dan masa dewasa awal. Pada saat ini seorang individu akan mencoba untuk mengenal dirinya sendiri. Upaya mengenal dirinya sendiri dilakukan dengan cara trial and error. Mereka mencoba meninggalkan label anak-anak dan mencoba untuk melakukan hal-hal yang dilakukan oleh orang dewasa. Ironisnya, perilaku coba-coba yang dilakukan oleh remaja seringkali ditolak oleh orang-orang dewasa. Ungkapan yang sering muncul dari kaum dewasa adalah “Kamu masih ingusan”, “Anak masih bau kencur”, “Anak kemarin sore” dan sebutan-sebutan lain yang menolak kehadiran mereka pada “kawasan” orang dewasa.
e) Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan, karena masalah penyesuaian diri dengan situasi dirinya yang baru, karena setiap perubahan membutuhkan penyesuaian diri.
Permasalahan umum yang dialami oleh anak-anak adalah penyesuaian diri. Seringkali anak-anak gagal melakukan tindakan penyesuaian diri dikarenakan mereka belum bisa mengenal dirinya sendiri, atau mereka masih belum bisa menerima kondisi phisik yang dimilikinya. Istilah pengenalan diri ini lazim disebut dengan konsep diri (self-concept). Taylor, Davis-Kean, dan Malanchuk, dalam Kenny & McEachem, 2009) menyatakan bahwa istilah ini mengandung makna bagaimana seseorang menunjukkan dirinya (representation) kepada orang lain.
Mereka masih belum menyadari bahwa mereka masih dalam proses untuk menyelesaikan tugas perkembangan dan tugas pertumbuhannya. Anak laki cenderung memunculkan perilaku agresif karena dia merasa lebih “dewasa” dari teman sepermainan karena dia sudah memiliki bulu kaki atu kumis. Anak-anak ini cenderung menjadi lebih dominan jika dibandingkan dengan teman yang lainnya. Anak perempuan akan melakukan tindakan menarik diri dikarenakan bentuk tubuhnya yang melebar ke samping.
f) Ciri-ciri kejiwaan remaja, tidak stabil, keadaan emosinya goncang, mudah condong kepada ekstrim, sering terdorong, bersemangat, peka, mudah tersinggung, dan perhatiannya terpusat pada dirinya.
Perubahan-perubahan baik psikis maupun phisik yang cepat cenderung memunculkan perubahan-perubahan psikis pada anak-anak. Goldschmidt dan Weller (dalam Aldrich dan Tenenbaum, 2006) menunjukkan beberapa literatur menjelaskan bahwa perempuan lebih tampak ekspresi emosinya jika dibandingkan dengan laki-laki. Perubahan emosional menjadi semakin cepat, anak perempuan yang mengalami menstruasi pertama kali, sering mengalami ketakutan yang amat sangat. Pada anak laki-laki cenderung menjadi semakin bersemangat bahkan cenderung agresif, hal ini dikarenakan produksi hormon testosterone yang semakin banyak.

2. Perilaku negatif
Perilaku yang dimunculkan oleh anak-anak yang sedang memasuki usia remaja sangat beragam, mulai yang bersifat positif maupun negatif. Perilaku positif yang dimunculkan oleh siswa antara lain penerimaan diri yang positif, kemampuan sosialisasi yang baik, semangat yang tinggi dalam mengikuti pelajaran merupakan bentuk-bentuk perilaku yang dianggap adaptif oleh guru atau pendidik. Disamping perilaku positif, muncul pula perilaku negatif yang oleh sebagian orang dianggap sebagai sebuah perilaku menyimpang/maladaptive yang perlu mendapatkan penanganan khusus.
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa salah satu ciri masa remaja awal yaitu adanya trial and error. Perilaku ini seringkali menimbulkan masalah, khususnya bagi siswa sekolah dasar. Perilaku negatif yang muncul antara lain menjadi “preman”, membolos, suka menyontek, atau melakukan kekerasan terhadap lawan jenis.
Premanisme mungkin merupakan istilah yang terlalu dibesar-besarkan, terutama untuk anak seusia SD. Tetapi berita di televisi menunjukan adanya praktik-praktik premanisme di sekolah dasar. Siswa yang dianggap “sudah besar” seringkali melakukan tindakan-tindakan seperti memalak teman-teman yang dianggap tidak memiliki kemampuan untuk melawan. Tidak jarang mereka membuat gank yang terdiri dari siswa-siswa bermasalah. Ketua gank adalah siswa yang memiliki kelebihan dibandingkan dengan teman-teman yang lain. Kelebihan ini semisal berbadan lebih besar, memiliki kemampuan berkelahi bahkan keberanian untuk membolos, bahkan sering menerima hukuman juga dianggap sebagai sebuah kelebihan.
Perilaku yang dimunculkan oleh anggota gank sering berujung pada perilaku kekerasan. Tidak jarang praktik premanisme ini ditujukan kepada kaum laki-laki atau perempuan. Kekerasan fisik dan kekerasan psikis berupa ancaman seringkali diterima oleh anak-anak yang lemah.
Patut diwaspadai oleh guru tentang penyebab munculnya premanisme di sekolah. Banyak faktor yang dapat memicu munculnya perilaku kekerasan di sekolah. Faktor penyebab kekerasan di sekolah dapat berasal dari lingkungan keluarga, masyarakat atau media massa. Saat ini, keluarga tengah mengalami pergeseran peran. Peran anggota keluarga mengalami pergeseran. Dulu tulang punggung keluarga adalah ayah, dimana seorang ayah akan bekerja untuk memenuhi kebutuhan materiil keluarga. Saat ini, dengan meningkatnya kebutuhan keluarga, maka ibu akan menjadi salah satu tiang penyangga kebutuhan materiil keluarga. Tidak jarang seorang ibu bekerja, bahkan “lebih berat” jika dibandingkan ayah. Kondisi ini seringkali mengorbankan anak, anak tidak lagi mendapatkan kasih saying yang cukup, tidak ada lagi waktu berbincang yang cukup, apalagi untuk mengungkap permasalahan yang dimiliki oleh anak-anak.
Kondisi masyarakat di sekitar anak juga turut memberikan sumbangan terhadap perilaku kekerasan di sekolah. Kondisi masyarakat di daerah kumuh seringkali bersinggungan dengan tindakan-tindakan kekerasan. Anak akan meniru perilaku-perilaku kekerasan sebagai salah satu upaya untuk mendapatkan apa yang dibutuhkannya.
Media massa merupakan salah satu faktor penyebab munculnya kekerasan pada diri anak. Tanpa disadari tayangan-tayangan di media massa akan dicontoh oleh anak-anak seusia sekolah dasar. Bahkan film-film yang ditujukan untuk menghibur anak banyak terselip adegan-adegan yang mengandung nilai-nilai kekerasan. Film kartun yang diputar seringkali menayangkan adegan perkelahian. Walaupun di akhir film tersebut tersimpan sebuah makna positif, tetapi adegan yang dimunculkan justru mengajak anak untuk mempergunakan kekerasan dalam mencapai tujuan tertentu (walau mulia).

3. Penanganan
Perubahan-perubahan baik psikis maupun psikis yang dialami oleh siswa yang memasuki usia remaja perlu mendapatkan perhatian serius dari berbagai kalangan, utamanya guru sebagai pendidik di sekolah. Penanganan masalah siswa sebaiknya dilakukan secara komprehensif, artinya melibatkan seluruh personil di sekolah dan masyarakat. Hal tersebut disadari karena masalah perilaku kekerasan yang dilakukan oleh siswa bukan semata-mata menjadi masalah anak, tetapi lebih mengarah kepada akibat dari lingkungan baik keluarga, masyarakat dan media massa.
Carney (2008) menjelaskan bahwa anak muda akan menunjukkan reaksi yang berbeda-beda saat mereka menerima kekerasan di sekolah, sehingga perlu penanganan khusus seperti mendapatkan layanan konseling, berbagi pengalaman dengan siswa lain yang memiliki pengalaman trauma yang sama, atau membicarakan trauma sebagai topic dalam pembelajaran yang dilakukan oleh tenaga pendukung di sekolah.
Newsome dan Sklare (dalam Carney, 2008) menyatakan bahwa penanganan anak sebagai korban kekerasan melalui proses konseling. Usaha-usaha penghindaran terhadap akibat trauma merupakan cara yang tidak bijaksana. Sehingga, dalam hal ini konselor dapat mendorong anak untuk memunculkan mekanisme kemampuan penanganan trauma, sehingga, anak-anak dapat melakukan pengaturan kecemasan yang muncul karena adanya kekerasan di sekolah.
Khusus penanganan konseling untuk anak sekolah dasar, maka konseling tidak secara langsung diberikan kepada anak. Hal ini disebabkan permasalahan yang dimiliki oleh anak merupakan refleksi dari kelalaian yang muncul dari keluarga atau masyarakat. Dengan demikian, orang tua yang akan diberikan layanan konseling untuk dapat membantu memecahkan masalah anak-anaknya. Untuk hal ini, maka pihak sekolah diharapkan mampu menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi penyelenggara program studi bimbingan dan konseling atau dengan pihak-pihak lain yang memiliki kompetensi untuk menangani masalah kekerasan di sekolah.
Hal lain terkait dengan usaha preventif adalah dengan secara aktif melakukan komunikasi dengan orang tua dan masyarakat. Guru Kelas dituntut untuk bisa menjalin hubungan yang harmonis dengan orang tua, sehingga tidak muncul kesan bahwa orang tua menyerahkan anak sepenuhnya kepada sekolah. Ini menjadi tendensi negatif, karena akan memunculkan usaha ”menyalahkan” sekolah jika terjadi masalah pada anak-anak mereka. Jika hal ini terjadi, maka pihak sekolah juga menjadi ”korban”.
Usaha preventif ini antara lain dengan memaksimalkan forum komunikasi guru dengan orang tua atau memaksimalkan peran komite sekolah. Masing-masing guru kelas bisa melakukan koordinasi dengan orang tua siswa dengan mengadakan pertemuan tiap bulan. Pertemuan tiap bulan ini akan jauh lebih efektif jika dibandingkan pertemuan yang dilakukan hanya tiga bulan sekali (saat mid semester) atau bahkan enam bulan sekali (saat ujian akhir semester).

C. Simpulan
Masalah kekerasan yang dilakukan oleh siswa di sekolah dasar terjadi sebagai akibat dari kelalaian orang tua, guru dan masyarakat dalam memahami tugas perkembangan dan tugas pertumbuhan anak. Anak yang sedang memasuki masa remaja awal membutuhkan bantuan dalam upaya memahami diri dan lingkungannya, sehingga peran orang tua, guru dan masyarakat menjadi sangat penting.

D. Referensi
Aldrich, Naomi,J., Tenenbaum, Harriet, R. 2006. Sadness, Anger, and Frustration: Gendered Patterns in Early Adolescents and their parents emotion talk. Sex Roles: A Journal of Research (diakses tanggal 02 Oktober 2009).
Arist. 2008. 28 Persen Kekerasan Anak Terjadi Di Sekolah. Tempointeraktif.com. Diakses tanggal 1 Oktober 2009.
Carney, JoLynn V. 2008. Perceptions of bullying and associated trauma during adolescence. Journal Professional School Counseling, Pebruary, 2008. Diakses tanggal 29 September 2009.
Gunarsa, Singgih. 2001. Psikologi Praktis: anak, remaja dan keluarga. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Hurlock, Elizabeth. 1994. Psikologi Perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Kartono, Kartini. 1995. Psikolologi Anak: psikologi perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Kenny, Maureen., McEachem, Adriana. 2009. Children Self-Concept: A Multicultural Comparison. Journal Professional School Counseling, Pebruary, 2009. Diakses tanggal 29 September 2009.
Soedarmadji, Boy. 2008. Perkembangan Peserta Didik. Implementasi PHK S1 PGSD-B Ditjen Dikti Depdiknas.

Rabu, 22 Juli 2009

Tugas penggalan 1-5

TUGAS PENGGALAN 1


Mata Kuliah : Strategi Kognitif
Bobot : 3 SKS
Sifat : Tugas Terstruktur-1
Prodi : Magister Teknologi Pembelajaran
PTS : UNIPA Surabaya


SOAL:

1. Terangkan definisi kognisi menurut Matlin, disertai penjelasan yang dikaitkan dengan peristiwa proses pembelajaran di dalam kelas?
2. Terangkan definisi strategi kognitif menurut Gagne, disertai penjelasan yang dikaitkan dengan peristiwa ujian di dalam kelas?
3. Menurut Anda, bagaimana peranan fungsi kawasan kognisi terhadap proses pembelajaran? Jelaskan.
4. Uraikan kembali siklus peristiwa pembelajaran berdasarkan teori model memori Atkinson dan Shiffrin?
5. Jelaskan upaya yang dapat dilakukan guru, untuk mengurangi kehilangan informasi menurut teori model memori Atkinson dan Shiffrin?


TUGAS PENGGALAN 2


Mata Kuliah : Strategi Kognitif
Bobot : 3 SKS
Sifat : Tugas Terstruktur-2
Prodi : Magister Teknologi Pembelajaran
PTS : UNIPA Surabaya


SOAL:

1. Mengapa persepsi bersifat subyektif, dan bagaimana peranannya terhadap kualitas pembelajaran di dalam kelas?
2. Terdapat 3 aspek dalam persepsi, yaitu; (1) alat pencatat indera, (2) sistem pengenalan pola, dan (3) perhatian. Jelaskan bahwa ketiga aspek tersebut membentuk suatu sistem yang menentukan kualitas persepsi?
3. Upaya apa yang bisa dilakukan guru untuk meningkatkan perhatian siswa terhadap pembelajaran? Jelaskan.
4. Salah satu ciri khas pencatatan indera ialah informasi yang diterima belum bermakna, sehingga sulit diingat. Jelaskan maksud tersebut, dan bagaimana cara mengubah menjadi bermakna untuk dapat diingat oleh siswa dalam pembelajaran?
5. Jelaskan teori di bawah ini ke dalam peristiwa pembelajaran:
a. Template-matching theory?
b. Prototype theory?
c. Distinctive-feature theory?


TUGAS PENGGALAN 3


Mata Kuliah : Strategi Kognitif
Bobot : 3 SKS
Sifat : Tugas Terstruktur-3
Prodi : Magister Teknologi Pembelajaran
PTS : UNIPA Surabaya


SOAL:

1. Jelaskan bahwa unsur perhatian terdiri dari (1) aktivitas mental, dan (2) stimuli / obyek?
2. Di dalam peristiwa pembelajaran, jenis perhatian mana yang paling menguntungkan siswa, dan kemukakan alasannya?
3. Teori inteligensi tunggal Binet dan Simon, sampai saat ini masih digunakan untuk mengukur inteligensi siswa oleh para psikolog atau tester psikologis. Menurut pendapat Anda, apa peranan inteligensi terhadap pembelajaran, jelaskan disertai contoh?
4. Menurut Binet, ciri orang cerdas mencakup; (1) cekatan dalam menetapkan tujuan, (2) cekatan dalam mencapai tujuan, dan (3) otokritik. Jelaskan hal tersebut disertai contoh dalam pembelajaran?
5. Jelaskan disertai contoh proses berpikir menurut Sumadi Suryabrata, yakni; (1) pembentukan pengertian, (2) pembentukan pendapat, dan (3) penarikan kesimpulan?



TUGAS PENGGALAN 4


Mata Kuliah : Strategi Kognitif
Bobot : 3 SKS
Sifat : Tugas Terstruktur-4
Prodi : Magister Teknologi Pembelajaran
PTS : UNIPA Surabaya


SOAL:

1. Terangkan proses perkembangan kognitif menurut Piaget?
2. Jelaskan mekanisme asimilasi dan akomodasi dalam peristiwa belajar menurut Piaget?
3. Bandingkan perbedaan pendekatan normatif dengan pendekatan deskriptif dalam proses pengambilan keputusan? Mana yang lebih menguntungkan menurut Anda disertai alasannya.
4. Jelaskan prinsip value functions teori prospek menurut Daniel kehnemen dan Amos Tversky dalam proses pengambilan keputusan pada peristiwa ujian?
5. Menurut pendapat Anda prinsip mana dalam teori prospek menurut Daniel kehnemen dan Amos Tversky, yang lebih menguntungkan bila diterapkan pada peristiwa pemilihan pimpinan di suatu lembaga pendidikan? Jelaskan.



TUGAS PENGGALAN 5


Mata Kuliah : Strategi Kognitif
Bobot : 3 SKS
Sifat : Tugas Terstruktur-5
Prodi : Magister Teknologi Pembelajaran
PTS : UNIPA Surabaya


SOAL:

1. Terangkan paradigma strategi kognitif menurut pemahaman Anda?
2. Strategi kognitif dapat dibelajarkan, jelaskan metode pembelajarannya?
3. Gunakan strategi chunking untuk mengembangkan materi pelajaran pada suatu atau beberapa pokok bahasan yang Anda kuasai? Hasilnya berupa produk materi pelajaran yang siap dibelajarkan kepada siswa tertentu (siswa pada satuan pendidikan yang sesuai dengan materi tersebut).
4. Mengapa strategi spatial dipandang lebih efisien bila dibandingkan dengan strategi yang lain (sebutkan strategi apa?) untuk mencatat materi perkuliahan? Jelaskan.
5. Gunakan strategi advance organizer pada suatu mata pelajaran yang Anda kuasai? Hasilnya berupa intisari (abstrak) materi mata pelajaran tertentu, tidak lebih dari dua lembar spasi tunggal.

Rabu, 17 Juni 2009

Pengayaan mata kuliah KLB

PENGAYAAN MATA KULIAH
KONSELING LINTAS BUDAYA

1. Jelaskan pengertian budaya menurut Ki Hajar Dewantara.
2. Jelaskan pendapat Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski tentang hubungan antara budaya dan masyarakat.
3. Sebutkan unsur-unsur budaya menurut Melville J. Herskovits.
4. Sebutkan dan jelaskan wujud kebudayaan menurut J.J. Hoenigman.
5. Jelaskan mengapa teknologi merupakan salah satu komponen budaya.
6. Jelaskan makna bahwa budaya tidak statis.
7. Goode menyatakan bahwa kepemilikan budaya melalui proses inkulturasi, jelaskan maknanya.
8. Jelaskan system kekerabatan menurut Fortes.
9. Jelaskan kaitan antara konseling dan budaya.
10. Teori konseling yang kita pelajari adalah teori yang berasal dari budaya yang berbeda, jelaskan maknanya.
11. Jelaskan hubungan antara konsep diri dengan budaya/nilai-nilai masyarakat
12. Bagaimana sikap konselor dalam memahami perbedaan budaya yang dimunculkan dalam teori konseling? Jelaskan pendapat anda.
13. Jelaskan secara rinci bagaimana konselor bisa memahami budaya konseli?
14. Proses konseling (preamble) seringkali ditentukan oleh bagaimana konselor memahami budaya/nilai-nilai konseli, jelaskan.
15. Elemen konseling lintas budaya ada tiga, sebutkan dan jelaskan menurut pemahaman anda.
16. Sebutkan ciri-ciri konselor lintas budaya menurut cristiani, dan jelaskan masing-masing ciri tersebut.
17. Dalam melaksanakan konseling, konselor sebaiknya aktif melakukan observasi terhadap perilaku konseli. Jelaskan maknanya dan berikan contoh konkritnya.
18. Dalam budaya tertentu, perempuan seringkali sulit untuk bersikap asertif. Bagaimana sikap anda.
19. Dalam budaya timur, laki-laki selalu dianggap sebagai “the first”. Bagaimana sikap anda.
20. Dalam masyarakat tertentu, seringkali muncul ungkapan-ungkapan khusus yang menjadi ciri khas masyarakat tersebut. Bagaimana sikap anda.

Jumat, 15 Mei 2009

Urgensi penggunaan teori konseling

URGENSI PENGGUNAAN TEORI KONSELING DALAM PRAKTIK LAYANAN KONSELING DI SEKOLAH

Oleh
Boy Soedarmadji
Prodi BK FKIP UNIPA Surabaya


Pengantar
Era globalisasi saat ini berdampak sangat besar pada seluruh aspek kehidupan masyarakat. Aspek ekonomi, aspek sosial kemasyarakatan dan bahkan dunia pendidikan pun terkena imbasnya. Imbas yang dialami oleh masyarakat dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi positif dan sisi negative. Sisi positif yang bisa diamati secara langsung adalah mudahnya manusia melakukan komunikasi dengan orang lain, bahkan komunikasi ini tidak terbatas oleh ruang dan waktu, mudahnya manusia melakukan perjalanan baik domestik atau non domestik, mudahnya manusia memperoleh informasi dan mengakses informasi. Tetapi di sisi lain, era global membawa dampak negatif yang tidak dapat dihindari oleh manusia. Kemudahan manusia mendapatkan informasi dan mengakses informasi ternyata berdampak pada perilaku manusia itu sendiri.
Dulu, kita sangat sulit untuk mendapatkan informasi dari daerah lain (apalagi yang berasal dari luar negeri), kalaupun bisa, itupun butuh waktu yang relatif lama. Mungkin kita masih ingat acara di televisi yaitu dunia dalam berita. Kita bisa menerima berita-berita yang terjadi di seputar kita hanya pada jam 21.00. Itupun, beritanya sudah disortir dan terjadi satu atau dua hari sebelumnya. Tetapi dengan keterbatasan teknologi yang ada, hal tersebut sudah dianggap canggih.
Apa yang terjadi saat ini? Sesuatu yang dulu dianggap sudah canggih, ternyata saat ini sudah bukan menjadi barang yang canggih lagi.
Bimbingan dan Konseling sebagai sebuah profesi. Sebagai sebuah profesi, maka apapun yang terkait dengan pelaksanaan program akan terikat dengan kode etik yang dimiliki. Bimbingan dan Konseling yang lahir pada tahun 1975 dengan berdirinya Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI), mengalami perjalanan panjang hingga pada akhirnya di tahun 2008 muncul Naskah Akademik yang menjadi pedoman pelaksanaan Bimbingan dan Konseling.
Sebagai sebuah profesi yang mandiri, maka konseling merupakan suatu kegiatan yang hanya bisa dilaksanakan oleh konselor profesioan dengan memiliki syarat-syarat tertentu. Sosok konselor profesional di sekolah memiliki keunikan tersendiri yang menjadikan memiliki perbedaan dengan guru bidang studi. Sosok guru menunjukkan keahlian profesionalnya dengan mempergunakan materi pembelajaran sebagai konteks layanan, sedangkan konselor dengan usaha memberikan layanan bimbingan konseling yang memandirikan tidak mempergunakan materi pembelajaran sebagai konteks layanan. Keunikan ini yang seringkali masih belum dipahami di jalur pendidikan formal.
Lebih lanjut, ABKIN (2008) menyatakan bahwa peran konselor di sekolah menengah memiliki perbedaan dengan guru mata pelajaran dalam rangka proses mendidik dan menumbuhkan aktualisasi diri siswa. Konselor mempergunakan proses pengenalan diri konseli sebagai konteks layanan dalam rangka menumbuhkan kemandirian dalam pengambilan keputusan penting dalam kehidupan konseli yang berkaitan dengan pendidikan, pemilihan, penyiapan diri serta kemampuan mempertahankan karier. Hal ini dilakukan dengan melakukan kerjasama dengan guru yang menggunakan mata pelajaran sebagai konteks layanan dengan menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik, yaitu pembelajaran yang sekaligus berdampak mendidik.
Untuk lebih memperdalam pemahaman tugas antara konselor sekolah dengan guru bidang studi, ABKIN (2008) menyatakan, ”Sebagai perbandingan, karena mengemban misi yang berbeda, kiprah seorang konselor yang melayani konseli normal dan sehat, menggunakan rujukan ”layanan bimbingan dan konseling yang memandirikan”, sesuai dengan tuntutan realisasi diri (self-realization) konseli melalui fasilitasi perkembangan kapasitasnya secara maksimal (capacity development), sedangkan seorang guru yang menggunakan mata pelajaran sebagai konteks terapan layanannya, menggunakan rujukan normatif ”pembelajaran yang mendidik” yang terfokus pada layanan pendidikan sesuai bakat, minat, dan kebutuhan peserta didik dalam proses pembudayaan sepanjang hayat dalam suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, dialogis dan dinamis menuju pencapaian tujuan utuh pendidikan.

Konselor Profesional
Biro tenaga kerja di Amerika Serikat (2007) memberikan panduan tentang pekerjaan konselor sekolah sebagai berikut:
“Counselors assist people with personal, family, educational, mental health, and career problems. Their duties vary greatly depending on their occupational specialty, which is determined by the setting in which they work and the population they serve. Educational, vocational, and school counselors provide individuals and groups with career and educational counseling. School counselors assist students of all levels, from elementary school to postsecondary education. They advocate for students and work with other individuals and organizations to promote the academic, career, personal, and social development of children and youth. School counselors help students evaluate their abilities, interests, talents, and personalities to develop realistic academic and career goals. Counselors use interviews, counseling sessions, interest and aptitude assessment tests, and other methods to evaluate and advise students. They also operate career information centers and career education programs”.

Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) pada tahun 2008 telah menerbitkan Naskah Akademik yang secara yuridis menjadi pegangan bagi pelaksanaan Bimbingan dan Konseling. ABKIN (2008) menyatakan bahwa sosok utuh konselor yang profesional memiliki dua kriteria yaitu a) kompetensi akademik dan b) kompetensi profesional.
Kompetensi akademik merujuk kepada landasan ilmiah pelaksanaan bimbingan dan konseling baik yang dikembangkan dari hasil penelitian ilmiah, pendapat pakar maupun praksis di bidang bimbingan dan konseling yang selama ini berkembang. Kompetensi yang dipersyaratkan bagi konselor adalah a) memahami secara mendalam dengan penyikapan yang empatik serta menghormati keragaman yang mengedepankan kemaslhatan konseli yang dilayani, b) menguasai khasanah teoritik tentang konteks, pendekatan, asas, dan prosedur serta sarana yang digunakan dalam penyelenggaraan layanan bimbingan dan konseling, c) menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan, dan d) mengembangkan profesionalitas sebagai konselor secara berkelanjutan. Kompetensi profesional merujuk pada usaha konselor untuk menjadi profesional dengan mengikuti pendidikan profesi konselor.
Beberapa ahli menyatakan bahwa ciri-ciri konselor efektif adalah memiliki kemampuan empatik, pemahaman terhadap konseli, memiliki kemampuan kebutuhan emosinya dan responsif terhadap konselinya (Simpson & Starkey, 2006). Lebih lanjut, Ellis (dalam Yeo, 2003) menyatakan bahwa konselor profesional ditunjukkan dengan kualitas sebagai berikut:
a) Konselor sungguh-sungguh berminat untuk menolong klien mereka dan berusaha sekuat tenaga merealisasikan minat ini;
b) Tanpa syarat mereka harus memandang klien mereka sebagai pribadi;
c) Percaya pada kemampuan terapeutis mereka sendiri;
d) Memiliki pengetahuan luas tentang teori dan praktik-praktik konseling, luwes, tidak picik dan terbuka untuk mendapatkan keterampilan-keterampilan baru dan mencobanya;
e) Mampu menghadapi dan menyelesaikan keruwetan-keruwetan mereka sendiri, tidak cemas, tidak tertekan, tidak bersikap bermusuhan, tidak membiarkan diri mereka sendiri merosot, tidak mengasihani diri atau tidak disiplin;
f) Sabar, tekun, dan berusaha keras dalam kegiatan-kegiatan terapeutis mereka;
g) Bersikap etis dan bertanggungjawab, menggunakan konseling hampir seutuhnya demi kebaikan klien dan bukannya untuk kesenangan pribadi;
h) Bertindak secara profesional dan tepat dalam bidang terapeutis, tetapi masih sanggup mempertahankan sikap manusiawi, spontan dan gembira dalam bekerja;
i) Optimistik, mampu memberi semangat dan memperlihatkan pada klien bahwa apapun kesulitan yang dihadapi klien, mereka dapat berubah; dan
j) Berhasrat untuk menolong semua klien dan dengan besar hati bersedia merujuk orang-orang yang mereka anggap tidak bisa mereka tolong kepada rekan profesi lain

Rogers (dalam Geldard, 1993), sebagai salah satu ahli konseling humanistik menyatakan bahwa konselor yang baik memiliki tiga kualitas yaitu a) congruence, b) empathy dan c) unconditional positive regard. Congruence merujuk pada penunjukan diri secara apa adanya (genuine), terintegrasi dan memandang orang secara keseluruhan (whole person). Empati (empathy) merujuk pada pemahaman terhadap apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh konseli. Penerimaan tanpa syarat (unconditional positive regard) merujuk pada penerimaan konseli tanpa adanya penilaian (non-judgementally) terhadap nilai-nilai yang dimiliki oleh konseli dan mengakui kelebihan dan kelemahan yang dimiliki oleh konseli.
Lebih lanjut Bowman dan Reeves (dalam Karen & Garet, 2006) menyatakan bahwa konselor yang baik sebaiknya dapat mengembangkan moralitas dan kemampuan berempati sesuai dengan kebutuhan. Hal ini akan mengarahkan konselor untuk dapat memamahi dirinya, sehingga dapat terbuka untuk bekerja dengan individu atau masyarakat di sekitarnya.

Teori Konseling
Perkembangan teori konseling saat ini mengalami kemajuan yang sangat pesat. Hal ini tampak pada hasil-hasil penelitian yang dipublikasikan pada jurnal-jurnal penelitian baik skala nasional maupun internasional. Penelitian yang dipublikasikan di jurnal-jurnal ilmiah pada dasarnya merupakan usaha menjawab permasalahan-permasalahan yang terjadi pada dunia bimbingan dan konseling. Fenomena yang terjadi di sekolah sebagai wahana pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling menjadi lahan yang baik bagi perkembangan teori konseling.
Saat ini, di era globalisasi, permasalahan yang muncul di sekolah juga menjadi semakin kompleks. Permasalahan tidak saja berkutat kepada kesulitan balajar, tetapi juga masalah-masalah lain seperti narkoba, penyimpangan seksual dan masih banyak lagi. Permasalahan ini secara langsung akan berdampak kepada konselor sebagai ujung tombak pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling. Keadaan seperti ini pada dasarnya menuntut konselor untuk secara simultan mengembangkan kemampuan konselingnya dengan didasarkan pada teori-teori konseling yang up to date.

Teori Behavioral
Pendekatan behavioral merupakan sebuah pendekatan dalam konseling yang secara umum masih dipergunakan oleh para konselor. Tokoh pendekatan ini antara lain adalah Bandura, Pavlov, Skinner dan masih banyak yang lainnya. Pendekatan ini berasumsi bahwa perilaku manusia merupakan serangkaian hasil belajar. Apa dilakukan oleh seseorang merupakan hasil produksi dari lingkungan yang dominan seperti orang tua, sekolah, masyarakat atau orang lain yang berpengaruh (significant other). Manusia dianggap sebagai mahkluk yang tidak mempunyai daya apa-apa (determinitif). Manusia identik dengan robot, yang tidak memiliki inisiatif dan hanya bisa melakukan sesuatu karena merespon sebuah perintah atau aturan.

Walaupun teori ini (yang klasik) sudah banyak ditentang oleh aliran-aliran baru dalam konseling, tetapi teori ini tetap saja eksis dengan melakukan beberapa modifikasi. Skinner (dalam Soedarmadji dan Sutujono, 2005) menyatakan bahwa pandangan teori behavioristik terhadap terhadap manusia adalah 1) perilaku organisme bukan merupakan suatu fenomena mental, lebih ditentukan dengan belajar, sikap, kebiasaan dan aspek perkembangan kepribadian, 2) perkembangan kepribadian bersifat deterministik, 3) perbedaan individu karena adanya perbedaan pengalaman, 4) dualisme seperti pikiran dan tubuh, tubuh dan jiwa bukan merupakan hal yang ilmiah, tidak dapat diperkirakan dan tidak dapat mengatur perilaku manusia dan 5) walaupun perkembangan kepribadian dibatasi oleh sifat genetik, tetapi secara umum lingkungan dimana individu berada mempunyai pengaruh yang sangat besar. Uraian tersebut menunjukkan bahwa manusia adalah sosok yang sangat deterministik.
Chamblers & Goldstein (dalam Gilliland, 1989) menyatakan bahwa tidak ada batasan yang jelas mengenai pribadi yang sehat atau tidak sehat. Hal ini disebabkan para tokoh aliran ini mengakui bahwa perilaku maladaptif adalah seperti perilaku adaptif, yaitu dipelajari. Sehingga, tujuan konseling dalam pendekatan ini adalah mengajak konseli untuk belajar perilaku baru, yaitu perilaku yang dikehendaki oleh lingkungan yang dominan.
Terapi perilaku sangat berbeda dengan pendekatan-pendekatan konseling yang lain. Perbedaan mencolok ditandai pada (a) pemusatan perhatian pada bentuk perilaku yang tampak dan spesifik, (b) kecermatan dan penguraian tujuan treatment, (c) perumusan prosedur treatment yang spesifik yang sesuai dengan masalah dan (d) penafsiran yang obyektif terhadap hasil terapi (Corey, 2005).



Teori Humanistik
Pendekatan humanistik muncul karena ketidakcocokan dengan paradigma pendekatan Behavioristik. Tokoh aliran humanistik antara lain adalah Abraham Maslow, Rogers, Viktor Frankl dan masih banyak lagi yang lainnya. Para ahli ini secara mendasar mengemukakan teori-teorinya berdasar pada pendekatan humanistik, hanya saja, dalam pelaksanaan strategi konseling ada perbedaan-perbedaan.
Pendekatan humanistik yang dikembangkan oleh Abraham Maslow mendasarkan pemikirannya pada teori tentang kebutuhan manusia. Dimana kebutuhan manusia terdiri dari a) kebutuhan biologis dan phisik, b) kebutuhan rasa aman, c) kebutuhan untuk memiliki dan mencintai, d) kebutuhan harga diri dan e) kebutuhan aktualisasi diri.


Hirarki kebutuhan yang diuraikan oleh Maslow menunjukkan bahwa bahwa manusia akan terdorong untuk mencukupi kebutuhannya dan berusaha untuk menyelesaikan kebutuhan-kebutuhannya (accomplished). Perilaku manusia akan termotivasi untuk mencukupi kebutuhannya sampai dengan tingkat kebutuhan yang paling tinggi yaitu aktualisasi diri.
Perkembangan teori humanistik semakin pesat setelah Rogers mengembangkan teori person centered Therapy, dimana palayanan konseling dipusatkan kepada individu. Pandangan teori Rogerian terhadap manusia adalah 1) organisme, merupakan keseluruhan individu (the total individual, 2) Medan phenomenal, merupakan keseluruhan pengalaman individu (the totally of experience), dan 3) Self, merupakan bagian dari medan phenomenal yang terdiferensiasikan dan terdiri dari pola-pola pengamatan dan penillaian sadar dari “I” atau “Me”.
Rogers (dalam Soedarmadji & Sutijono, 2005) berpendapat bahwa pribadi yang sehat bukan merupakan keadaan dari ada, melainkan suatu proses, “suatu arah buka suatu tujuan”. Hal ini mempunyai makna bahwa pribadi yang sehat bukan merupakan sesuatu yang ada sejak manusia dilahirkan, tetapi merupakan suatu proses pembentukan yang tidak pernah selesai. Ini menunjukkan bahwa manusia tidak statis (mandeg) tetapi lebih pada usaha untuk terus menjadi sesuatu (becoming). Dengan demikian, Rogers menunjukkan bahwa individu yang sehat adalah mereka yang 1) Terbuka dengan pengalaman baru (opennes to experience), 2) Percaya pada diri sendiri (trust in themselves), 3) mempergunakan sumber-sumber dalam diri untuk melakukan evaluasi (internal source of evaluation), dan 4) Keinginan untuk terus tumbuh (willingness to continue growing).
Pribadi/individu yang tidak sehat menurut Rogers adalah mereka yang mengalami ketaksejajaran (incongruence) antara konsep diri (self-concept) dengan kenyataan yang ada. jika persepsi seseorang terhadap pengalaman itu terganggu atau ditolak, maka keadaan maladjusment atau vulnerability akan muncul. Keadaan incongruence ini dapat menimbulkan berbagai “penyakit” psikologis atau “neurotic behavior” seperti kecemasan, ketakutan, disorganisasi dan selalu menentukan nilai absolut. Dengan demikian, tujuan konseling yang akan dicapai oleh pendekatan ini adalah melakukan revisi terhadap cara pandang konseli.
Pendekatan Rogerian bisa dikatakan tidak memiliki strategi khusus dalam menangani masalah konseli. Hal ini dikarenakan dalam praktik konseling, kualitas hubungan antara konselor dan konseli menjadi proritas utama untuk mengentas permasalahan konseli. Hanya saja, untuk mencapai hal itu, maka dikutuhkan kualitas konselor seperti 1) Genuineness, 2) Unconditional Positive Regard, dan 3) Empathic Understanding.

Teori Gestalt
Teori Gestalt diperkenalkan oleh Frederick Perls. Gestalt dalam bahasa Jeman mempunyai arti bentuk, wujud atau organisasi. Kata itu mengandung pengertian kebulatan atau keparipurnaan (Schultz, 1991). Lebih lanjut, Simkin (dalam Gilliland, 1989) menyatakan bahwa kata Gestalt mempunyai makna keseluruhan (whole) atau konfigurasi (configuration). Dengan demikian Perls lebih mengutamakan adanya integrasi bagian-bagian terkecil kepada suatu hal yang menyeluruh. Integrasi ini merupakan hal penting dan menjadi fungsi dasar bagi manusia.
Proses perkembangan teori Gestalt tidak bisa dilepaskan dari sosok Laura (Lore) Posner (1905-1990). Dia adalah isteri Frederick perls yang secara signifikan turut mengembangkan teori Gestalt. Laura dilahirkan di Pforzheim Jerman. Awal mulanya dia adalah seorang pianis sampai dengan umur 18 tahun. Pada awalnya, Laura juga seorang pengikut aliran Psikoanalisa, yang kemudian pindah untuk mendalami teori-teori Gestalt. Pada tahun 1926, Laura dan Perls secara aktif melakukan kolaborasi untuk mengembangkan teori Gestalt, hingga pada tahun 1930 akhirnya mereka menikah. Pada tahun 1952, mereka mendirikan New York Institute for Gestalt Therapy.
Teori Gestalt memandang manusia dengan asumsi-asumsi sebagai berikut, 1) manusia merupakan suatu komposisi yang menyeluruh (whole) yang diciptakan dari adanya interrelasi bagian-bagian, tidak ada satu bagian tubuh (tubuh, emosi, pemikiran, perhatian, sensasi dan persepsi) yang dapat dipahami tanpa melihat manusia itu secara keseluruhan, 2) seseorang juga merupakan bagian dari lingkungannya dan tidak dapat dipahami dengan memisahkannya, 3) seseorang memilih bagaimana merespon stimuli eksternal, dia merupakan aktor dalam dunianya dan bukan reaktor, 4) seseorang mempunyai potensi untuk secara penuh menyadari keseluruhan sensasi, pemikiran, emosi, dan persepsinya, 5) seseorang mampu untuk membuat pilihan karena kesadarannya, 6) seseorang mempunyai kemampuan untuk menentukan kehidupan secara efektif, 7) seseorang tidak mengalami masa lalu dan masa yang akan datang; mereka hanya akan dapat mengalami dirinya pada saat ini, dan 8) seseorang itu pada dasarnya baik dan bukan buruk.
Menurut teori Gestalt, manusia sehat memiliki ciri-ciri antara lain 1) percaya pada kemampuan sendiri, 2) bertanggungjawab, 3) memiliki kematangan, dan 4) memiliki keseimbangan diri. Sebagai orang yang pernah mempelajari teori psikoanalisa (walaupun ditolaknya) Frankl menunjukkan bahwa orang-orang tidak sehat memiliki ciri-ciri sebagaimana yang disebutkan oleh teori psikoanalisa sebagai deffense mechanism.
Perilaku menyimpang pada manusia seringkali tidak disadari oleh seseorang, atau bahkan dia menolak bahwa mereka memiliki masalah. Dengan demikian, tujuan konseling dalam keonseling Gestalt adalah reowning. Pengakuan (menyadari) bahwa satu-satunya kenyataan yang kita miliki ialah kenyataan saat ini, orang serupa itu tidak melihat ke belakang atau ke depan untuk menemukan arti atau maksud dalam kehidupan (Schultz, 1991).
Pendekatan Gestalt mengarahkan konseli untuk secara langsung mengalami masalahnya daripada hanya sekedar berbicara situasi yang seringkali bersifat abstrak. Dengan begitu, konselor Gestalt akan berusaha untuk memahami secara langsung bagaimana konseli berpikir, bagaimana konseli merasakan sesuatu dan bagaimana konseli melakukan sesuatu, sehingga konselor akan “hadir secara penuh” (fully present) dalam proses konseling sehingga yang pada akhirnya memunculkan kontak yang murni (genuine contacs) antara konselor dengan konseli
Pengikut Gestalt selalu mempergunakan kata tanya “Apa/What” dan “Bagaimana/How”. Mereka menjauhi pertanyaan “Mengapa/Why”. Hal ini dikarenakan pertanyaan mengapa mempunyai kecenderungan untuk mengetahui alasan klien. Jika hal ini dilakukan, maka secara tidak langsung konselor telah mengajak klien untuk kembali ke masa lalunya. Selain itu, pertanyaan mengapa akan mengarahkan klien untuk berbuat rasionalisasi dan mengadakan penipuan diri (self-deception) serta lari dari kenyataan yang terjadi saat ini. Lari dari kenyataan yang terjadi saat ini akanmembuat klien mandeg atau stagnasi. Beberapa teknik yang dipegunakan antara lain, 1) teknik kursi kosong, 2) pekerjaan rumah, 3) perilaku yang diarahkan, 4) humor, dan 5) konseling kelompok.
Simpulan
Perkembangan di era global menuntut konselor sekolah untuk secara terus meningkatkan kemampuan profesionalnya, sebagai jawaban terhadap dampak yang dihasilkan dari perubahan-perubahan. Secara mendasar, konselor sekolah harus mempergunakan teori konseling dalam membantu memandirikan siswa disekolah. Penggunaan teori konseling ini pada akhirnya akan membantu konselor dalam mempertanggungjawabkan tindakan profesionalnya.

Referensi

ABKIN. 2008. Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Corey, Gerald. 2005. Theory and Pratice of Counseling and Psychotherapy (7th ed). Australia: Thompson Brooks/Cole.
Geldard, David. 1993. Basic Personal Counseling: a training manual for counselors (2nd ed). New York: Prentice Hall.
Gilliland, Burl., James, Richard., Bowman, James. 1989. Theories and Strategies in Counseling and Psychotherapy. Boston: Allyn and Bacon.
Karen, Eriksen., Garret, McAuliffe. 2006. Constructive development and counselor competence. Counselor Education dan Supervision, March, 2006.
Schultz, Duane. 1991. Psikologi Pertumbuhan: model-model kepribadian sehat. Yogyakarta: Kanisius
Simpson, Laura., Starkey, Donna. 2006. Secondary Traumatic Stress, Comparisson Fatigue and Counselor Spiritualy: Implication for Counselors Working with Trauma. http://counselingoutfitters.com/Simpson.htm.
Soedarmadji, Boy. 2007. Konseling Indonesia: yang bagaimana? Makalah disajikan dalam MGBK SMA Negeri dan Swasta kabupaten Nganjuk tanggal 1 Maret 2007.
Soedarmadji, Boy. 2008. Pendekatan Gestalt. http://karyaboy.blogspot.com.
Soedarmadji, Boy., Sutijono. 2005. Model-model Konseling. Surabaya: UNIPA University Press.
Soedarmadji, Boy., Sutijono. 2005. Pengantar Proses Konseling. Surabaya: UNIPA University Press.
U.S. Bureau of Labor Statistics. 2006. Counselors. http://www.bls.gov/OCO/ diakses tanggal 4 pebruari 2008.
Yeo, Anthony. 2003. Konseling: Suatu Pendekatan Pemecahan Masalah. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Ziegler, Daniel., Hjelle, Larry. 1992. Personality Theories: Basic Assumptions, Research, and Applications (3rd ed). Singapore: McGraw-Hill International Editions.

Sabtu, 31 Januari 2009

Pendekatan GESTALT

PENDEKATAN GESTALT

Oleh: Boy Soedarmadji

Frederick Perls (1893-1970) adalah pendiri pendekatan konseling Gestalt. Frederick dilahirkan di Berlin dan berasal dari keluarga Yahudi. Masa mudanya adalahmasa masa-masa yang penuh dengan masalah. Dia mengganggap dirinya sebagai sumber masalah dalam keluarganya dan dia bermasalah dengan pendidikannya. Bahkan di kelas tujuh, Frederick sempat tinggal kelas sebanyak dua kali dan bahkan keluar dari sekolah karena dia memiliki masalah dengan gurunya.
Walaupun di masa mudanya Frederick memiliki masalah dengan pendidikan, tetapi dia dapat menyelesaikan sarjananya, dan pada tahun 1916 dia bergabung dengan angkatan darat Jerman pada PD I.
Proses perkembangan teori Gestalt tidak bisa dilepaskan dari sosok Laura (Lore) Posner (1905-1990). Dia adalah isteri Frederick perls yang secara signifikan turut mengembangkan teori Gestalt. Laura dilahirkan di Pforzheim Jerman. Awal mulanya dia adalah seorang pianis sampai dengan umur 18 tahun. Pada awalnya, Laura juga seorang pengikut aliran Psikoanalisa, yang kemudian pindah untuk mendalami teori-teori Gestalt. Pada tahun 1926, Laura dan Perls secara aktif melakukan kolaborasi untuk mengembangkan teori Gestalt, hingga pada tahun 1930 akhirnya mereka menikah. Pada tahun 1952, mereka mendirikan New York Institute for Gestalt Therapy.

Pandangan tentang manusia
Walaupun pada awalnya Frederick merupakan pengikut aliran psikoanalisa, tetapi dalam perkembangannya, teori Gestal banyak bertentangan dengan teori Sigmund Freud. Jika Psikoanalisa memandang manusia secara mekanistik, maka Frederick memandang manusia secara holistic. Freud memandang manusia selalu dikuasai oleh konflik (intrapsychic conflict) awal masa anak-anak yang ditekan, maka Frederick memandang manusia pada situasi saat ini. Sehingga Gestalt lebih menekankan pada pada apa yang dialami oleh konseli saat ini daripada hal-hal yang pernah dialamai oleh konseli, dengan kata lain, Gestalt lebih memusatkan pada bagaimana konseli berperilaku, berpikiran dan merasakan pada situasi saat ini (here and now) sebagai usaha untuk memahami diri daripada mengapa konseli berperilaku seperti itu.
Teori Gestalt merupakan suatu pendekatan konseling yang didasarkan pada suatu pemikiran bahwa individu harus dipahami pada konteks hubungan yang sedang berjalan dengan lingkungan (ongoing relationships). Sehingga salah satu tujuan konseling yang ingin dicapai oleh Gestalt adalah menyadarkan (awareness) konseli terhadap apa yang sedang dialami dan bagaimana mereka menangani masalahnya. Gestalt berkeyakinan bahwa melalui kesadaran ini maka perubahan akan muncul secara otomatis.
Pendekatan Gestalt mengarahkan konseli untuk secara langsung mengalami masalahnya daripada hanya sekedar berbicara situasi yang seringkali bersifat abstrak. Dengan begitu, konselor Gestalt akan berusaha untuk memahami secara langsung bagaimana konseli berpikir, bagaimana konseli merasakan sesuatu dan bagaimana konseli melakukan sesuatu, sehingga konselor akan “hadir secara penuh” (fully present) dalam proses konseling sehingga yang pada akhirnya memunculkan kontak yang murni (genuine contacs) antara konselor dengan konseli.
Gestalt meyakini bahwa konseli adalah sosok yang terus tumbuh dan memiliki kemampuan untuk berdiri di atas dua kakinya sendiri serta mampu mengatasi masalahnya sendiri. Hal ini membuat pendekatan Gestalt memiliki dua agenda besar dalam proses konseling yaitu, a) menggerakkan konseli untuk berubah dari environmental support ke self-support dan b) integrasi ulang terhadap bagian-bagian kepribadian yang tidak dimiliki (reintegrating the disowned parts of personality).
Agenda sebagaimana disebut di atas berpengaruh terhadap proses konseling yang akan dilakukan oleh konselor. Dalam proses konseling, konselor tidak memiliki agenda khusus, konselor tidak memiliki keinginan-keinginan, memahami bagaimana konseli berhubungan dengan lingkungan secara saling ketergantungan (interdependence). Hal ini mengarahkan konselor untuk menekankan proses dialog selama proses konseling. Pendekatan ini akan menciptakan kontak yang spontan yang pada akhirnya berujung pada bagaimana konselor dan konseli memahami proses konseling itu sendiri (moment-to-moment experience).
Salah satu pemikiran penting dari teori Gestalt adalah memandang individu sebagai agen yang dapat melakukan regulasi diri (self-regulate). Pengontrolan diri akan muncul jika individu secara sadar memahami apa yang terjadi di sekitarnya. Proses terapi hanya akan memfasilitasi bagaimana kesadaran itu muncul dan bagaimana kesadaran tersebut berinteraksi dalam proses konseling.
Yontef (1993) menyatakan secara eksplisit bahwa, “In Gestalt therapy there are no "shoulds." Instead of emphasizing what should be, Gestalt therapy stresses awareness of what is. What is, is. This contrasts with any therapist who "knows" what the patient "should" do”.
Pola pikir di atas menunjukkan bahwa dalam proses konseling, konseli akan berusaha mengenali siapa dirinya dan menjadi dirinya sendiri. Sebab Gestalt yakin bahwa permasalahan tidak akan selesai jika konseli masih menjadi orang lain. Masalah akan selesai jika konseli secara sadar memahami siapa dirinya. Sehingga, dalam proses konseling, konseli akan difasilitasi untuk memahami siapa dirinya dan bukan diarahkan untuk menjadi apa.

Prinsip Teori Gestalt
Dalam terapi Gestalt, pengalaman menyeluruh (pikiran, perasaan dan sensasi tubuh) dari individu menjadi perhatian yang sangat penting. Pendekatannya lebih dipusatkan pada kondisi di sini dan saat ini (here and now) yaitu menyadari apa yang terjadi dari waktu ke waktu (moment by moment).

Holism keseluruhan merupakan teori Gestalt yang utama. Gestalt tidak memandang manusia bagian perbagian. Manusia tidak bisa hanya diketahui dari komponen fisiknya saja, atau dari komponen psikisnya saja. Tetapi mengenal manusia harus dilakukan secara komprehensif, yaitu dari sisi psikis dan fisiknya. Selain itu, mengenal manusia tidak didasarkan pada diri individu itu saja, tetapi terintegrasi dengan lingkungan di mana individu tersebut berada. Perls (dalam Brownell, 2003) menyatakan bahwa holism dideskripsikan sebagai suatu keseluruhan bentuk kesadaran manusia yang meliputi respon motorik, respon perasaan, respon pikiran yang dimiliki oleh organisme.

Field Theory adalah teori Gestalt yang menyatakan bahwa mengenal manusia harus dilihat pula lingkungan di mana manusia itu berada. Dengan demikian, konselor akan memberikan perhatian lebih kepada konseli terhadap interaksinya dengan lingkungan (keluarga, sekolah, masyarakat, tempat kerja). Dengan kata lain, bahwa field theory merupakan suatu metode untuk mendeskripsikan keseluruhan medan (field) yang dialami oleh konseli. pada saat ini. Hal ini lebih daripada hanya sekedar menganalisis kejadian-kejadian yang telah terjadi dalam hubungannya dengan lingkungan (Yontef, 1993).

The Figure-Formation Process dideskripsikan sebagai usaha individu untuk melakukan pengorganisasian atau memanipulasi lingkungannya dari waktu ke waktu.

Organismic Self-Regulation merupakan sebuah proses dimana seseorang berusaha dengan keras untuk menjaga keseimbangan yang secara terus menerus diganggu oleh kebutuhan-kebutuhan. Jika usaha untuk menjaga keseimbangan ini berjalan dengan baik maka mereka akann kembali ke dalam posisi utuh. Pada dasarnya manusia memiliki kekuatan yang secara alami akan mengarahkan mereka untuk melakukan proses penyeimbangan dalam dirinya. Proses penyeimbangan ini berbentuk proses asimilasi, mengakomodasi perubahan atau menolak pengaruh-pengaruh dari luar. Masalah seringkali muncul saat seseorang berusaha untuk melakukan pemutusan kontak (interruption contacts).

Saat Ini (The Now)
Dalam pendekatan Gestalt, situasi saat ini merupakan hal yang sangat penting (the most significant tense). Sehingga dalam proses konseling, konseli akan diajak untuk belajar mengapresiasi dan mengalami secara penuh keadaan saat ini. Gestalt tidak akan mencari tahu apa yang telah terjadi di masa lalu, tetapi lebih pada mendorong konseli untuk membicarakan saat ini. Pemusatan pada masa lalu akan menjadi jalan bagi konseli untuk menghindari masalahnya. Joel dan Edwin (1992) menyatakan ”What does this mean, "present centered"? In essence, it means that what is important is what is actual, not what is potential or what is past, but what is here, now”.
Untuk membantu konseli memahami keadaan saat ini, maka konselor dapat membantu dengan memberikan kata tanya “Apa” dan “Bagaimana”, dengan demikian, kata tanya “Mengapa” adalah kata tanya yang sangat jarang dipergunakan (Zimberoff dan Hartman, 2003). Bahkan, seringkali konselor memotong pembicaraan konseli, jika konseli mulai berkutat dengan masa lalunya. Konselor akan memotong pembicaraan konseli dengan pernyataan seperti, ”Apa yang kamu rasakan pada saat kakimu bergoyang saat bicara?’ atau ”Dapatkah kamu merasakan tekanan suaramu? Tidakkah kamu merasa ketakutan?” Usaha konselor ini adalah untuk mengembalikan kesadaran konseli saat ini.
Konselor Gestalt meyakini bahwa pengalaman masa lalu, seringkali mempengaruhi keadaan konseli saat ini, terlebih jika pengalaman masa lalu memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian atau masalah yang dimiliki oleh konseli. Di lain pihak, karena (mungkin) ketakutannya untuk menyelesaikan masalah, maka konseli cenderun untuk secara terus menerus membicarakan masa lalunya. Untuk mengatasi masalah ini, maka konselor dapat mengajak konseli untuk kembali ke saat ini dengan cara “membawa fantasinya ke saat ini” dan mencoba untuk mengajak konseli untuk melepaskan keinginannya. Sebagai contoh, seorang anak memiliki trauma dengan perilaku ayahnya. Konselor tidak mengajak konseli untuk membicarakan apa yang telah terjadi, tetapi lebih mengajak konseli untuk merasakan saat ini dan berorientasi pada pada apa yang ingin dilakukan (semisal, berbicara dengan ayahnya).

Urusan yang Belum Selesai (Unfinished Bussines)
Individu seringkali mengalami masalah dengan orang lain di masa lalu. Menurut Gestalt, masalah masa lalu yang belum terselesaikan atau terpecahkan disebut dengan Unfinished Bussiness yang dapat dimanifestasikan dengan munculnya kemarahan (resentment), amukan (rage), kebencian (hatred), rasa sakit (pain), cemas (anxiety), duka cita (grief), rasa bersalah (guild) dan perilaku menunda (abandonment).
Polster (dalam Corey, 2005) menyatakan bahwa beberapa bentuk perilaku akibat unfinished bussines adalah seseorang akan asyik dengan dirinya sendiri, memaksa orang lain untuk menuruti kehendaknya, bentuk-bentuk perilaku yang menempatkan dirinya sebagai orang kalah, bahkan seringkali muncul simptom-simptom penyakit fisik.
Sebagai contoh ada seorang mahasiswa yang menganggap bahwa semua perempuan itu tidak baik. Perilaku mahasiswa ini cenderung untuk menjauhi perempuan. Diketahui bahwa masa lalu mahasiswa ini mengalami perlakuan yang buruk dari ibunya sewaktu berusia sekolah dasar (unfinished bussines). Pendekatan Gestalt tidak berorientasi pada masa lalu atau berusaha untuk mengorek perilaku orang tua yang menyebabkan dia berperilaku menjauhi perempuan. Sebab, jika itu dilakukan, maka mahasiswa ini akan berusaha untuk meraih masa lalunya yang hilang, dan dia akan berpikir menjadi anak kecil. Ini adalah proses yang tidak produktif. Konselor Gestalt akan berusaha untuk membantu mahasiswa ini merasakan apa yang terjadi saat ini. Konselor akan menfasilitasi mahasiswa ini untuk menunjukkan situasi yang terjadi saat ini. Mahasiswa dibantu untuk menyadari bahwa perilakunya tidak produktif dan kemudian mencari perilaku-perilaku yang lebih produktif.

Contact & Resisstance to Contact
Hal terpenting dalam kehidupan manusia adalah malakukan kontak atau bertemu dengan orang lain di sekitar. Kirchner (2008) menyatakan bahwa setiap individu memiliki kemampuan untuk melakukan kontak secara efektif dengan orang lain, dengan kemampuan itu, maka individu akan dapat bertahan hidup dan tumbuh semakin matang. Semua kontak yang dilakukan oleh individu memiliki keunikan sendiri-sendiri yang berujung pada bagaimana individu dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungan.
Perls menyatakan bahwa proses kontak dilakukan dengan cara melihat, mendengar, membau, meraba dan pergerakan. Lebih lanjut, Gestalt Institute of Cleveland (dalam Krichner, 2000) menunjukkan bahwa proses kontak terjadi karena tujuh tingkatan yaitu (a) sensation, (b) awareness, (c) mobilization of energy, (d) action, (e) contact, (f) resolution and closure, dan (7) withdrawal.
Proses kontak individu dengan individu lain seringkali mengalami masalah. Masalah ini seringkali muncul karena konseli cenderung untuk menghindari kontak dengan keadaan saat ini dan orang lain. Krichner (2000) menyatakan ada empat hal yang menjadi masalah konseli yaitu confluence, introjection, projection, dan retroflection

Energy & Blocks to Energy
Pendekatan Gestalt memperhatikan energy yang dimiliki oleh individu. Dimana teori ini berkeyakinan bahwa untuk bisa menyelesaikan masalahnya, maka seseorang akan mengeluarkan energy. Penutupan energy ini akan tampak pada keadaan fisik seseorang. Seseorang yang tidak bisa mengeluarkan energinya, seringkali ditampakkan dengan perilaku non verbal seperti, bernapas pendek-pendek, tidak focus dengan lawan bicara, berbicara dengan suara tertahan, perhatian yang minimal terhadap sebuah obyek, duduk dengan kaki tertutup, posisi duduk yang cenderung menjauhi lawan bicara dan lain sebagainya. Sebagai contoh, seseorang yang pada saat ini ingin marah, tetapi tertahan, maka tubuhnya akan mereaksi penahaman marah (sebagai upaya pelepasan energy) dengan bentuk-bentuk seperti napas tersengal-sengal.
Dalam proses konseling, konselor berusaha untuk membantu kondisi pelepasan energy yang dimiliki oleh konseli. Pada awalnya konseli diajak untuk mengenal perasaannya saat ini, dan kemudian membantu untuk melepaskan energi yang tertahan tersebut.
Referensi:

Brownell, Philip. 2003. Gestalt Global’s, Gestalt Therapy Construct Library, Construct from “G” through “P”. phil@g-gej.org, diakses tanggal 31 Januari 2008.
Corey, Gerald. 2005. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy (7th ed). Belmont: Thomson Brooks/Cole.
Cottone, Rocco. 1992. Theories and Paradigms of Counseling and Psychotherapy. Boston: Allyn and Bacon.
Higgins, Jude. 2008. What is Gestalt therapy? www.psychotherapybristol.co.uk diakses tanggal 31 Desember 2008.
Joel, Latner., Edwin, Nevis. 1992. The Theory of Gestalt Therapy. Gestalt Institute of Cleveland (GIC) Press.
Kirchner, Maria. 2000. Gestalt Therapy Theory: An Overview. www.newyorkgestalt.org, diakses tanggal 31 Desember 2008.
Wikipedia. 2008. Gestalt Therapy. http://en.wikipedia.org/wiki/Gestalt_ therapy, diakses tanggal 31 Desember 2008.
Yontef, Gary. 1993. Gestalt Therapy: An Introduction. www.gjpstore.com, diakses tanggal 31 Desember 2008.
Zimberoff, Dianne., Hartman, David. 2003. Gestalt Therapy and Heart-Centered Therapies. Journal of Heart-Centered Therapies, 2003, Vol. 6, No. 1, pp. 93-104 .

Teori GESTALT

PENDEKATAN GESTALT

Oleh: Boy Soedarmadji

Frederick Perls (1893-1970) adalah pendiri pendekatan konseling Gestalt. Frederick dilahirkan di Berlin dan berasal dari keluarga Yahudi. Masa mudanya adalah masa masa-masa yang penuh dengan masalah. Dia mengganggap dirinya sebagai sumber masalah dalam keluarganya dan dia bermasalah dengan pendidikannya. Bahkan di kelas tujuh, Frederick sempat tinggal kelas sebanyak dua kali dan bahkan keluar dari sekolah karena dia memiliki masalah dengan gurunya.
Walaupun di masa mudanya Frederick memiliki masalah dengan pendidikan, tetapi dia dapat menyelesaikan sarjananya, dan pada tahun 1916 dia bergabung dengan angkatan darat Jerman pada PD I.
Proses perkembangan teori Gestalt tidak bisa dilepaskan dari sosok Laura (Lore) Posner (1905-1990). Dia adalah isteri Frederick perls yang secara signifikan turut mengembangkan teori Gestalt. Laura dilahirkan di Pforzheim Jerman. Awal mulanya dia adalah seorang pianis sampai dengan umur 18 tahun. Pada awalnya, Laura juga seorang pengikut aliran Psikoanalisa, yang kemudian pindah untuk mendalami teori-teori Gestalt. Pada tahun 1926, Laura dan Perls secara aktif melakukan kolaborasi untuk mengembangkan teori Gestalt, hingga pada tahun 1930 akhirnya mereka menikah. Pada tahun 1952, mereka mendirikan New York Institute for Gestalt Therapy.

Pandangan tentang manusia
Walaupun pada awalnya Frederick merupakan pengikut aliran psikoanalisa, tetapi dalam perkembangannya, teori Gestal banyak bertentangan dengan teori Sigmund Freud. Jika Psikoanalisa memandang manusia secara mekanistik, maka Frederick memandang manusia secara holistic. Freud memandang manusia selalu dikuasai oleh konflik (intrapsychic conflict) awal masa anak-anak yang ditekan, maka Frederick memandang manusia pada situasi saat ini. Sehingga Gestalt lebih menekankan pada pada apa yang dialami oleh konseli saat ini daripada hal-hal yang pernah dialamai oleh konseli, dengan kata lain, Gestalt lebih memusatkan pada bagaimana konseli berperilaku, berpikiran dan merasakan pada situasi saat ini (here and now) sebagai usaha untuk memahami diri daripada mengapa konseli berperilaku seperti itu.
Teori Gestalt merupakan suatu pendekatan konseling yang didasarkan pada suatu pemikiran bahwa individu harus dipahami pada konteks hubungan yang sedang berjalan dengan lingkungan (ongoing relationships). Sehingga salah satu tujuan konseling yang ingin dicapai oleh Gestalt adalah menyadarkan (awareness) konseli terhadap apa yang sedang dialami dan bagaimana mereka menangani masalahnya. Gestalt berkeyakinan bahwa melalui kesadaran ini maka perubahan akan muncul secara otomatis.
Pendekatan Gestalt mengarahkan konseli untuk secara langsung mengalami masalahnya daripada hanya sekedar berbicara situasi yang seringkali bersifat abstrak. Dengan begitu, konselor Gestalt akan berusaha untuk memahami secara langsung bagaimana konseli berpikir, bagaimana konseli merasakan sesuatu dan bagaimana konseli melakukan sesuatu, sehingga konselor akan “hadir secara penuh” (fully present) dalam proses konseling sehingga yang pada akhirnya memunculkan kontak yang murni (genuine contacs) antara konselor dengan konseli.
Gestalt meyakini bahwa konseli adalah sosok yang terus tumbuh dan memiliki kemampuan untuk berdiri di atas dua kakinya sendiri serta mampu mengatasi masalahnya sendiri. Hal ini membuat pendekatan Gestalt memiliki dua agenda besar dalam proses konseling yaitu, a) menggerakkan konseli untuk berubah dari environmental support ke self-support dan b) integrasi ulang terhadap bagian-bagian kepribadian yang tidak dimiliki (reintegrating the disowned parts of personality).
Agenda sebagaimana disebut di atas berpengaruh terhadap proses konseling yang akan dilakukan oleh konselor. Dalam proses konseling, konselor tidak memiliki agenda khusus, konselor tidak memiliki keinginan-keinginan, memahami bagaimana konseli berhubungan dengan lingkungan secara saling ketergantungan (interdependence). Hal ini mengarahkan konselor untuk menekankan proses dialog selama proses konseling. Pendekatan ini akan menciptakan kontak yang spontan yang pada akhirnya berujung pada bagaimana konselor dan konseli memahami proses konseling itu sendiri (moment-to-moment experience).
Salah satu pemikiran penting dari teori Gestalt adalah memandang individu sebagai agen yang dapat melakukan regulasi diri (self-regulate). Pengontrolan diri akan muncul jika individu secara sadar memahami apa yang terjadi di sekitarnya. Proses terapi hanya akan memfasilitasi bagaimana kesadaran itu muncul dan bagaimana kesadaran tersebut berinteraksi dalam proses konseling.
Yontef (1993) menyatakan secara eksplisit bahwa, “In Gestalt therapy there are no "shoulds." Instead of emphasizing what should be, Gestalt therapy stresses awareness of what is. What is, is. This contrasts with any therapist who "knows" what the patient "should" do”.
Pola pikir di atas menunjukkan bahwa dalam proses konseling, konseli akan berusaha mengenali siapa dirinya dan menjadi dirinya sendiri. Sebab Gestalt yakin bahwa permasalahan tidak akan selesai jika konseli masih menjadi orang lain. Masalah akan selesai jika konseli secara sadar memahami siapa dirinya. Sehingga, dalam proses konseling, konseli akan difasilitasi untuk memahami siapa dirinya dan bukan diarahkan untuk menjadi apa.

Prinsip Teori Gestalt
Dalam terapi Gestalt, pengalaman menyeluruh (pikiran, perasaan dan sensasi tubuh) dari individu menjadi perhatian yang sangat penting. Pendekatannya lebih dipusatkan pada kondisi di sini dan saat ini (here and now) yaitu menyadari apa yang terjadi dari waktu ke waktu (moment by moment).

Holism keseluruhan merupakan teori Gestalt yang utama. Gestalt tidak memandang manusia bagian perbagian. Manusia tidak bisa hanya diketahui dari komponen fisiknya saja, atau dari komponen psikisnya saja. Tetapi mengenal manusia harus dilakukan secara komprehensif, yaitu dari sisi psikis dan fisiknya. Selain itu, mengenal manusia tidak didasarkan pada diri individu itu saja, tetapi terintegrasi dengan lingkungan di mana individu tersebut berada. Perls (dalam Brownell, 2003) menyatakan bahwa holism dideskripsikan sebagai suatu keseluruhan bentuk kesadaran manusia yang meliputi respon motorik, respon perasaan, respon pikiran yang dimiliki oleh organisme.

Field Theory adalah teori Gestalt yang menyatakan bahwa mengenal manusia harus dilihat pula lingkungan di mana manusia itu berada. Dengan demikian, konselor akan memberikan perhatian lebih kepada konseli terhadap interaksinya dengan lingkungan (keluarga, sekolah, masyarakat, tempat kerja). Dengan kata lain, bahwa field theory merupakan suatu metode untuk mendeskripsikan keseluruhan medan (field) yang dialami oleh konseli. pada saat ini. Hal ini lebih daripada hanya sekedar menganalisis kejadian-kejadian yang telah terjadi dalam hubungannya dengan lingkungan (Yontef, 1993).

The Figure-Formation Process dideskripsikan sebagai usaha individu untuk melakukan pengorganisasian atau memanipulasi lingkungannya dari waktu ke waktu.

Organismic Self-Regulation merupakan sebuah proses dimana seseorang berusaha dengan keras untuk menjaga keseimbangan yang secara terus menerus diganggu oleh kebutuhan-kebutuhan. Jika usaha untuk menjaga keseimbangan ini berjalan dengan baik maka mereka akann kembali ke dalam posisi utuh. Pada dasarnya manusia memiliki kekuatan yang secara alami akan mengarahkan mereka untuk melakukan proses penyeimbangan dalam dirinya. Proses penyeimbangan ini berbentuk proses asimilasi, mengakomodasi perubahan atau menolak pengaruh-pengaruh dari luar. Masalah seringkali muncul saat seseorang berusaha untuk melakukan pemutusan kontak (interruption contacts).

Saat Ini (The Now)
Dalam pendekatan Gestalt, situasi saat ini merupakan hal yang sangat penting (the most significant tense). Sehingga dalam proses konseling, konseli akan diajak untuk belajar mengapresiasi dan mengalami secara penuh keadaan saat ini. Gestalt tidak akan mencari tahu apa yang telah terjadi di masa lalu, tetapi lebih pada mendorong konseli untuk membicarakan saat ini. Pemusatan pada masa lalu akan menjadi jalan bagi konseli untuk menghindari masalahnya. Joel dan Edwin (1992) menyatakan ”What does this mean, "present centered"? In essence, it means that what is important is what is actual, not what is potential or what is past, but what is here, now”.
Untuk membantu konseli memahami keadaan saat ini, maka konselor dapat membantu dengan memberikan kata tanya “Apa” dan “Bagaimana”, dengan demikian, kata tanya “Mengapa” adalah kata tanya yang sangat jarang dipergunakan (Zimberoff dan Hartman, 2003). Bahkan, seringkali konselor memotong pembicaraan konseli, jika konseli mulai berkutat dengan masa lalunya. Konselor akan memotong pembicaraan konseli dengan pernyataan seperti, ”Apa yang kamu rasakan pada saat kakimu bergoyang saat bicara?’ atau ”Dapatkah kamu merasakan tekanan suaramu? Tidakkah kamu merasa ketakutan?” Usaha konselor ini adalah untuk mengembalikan kesadaran konseli saat ini.
Konselor Gestalt meyakini bahwa pengalaman masa lalu, seringkali mempengaruhi keadaan konseli saat ini, terlebih jika pengalaman masa lalu memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian atau masalah yang dimiliki oleh konseli. Di lain pihak, karena (mungkin) ketakutannya untuk menyelesaikan masalah, maka konseli cenderun untuk secara terus menerus membicarakan masa lalunya. Untuk mengatasi masalah ini, maka konselor dapat mengajak konseli untuk kembali ke saat ini dengan cara “membawa fantasinya ke saat ini” dan mencoba untuk mengajak konseli untuk melepaskan keinginannya. Sebagai contoh, seorang anak memiliki trauma dengan perilaku ayahnya. Konselor tidak mengajak konseli untuk membicarakan apa yang telah terjadi, tetapi lebih mengajak konseli untuk merasakan saat ini dan berorientasi pada pada apa yang ingin dilakukan (semisal, berbicara dengan ayahnya).

Urusan yang Belum Selesai (Unfinished Bussines)
Individu seringkali mengalami masalah dengan orang lain di masa lalu. Menurut Gestalt, masalah masa lalu yang belum terselesaikan atau terpecahkan disebut dengan Unfinished Bussiness yang dapat dimanifestasikan dengan munculnya kemarahan (resentment), amukan (rage), kebencian (hatred), rasa sakit (pain), cemas (anxiety), duka cita (grief), rasa bersalah (guild) dan perilaku menunda (abandonment).
Polster (dalam Corey, 2005) menyatakan bahwa beberapa bentuk perilaku akibat unfinished bussines adalah seseorang akan asyik dengan dirinya sendiri, memaksa orang lain untuk menuruti kehendaknya, bentuk-bentuk perilaku yang menempatkan dirinya sebagai orang kalah, bahkan seringkali muncul simptom-simptom penyakit fisik.
Sebagai contoh ada seorang mahasiswa yang menganggap bahwa semua perempuan itu tidak baik. Perilaku mahasiswa ini cenderung untuk menjauhi perempuan. Diketahui bahwa masa lalu mahasiswa ini mengalami perlakuan yang buruk dari ibunya sewaktu berusia sekolah dasar (unfinished bussines). Pendekatan Gestalt tidak berorientasi pada masa lalu atau berusaha untuk mengorek perilaku orang tua yang menyebabkan dia berperilaku menjauhi perempuan. Sebab, jika itu dilakukan, maka mahasiswa ini akan berusaha untuk meraih masa lalunya yang hilang, dan dia akan berpikir menjadi anak kecil. Ini adalah proses yang tidak produktif. Konselor Gestalt akan berusaha untuk membantu mahasiswa ini merasakan apa yang terjadi saat ini. Konselor akan menfasilitasi mahasiswa ini untuk menunjukkan situasi yang terjadi saat ini. Mahasiswa dibantu untuk menyadari bahwa perilakunya tidak produktif dan kemudian mencari perilaku-perilaku yang lebih produktif.

Contact & Resisstance to Contact
Hal terpenting dalam kehidupan manusia adalah malakukan kontak atau bertemu dengan orang lain di sekitar. Kirchner (2008) menyatakan bahwa setiap individu memiliki kemampuan untuk melakukan kontak secara efektif dengan orang lain, dengan kemampuan itu, maka individu akan dapat bertahan hidup dan tumbuh semakin matang. Semua kontak yang dilakukan oleh individu memiliki keunikan sendiri-sendiri yang berujung pada bagaimana individu dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungan.
Perls menyatakan bahwa proses kontak dilakukan dengan cara melihat, mendengar, membau, meraba dan pergerakan. Lebih lanjut, Gestalt Institute of Cleveland (dalam Krichner, 2000) menunjukkan bahwa proses kontak terjadi karena tujuh tingkatan yaitu (a) sensation, (b) awareness, (c) mobilization of energy, (d) action, (e) contact, (f) resolution and closure, dan (7) withdrawal.
Proses kontak individu dengan individu lain seringkali mengalami masalah. Masalah ini seringkali muncul karena konseli cenderung untuk menghindari kontak dengan keadaan saat ini dan orang lain. Krichner (2000) menyatakan ada empat hal yang menjadi masalah konseli yaitu confluence, introjection, projection, dan retroflection

Energy & Blocks to Energy
Pendekatan Gestalt memperhatikan energy yang dimiliki oleh individu. Dimana teori ini berkeyakinan bahwa untuk bisa menyelesaikan masalahnya, maka seseorang akan mengeluarkan energy. Penutupan energy ini akan tampak pada keadaan fisik seseorang. Seseorang yang tidak bisa mengeluarkan energinya, seringkali ditampakkan dengan perilaku non verbal seperti, bernapas pendek-pendek, tidak focus dengan lawan bicara, berbicara dengan suara tertahan, perhatian yang minimal terhadap sebuah obyek, duduk dengan kaki tertutup, posisi duduk yang cenderung menjauhi lawan bicara dan lain sebagainya. Sebagai contoh, seseorang yang pada saat ini ingin marah, tetapi tertahan, maka tubuhnya akan mereaksi penahaman marah (sebagai upaya pelepasan energy) dengan bentuk-bentuk seperti napas tersengal-sengal.
Dalam proses konseling, konselor berusaha untuk membantu kondisi pelepasan energy yang dimiliki oleh konseli. Pada awalnya konseli diajak untuk mengenal perasaannya saat ini, dan kemudian membantu untuk melepaskan energi yang tertahan tersebut.
Referensi:

Brownell, Philip. 2003. Gestalt Global’s, Gestalt Therapy Construct Library, Construct from “G” through “P”. phil@g-gej.org, diakses tanggal 31 Januari 2008.
Corey, Gerald. 2005. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy (7th ed). Belmont: Thomson Brooks/Cole.
Cottone, Rocco. 1992. Theories and Paradigms of Counseling and Psychotherapy. Boston: Allyn and Bacon.
Higgins, Jude. 2008. What is Gestalt therapy? www.psychotherapybristol.co.uk diakses tanggal 31 Desember 2008.
Joel, Latner., Edwin, Nevis. 1992. The Theory of Gestalt Therapy. Gestalt Institute of Cleveland (GIC) Press.
Kirchner, Maria. 2000. Gestalt Therapy Theory: An Overview. www.newyorkgestalt.org, diakses tanggal 31 Desember 2008.
Wikipedia. 2008. Gestalt Therapy. http://en.wikipedia.org/wiki/Gestalt_ therapy, diakses tanggal 31 Desember 2008.
Yontef, Gary. 1993. Gestalt Therapy: An Introduction. www.gjpstore.com, diakses tanggal 31 Desember 2008.
Zimberoff, Dianne., Hartman, David. 2003. Gestalt Therapy and Heart-Centered Therapies. Journal of Heart-Centered Therapies, 2003, Vol. 6, No. 1, pp. 93-104 .

Kesurupan .......... Tulisan ini mencoba untuk menjawab berbagai pertanyaan tentang proses terjadinya kesurupan massal yang menjadi fe...