Kamis, 04 Oktober 2007

Studi Kasus

STUDI KASUS

Studi kasus didefinisikan sebagai usaha penyelesaian masalah siswa dengan cara melakukan pengumpulan dan pelaporan seluruh bukti konkrit tentang keadaan siswa seperti keadaan sosial, psikologis, lingkungan dan vocasional dari siswa yang dihubungankan dengan data-data lain yang mendukung (Shertzer & Stone, 1981). Selanjutnya Winkel (1991) menyatakan bahwa studi kasus merupakan metode untuk mempelajari keadaan dan perkembangan seseorang secara lengkap dan mendalam dengan tujuan untuk memahami individualitas siswa dengan lebih baik dan membantunya dalam perkembangan selanjutnya.
Studi kasus merupakan metode yang komprehensif untuk mengumpulkan dan menyimpulkan data tentang individu Dikatakan sebagai cara yang komprehensif karena dalam melakukan studi kasus maka konselor sekolah perlu untuk mengumpulkan data-data individu dari sumber-sumber yang relevan dan terkini seperti catatan kumulatif, hasil observasi, hasil wawancara, data autobiografi individu, data-data dari angket, data dari tes (mis: tes psikologis), data dari guru (bidang studi, wali kelas), data dari hasil wawancara dengan orang tua dan data-data lain yang dianggap relevan dan terkini.
Pelaksanaan studi kasus di sekolah merupakan suatu kegiatan yang dapat dikatakan mahal. Sebab permasalahan yang dihadapi oleh siswa pada intinya merupakan masalah khusus, dimana tidak dapat diselesaikan dengan mempergunakan pendekatan-pendekatan biasa. Selain itu, pendekatan yang dipergunakan dalam studi kasus merupakan pendekatan yang sistemik dan membutuhkan koordinasi dengan banyak pihak baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah.
Banyak konselor sekolah mempergunakan strategi studi kasus ini sebagai upaya untuk mengenal klien lebih dalam. Hal ini dilakuka oleh konselor sekolah dengan harapan bahwa semakin dalam konselor dapat mengenal klien maka diharapkan proses konseling akan lebih produktif. Selain itu, melalui studi kasus ini konselor akan dapat mengklarifikasi data yang telah ada, sehingga dapat dipisahkan antara data yang penting dan yang tidak. Hanya saja, dalam melakukan usaha pengumpulan data ini konselor harus menuliskan permasalahan secara jelas, akurat dan obyektif dengan meminimalisasi bias dalam melakukan interpretasi. Di bawah ini akan disajikan tabel mengenai keuntungan dan kerugian penggunaan metode studi kasus menurut Shertzer dan Stone 1981.

Advantages
Disadvantages
1. Isolates key factors in situations wherein conflicting accounts become confusing
2. Indentifies multiple causation and a constellation of contributing factors
3. Yields systematic diagnosis and treatment plans
4. Results in predictive outcomes
1. Requires extensive time dan efforts
2. May contain inadequate or questionable past data
3. May delay treatment
4. May focus undue attention upon a single troubled individual to detriment of others

Hal mendasar yang perlu dicermati oleh konselor sekolah dalam melakukan studi kasus adalah asas kerahasiaan. Sebab, pada saat konselor melakukan pengumpulan data dan kemudian melakukan menyimpulkannya, seringkali ada beberapa pihak yang secara intensif mengetahui data-data klien. Pihak ini adalah orang tua. Orang tua menjadi sosok yang dapat melakukan intervensi terhadap permasalahan anaknya. Padahal dalam konseling, hubungan konseling dilandasi atas kepercayaan antara konselor dan klien. Akan sangat berbahaya jika data-data klien diketahui oleh orang lain apalagi jika tanpa seijin klien yang bersangkutan.
Shertzer dan Stone (1981) memberikan rekomendasi atau saran-saran bagi usaha pengumpulan data di sekolah sebagai berikut:
1. Informasi yang dikumpulkan di sekolah sebaiknya berasal dari diri siswa sendiri dan orang tua siswa. Data siswa akan lebih baik jika mencakup data-data tentang hasil tes sikap dan kemampuan.
2. Informasi yang dikumpulkan oleh sekolah sebaiknya diklasifikasikan berdasar tingkat urgensinya dan dibedakan berdasar tingkat keamanan dan akses untuk membuka data tersebut
3. Sekolah sebaiknya mengembangkan suatu prosedur untuk melakukan verifikasi data keakuratan data
4. Orang tua sebaiknya memiliki akses penuh terhadap catatan anaknya (untuk konselor sekolah, sebaiknya hal ini perlu dicermati!)
5. Tidak semua personil sekolah dapat mengakses data siswa tanpa adanya ijin dari siswa dan orang tua siswa.

Pernyataan tersebut di atas diperkuat oleh American Personnel and Guidance Association (APGA) bahwa catatan konseling seperti catatan wawanvara, tes, data, hasil surat menyurat, hasil rekaman dan lain sebagainya merupakan informasi yang dipergunakan secara profesional dalam konseling dan ini bukan merupakan bagian yang dapat diinformasikan kepada publik atau pada orang lain di mana konselor sekolah bekerja. Pelanggaran terhadap aturan ini akan menimbulkan konflik yang berbahaya bagi klien, konselor dan sekolah itu sendiri.
Winkel (1991) mempertanyakan sampai seberapa jauh data dan informasi yang diperoleh melalui alat tes dan nontes harus dirahasiakan? Data-data yang berisfat umum seperti identitas nama, tanggal lahir, alamat, jenis kelamin, agama merupakan data yang “dapat” diketahui oleh orang lain. Tetapi data seperti latar belakang keluarga, riwayat pendidikan, hasil evaluasi belajar, pengalaman di luar sekolah, catatan kesehatan jasmani, hasil tes psikologis, laporan kunjungan rumah, laporan studi kasus, pergaulan sosial adalah data khusus yang tidak dapat dikonsumsi umum.
Penyelesaian masalah siswa melalui studi kasus dapat dilakukan dengan mempergunakan berbagai pendekatan dalam konseling. Pendekatan ini disebut dengan pendekatan eklektik, dimana konselor menggabungkan beberapa pendekatan untuk menyelesaikan satu permasalahan yang dihadapi oleh siswa. Pertimbangan penggunaan pendekatan eklektik ini menurut Slameto (2002) adalah:
1. Ekonomis dari segi waktu baik bagi konselor maupun konseli
2. Efektifitas teknis yang dipakai cocok untuk beragam konseli
3. Kesegaran hasil yang dicapai
4. Kedalaman, tahan lama serta dapat dipakai konseli untuk melakukan konseling dirinya sendiri.


CONTOH STUDI KASUS
Slameto (2002) memberikan contoh studi kasus yang secara lengkap akan dikutip oleh penulis sebagai berikut di bawah ini.

Deskripsi kasus
Lia (samaran) adalah siswa kelas I SMU favorit Salatiga yang berusaha untuk naik kelas II. Ia berasal dari keluarga petani yang terbilang cukup secara sosial ekonomi di desa pedalaman kurang lebih 17 km di luar kota Salatiga. Sebagai anak pertama semula orang tuanya berkeberatan setamat SLTP anaknya melanjutnya ke SMU di Salatiga. Orang tua sebetulnya berharap agar anaknya tidak susah-susah melanjutkan sekolah ke kota, tetapi atas bujukan wali kelas anaknya saat pengambilan STTB dengan berat hati merelakan anaknya melanjutkan sekolah. Pertimbangan wali kelasnya karena Lia terbilang cerdas diantara teman-teman yang lain sehingga wajar jika bisa diterima di SMU favorit. Sejak diterima di SMU favorit di satu pihak Lia bangga sebagai anak desa toh bisa diterima, tetapi di lain pihak mulai minder dengan teman-temannya yang sebagian besar berasal dari keluarga kaya dengan pola pergaulan yang begitu beda dengan latar belakang Lia. Ia menganggap teman-teman dari keluarga tersebut sebagai orang yang egois, kurang bersahabat, pilih-pilih teman yang sama-sama dari keluarga kaya saja dan sombong. Makin lama perasaan ditolak, terisolir dan kesepian makin mencekam dan mulai timbul sikap dan anggapan sekolahnya itu bukan untuk dirinyaq, tidak kerasan, tetapi mau keluar malu dengan orang tua dan teman sekampung, terus bertahan, susah tak ada/punya teman yang peduli. “Dasar saya anak desa, anak miskin” (dibanding dengan teman-teman di kota) hujatnya pada diri sendiri. Akhirnya benar-benar menjadi anak minder, pemalu dan serta ragu dan takut bergaul sebagaimana mestinya. Makin lama nilainya semakin jatuh sehingga beban pikiran dan perasaan makin berat, sampai-sampai ragu apakah bisa naik kelas atau tidak.


Memahami Lia dalam perspektif RET
Menurut pandangan RET (rasional emotif Terapi), manusia memiliki kemampuan inheren untukberbuat rasional ataupun tidak rasional. Manusia seringkali menyalahkan diri sendiri, orang lain dan dunia apabila tidak segera memperoleh apa yang diinginkannya. Akibatnya berpikir kekanak-kanakan (sebagai hal yang manusiawi) seluruh kehidupannya, akhirnya hanya kesulitan yang luar biasa besar yang didapat. Selain itu, manusia juga mempunyai kecenderungan untuk melebih-lebihkan pentingnya penerimaan orang lain yang justru menyebabkan emosinya menjadi tidak wajar dan dan menyalahkan dirinya sendiri. Berpikir dan merasa itu mempunyai dibedakan dengan selaput yang sangat tipis: pikiran dapat menjadi perasaan dan sebaliknya. Apa yang dipikirkan dan atau apa yang dirasakan atas sesuatu kejadian diwujudkan dalam suatu tindakan/perilaku rasional atau irasional. Bagaimana tindakan/perilaku itu sangat mudah dipengaruhi oleh orang lain dan dorongan-dorongan yang kuat untuk mempertahankan diri dan memuaskan diri sekalipun irasional.
Lia sebetulnya terlahir dengan potensi unggul, ia menjadi bermasalah karena perilakunya dikendalikan oleh pikiran/perasaan irasional. Ia telah menempatkan harga diri pada konsep/kepercayaan yang salah yaitu jika kaya, semua teman akan memperhatikan/mendukung, peduli dan lain-lain. Itu semua tidak ada/didapatkan sejak di SMU, sampai pada akhirnya menyalahkan dirinya sendiri dengan hujatan dan penderitaan serta mengisolir dirinya sendiri. Ia telah berhasil membangun konsep dirinya secara tidak realistis berdasarkan anggapan yang salah terhadap (dan dari) teman-teman lingkungannya. Ia menjadi minder, pemalu, penakut dan akhirnya ragu-ragu terhadap prestasi/keberhasilannya kelak yang sebetulnya tidak perlu terjadi.

Tujuan dan Teknik Konseling
Tujuan konseling dalam kasus Lia ini adalah memerangi pemikiran irasional yang dimiliki Lia yang melatarbelakangi ketakutan/kecemasannya yaitu konsep diri yang salah. Dalam proses konseling ini, konselor lebih bersikap otoritatif. Konselor memanggil Lia, mengajak berdiskusi dan melakukan konfrontasi langsung untuk menolongnya agar segera beranjak meninggalkan pola pikir yang irasional/tidak logis ke pola pikir yang rasional/logis melalui persuasif, sugestif, pemberian nasehat secara tepat, terapi dengan menerapkan prinsip-prinsip belajar untuk PR serta bibiliografi terapi.
Konseling kognitif: untuk menunjukkan bahwa Lia harus membongkar pola pikir irasionalnya tentang konsep harga diri yang salah, sikap terhadap sesama teman yang salah jika ingin lebih bahagia dan sukses. Konselor lebih bergaya mengajar: memberikan nasehat, konfrontasi langsung dengan peta pikir rasional-irasional, sugesti, asertif training dengan simulasi diri menerapkan konsep diri yang benar dan sikap/ketergantungan pada orang lain yang benar/rasional dilanjutkan sebagai PR melatih, mengobservasi dan evaluasi diri. Contoh: “Seseorang berharga bukan karena kekayaan atau jumlah dan status teman yang mendukung, tetapi pada kasih Tuhan dan perwujudan-Nya. Tuhan mengasihi saya, karena saya berharga di hadiratNya. Terhadap diri saya sendiri suatu saat saya senang, puas dan bangga, tetapi kadang-kadang acuh tak acuh, bahkan adakalanya saya benci, memaki-maki diri sendiri, sehingga wajar dan realistis jika sejumlah 40 orang teman satu kelas misalnya ada + 40% yang baik, 50% netral, hanya 10% saja yang membenci saya. Adalah tidak mungkinmenuntut semua/setiap orang setiap saat untuk baik pada saya”. Ide-ide ini terus dilatihkan dan diajarkan melalui cara-cara ilmiah.
Konseling emotif-evolatif: untuk mengubah sistem nilai Lia dengan menggunakan teknik penyadaran antara yang benar dan salah seperti pemberian contoh, bermain peran dan pelepasan beban agar Lia melepaskan pikiran dan perasaannya yang tidak rasional dan menggantinya dengan yang rasional sebagai kelanjutan teknik kognitif di atas. Konseling behavior digunakan untuk mengubah perilaku yang negatif dengan merubah akar-akar keyakinan Lia yang irasional/tidak logis melalui kontrak, reinforcement, sosial modeling dan relaksasi/meditasi.

REFERENSI

Nurihsan, Juntika. 2003. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Bandung: Mutiara.

Shertzer, Bruce., Stone, Shelley. 1981. Fundamentals of Guidance (4th ed). Boston: Houghton Mifflin Company.

Slameto. 2002. Studi Kasus untuk Bimbingan dan Konseling. www. Pendidikan.net\artikel\memahami dan menolong siswa yang kurang PD.html.
Winkel, WS. 1991. Bimbingan dan Konsel

BK di Taman Kanak-kanak

PELAKSANAAN BIMBINGAN DAN KONSELING
DI TAMAN KANAK-KANAK


A. Latar Belakang
Pelaksanaan bimbingan dan konseling telah dirintis sejak tahun 1960-an dan dilaksanakan secara serempak di sekolah sejak tahun 1975, yaitu saat diberlakukannya kurikulum ’75. Pada saat itu istilah yang diperkenalkan dan dipergunakan adalah Bimbingan dan Penyuluhan (BP). Istilah tersebut pada akhirnya memunculkan suatu sebutan bagi pelaksanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah dengan sebutan guru BP.
Perkembangan dunia bimbingan dan konseling di Indonesia mengalami proses yang berliku, hingga pada tahun 1994, melalui kurikulum 1994, istilah Bimbingan dan Penyuluhan mulai diganti dengan istilah Bimbingan dan Konseling (BK). Perubahan mendasar dari istilah “penyuluhan” menjadi “konseling” didasari pada paradigma bahwa konselor tidak melakukan penyuluhan yang mempunyai konotasi sebagai pekerja lapangan (mis: penyuluh pertanian atau penyuluh KB), tetapi lebih pada usaha membantu klien/siswa sesuai dengan karakter siswa yang bersangkutan. Siswa lebih dihargai untuk dapat menyelesaikan masalahnya sendiri. Dengan demikian, istilah guru BP dirubah menjadi guru BK.
Menurut SK Menpan no. 84/1993 tentang jabatan fungsional guru dan angka kreditnya, pada pasal (3) disebutkan bahwa tugas pokok guru pembimbing adalah menyusun program bimbingan, melaksanakan program bimbingan, evaluasi pelaksanaan bimbingan, analisis hasil pelaksanaan bimbingan dan tindak lanjut dalam program bimbingan terhadap peserta didik yang menjadi tanggungjawabnya.
Pada tahun 2003, terjadi perubahan mendasar terhadap pelaksana bimbingan dan konseling di sekolah. Menurut Undang-undang nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I pasal 1 ayat (4) dinyatakan bahwa pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor … . Dengan demikian penggunaan istilah guru BK di lingkungan sekolah akan berubah menjadi konselor sekolah. Paradigma ini mengacu pada pelaksana konseling adalah konselor. Dengan kata lain bahwa konselor termasuk salah satu tenaga pendidik.
Bimbingan dan konseling di sekolah merupakan satu kesatuan (integral) dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah (Munandir:1993). Dengan kata lain bahwa pelaksanaan pendidikan atau pembelajaran di sekolah akan mempunyai ketergantungan yang timbal balik antara proses belajar klasikal di kelas dengan bantuan bimbingan dan konseling.
Kesatuan ini tampak dalam pelaksanaan pembelajaran di lapangan. Pembelajaran yang berorientasi kognitif secara umum telah dilakukan oleh guru bidang studi di kelas. Guru mata pelajaran memberikan bahan atau materi pembelajaran kepada siswa dengan penekanan-penekanan pada bidang kognitif. Peranan guru BK pada tahap ini adalah menyeimbangkan antara kekuatan kognitif dan afektif yang dimiliki siswa.
Seringkali kita temui bahwa siswa mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan segala bentuk tugas yang diberikanoleh guru bidang studi. Tetapi pada saat mereka dihadapkan untuk menentukan pilihan masa depan atau mengambil keputusan tentang masa depannya, mereka mengalami kesulitan yang luar biasa. Mereka dihadapkan pada banyak pilihan serta konflik-konflik batin. Pada saat inilah peranan guru BK akan tampak semakin nyata. Konselor sekolah akan membantu siswa dalam mengatasi masalah-masalah yang timbul sesuai dengan karakteristik siswa yang bersangkutan.
Permasalahan yang dihadapi siswa tidak bisa diselesaikan dengan mempergunakan kekuatan kognitif atau logika berpikir semata. Seringkali permasalahan yang muncul adalah kerena pertentangan emosi (afeksi) siswa. Sebagai contoh, masalah penjurusan tidak bisa diselesaikan hanya dengan melihat hasil kogitif siswa melalui nilai rapor, tetapi juga melihat kepribadian, minat, bakat dan keadaan lingkungan siswa tersebut. Di sini terlihat perspektrum yang semakin luas untuk dapat menyelesaikan masalah siswa secara tuntas.
Permasalahan yang diuraikan di atas merupakan permasalahan yang sifatnya khusus terjadi pada dunia pendidikan. Secara umum Nurihsan (2003) menyebutkan beberapa masalah umum yang terjadi di sekitar kita akibat berkembangnya isu globalisasi sebagai berikut, (1) keresahan hidup di kalangan masyarakat yang semakin meningkat karena banyaknya konflik, stres, kecemasan dan frustrasi, (2) adanya kecenderungan pelanggaran disiplin, kolusi, korupsi, makin sulit diterapkannya ukuran baik-jahat dan benar-salah secara lugas, (3) adanya ambisi kelompok yang dapat menimbulkan konflik, tidak saja konflik psikis tapi juga konflik phisik dan (4) pelarian dari masalag melalui jalan pintas yang bersifat sementara dan adiktif seperti penggunaan obat-obatann terlarang (drugs). Permasalahan tersebut pada akhirnya membutuhklan bantuan layanan bimbingan dan konseling, terutama di setting sekolah.
Akibat lain dari adanya globalisasi adalah meningkatnya “virus” informasi baru (Prayitno & Amti, 1999). Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini terlalu banyak informasi baru yang muncul di sekitar kita. Suatu masalah belum terselesaikan dengan baik muncul lagi masalah yang lebih baru dan lebih membutuhkan penanganan yang khusus. Sebagai contoh informasi mengenai telepon genggam (HP). Pada saat yang bersamaan dapat muncul 4 model HP di masyarakat. Belum selesai kita analisa dengan mantap, sudah muncul genre lagi yang lebih baru dengan menawarkan hal-hal baru. Informasi ini seringkali membuat masyarakat bingung untuk memilih.
Lebih lanjut, Wibowo (2003) menyatakan bahwa pendidikan dapat memanfaatkan bimbingan dan konseling sebagai mitra kerja dalam melaksanakan tugasnya sebagai rangkaian upaya pemberian bantuan. Konseling menyediakan unsur-unsur di luar individu yang dipergunakan untuk memperkembangkan diri. Integrasi konseling dalam pendidikan juga tampak dari dimasukkannya secara terus menerus program-program konseling ke dalam program-program sekolah dengan demikian konsep dan praktek konseling merupakan bagian integral upaya pendidikan.

B. Tugas Perkembangan Siswa Taman Kanak-kanak
Sebelum kita membahas lebih jauh tentang pelaksanaan Bimbingan dan Konseling pada tingkat pendidikan taman kanak-kanak, maka sebaiknya kita mengenal terlebih dahulu mengenai tugas perkembangan siswa Taman Kanak-kanak. Siswa TK pada umumnya adalah individu yang mempunyai kisaran umur antara 4 – 7 tahun. Menurut Hurlock (1994), pada usia ini tugas perkembangan fisik yang terjadi pada antara lain adalah:
1. Tinggi badan, tinggi badan anak usia ini kurang lebih 46,6 inci atau sekitar 100-120 cm.
2. Berat badan, berat badan anak usia TK atau pada usia 6 tahun setidaknya harus enam atau tujuh kali dari saat mereka dilahirkan.
3. Perbandingan tubuh, pada usia anak TK pertumbuhan fisik (tubuh) akan semakin memperlihatkan bentuknya seperti wajah tetap kecil tetapi dagu lebih besar, perut rata (tidak buncit) dan dada yang lebih bidang dan rata.
4. Postur tubuh, postur tubuh anak TK pada umumnya dibadi menjadi tiga yaitu gemuk lembek (endomofrik), kuat berotot (mesomofrik) dan kurus (ektomofrik).
5. Tulang dan otot, pada usia anak TK pertumbuhan tulang dan otot akan sangat bervariasi. Seringkali terlihat bahwa otot mereka semakin kuat dan besar, tetapi tampak lebih kurus walaupun berat mereka bertambah.
6. Lemak, anak yang endomofrik cenderung memiliki lemak lebih banyak, anak yang mesomofrik cenderung memiliki jaringan otot yang banyak dibanding lemaknya, sedangkan anak ektomofrik mempunyai otot yang kecil dan sedikit jaringan lemak.
7. Gigi, anak usia ini sudah mulai muncul gigi tetap yang mempunyai celah diantara masing-masing gigi yang memungkinkan munculnya gigi baru.

Lebih lanjut, Hurlock (1994) menyatakan bahwa perkembangan emosi yang sering terjadi pada masa kanak-kanak antara lain munculnya amarah, perasaan takut, cemburu, ingin tahu, iri hati, gembira, sedih dan kasih sayang. Di lain pihak, Mapiare (1984) menyatakan bahwa beberapa ciri anak usia pra sekolah antara lain sebagai (1) usia pra kelompok), (2) sebagai usia penjelajahan dan penjajagan, (3) sebagai usia mengandung kesulitan dan (4) sebagai usia yang dianggap kurang menarik.

C. Definisi Bimbingan dan Konselling
Mapiare (1984) menyatakan bahwa bimbingan dalam arti luas mempunyai makna sebagai proses bantuan atau layanan yang diberikan kepada sispa saja yang membutuhkan dalam upaya membantu agar mereka dapat membuat pilihan, menyelesaikan masalah sehingga mereka yang dibantu dapat meningkatkan derajat kemandiriannya dan meningkatkan kecakapannya. Urain tersebut menunjukkan bahwa bimbingan merupakan suatu proses, sehingga memerlukan waktu agar siswa dapat memecahkan masalahnya sendiri.
Miller (dalam Mapiare, 1984) menyatakan bahwa bimbingan adalah proses membantu individu untuk mencapai pemahaman diri dan arah diri terutama untuk membuat penyesuaian maksimum terhadap sekolah, rumah tangga dan masyarakat umum.. Lebih lanjut Crow dan Crow (dalam Mapiare, 1984) menyatakan bahwa bimbingan adalah bantuan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki pribadi terpercaya dan pendidikan yang memadai, baik pria atau wanita kepada seseorang individu berbagai tingkat usia agar mereka dapat mengendalikan kegiatan-kegiatan hidupnya sendiri, mengembangkan arah titik pandangnya sendiri, membuat keputusan-keputusan sendiri dan memikul bebannya sendiri.
Dalam lingkup sekolah, Bimbingan mempunyai makna sebagai proses pemberian bantuan kepada murid dengan memperhatikan murid sebagai individu dan makhluk sosial serta memperhatikan adanya perbedaan-perbedaan individu (individual differences) agar murid itu dapat membuat tahap maju seoptimal mungkin dalam proses perkembangannya dan agar dia dapat menolong dirinya sendiri, menganalisa danmemecahkan masalahnya-semua itu demi memajukan kebahagiaan hidup, terutama ditekankan pada kesejahteraan mental (Dep P&K dalam Mapiare (1984).
Konseling memiliki arti yang lebih spesifik jika dibandingkan dengan definisi bimbingan. Harper (1981) menyatakan bahwa konseling adalah hubuingan profesional dimana konselor membantu satu atau lebih individu untuk mengembangkan, memecahkan masalah atau mecapi pemahaman yang lebih dalam tentang dirinya. Lebih lanjut, Shertzer dan Stone (1981) menyatakan bahwa konselor merupakan proses interaksi dimana terjadi suatu kemudahan dalam memahami diri individu, lingkungan dan hasil-hasil yang akan dicapai untuk menentukan perilaku yang akan datang. Kemudian, American Personnel Guidance Asscociation (dalam Prayitno, 1987) menyatakan bahwa konseling adalah hubungan antara seorang profesional yang telah dilatih secara khusus dengan seorang individu yang memerlukan bantuan untuk mengatasi kecemasannya yang masih bersifat normal, atau konflik atau masalah pengambilan keputusan.
Uraian di atas mengarahkan kita untuk memahami ciri-ciri konseling profesional yaitu:
1. Konseling merupakan suatu hubungan profesional yang diadakan oleh seorang konselor yang sudah dilatih untuk pekerjaannya itu.
2. Dalam hubungan yang bersifat profesional ini, klien mempelajari keterampilan pengambilan keputusan, pemecahan masalah, serta tingkah laku atau sikap-sikap baru.
3. Hubungan profesional itu dibentuk berdasarkan kesukarelaan antara klien dan konselor.
(Prayitno, 1987)
Perkembangan teknologi informasi yang berkembang pada saat ini telah menggeser definisi konseling yang telah ada. Konseling yang dahulu seringkali dinyatakan sebagai hubungan profesional antara konselor dan klien, kemungkinan akan berubah. Konseling saat ini telah dilakukan dengan mempergunakan piranti elektronik. Perkembangan global yang semakin cepat membuat individu semakin sulit untuk bisa mengadakan pertemuan dengan konselor. Waktu mereka seringkali dihabiskan hanya untuk menyelesaikan tugas-tugas yang dibebankan padanya.
Kesulitan individu untuk meninggalkan pekerjaan, maka mengarahkan mereka untuk mempermudah menyelesaikan masalah mereka dengan mempergunakan piranti elektronik. Kemajuan teknologi informasi pada akhirnya menjadi pilihan mereka. Dengan mempergunakan internet, mereka dapat melakukan chating atau melakukan konsultasi dengan orang-orang yang mereka anggap bisa membantu menyelesaikan masalah mereka. Terlebih, saat ini semakin banyak website yang membuka layanan konseling bagi semua pengguna internet. Hal ini sering disebut dengan cyber counseling.

D. Pelaksanaan Layanan Bimbingan dan Konseling
Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di sekolah disesuaikan dengan tujuan pendidkan nasional yang termaktub dalam Sistem Pendidikan Nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga yang demokratis dan bertanggungjawab.
Sesuai dengan amanat yang tercantum dalam UU sisdiknas tersebut, maka layanan bimbingan dan konseling di sekolah melakukan fungsi-fungsi sebagai usaha pemahaman. Fungsi pemahaman meletakkan upaya upaya untuk mengenal individu secara totalitas. Artinya klien atau individu yang sedang dibantu perlu dipahami tentang:
1. identitas individu: nama, jenis kelamin, tempat tinggal, tanggal lahir.
2. pendidikan
3. status perkawinan (bagi klien dewasa)
4. status sosial-ekonomi
5. kemampuan (bakat, minat, hobby)
6. kesehatan
7. kecenderungan sikap atau kebiasaan
8. cita-cita pendidikan dan pekerjaan
9. keadaan lingkungan tempat tinggal
10. kedudukan danprestasi yang pernah dicapai
11. kegiatan sosial dan kemasyarakatan.

Fungsi kedua adalah preventif yaitu mencoba untuk mencegah munculnya permasalahan-permasalahan yang dialami oleh siswa. Tindakan pencegahan ini seringkali dilakukan dengan memberikan layanan orientasi dan informasi kepada siswa di sekolah.
Fungsi ketiga adalah melakukan tindakan kuratif, yaitu melakukan tindakan penangan terhadap siswa-siswa yang mengalami masalah di sekolah. Permasalahan siswa di sekolah dapat muncul dari diri pribadi siswa itu sendiri atau muncul karena akibat berhubungan dengan lingkungan di luar diri mereka sendiri. Pada fungsi terapi ini, dipergunakan berbagai macam pendekatan bimbingan dan konseling. Konselor memberikan upaya bantuan kepada siswa sesuai dengan karakteristik mereka masing-masing.
Fungsi keempat adalah follow up atau tindak lanjut, yang merupakan usaha konselor untuk menjaga agar siswa baik yang bermasalah atau yang tidak bermasalah dapat terjada kesejahteraannya. Bagi mereka yang telah dapat menangani masalahnya sendiri, maka konselor berupaya untuk membantu mereka agar dapat menyelesaikan masalahnya yang lain sesuai dengan hasil atau pengalaman yang telah di dapat selama konseling.

E. Kurikulum Berbasis Kompetensi
Pada tahun 2004 ini mulai diperkenalkan kurikulum pendidikan yang baru dengan sebutan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) atau (Competency Based Curriculum). Rencananya kurikulum baru ini akan dilaksanakan secara menyeluruh di Indonesia pada tahun ajaran baru 2004/2005. Pelaksanaan kurikulum KBK ini secara langsung akan berdampak pada program layanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah.
McAshan (dalam Mulyana, 2002) mengemukakan pengertian kompetensi sebagai pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya. Lebih lanjut, Finch dan Crunkilton mendefinisikan kompetensi sebagai penguasaan terhadap suatu tugas, keterampilan, sikap dan apresiasi yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan.
Depdiknas (dalam Mulyana, 2002) menyebutkan beberapa ciri atau karakteristik kurikulum berbasis kompetensi sebagai berikut:
1. Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal;
2. Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman;
3. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi;
4. Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang mempunyai unsur edukatif; dan
5. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
Lebih lanjut, Arsitun menekankan bahwa orientasi kurikulum berbasis kompetensi adalah (1) hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna dan (2) keberagaman kondisi individu yang dimanifestasikan sesuai dengan potensi dan kebutuhannya.
Untuk mengembangkan kurikulum barbasis kompetensi pada program bimbingan dan konseling di sekolah, beberapa langkah yang harus dilakukan oleh konselor (dalam Arsitun, 2004) adalah sebagai berikut:
1. Perhatikan masing-masing tugas perkembangan siswa (TK, SD, SMP, SMA/SMK);
2. Butir-butir tugas perkembangan diorientasikan pada empat bidang bimbingan dan konseling;
3. Butir tugas perkembangan yang sudah diorientasikan pada bidang bimbingan dan konseling kemudian dijabarkan kedalam bentuk kompetensi yang relevan;
4. Kompetensi yang disebutkan dalam butir (3) selanjutnya dipergunakan sebagai acuan untuk membuat isi layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling; dan
5. Berdasarkan materi yang ditetapkan pada langkah (4) selanjutnya dilakukan evaluasi
Selanjutnya, di bawah ini akan disajikan beberapa perbedaan mendasar antara kurikulum 1994 dengan kurikulum berbasis kompetensi. Adapun perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:

Kurikulum 1994
Kurikulum Berbasis Kompetensi
Knowledge
Competency
To Know
Performance
To Know
To Do
To Be
To Life Together
Informatif
Development (aplikatif)
Siswa sebagai wadah
Siswa sebagai bibit potensial
Sumber belajar seragam
Sumber belajar beragam
Ketuntasan materi
Ketuntasan kemampuan (materi sebagai tools)
Penilaian normatif (kognisi)
Penilaian authentic portofolio (kognisi, afeksi dan psikomotor)


REFERENSI
Arsitun. 2004. Layanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Berbasik Kompetensi. Makalah disampaikan pada In Service Training Persiapan Implementasi KBK Bimbingan Konseling SMU dan Pembekalan di LPMP Jawa Timur. Surabaya: Depdiknas.

Arsitun. 2004. Pengembangan Bimbingan dan Konseling Standard dan Analisis Kompetensi Siswa dalam BK. Makalah disampaikan pada In Service Training Persiapan Implementasi KBK Bimbingan Konseling SMU dan Pembekalan di LPMP Jawa Timur. Surabaya: Depdiknas.

Harper, Frederick. 1981. Dictionary of Counseling Techniques and Terms. Alexandria: Doudlas Publishers.

Hurlock, Elisabet. 1994. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang rentang Kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Loekmono, Lobby, JT. 1991. Tantangan Konseling. Semarang: Penerbit Satya Wacana.

Monks., Knoers., Rahayu, Siti. 1991. Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Mulyasa, E. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi: konsep, karakteristik dan implementasi. Bandung: Rosdakarya.

Munandir. 1993. Masalah Mutu Pnedidikan dan Peranan Pendidikan dalam Pengembangan Sumber Daya Manusia. Pidato Pengukuhan Guru Besar IKIP Malang tanggal 18 Oktober 1993. Malang: IKIP Malang.

Nurihsan, Juntika. 2003. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Bandung: Mutiara.

Prayitno. 1987. Profesionalisasi Konseling dan Pendidikan Konselor. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.

Prayitno., Amti, erman. 1999. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta.

Rysiew, Kathy, J. 1999. Multipotentiality, Giftedness, and Career Choice: A Review. Journal of Counseling and Development. 77: 423-430.

Shertzer, Bruce., Stone, Shelley. 1981. Fundamental of Guidance (3rd ed). Boston: Houghton Mifflin Co.

Soenarjo, Moendisari. 2004. Wawasan dan Pengembangan Bimbingan dan Konseling. Materi Disampaikan pada In Service Training Persiapan Implementasi KBK Bimbingan Konseling SMU dan Pembekalan di LPMP Jawa Timur. Surabaya: Depdiknas.

Supriadi, Dedi. 2003. Reposisi Bimbingan dan Konseling di Tengah Lingkungan yang Berubah. Makalah disampaikan dalam Konvensi Nasional XIII Bimbingan dan Konseling di Bandung tanggal 10-13 Desember 2003.

Trusty, Jerry. 2002. Effects of High School Course-taking and Other Variables on Choice of Science and Mathematic College Majors. Journal of Counseling and Development. 80. 464-475.

Wibowo, Eddy, Mungin. 2003. Bimbingan dan Konseling dalam Sistem Pendidikan Nasional. Makalah disampaikan dalam Konvensi Nasional XIII Bimbingan dan Konseling di Bandung tanggal 10-13 Desember 2003.

Winkel, WS. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Jakarta: Gramedia

Yusuf, Syamsu. 2003. Konseling Keterampilan Hidup (lifeskills counseling). Makalah disampaikan dalam Konvensi Nasional XIII Bimbingan dan Konseling di Bandung tanggal 10-13 Desember 2003.

Kesurupan .......... Tulisan ini mencoba untuk menjawab berbagai pertanyaan tentang proses terjadinya kesurupan massal yang menjadi fe...