Kekerasan di Sekolah
Oleh
Boy Soedarmadji
(Dosen Tetap Prodi BK FKIP UNIPA Surabaya)
Disajikan dalam seminar sehari
“Peran Gender Dalam Pendidikan”
Program Studi S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar FKIP UNIPA Surabaya
Tanggal 12 Oktober 2009
A. Pendahuluan
Dunia pendidikan di Indonesia saat ini sedang berupaya untuk mengejar ketertinggalannya dengan Negara lain, khususnya negera-negara yang sedang berkembang. Segala upaya telah dilakukan oleh pemerintah seperti melakukan revisi kurikulum yang ada. Bahkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang telah berjalan masih saja ditemukan kekurangan-kekurangan yang memelukan revisi lebih lanjut.
Untuk mengejar ketertinggalan tersebut, maka pemerintah saat ini berupaya agar semua sekolah yang ada di negeri tercinta ini dapat terhubung dengan dunia luar. Upaya yang dilakukan antara lain adalah internetisasi sekolah-sekolah baik yang berada di kota besar sampai dengan pelosok-pelosok desa. Bahkan sebelum internet dikenal oleh masyarakat desa, pemerintah telah membuat sebuat program yang disebut dengan televisi pendidikan, dimana guru dan siswa dapat belajar dengan mempergunakan media televisi, sehingga proses pembelajaran menjadi semakin menarik.
Semua ini terjadi karena perkembangan teknologi informasi mengalami kemajuan yang sangat pesat. Hampir semua sendi kehidupan manusia dikuasai oleh oleh teknologi informasi. Sepuluh tahun yang lalu telepon genggam merupakan perangkat komunikasi yang dianggap canggih dan mahal, sehingga tidak semua orang bisa memilikinya. Tetapi saat ini, telepon genggam sudah menjadi komoditi yang bisa dijangkau oleh semua orang, mulai dari pejabat sampai dengan tukang becak sekalipun. Perkembangan yang sangat pesat ini pada akhirnya menimbulkan berbagai dampak, baik positif maupun negatif. Sebab penyebaran informasi melalui media teknologi informasi ini dapat dilakukan dengan mudah, dengan berbagai macam tujuan pula.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa perkembangan teknologi informasi saat ini tidak bisa dibendung dan oleh karenanya sangat mempengaruhi berbagai sendi kehidupan masyarakat. Hampir setiap orang melihat televisi dengan berbagai acara menarik yang ada, hamper semua orang bisa melakukan komunikasi menggunakan telepon seluler, hampi semua orang yang memiliki telepon seluler dapat mengunduh berbagai informasi, bahkan internet yang semula hanya bisa diakses melalui computer atau laptop, saat ini sudah bisa diakses dengan mempergunakan telepon seluler.
Kondisi sebagaimana disebutkan di atas, pada akhirnya dapat mempengaruhi orang-orang yang mempergunakan “keistimewaan” perangkat cangguh tersebut. Semua orang akan menyasikan siaran televisi baik yang berasal dari luar negeri atau dalam negeri. Dengan demikian, budaya luar negeri yang mungkin tidak sesuai dengan latar belakang budaya kita juga akan ditonton oleh jutaan orang.
Salah satu penikmat acara telivisi atau tanyangan di internet adalah siswa sekolah baik dari tingkat Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Mereka menyaksikan berbagai acara yang ditanyangkan oleh stasiun televisi mulai yang bertema romantisme sampai dengan sadisme.
Menurut hasil penelitian Arist (2008), kekerasan yang terjadi di sekolah dilakukan oleh guru (42%), oleh teman (42%) dan sisanya oleh unsur-unsur yang terdapat di sekolah, semisal penjaga sekolah. Data ini tentu saja sangat mengejutkan banyak pihak. Walaupun sampai saat ini masih dicari penyebab munculnya perilaku kekerasan tersebut. Menurut hemat penulis, berdasar pada uraian di atas, maka penulis mencoba untuk menyumbangkan pemikiran untuk menguraikan kekusutan penanganan kekerasan anak di sekolah.
B. Pembahasan
1. Perkembangan remaja
Sekolah sebagai salah satu tempat untuk belajar bersosialisasi bagi anak-anak tentu tidak bisa dilepaskan dari bagaimana cara seorang pendidik menempatkan siswa tersebut sesuai dengan usia perkembangan siswa. Fase remaja Menurut Konpka (Pikunas, 1976) meliputi: a) Remaja awal dengan kisaran usia 12-15 tahun, b) Remaja madya dengan kisaran usia 15-18 tahun, dan c) Remaja akhir dengan kisaran usia 19-22 tahun. Beberapa ciri perkembangan remaja adalah sebagai berikut:
a) Masa remaja sebagai periode peralihan.
Yaitu peralihan dari masa kanak-kanak ke peralihan masa dewasa. Pada tahapn ini, usia remaja merupakan suatu tahapan dimana seorang individu sudah mulai meninggalkan masa anak-anak dan akan memasuki usia dewasa awal. Kondisi antara masa anak-anak dan masa dewasa awal inilah yang disebut dengan masa remaja.
b) Masa remaja sebagai periode perubahan.
Pada masa remaja ini banyak sekali terjadi perubahan-perubahan yang signifikan baik perubahan psikis maupun phisik. Anak laki-laki dan anak perempuan memiliki perubahan-perubahan phisik yang sangat cepat. Pada anak laki-laki perubahan phisik antara lain seperti; 1) suara bertambah besar dan serak, 2) mulai tumbuh jakun, 3) pertumbuhan otot yang semakin pesat, 4) mulai tumbuh kumis, 5) mulai tumbuh bulu di sekitar organ reproduksi, dan 6) mengalami mimpi basah. Sedangkan pada perempuan, perubahan-perubahan terjadi seperti; 1) payudara membesar, 2) pinggul membesar, 3) suara menjadi lebih merdu, 4) mulai tumbuh bulu di sekitar organ reproduksi, dan 5) mulai mengalami menstruasi. Sedangkan perubahan psikis (yang dunjukkan dengan perilaku) antara lain; 1) mulai senang bersolek, 2) senang menyendiri, 3) berkelompok sesuai dengan jenis kelamin, dan 4) menunjukkan maskulinitas dan feminitas.
c) Masa remaja sebagai usia bermasalah.
Perubahan-perubahan yang dialami oleh siswa saat mereka memasuki usia remaja seringkali memunculkan masalah-masalah yang disebabkan kurangkan informasi terhadap perubahan-perubahan fisik yang dialami oleh siswa tersebut. Pada saat mereka masih kelas V Sekolah Dasar, seorang siswa seringkali mengalami kebingungan manakala mereka mendapatkan menstruasi untuk pertama kalinya, mereka cenderung menarik diri (withdrawl). Atau anak laki pada usia yang sama melakukan tindakan “sok kuasa” karena dirinya telah memiliki bulu di kaki dan berkumis.
d) Masa remaja sebagai masa mencari identitas.
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa masa remaja merupakan suatu masa dimana seseorang berada pada suatu kondisi antara masa anak-anak dan masa dewasa awal. Pada saat ini seorang individu akan mencoba untuk mengenal dirinya sendiri. Upaya mengenal dirinya sendiri dilakukan dengan cara trial and error. Mereka mencoba meninggalkan label anak-anak dan mencoba untuk melakukan hal-hal yang dilakukan oleh orang dewasa. Ironisnya, perilaku coba-coba yang dilakukan oleh remaja seringkali ditolak oleh orang-orang dewasa. Ungkapan yang sering muncul dari kaum dewasa adalah “Kamu masih ingusan”, “Anak masih bau kencur”, “Anak kemarin sore” dan sebutan-sebutan lain yang menolak kehadiran mereka pada “kawasan” orang dewasa.
e) Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan, karena masalah penyesuaian diri dengan situasi dirinya yang baru, karena setiap perubahan membutuhkan penyesuaian diri.
Permasalahan umum yang dialami oleh anak-anak adalah penyesuaian diri. Seringkali anak-anak gagal melakukan tindakan penyesuaian diri dikarenakan mereka belum bisa mengenal dirinya sendiri, atau mereka masih belum bisa menerima kondisi phisik yang dimilikinya. Istilah pengenalan diri ini lazim disebut dengan konsep diri (self-concept). Taylor, Davis-Kean, dan Malanchuk, dalam Kenny & McEachem, 2009) menyatakan bahwa istilah ini mengandung makna bagaimana seseorang menunjukkan dirinya (representation) kepada orang lain.
Mereka masih belum menyadari bahwa mereka masih dalam proses untuk menyelesaikan tugas perkembangan dan tugas pertumbuhannya. Anak laki cenderung memunculkan perilaku agresif karena dia merasa lebih “dewasa” dari teman sepermainan karena dia sudah memiliki bulu kaki atu kumis. Anak-anak ini cenderung menjadi lebih dominan jika dibandingkan dengan teman yang lainnya. Anak perempuan akan melakukan tindakan menarik diri dikarenakan bentuk tubuhnya yang melebar ke samping.
f) Ciri-ciri kejiwaan remaja, tidak stabil, keadaan emosinya goncang, mudah condong kepada ekstrim, sering terdorong, bersemangat, peka, mudah tersinggung, dan perhatiannya terpusat pada dirinya.
Perubahan-perubahan baik psikis maupun phisik yang cepat cenderung memunculkan perubahan-perubahan psikis pada anak-anak. Goldschmidt dan Weller (dalam Aldrich dan Tenenbaum, 2006) menunjukkan beberapa literatur menjelaskan bahwa perempuan lebih tampak ekspresi emosinya jika dibandingkan dengan laki-laki. Perubahan emosional menjadi semakin cepat, anak perempuan yang mengalami menstruasi pertama kali, sering mengalami ketakutan yang amat sangat. Pada anak laki-laki cenderung menjadi semakin bersemangat bahkan cenderung agresif, hal ini dikarenakan produksi hormon testosterone yang semakin banyak.
2. Perilaku negatif
Perilaku yang dimunculkan oleh anak-anak yang sedang memasuki usia remaja sangat beragam, mulai yang bersifat positif maupun negatif. Perilaku positif yang dimunculkan oleh siswa antara lain penerimaan diri yang positif, kemampuan sosialisasi yang baik, semangat yang tinggi dalam mengikuti pelajaran merupakan bentuk-bentuk perilaku yang dianggap adaptif oleh guru atau pendidik. Disamping perilaku positif, muncul pula perilaku negatif yang oleh sebagian orang dianggap sebagai sebuah perilaku menyimpang/maladaptive yang perlu mendapatkan penanganan khusus.
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa salah satu ciri masa remaja awal yaitu adanya trial and error. Perilaku ini seringkali menimbulkan masalah, khususnya bagi siswa sekolah dasar. Perilaku negatif yang muncul antara lain menjadi “preman”, membolos, suka menyontek, atau melakukan kekerasan terhadap lawan jenis.
Premanisme mungkin merupakan istilah yang terlalu dibesar-besarkan, terutama untuk anak seusia SD. Tetapi berita di televisi menunjukan adanya praktik-praktik premanisme di sekolah dasar. Siswa yang dianggap “sudah besar” seringkali melakukan tindakan-tindakan seperti memalak teman-teman yang dianggap tidak memiliki kemampuan untuk melawan. Tidak jarang mereka membuat gank yang terdiri dari siswa-siswa bermasalah. Ketua gank adalah siswa yang memiliki kelebihan dibandingkan dengan teman-teman yang lain. Kelebihan ini semisal berbadan lebih besar, memiliki kemampuan berkelahi bahkan keberanian untuk membolos, bahkan sering menerima hukuman juga dianggap sebagai sebuah kelebihan.
Perilaku yang dimunculkan oleh anggota gank sering berujung pada perilaku kekerasan. Tidak jarang praktik premanisme ini ditujukan kepada kaum laki-laki atau perempuan. Kekerasan fisik dan kekerasan psikis berupa ancaman seringkali diterima oleh anak-anak yang lemah.
Patut diwaspadai oleh guru tentang penyebab munculnya premanisme di sekolah. Banyak faktor yang dapat memicu munculnya perilaku kekerasan di sekolah. Faktor penyebab kekerasan di sekolah dapat berasal dari lingkungan keluarga, masyarakat atau media massa. Saat ini, keluarga tengah mengalami pergeseran peran. Peran anggota keluarga mengalami pergeseran. Dulu tulang punggung keluarga adalah ayah, dimana seorang ayah akan bekerja untuk memenuhi kebutuhan materiil keluarga. Saat ini, dengan meningkatnya kebutuhan keluarga, maka ibu akan menjadi salah satu tiang penyangga kebutuhan materiil keluarga. Tidak jarang seorang ibu bekerja, bahkan “lebih berat” jika dibandingkan ayah. Kondisi ini seringkali mengorbankan anak, anak tidak lagi mendapatkan kasih saying yang cukup, tidak ada lagi waktu berbincang yang cukup, apalagi untuk mengungkap permasalahan yang dimiliki oleh anak-anak.
Kondisi masyarakat di sekitar anak juga turut memberikan sumbangan terhadap perilaku kekerasan di sekolah. Kondisi masyarakat di daerah kumuh seringkali bersinggungan dengan tindakan-tindakan kekerasan. Anak akan meniru perilaku-perilaku kekerasan sebagai salah satu upaya untuk mendapatkan apa yang dibutuhkannya.
Media massa merupakan salah satu faktor penyebab munculnya kekerasan pada diri anak. Tanpa disadari tayangan-tayangan di media massa akan dicontoh oleh anak-anak seusia sekolah dasar. Bahkan film-film yang ditujukan untuk menghibur anak banyak terselip adegan-adegan yang mengandung nilai-nilai kekerasan. Film kartun yang diputar seringkali menayangkan adegan perkelahian. Walaupun di akhir film tersebut tersimpan sebuah makna positif, tetapi adegan yang dimunculkan justru mengajak anak untuk mempergunakan kekerasan dalam mencapai tujuan tertentu (walau mulia).
3. Penanganan
Perubahan-perubahan baik psikis maupun psikis yang dialami oleh siswa yang memasuki usia remaja perlu mendapatkan perhatian serius dari berbagai kalangan, utamanya guru sebagai pendidik di sekolah. Penanganan masalah siswa sebaiknya dilakukan secara komprehensif, artinya melibatkan seluruh personil di sekolah dan masyarakat. Hal tersebut disadari karena masalah perilaku kekerasan yang dilakukan oleh siswa bukan semata-mata menjadi masalah anak, tetapi lebih mengarah kepada akibat dari lingkungan baik keluarga, masyarakat dan media massa.
Carney (2008) menjelaskan bahwa anak muda akan menunjukkan reaksi yang berbeda-beda saat mereka menerima kekerasan di sekolah, sehingga perlu penanganan khusus seperti mendapatkan layanan konseling, berbagi pengalaman dengan siswa lain yang memiliki pengalaman trauma yang sama, atau membicarakan trauma sebagai topic dalam pembelajaran yang dilakukan oleh tenaga pendukung di sekolah.
Newsome dan Sklare (dalam Carney, 2008) menyatakan bahwa penanganan anak sebagai korban kekerasan melalui proses konseling. Usaha-usaha penghindaran terhadap akibat trauma merupakan cara yang tidak bijaksana. Sehingga, dalam hal ini konselor dapat mendorong anak untuk memunculkan mekanisme kemampuan penanganan trauma, sehingga, anak-anak dapat melakukan pengaturan kecemasan yang muncul karena adanya kekerasan di sekolah.
Khusus penanganan konseling untuk anak sekolah dasar, maka konseling tidak secara langsung diberikan kepada anak. Hal ini disebabkan permasalahan yang dimiliki oleh anak merupakan refleksi dari kelalaian yang muncul dari keluarga atau masyarakat. Dengan demikian, orang tua yang akan diberikan layanan konseling untuk dapat membantu memecahkan masalah anak-anaknya. Untuk hal ini, maka pihak sekolah diharapkan mampu menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi penyelenggara program studi bimbingan dan konseling atau dengan pihak-pihak lain yang memiliki kompetensi untuk menangani masalah kekerasan di sekolah.
Hal lain terkait dengan usaha preventif adalah dengan secara aktif melakukan komunikasi dengan orang tua dan masyarakat. Guru Kelas dituntut untuk bisa menjalin hubungan yang harmonis dengan orang tua, sehingga tidak muncul kesan bahwa orang tua menyerahkan anak sepenuhnya kepada sekolah. Ini menjadi tendensi negatif, karena akan memunculkan usaha ”menyalahkan” sekolah jika terjadi masalah pada anak-anak mereka. Jika hal ini terjadi, maka pihak sekolah juga menjadi ”korban”.
Usaha preventif ini antara lain dengan memaksimalkan forum komunikasi guru dengan orang tua atau memaksimalkan peran komite sekolah. Masing-masing guru kelas bisa melakukan koordinasi dengan orang tua siswa dengan mengadakan pertemuan tiap bulan. Pertemuan tiap bulan ini akan jauh lebih efektif jika dibandingkan pertemuan yang dilakukan hanya tiga bulan sekali (saat mid semester) atau bahkan enam bulan sekali (saat ujian akhir semester).
C. Simpulan
Masalah kekerasan yang dilakukan oleh siswa di sekolah dasar terjadi sebagai akibat dari kelalaian orang tua, guru dan masyarakat dalam memahami tugas perkembangan dan tugas pertumbuhan anak. Anak yang sedang memasuki masa remaja awal membutuhkan bantuan dalam upaya memahami diri dan lingkungannya, sehingga peran orang tua, guru dan masyarakat menjadi sangat penting.
D. Referensi
Aldrich, Naomi,J., Tenenbaum, Harriet, R. 2006. Sadness, Anger, and Frustration: Gendered Patterns in Early Adolescents and their parents emotion talk. Sex Roles: A Journal of Research (diakses tanggal 02 Oktober 2009).
Arist. 2008. 28 Persen Kekerasan Anak Terjadi Di Sekolah. Tempointeraktif.com. Diakses tanggal 1 Oktober 2009.
Carney, JoLynn V. 2008. Perceptions of bullying and associated trauma during adolescence. Journal Professional School Counseling, Pebruary, 2008. Diakses tanggal 29 September 2009.
Gunarsa, Singgih. 2001. Psikologi Praktis: anak, remaja dan keluarga. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Hurlock, Elizabeth. 1994. Psikologi Perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Kartono, Kartini. 1995. Psikolologi Anak: psikologi perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Kenny, Maureen., McEachem, Adriana. 2009. Children Self-Concept: A Multicultural Comparison. Journal Professional School Counseling, Pebruary, 2009. Diakses tanggal 29 September 2009.
Soedarmadji, Boy. 2008. Perkembangan Peserta Didik. Implementasi PHK S1 PGSD-B Ditjen Dikti Depdiknas.
Blog ini dapat dipergunakan sebagai referensi bagi para mahasiswa, konselor sekolah, dan pemerhati konseling. Khususnya terhadap hipnokonseling Gestalt (HiGest). Semoga bermanfaat, terima kasih.
Jumat, 20 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Kesurupan .......... Tulisan ini mencoba untuk menjawab berbagai pertanyaan tentang proses terjadinya kesurupan massal yang menjadi fe...
-
PELAKSANAAN BIMBINGAN DAN KONSELING PADA SETTING SEKOLAH Boy Soedarmadji A. Latar Belakang Pelaksanaan bimbingan dan konseling telah dirinti...
-
KONSELING LINTAS BUDAYA Oleh: Boy Soedarmadji A. Pengantar Sesuai dengan kodrat yang dimiliki oleh manusia bahwa manusia diciptakan sebagai ...
-
PENDEKATAN GESTALT Oleh: Boy Soedarmadji Frederick Perls (1893-1970) adalah pendiri pendekatan konseling Gestalt. Frederick dilahirkan...
3 komentar:
Sorry gak bs kasih komentar canggih Boy....tp sip infonya bisa dipake nyoyaku....liat aku di Http://www.onecenti.co.cc
It's great!!.............................................
OK
Posting Komentar