Selasa, 09 September 2008

Perkembangan Individu

PERKEMBANGAN INDIVIDU


MASA KANAK-KANAK

Sepanjang rentang kehidupannya, seorang individu mempunyai tugas-tugas perkem-bangan yang harus diselesaikannya (accomplished). Pada usia-usia tertentu, mereka akan mengalami suatu perkembangan phisik dan psikis. Banyak ahli yang telah memberikan indicator-indikator perkembangan masing-masing individu sepanjang rentang kehidupannya. Salah satu ahli adalah Piaget (ahli psikologi kognitif). Piaget menyatakan bahwa perkembang-an anak antara usia 0 – 2 tahun terbagi menjadi 6 stadium.

Tabel 1. Stadium Perkembangan anak usia 0 – 11 tahun menurut Piaget
Stadium Umur/bln Perkembangan kognitif
1 0 - 1 Refleks-refleks bawaan
2 1 - 4 Mulai terjadi koordinasi antara mata dan tangan (bayi sering bermain jari tangan atau jari kaki)
3 4 - 8 Mulai dapat bergaul dengan lingkungannya, terutama orang-orang terdekat
4 8 - 12 Mulai berjalan dan mencari barang-barang yang dipindahkan
5 12 - 18 Mulai mengeksplorasi diri dengan mencari barang-barang yang disimpan (trial and error)
6 18 – 24 Anak mulai dapat membayangkan adanya perpindahan suatu benda, walaupun benda tersebut tidak ada.
7 24 – 7 thn Merupakan masa pra-operasional
- penguasaan bahasa yang sistematis
- permainan simbolis (bermain peran)
- Dapat bermain secara pura-pura (imaginasi)
- Berpikir secara egosentris
- Tidak dapat berpikir secara terbalik (irreversible)
8 7 – 11 thn Masa operasional konkrit
- anak dapat melakukan aktivitas-aktivitas tertentu dalam situasi yang konkrit
berpikir egosentrisme sudah mulai berkurang
9 11 thn ke atas Masa opersional formal
- berpikir deduktif-hipotesis
- berpikir operasional formal dan kombinatoris
Diadopsi dari: Psikologi perkembangan, Monks., Knoers., Haditono. 1991:186.

Piaget merupakan tokoh psikologi yang berasal dari Swiss. Dalam teorinya, Piaget mempunyai kecenderungan untuk menggabungkan istilah-istilah biologi kedalam dunia psikologi perkembangan. Teori yang dikenalkan kepada masyarakat umum bahwa setiap organisme yang dilahirkan ke dunia ini mempunyai dua kecenderungan mendasar yaitu kecenderungan untuk beradaptasi dan organisasi (Haditono, 1991).
Kecenderungan adaptasi merupakan suatu bawaan yang dimiliki oleh individu untuk dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungan. Dalam hal ini dilakukan dengan cara asimilasi yaitu usaha untuk mengubah lingkungannya guna menyesuaikan dengan dirinya dan akomodasi yaitu merubah dirinya untuk dapat diterima oleh lingkungannya.
Kecenderungan organisasi merupakan bawaan yang dimiliki oleh individu untuk mengintegrasikan proses-proses yang berada dalam dirinya sendiri menjadi suatu sistemn yang lebih berhubungan. Pada tahap ini, seorang anak sudah mulai dapat mengintegrasikan kegiatan-kegiatan fisiknya yang selama ini masih terpisah-pisah. Proses integrasi antara kecenderungan akomodasi dan organisasi ini disebut sebagai ekulibrium (keseimbangan).
Piaget membagi perkembangan kognitif siswa menjadi beberapa tahapan atau stadium. Stadium-stadium tersebut adalah sebagai berikut:
1. Stadium sensori-motorik
2. Stadium pra-operasional
3. Stadium operasional konkrit
4. Stadium operasional formal

Penjelasan masing-masing stadium adalah sebagai berikut:
1. Stadium sensori-motorik (0-18 atau 24 bulan)
Stadium sensori motorik ini lebih mengarah kepada kegiatan-kegiatan reflek yang dilakukan oleh anak semasa masih bayi. Gerakan refleks ini merupakan sesuatu yang seringkali tidak diajarkan oleh lingkungan (orang tua) seperti menghisap, menggerakkan tangan atau bahkan menangis. Selanjutnya Piaget (dalam Haditono, dkk, 1991) menjelaskannya lebih lanjut dalam bentuk tabel yang menunjukkan sub-stadium senso-motorik sebagai berikut:

Perkembangan kognitif Permanensi Obyek
Stadium 1 (0-1bln)
Skema-skema refleks

Stadium 2 (1-4 bln)
Modifikasi stadium 1 dan telah muncul koordinasi dan lebih berorientasi kepada bada sendiri (memegang jari kaki)

Stadium 3 (4-8 bln)
Bergaul secara efektif dengan lingkungan di sekitarnya

Stadium 4 (8-12 bln)
Tingkah laku yang muncul semakin intensif

Stadium 5 (12-18 bln)
Trial error yang aktif, ada dorongan untuk mengadaka eksplorasi terhadap obyek-obyek yang baru

Stadium 6 (18-24 bln)
Anak sudah mulai bisa berpikir
Stadium 1 dan 2
Bayi mulai bisa mengikuti perpindahan obyek yang bergerak

Stadium 3
Anak mampu mengikuti menghilangnya obyek yang dilihat sampai melampaui tempat menghilangnya obyek (misal membungkuk untuk melihat obyek yang jatuh)

Stadium 4
Mencoba memegang obyek yang dengan tangan. Saat ini anak mulai dapat mengidentifikasi peletakan suatu barang di suatu tempat, dan dia akan mencari jika tidak ada.

Stadium 5
Mencari barang yang hilang

Stadium 6
Mulai mempergunakan imajinasinya untuk membayangkan adanya kemungkinan-kemungkinan perpindahan suatu benda yang tersembunyi.

2. Stadium pra-operasional
Masa stadium pra-operasional ini ditandai dengan penguasaan bahasa yang dilakukan secara sistematis, anak mulai bisa menjawab pertanyaan-pertanyan yang diajukan oleh orang lain, dapat melakukan permainan-permainan simbolis dan mengimitasi perilaku. Hal lain pada usia ini adalah kemampuan anak untuk berpura-pura. Pada usia ini anak dapat berpura-pura “menjadi” orang lain yang dibayangkan-nya.
Pada usia ini, pola berpikir anak masih egosentris (berpusat pada diri sendiri). Dengan demikian, segala sesuatu yang diungkapkannya merupakan manifestasi dari sudut pandangnya sendiri. Jika dia ditanya mengenai seorang MJ (Michael Jakcson), maka dia tidak akan berbicara tentang MJ yang tenar, tetapi lebih pada bagaimana dia menyenangi MJ sesuai dengan sudut pandangnya sendiri.
3. Stadium operasional konkrit
Pada stadium ini, sifat egosentris yang dimiliki oleh anak sudah mulai berkurang. Sehingga dapam menyampaikan pendapatnya dia tidak hanya menyampaikan pendapatnya sesuai dengan keadaan dirinya saja, tetapi sudah mulai dapat berpikir dengan mempertimbangkan ldimensi-dimensi lain di luar dirinya. Hanya saja, karena disebut sebagai stadium oerasional konkrit, maka anak ini hanya dapat “bekeja” dalam situasi yang konkrit (nyata). Dengan demikian, pada usia ini seorang anak tidak dapat diajak untuk memprediksi dan memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang sesuai dengan apa yang dikerjakannya pada saat ini.

4. Stadium operasional formal
Stadium operasional formal mempunyai dua sifat penting a) sifat deduktif-hipotesis yaitu cara berpikir secara teoritis, menganalisa permasalahan, mengajukan hipotesis dan kemudian menyelesaikan masalah. Di tingkat sekolah dasar, seringkali penyelesaian masalah ini disajikan dalam bentuk soal cerita yang mengkombinasikan beberapa permasalaha dan b) berfikir kombinatoris yaitu tingkatan pikir anak yang dapat ditunjukkan dengan kemampuan anak untuk mengkombinasikan dimensi-dimensi atau hal-hal di luar dirinya untuk menyelesaikan permasalahan. Contoh, seorang anak diberi 5 gelas berisi air warna-warni, kemudian guru memberikan suatu warna dan kemudian anak diminta untuk mencampur air dalam gelas tadi agar didapat warna yang sesuai dengan gelas yang ditunjukkan oleh gurunya. Pada saat ini sudah muncul kemampuan memecahkan masalah (problem solving). Dengan demikian, siswa telah dapat memikirkan munculnya variabel-variabel yang mungkin atau hubungan-hubungan yang kemudian dapat diselidiki kebenarannya melalui eksperimen atau observasi (nasution, 2003).
Menurut Hurlock (1994), pada usia ini tugas perkembangan fisik yang terjadi pada masa kanak-kanak antara lain adalah:
1. Tinggi badan, tinggi badan anak usia ini kurang lebih 46,6 inci atau sekitar 100-120 cm.
2. Berat badan, berat badan anak usia TK atau pada usia 6 tahun setidaknya harus enam atau tujuh kali dari saat mereka dilahirkan.
3. Perbandingan tubuh, pada usia anak TK pertumbuhan fisik (tubuh) akan semakin memperlihatkan bentuknya seperti wajah tetap kecil tetapi dagu lebih besar, perut rata (tidak buncit) dan dada yang lebih bidang dan rata.
4. Postur tubuh, postur tubuh anak TK pada umumnya dibadi menjadi tiga yaitu gemuk lembek (endomofrik), kuat berotot (mesomofrik) dan kurus (ektomofrik).
5. Tulang dan otot, pada usia anak TK pertumbuhan tulang dan otot akan sangat bervariasi. Seringkali terlihat bahwa otot mereka semakin kuat dan besar, tetapi tampak lebih kurus walaupun berat mereka bertambah.
6. Lemak, anak yang endomofrik cenderung memiliki lemak lebih banyak, anak yang mesomofrik cenderung memiliki jaringan otot yang banyak dibanding lemaknya, sedangkan anak ektomofrik mempunyai otot yang kecil dan sedikit jaringan lemak.
7. Gigi, anak usia ini sudah mulai muncul gigi tetap yang mempunyai celah diantara masing-masing gigi yang memungkinkan munculnya gigi baru.

Perlu kita ingat bersama bahwa pada anak-anak usia sekolah dasar adalah daya kemauan anak belum kuat dan belum berkembang penuh, oleh karena itu perlu tuntunan yang bijaksana dan kewibawaan untuk memupuk disiplin di segala bidang (kartono, 2001).

PERKEMBANGAN MASA REMAJA
Havigurst (dalam Haditono, dkk:1991) menyebutkan bahwa remaja adalah mereka yang berusia antara 12 – 18 tahun dengan mempunyai ciri-ciri 1) mengalami perkembangan aspek biologis, 2) menerima peranan dewasa berdasarkan pengaruh kebiasaan masyarakat sendiri, 3) mendapatkan kebebasan emosional dari orang tua dan atau orang dewasa lain, 4) mendapatkan pandangan hidupnya sendiri dan 5) realisasi suatu indentitas sendiri dan dapat mengadakan partisipasi-partisipasi dalam kebudayaan pemuda sendiri.
Definisi di atas secara tidak disadari menempatkan remaja pada posisi yang tidak menguntungkan, karena di satu sisi mereka tidak mau dikatakan sebagai anak kecil, tetapi di sisi lain mereka masih belum dapat berperan sebagaimana orang dewasa. Ironisnya, orang dewasa mengatakan bahwa bahwa mereka belum dewasa. Masa remaja awal secara umum dicirikan sebagai masa badai dan topan. Masa ini ditandai dengan banyaknya permasalahan yang dialami oleh individu dan mempengaruhi pola pikir serta bagaimana remaja berperilaku.
Hurlock (1994) menyatakan bahwa ciri-ciri masa puber adalah 1) masa puber adalah masa tumpang tindih, 2) masa puber adalah periode yang singkat, 3) masa puber merupakan masa pertumbuhan yang sangat pesat, 4) masa puber merupakan fase negatif, dan 5) pubertas terjadi pada berbagai tingkatann usia. Penjelasan keterangan di atas adalah sebagai berikut:
1) masa puber adalah masa tumpang tindih, masa puber merupakan masa peralihan dari usia anak-anak untuk memasuki masa remaja. Pada masa ini individu mengalami suatu keadaan dimana mereka tidak mau disebut sebagai “anak-anak”, tetapi masyarakat masih belum mau menyebut mereka sebagai “remaja”. Kondisi ini memunculkan perilaku-perilaku yang tumpang tindih. Seringkali mereka berperilaku sebagaimana perilaku anak-anak pada umumnya seperti bermain, berlari-larian, berkejar-kejaran dan lain sebagainya. Tetapi di lain pihak, mereka juga memunculkan perilaku-perilaku anak usia remaja seperti kongkow-kongkow, mencoba merokok, bergerombol membentuk gank dan lain sebagainya. Anak pada usia ini melakukan usaha trial and error untuk bisa menemukan perilaku yang sesuai dengan keadaan dirinya. Jika suatu perilaku dianggap tidak pantas (terutama oleh komunitasnya) maka akan ditinggalkan, sebaliknya, jika perilaku tersebut dapat diterima oleh komunitasnya, maka perilaku tersebut akan semakin menguat.
2) masa puber adalah periode yang singkat, masa puber terjadi selama kurang lebih 2-3 tahun. Individu yang mengalami masa puber antara 1-2 tahun, maka dianggap sebagai anak yang “cepat matang”. Kaum perempuan pada umumnya lebih cepat matang jika dibandingkan dengan usia kematangan yang dimiliki oleh laki-laki. Kematangan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain gizi dan lingkungan dimana seseorang berada. Saat ini asupan gizi yang diterima oleh anak sudah sangat baik. Sumber-sumber protein yang mempercepat proses kematangan sudah semakin mudah untuk didapatkan. Anak-anak saat ini cenderung memiliki perilaku konsumtif yang lebih besar jika dibandingkan dengan kondisi 5-10 tahun yang lalu. Telur dan makanan fast food saat ini sudah bukan menjadi barang mahal, setiap individu bisa membelinya. Jika disimak lebih jauh, makanan-makanan siap saji ini memiliki kadar lemak dan protein yang tinggi, dilain pihak protein yang tinggi akan mempercepat proses kematangan seorang anak. Sehingga masa mentruasi anak perempuan seringkali menjadi lebih cepat, yang biasanya usia 10-12 tahun, saat ini telah ditemukan usia 8-10 telah mengalami menstruasi pertama.
3) masa puber merupakan masa pertumbuhan yang sangat pesat, saat seorang anak memasuki masa puber, maka akan terjadi pertumbuhan yang sangat pesat, terutama tampak pada pertumbuhan fisik. Hal ini sangat mungkin, karena pada masa puber seseorang akan melakukan aktivitas yang luar biasa banyaknya. Aktivitas yang luar biasa ini membutuhkan tenaga pendorong yaitu makanan. Dengan aktivitas yang luar biasa kemudian ditambah dengan asupan gizi yang cukup, maka pertumbuhan fisik akan semakin terlihat. Anak laki-laki akan mengalami perubahan tinggi badan yang signifikan dengan pertumbuhan-pertumbuhan ototnya. Anak perempuan akan meunjukkan perubahan ke ”samping” atau mekar.
4) masa puber merupakan fase negatif, sebagaimana dijelaskan di atas bahwa pada masa puber seorang anak seringkali berada pada kondisi ”bingung”. Suatu kondisi dimana seorang anak tidak tahu bagaimana mereka memposisikan dirinya. Kondisi ini akan membuat seorang anak mencoba perilaku-perilaku baru, yang mana perilaku ini ditujukan agar mereka memperoleh posisi yang jelas. Perilaku yang dicoba oleh anak usia puber seringkali justru meniru perilaku orang-orang dewasa, seperti merokok, membentuk gank, kongkow-kongkow sampai larut malam dan perilaku-perilaku lain yang dilakukan oleh orang dewasa. Hanya perlu diketahui bahwa fase ini hanya akan berlangsung singkat, sehingga jika mendapatkan bimbingan yang benar, maka anak tersebut tidak akan larut dalam perilaku-perilaku yang dianggap negatif oleh orang dewasa.
5) pubertas terjadi pada berbagai tingkatan usia, Hurlock menyatakan bahwa pubertas ada dasarnya adalah masa transisi. Dengan demikian, pubertas ini bisa saja terjadi pada berbagai tingkatan usia. Arti dari berbagai tingkatan usia ini pada dasarnya merupakan rentangan waktu terjadinya masa pubertas yang ditandai dengan menstruasi pertama bagi perempuan atau mimpi basah bagi laki-laki. Banyak kondisi yang bisa menyebabkan terjadinya perbedaan masa pubertas sebagaimana telah dijelaskan di atas. Perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan kita juga akan mempercepat munculnya masa pubertas.

Kebingungan akan jati diri ini salah satu penyebabnya adalah adanya perubahan-perubahan biologis yang dialaminya. Padahal perubahan-perubahan biologis ini adalah hal yang alami. Seringkali remaja tidak bias menerima keadaan dirinya sendiri karena mereka menganggap bahwa pertumbuhan dirinya tidak sama dengan remaja lain. Ironisnya, orang tua atau lingkungan juga mendukung. Menurut beberapa penelitian di luar negeri (data di Indonesia belum ada) disebutkan sebagai berikut:

Tabel 2. Gambaran mengenai penyebaran perkembangan biologis seksual
Pertumbuhan/
Perkembangan Perempuan Laki-laki
Permulaan Penyebaran Permulaan Penyebaran
Payudara 8 - 13 8 - 18 - -
Testis dan Skrotum - - 9,5 – 13,5 9,5 – 17
Menarche/Haid 10 10 – 16,5 - -
Ejakulasi (mimpi basah) - - 13,5 ?
Penis - - 10,5 – 14,5 10,5 – 16,5
Rambut kemaluan 10,25 11,25-13,25 12,25 12,25-13,25
Suara 13 13 - 16 13 13 – 16
Rambut ketiak 12,75 12,75-14,75 14,25 14,25-14,75
Rambut muka - - 15,25 15,25 - 16
Rambut dada - - Biasanya setelah 16 thn
Percepatan pertumbuhan 9,5 - 12 9,5 – 14,5 10,5 - 14 10,5 – 17,5
Diadopsi dari: Psikologi perkembangan, Monks., Knoers., Haditono. 1991: 228.

Batasan remaja saat ini juga semakin kabur. Kekaburan ini muncul karena peran remaja di masyarakat yang semakin menonjol terutama di negara yang sedang berkembang (developing countries). Di masyarakat, seringkali ditemukan para pekerja adalah mereka yang mempunyai usia antara 15 sampai dengan 18 tahun, dimana ada anggapan bahwa jika seseorang sudah bekerja, maka mereka dapat dikatakan sebagai orang dewasa.
Sebagai individu yang berada pada posisi marginal, remaja pada akhirnya mempunyai pola pikir yang oleh sebagian orang dikatakan tidak logis, tidak dapat diterima dengan akal sehat dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan remaja berpikir dalam konteks “dunianya”. Dunia yang serba ingin cepat, radikal bahkan seringkali melawan arus atau norma-norma yang berlaku di masyarakat. Sebagai contoh, peristiwa tawuran antar remaja. Mereka berpikir bahwa penyelesaian masalah sebaiknya dilakukan dengan cepat, jika perlu dengan adu phisik dengan kata lain remaja masih mengutamakan kekuatan phisiknya daripada kekuatan afektifnya.
Dari ciri-ciri yang telah disebutkan di atas, tampak bahwa masa remaja didominasi oleh keinginan untuk mengeksplorasi diri.Kecenderungan ini mengakibatkan remaja lebih sering terlihat dalam situasi-situasi yang membutuhkan kegiatan-kegiatan yang memungkinkan penampakan kegiatan phisik. Dengan demikian, kita sebagai pembimbing hendaknya menyadari akan kebutuhan remaja atau siswa didik kita, sehingga pada akhirnya kita dapat memberikan strategi pembeajaran atau metode pembelajaran yang sesuai dengan karakterstik remaja pada umumnya.

MASA DEWASA
Hurlock (1994) menyatakan bahwa dewasa berasal dari istilah adultus, yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa, sehingga orang dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap untuk menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya.
Untuk membatasi rentangan umur usia dini, saat ini masih belum terjadi kesamaan pendapat. Hurlock menyatakan bahwa di Amerika pada tahun 1990-an orang diang dianggap dewasa jika talah mencapai usia 21 tahun yang kemudian dirubah menjadi usia 18. Di Indonesia sendiri juga masih belum jelas. Ada kemungkinan masih mempergunakan batasan umur seperti yang terjadi di Amerika pada dekade tahun 90-an yaitu 21 tahun. Tetapi, jika seseorang telah menikah, walaupun umurnya di bawah 21 tahun, maka mereka dianggap telah dewasa.
Haditono, dkk (1991) menunjukkan beberapa ciri psikologis individu yang telah dianggap dewasa. Adapun ciri-ciri tersebut adalah:
1. Adanya usaha pribadi pada salah satu lapangan yang penting dalam kebudayaan yaitu pekerjaan, politik, agama, kesenian dan ilmu pengetahuan;
2. Kemampuan untuk mengadakan kontak yang hangat dalam hubungan-hubungan yang fungsional maupun yang tidak fungsional;
3. Suatu stabilitas batin yang fundamental dalam dunia perasaan dan dalam hubungan dengan penerimaan diri sendiri;
4. Pengamatan, fikiran dan tingkah laku menunjukkan sifat realitas yang jelas, namun masih ada relativismenya juga;
5. Dapat melihat diri sendiri seperti adanya dan juga dapat melihat segi-segi kehidupan yang menyenangkan; dan
6. Menemukan suatu bentuk kehidupan yang sesuai dengan gambaran dunia, atau filsafat hidup yang dapat merangkum kehidupan menjadi suatu kesatuan.

Lebih lanjut, Hurlock (1994) memberikan beberapa ciri masa dewasa dini sebagai berikut:
1. Masa dewasa dini sebagai masa ”pengaturan”
Sebagai proses dari kematangan hormon-hormon seksual, maka individu akan berusaha untuk mencari “pacar”. Pada masa ini, baik laki-laki maupun perempuan akan berusaha untuk mencari pasangan masing-masing. Dalam tahap ini mereka akan mengatur diri mereka untuk bisa menerima dan diterima oleh orang lain, terutama pasangan hidupnya. Mereka mulai mengatur diri mereka sendiri, yang tentu saja disesuaikan dengan calon pasangan hidupnya.
Sejalan dengan usaha untuk menemukan pasangan hidup ini, seseorang akan mulai mengatur dirinya untuk bisa mendapatkan jenis-jenis pekerjaan yang layak. Layak dalam hal ini adalah yang mampu menghasilkan uang yang dapat dipergunakan sebagai bekal meneruskan kehidupan berumah tangga. Sehingga, tidak jarang pada usia ini, seseorang seringkali melkukan kegiatan berpindah jenis pekerjaan. Tetapi, jika jenis pekerjaan tersebut sudah dianggap mencukupi, maka mereka akan cenderung menetap terhadap pekerjaan tersebut.

2. Masa dewasa dini sebagai “usia reproduktif”
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa usia dewasa dini adalah suatu tahap dimana hormon-hormon dan organ reproduksi telah berkembang dan tumbuh dengan matang. Sehingga, tahapan berikutnya adalah melakukan kegitan reproduksi. Dalam budaya timur, seringkali tahapan reproduksi ini dilakukan setelah seseorang memperoleh pekerjaan tertentu atau setelah mereka selesai mengikuti pendidikan di Perguruan Tinggi, walaupun ada juga yang tidak.

3. Masa dewasa dini sebagai “masa bermasalah”
Setelah individu melewati masa remaja yang penuh dengan masalah, selanjutnya mereka akan memasuki suatu tahapan yang penuh dengan masalah pula. Pada masa remaja, seringkali masalah yang timbul adalah bagaimana mengenal diri mereka sendiri sehingga dapat memposisikan mereka dalam pergaulan dengan teman sebaya.
Saat individu memasuki masa dewasa dini, individu akan mengalami masalah-masalah seperti menyelesaikan perkuliahan, mencari pekerjaan dan mencari jodoh. Mencari pekerjaan bukan perkara yang mudah bagi sebagian individu. Karena dalam budaya tertentu, mendapatkan pekerjaan yang layak akan menjadi simbol bahwa seseorang telah dianggap dewasa. Setelah mereka mendapatkan pekerjaan, timbul masalah baru, yaitu mencari dan memilih pasangan hidup. Butuh penyesuaian yang harus dilakukan oleh dua orang dalam menentukan pilihan pasangan hidup. Setelah mereka enentukan pilihan, masalah berikutnyaadalah bagaimana menyesuaikan dua kepribadian yang berbeda dalam satu atap rumah tangga dan mungkin masih banyak lagi masalah yang tidak mungkin kami sebutkan di sini.
Hal lain terkait dengan masa bermasalah ini adalah ketidakmauan seseorang untuk membicarakan masalah yang dimiliki kepada orang lain. Ada kesan bahwa individu yang dianggap telah dewasa akan dianggap sebagai orang yang tidak dewasa jika membicarakan masalahnya kepada orang lain. Pandangan ini mungkin ada benarnya, tetapi jika seseorang menganggap bahwa masalah yang dihadapinya sudah sedemikian kompleks, maka sebaiknya segera dicari solusi.

4. Masa dewasa dini sebagai masa ketegangan emosional
Permasalahan-permasalahan yang telah disebutkan di atas, seringkali memunculkan ketegangan-ketegangan emosional seperti stress dan bahkan depresi. Ketegangan emosional ini semakin diperparah dengan perilaku individu yang tidak mau melakukan konsultasi atau konseling dengan para ahli, sehingga masalah yang pada awalnya sepele menjadi sangat berat, sehingga memunculkan depresi.

5. Masa dewasa dini sebagai masa ketegangan sosial
Permasalahan-permasalahan emosional seringkali memunculkan ketegangan-ketegangan sosial bagi individu. Dengan semakin berkembangnya perilaku-perilaku sosial yang baru, individu secara tidak sadar telah “menjauhkan” diri dengan kelompok-kelompok sosialnya terdahulu. Perilaku ini dapat memunculkan ketegangan sosial dengan kelompok yang lama, ada kesan kelompok lama tidak diperhatikan. Selanjutnya, sebagai “individu baru” mereka akan memasuki dunia yang mungkin berbeda dengan dunianya yang lama. Tentu saja saat ini dibutuhkan penyesuaian-penyesuaian diri. Proses adaptasi bukan merupakan hal mudah bagi kebanyakan individu. Proses adaptasi ini akan memunculkan ketegangan-ketegangan sosial yang perlu diwaspadai oleh individu.
Lebih lanjut, Hurlock menyatakan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi partisipasi sosial pada masa dewasa dini (yang dapat memicu ketegangan sosial) antara lain adalah: a) mobilitas sosial, b) status sosio ekonomi, c) lamanya tinggal dalam suatu kelompok tertentu, d) kelas sosial, e) lingkungan, f) jenis kelamin, g) umur kematangan sosial, h) urutan kelahiran, dan i) keanggotaan gereja.

6. Masa dewasa dini sebagai masa komitmen
Pada usia dewasa dini mulai terbentuk komitmen-komitmen yang harus dijalani oleh individu. Saat mereka menentukan salah satu pasangan hidupnya, maka mereka akan membuat komitmen untuk hidup bersama, mengatasi masalah bersama. Selain itu, saat seseorang mencari pekerjaan, maka mereka akan membuat komitmen-komitmen tertentu sebagai konsekuensi dari pekerjaan yang telah dipilihnya. Jika seseorang memilih pekerjaan sebagai tentara, maka dia akan berkomitmen bahwa pekerjaan tentara seringkali meninggalkan rumah dan keluarga untuk tugas negara, pekerjaan tentara akan berhubungan dengan peperangan dan kematian. Komitmen-komitmen ini akan dipertahankan oleh individu sebagai usaha untuk menjalankan tanggungjawab sebagai manusia dewasa.

7. Masa dewasa dini merupakan masa ketergantungan
Masa ketergantungan ini seringkali terjadi pada awal-awal masa dewasa dini. Pada satu sisi, mereka ingin sekali menjadi manusia yang indipenden, tidak seperti yang mereka alami saat masih masa remaja, tetapi di sisi lain, pada kenyataannya mereka belum siap untuk menjalani kehidupan yang mandiri. Seseorang yang baru menikah, seringkali masih meminta bantuan orang tuanya untuk mengasuh anak atau usaha untuk mengenal pasangan hidupnya. Ketergantungan ini merupakan hal yang wajar, karena proses pendewasaan diri tidak akan pernah dapat terlepas dari peran orang tua.

8. Masa dewasa dini sebagai masa perubahan nilai
Saat individu memasuki masa dewasa dini, terjadi perubahan-perubahan nilai yang selama ini diyakini. Terutama adalah nilai-nilai kemandirian dan kebebasan. Individu akan semakin memantabkan nilai-nilai yang menjadi miliknya. Hal ini sangat mungkin, karena selama masa remaja, mereka sulit sekali untuk mengembangkan nilai-nilai dirinya karena masih dalam kontrol orang tua. Sehingga yang terjadi adalah pembentukan nilai yang didasarkan pada nilai-nilai yang dimiliki oleh orang tua.
Saat mereka telah lepas dari orang tua, maka mereka akan mengembangkan dan memilih nilainilai yang cocok dengan keadaan dirinya. Mereka cenderung untuk melakukan eksplorasi nilai-nilai yang selama ini dimiliki, sehingga terbentuklah suatu pribadi utuh dengan nilai-nilai yang lebih matang. Saat mereka mencari pasangan hidup, tentu saja nilai-nilai yang berlaku pada individu akan tercermin pada karakteristik pasangannya, yang kemudian, setelah mereka menjalani hidup bersama maka mereka akan menentukan nilai-nilai baru bagi keluarga yang telah dibentuk.

9. Masa dewasa dini sebagai masa penyesuaian diri dengan cara hidup baru
Pada masa ini seseorang akan dihadapkan dengan pasangan hidup baru dan lingkungan hidup yang beru pula. Tentu saja hidup dengan pasangan ini membutuhkan penyesuaian diri antara satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan dua orang ini berasal dari individu yang berbeda yang memiliki komitmen bersama untuk membina sebuah rumah tangga. Penyesuaian ini antara lain penyesuaian gaya hidup, penyesuaian sikap, penyesuaian perilaku dan masih banyak lagi.
Selain proses penyesuaian diri, di antara individu tersebut juga melakukan penyesuaian dengan keadaan lingkungan yang baru. Lingkungan ini seperti lingkungan keluarga, baik dari pihak laki-laki atau pihak perempuan. Proses penyesuaian ini membutuhkan waktu yang relatif lama, sehingga dibutuhkan komitemen yang kuat diantara pasangan hidup tersebut.
Hal ketiga terkait dengan menyesuaian cara hidup baru adalah pasangan ini akan melakukan peran yang berbeda dari sebelumnya. Laki-laki akan berperan sebagai suami dan ayah sedangkan perempuan akan berperan sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya. Perkembangan keluarga ini tentu membutuhkan cara-cara baru yang harus dilakukan dan disepakati oleh banyak pihak di dalam keluarga tersebut.

10. Masa dewasa dini sebagai masa kreatif
Kreativitas individu pada usia dewasa dini mulai menunjukkan titik yang optimal. Salah satu penyebabnya adalah dimilikinya kemandirian. Saat mereka masih dalam usia remaja, seringkali kreativitas mereka terhalang oleh perilaku orang tua yang sering melarang pemenuhan minat dan bakat mereka. Dalam budaya tertentu, seringkali orang tua melarang anak untuk melakukan kegiatan tertentu karena dipandang sebagai suatu perilaku yang “tidak pantas”.
Saat sesorang telah mengalami suatu masa kemandirian, justru kreativitas tersebut bisa muncul karena tidak adanya “larangan”. Individu lebih mudah untuk mengekspresikan dirinya baik dalam bentuk hobby maupun pekerjaan. Seseorang lebih terdorong untuk melakukan sesuatu, terutama yang dapat mencukupi kebutuhannya pribadi dan keluarga yang dibinanya.
Lebih lanjut, Hurlock menyebutkan beberapa kondisi yang mempengaruhi perubahan minat pada masa dewasa dini sebagai berikut: a) perubahan dalam kondisi kesehatan, b) perubahan dalam status ekonomi, c) perubahan dalam pola kehidupan, d) perubahan dalam nilai, e) perubahan peran seks, f) perubahan dari status belum menikah ke status menikah, g) menjadi orang tua, h) perubahan kesenangan, dan i) perubahan dalam tekanan-tekanan budaya dan lingkungan.

Berdasar pada ciri-ciri masa dewasa yang telah disebutkan di atas, Hermans (dalam Hurlock, 1994) menyimpilkan bahwa pada masa dewasa terdapat tema-tema kehidupan yang harus diselesaikan (accomplished) oleh seseorang yaitu:
1. mempertahankan pekerjaan
2. membangun dan mempertahankan kebahagiaan keluarga
3. konfrontasi dengan ketidaksempurnaan kehidupan
4. konfrontasi dengan sifat yang selaluu sama
5. pengambilan distansi; dan
6. memahami ketidaklanggengan kehidupan

SIMPULAN
1. Rentangan kehidupan individu memiliki tugas perkembangan dan pertumbuhan tertentu
2. Setiap tugas perkembangan dan pertumbuhan memiliki permasalahan-permasalahan yang spesifik yang tidak bisa disamakan antara satu individu dengan individu yang lain
3. Setiap permasalahan yang dimiliki oleh individu pada tiap periode berpotensi memunculkan masalah
4. Setiap masalah yang spesifik membutuhkan bantuan yang spesifik pula
5. Bantuan yang spesifik hanya dapat dilakukan oleh profesional tertentu.

REFERENSI
Gunarsa, Singgih. 2001. Psikologi Praktis: anak, remaja dan keluarga. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Hurlock, Elizabeth. 1994. Psikologi Perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Kartono, Kartini. 1995. Psikolologi Anak: psikologi perkembangan. Bandung: Mandar Maju

Monks., Knoers., Haditono, Siti, Rahayu. 1991. Psikologi Perkembangan: pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Nasution, S. 2003. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar. Jakarta: Bina Aksara.

Setyosari, Punaji. 1997. Model Belajar Konstruktivistik. Sumber Belajar: kajian teori dan aplikasinya. Tahun 4 Nopember 1997.

BOY SOEDARMADJI: Konseling

BOY SOEDARMADJI: Konseling

BOY SOEDARMADJI: Teori Karir Anne Roe

BOY SOEDARMADJI: Teori Karir Anne Roe

BOY SOEDARMADJI: konseling kedaerahan

BOY SOEDARMADJI: konseling kedaerahan

BOY SOEDARMADJI: Studi Kasus

BOY SOEDARMADJI: Studi Kasus

BOY SOEDARMADJI: Media BK

BOY SOEDARMADJI: Media BK

Jumat, 05 September 2008

BK pada setting sekolah

PELAKSANAAN BIMBINGAN DAN KONSELING
PADA SETTING SEKOLAH

Boy Soedarmadji

A. Latar Belakang
Pelaksanaan bimbingan dan konseling telah dirintis sejak tahun 1960-an dan dilaksanakan secara serempak di sekolah sejak tahun 1975, yaitu saat diberlakukannya kurikulum ’75. Pada saat itu istilah yang diperkenalkan dan dipergunakan adalah Bimbingan dan Penyuluhan (BP). Istilah tersebut pada akhirnya memunculkan suatu sebutan bagi pelaksanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah dengan sebutan guru BP.
Perkembangan dunia bimbingan dan konseling di Indonesia mengalami proses yang berliku, hingga pada tahun 1994, melalui kurikulum 1994, istilah Bimbingan dan Penyuluhan mulai diganti dengan istilah Bimbingan dan Konseling (BK). Perubahan mendasar dari istilah “penyuluhan” menjadi “konseling” didasari pada paradigma bahwa konselor tidak melakukan penyuluhan yang mempunyai konotasi sebagai pekerja lapangan (mis: penyuluh pertanian atau penyuluh KB), tetapi lebih pada usaha membantu Konseli/siswa sesuai dengan karakter siswa yang bersangkutan. Siswa lebih dihargai untuk dapat menyelesaikan masalahnya sendiri. Dengan demikian, istilah guru BP dirubah menjadi guru BK.
Menurut SK Menpan no. 84/1993 tentang jabatan fungsional guru dan angka kreditnya, pada pasal (3) disebutkan bahwa tugas pokok guru pembimbing adalah menyusun program bimbingan, melaksanakan program bimbingan, evaluasi pelaksanaan bimbingan, analisis hasil pelaksanaan bimbingan dan tindak lanjut dalam program bimbingan terhadap peserta didik yang menjadi tanggungjawabnya.
Pada tahun 2003, terjadi perubahan mendasar terhadap pelaksana bimbingan dan konseling di sekolah. Menurut Undang-undang nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I pasal 1 ayat (4) dinyatakan bahwa pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor … . Dengan demikian penggunaan istilah guru BK di lingkungan sekolah akan berubah menjadi konselor sekolah. Paradigma ini mengacu pada pelaksana konseling adalah konselor. Dengan kata lain bahwa konselor termasuk salah satu tenaga pendidik.
Bimbingan dan konseling di sekolah merupakan satu kesatuan (integral) dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah (Munandir:1993). Dengan kata lain bahwa pelaksanaan pendidikan atau pembelajaran di sekolah akan mempunyai ketergantungan yang timbal balik antara proses belajar klasikal di kelas dengan bantuan bimbingan dan konseling.
Kesatuan ini tampak dalam pelaksanaan pembelajaran di lapangan. Pembelajaran yang berorientasi kognitif secara umum telah dilakukan oleh guru bidang studi di kelas. Guru mata pelajaran memberikan bahan atau materi pembelajaran kepada siswa dengan penekanan-penekanan pada bidang kognitif. Peranan guru BK pada tahap ini adalah menyeimbangkan antara kekuatan kognitif dan afektif yang dimiliki siswa.
Seringkali kita temui bahwa siswa mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan segala bentuk tugas yang diberikanoleh guru bidang studi. Tetapi pada saat mereka dihadapkan untuk menentukan pilihan masa depan atau mengambil keputusan tentang masa depannya, mereka mengalami kesulitan yang luar biasa. Mereka dihadapkan pada banyak pilihan serta konflik-konflik batin. Pada saat inilah peranan guru BK akan tampak semakin nyata. Konselor sekolah akan membantu siswa dalam mengatasi masalah-masalah yang timbul sesuai dengan karakteristik siswa yang bersangkutan.
Permasalahan yang dihadapi siswa tidak bisa diselesaikan dengan mempergunakan kekuatan kognitif atau logika berpikir semata. Seringkali permasalahan yang muncul adalah kerena pertentangan emosi (afeksi) siswa. Sebagai contoh, masalah penjurusan tidak bisa diselesaikan hanya dengan melihat hasil kogitif siswa melalui nilai rapor, tetapi juga melihat kepribadian, minat, bakat dan keadaan lingkungan siswa tersebut. Di sini terlihat perspektrum yang semakin luas untuk dapat menyelesaikan masalah siswa secara tuntas.
Permasalahan yang diuraikan di atas merupakan permasalahan yang sifatnya khusus terjadi pada dunia pendidikan. Secara umum Nurihsan (2003) menyebutkan beberapa masalah umum yang terjadi di sekitar kita akibat berkembangnya isu globalisasi sebagai berikut, (1) keresahan hidup di kalangan masyarakat yang semakin meningkat karena banyaknya konflik, stres, kecemasan dan frustrasi, (2) adanya kecenderungan pelanggaran disiplin, kolusi, korupsi, makin sulit diterapkannya ukuran baik-jahat dan benar-salah secara lugas, (3) adanya ambisi kelompok yang dapat menimbulkan konflik, tidak saja konflik psikis tapi juga konflik phisik dan (4) pelarian dari masalag melalui jalan pintas yang bersifat sementara dan adiktif seperti penggunaan obat-obatann terlarang (drugs). Permasalahan tersebut pada akhirnya membutuhklan bantuan layanan bimbingan dan konseling, terutama di setting sekolah.
Akibat lain dari adanya globalisasi adalah meningkatnya “virus” informasi baru (Prayitno & Amti, 1999). Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini terlalu banyak informasi baru yang muncul di sekitar kita. Suatu masalah belum terselesaikan dengan baik muncul lagi masalah yang lebih baru dan lebih membutuhkan penanganan yang khusus. Sebagai contoh informasi mengenai telepon genggam (HP). Pada saat yang bersamaan dapat muncul 4 model HP di masyarakat. Belum selesai kita analisa dengan mantap, sudah muncul genre legi yang lebih baru dengan menawarkan hal-hal baru. Informasi ini seringkali membuat masyarakat bingung untuk memilih.
Lebih lanjut, Wibowo (2003) menyatakan bahwa pendidikan dapat memanfaatkan bimbingan dan konseling sebagai mitra kerja dalam melaksanakan tugasnya sebagai rangkaian upaya pemberian bantuan. Konseling menyediakan unsur-unsur di luar individu yang dipergunakan untuk memperkembangkan diri. Integrasi konseling dalam pendidikan juga tampak dari dimasukkannya secara terus menerus program-program konseling ke dalam program-program sekolah dengan demikian konsep dan praktek konseling merupakan bagian integral upaya pendidikan.

B. Pelaksanaan Layanan Bimbingan dan Konseling
Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di sekolah disesuaikan dengan tujuan pendidkan nasional yang termaktub dalam Sistem Pendidikan Nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga yang demokratis dan bertanggungjawab.
Sesuai dengan amanat yang tercantum dalam UU sisdiknas tersebut, maka layanan bimbingan dan konseling di sekolah melakukan fungsi-fungsi sebagai usaha pemahaman. Fungsi pemahaman meletakkan upaya upaya untuk mengenal individu secara totalitas. Artinya Konseli atau individu yang sedang dibantu perlu dipahami tentang:
1. identitas individu: nama, jenis kelamin, tempat tinggal, tanggal lahir.
2. pendidikan
3. status perkawinan (bagi klein dewasa)
4. status sosial-ekonomi
5. kemampuan (bakat, minat, hobby)
6. kesehatan
7. kecenderungan sikap atau kebiasaan
8. cita-cita pendidikan dan pekerjaan
9. keadaan lingkungan tempat tinggal
10. kedudukan danprestasi yang pernah dicapai
11. kegiatan sosial dankemasyarakatan.
Fungsi kedua adalah preventif yaitu mencoba untuk mencegah munculnya permasalahan-permasalahan yang dialami oleh siswa. Tindakan pencegahan ini seringkali dilakukan dengan memberikan layanan orientasi dan informasi kepada siswa di sekolah.
Fungsi ketiga adalah melakukan tindakan kuratif, yaitu melakukan tindakan penangan terhadap siswa-siswa yang mengalami masalah di sekolah. Permasalahan siswa di sekolah dapat muncul dari diri pribadi siswa itu sendiri atau muncul karena akibat berhubungan dengan lingkungan di luar diri mereka sendiri. Pada fungsi terapi ini, dipergunakan berbagai macam pendekatan bimbingan dan konseling. Konselor memberikan upaya bantuan kepada siswa sesuai dengan karakteristik mereka masing-masing.
Fungsi keempat adalah follow up atau tindak lanjut, yang merupakan usaha konselor untuk menjaga agar siswa baik yang bermasalah atau yang tidak bermasalah dapat terjada kesejahteraannya. Bagi mereka yang telah dapat menangani masalahnya sendiri, maka konselor berupaya untuk membantu mereka agar dapat menyelesaikan masalahnya yang lain sesuai dengan hasil atau pengalaman yang telah di dapat selama konseling.

1. Bidang BK
a. Bimbingan Pribadi-Sosial
Bimbingan pribadi-sosial dilaksanakan untuk memberikan bantuan kepada siswa yang mengalami masalah-masalah yang berhubungan dengan keadaan pribadi serta hubungan sosialnya. Seringkali masalah siswa muncul bukan karena mereka mengalami kesulitan dalam melakukan hubungan sosial dengan lingkungan di sekitarnya, tetapi seringkali karena mereka tidak mampu mengenal dan memahami diri mereka sendiri. Nurihsan (2003) menyatakan bahwa bimbingan sosial-pribadi diarahkan untuk memantapkan kepribadian danmengembangkan kemampuan individu dalam menangani masalah-masalah dirinya.
Bidang bimbingan sosial (dalam Soenarjo, 2004) di tingkat SMA meliputi materi sebagai berikut:
1. pemantapan kemampuan berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan secara efektif, efisien dan produktif;
2. pemantapan kemampuan menerima dan mengemukakan pendapat serta beragumentasi secara dinamis dan kreatif;
3. pemantapan kemampuan bertingklah laku dan berhubungan sosial, baik di rumah, di sekolah, di tempat latihan/kerja/unit produksi maupun di masyarakat luas dengan menjunjung tinggi tata krama, sopan santun, serta nilai-nilai agama, adat istiadat, hukum, ilmu dan kebiasaan yang berlaku;
4. pemantapan hubungan yang dinamis, harmonis dan produktif dengan teman sebaya, baik di sekolah yang sama, di sekolah lain, di luar sekolah, maupun di masyarakat pada umumnya;
5. pemantapan pemahaman tentang peraturan, kondisi rumah, sekolah dan lingkungan serta upaya pelaksanaannya secara dinamis dan bertanggungjawab; dan
6. orientasi tentang kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

b. Bimbingan Akademik/Belajar
Bimbingan diberikan kepada siswa baik yang bermasalah atau tidak bermasalah terhadap proses akademik di sekolah. Konselor memberikan tindakan preventif kepada semua siswa agar terhindar dari masalah yang akan muncul selam amenempuh pendidikan di tingkat pendidikan tertentu. Sebagai tindakan preventif, konselor sekolah dapat memberikan layanan orientasi dan informasi mengenai keseluruhan proses pendidikan di sekolah yang bersangkutan. Hal-hal yang perlu diperkenalkan kepada siswa antara lain; pengenalan terhadap kurikulum yang berlaku di sekolah, waktu belajar, pengenalan cara belajar, penggunaan sumber belajar di sekolah serta bagaimana menyusun rencana karir (Nurihsan, 2003).
Tindakan kuratif diberikan kepada siswa yang mengalami masalah dengan proses pembelajaran di sekolah. Tindakan kuritif ini seringkali dilakukan oleh konselor dengan melakukan kerja sama dengan guru bidang studi untuk membantu siswa-siswa yang bermasalah. Dalam hal ini, tugas terpenting konselor adalah mengidentifikasi sebab-sebab permasalahan dan dampak psikologisnya serta memberikan treatment kepada siswa sesuai dengan kebutuhan siswa.
Bidang bimbingan belajar (dalam Soenarjo, 2004) di tingkat SMA meliputi materi sebagai berikut:
1. Pemantapan sikap, kebiasaan dan keterampilan belajar yang efektif dan efisien serta produktif, dengan sumber belajar yang lebih bervariasi;
2. Pemantapan disiplin belajar dan berlatih baik secara mandiri maupun berkelompok;
3. Pemantapan penguasaan materi program belajar keilmuan, teknologi dan atau seni di SMA dan penerapannya, serta sebagai persiapan untuk mengikuti pendidikan yang lebih tinggi;
4. Pemantapan pemahaman dan pemanfaatan kondisi fisik, sosial dan budaya di lingkungan sekolah, dan atau alam sekitar serta masyarakat untuk pengembangan diri; dan
5. Orientasi belajar untuk pendidikan tambahan dan pendidikan yang lebih tinggi.

c. Bimbingan Karir
Bimbingan karir merupakan bantuan yang diberikan kepada individu atau siswa agar mereka dapat merencanakan, mengembangkan dan memecahkan masalah-masalah yang berhubungan dengan karir seperti pemahaman terhadap jabatan dan tugas kerja, pemahaman terhadap kondisi dan kemampuan diri, pemahaman kondisi lingkungan, perencanaan dan pengembangan karir, penyesuaian pekerjaan dan pemecahan masalah-masalah karir yang dihadapi (nurihsan, 2003).
Bidang bimbingan karir (dalam Soenarjo, 2004) di tingkat SMA meliputi materi sebagai berikut:
1. Pemantapan pemahaman diri berkenaan dengan kecenderungan karir yang hendak dikembangkan;
2. Pemantapan orientasi dan informasi karir pada umumnya, khususnya karir yang hendak dikembangkan;
3. Orientasi dan informasi terhadap dunia kerja dan usaha memperoleh penghasilan untuk memenuhi kebutuhyan dan tuntutan hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
4. Pengenalan berbagai lapangan kerja yang dapat dimasuki setelah lulus SMA;
5. Orientasi dan informasi terhadap pendidikan tambahan dan pendidikan yang lebih tinggi, khususnya sesuai dengan karir yang hendak dikembangkan; dan
6. Khusus untuk sekolah kejuruan: pelatihan diri untuk keterampilan kejuruan khusus pada lembaga kerja (perusahaan, industri) sesuai dengan program kurikulum sekolah menengah kejuruan yang bersangkutan.

2. Satuan Layanan BK
a. Layanan Orientasi
Layanan orientasi mempunyai fungsi sebagai usaha pengenalan lingkungan sekolah sebagai lingkungan yang baru bagi siswa. Pengenalan-pengenalan lain yang dapat diberikan kepada siswa seperti kurikulum baru yang diterapkan sekolah, waktu proses belajar di sekolah. Pelaksanaan layanan orientasi ini berdasar pada anggapan bahwa memasuki lingkungan baru dan mengadakan penyesuaian bukanlah hal yang mudah (Prayitno & Amti, 1999).
Apabila diibaratkan seseorang yang akan membangun sebuah rumah, maka mereka perlu mengenal lingkungan baru tersebut. Seringkali mereka “buta” terhadap keadaan sekitarnya misalnya tentang dimana memperoleh bahan bangunan yang murah? Dimana mereka bisa mendapatkan bahan makanan? Bagaimana corak kehidupan sosial masyarakat sekitar? dan buta terhadap yang lain-lainnya. Akibat kebutaan tersebut seringkali mereka mengalami masalah dalam usaha membangun rumah.
Allan & McKean (dalam Prayitno dan Amti, 1999) menunjukkan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan layanan orientasi yaitu:
1. program orientasi yang efektif mempercepat proses adaptasi; dan juga memberikan kemudahan untuk mengambangkan kemampuan memecahkan masalah;
2. murid-murid yang mengalami masalah penyesuaian ternyata kurang berhasil di sekolah
3. anak-anak dari kelas sosial sosio-ekonomi yang rendah memerlukan waktu yang lebih lama untuk menyesuaikan diri daripada anak-anak dari kelas sosio-ekonomi yang lebih tinggi.
Layanan orientasi di sekolah dapat diberikan dengan memberikan materi layanan orientasi sekolah sebagai berikut (Prayitno & Amti, 1999):
1. Sistem penyelenggaraan pendidikan pada umumnya;
2. kurikulum yang ada;
3. penyelenggaraan pengajaran;
4. kegiatan belajar siswa yang diharapkan;
5. sistem penilaian, ujian, dan kenaikan kelas;
6. fasilitas dan sumber belajar yang ada;
7. fasilitas penunjang;
8. staf pengajar dan tata usaha;
9. hak dan kewajiban siswa;
10. organisasi siswa;
11. organisasi orang tua siswa; dan
12. organisasi sekolah secara menyeluruh.

b. Layanan Informasi
Layanan informasi merupakan layanan yang seringkali dilakukan oleh konselor sekolah. Layanan ini dilakukan oleh konselor dengan melakukan tatap muka dengan siswa di dalam kelas, dimana konselor memberikan informasi-informasi yang berkaitan dengan kebutuhan siswa selama menempuh pendidikan. Layanan informasi ini bertujuan agar siswa yang mendapatkan informasi bisa menambah wawasan dan bila perlu dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil keputusan bagi siswa (Arsitun, 2004).
Menurut Prayitno dan Amti (1999) layanan informasi membicarakan tiga jenis informasi yaitu (a) informasi pendidikan, (b) informasi jabatan dan (c) informasi sosial-budaya.

c. Layanan Pengumpulan data
Layanan pengumpulan data merupakan suatu proses pengumpulan keseluruhan data siswa. Dalam layanan ini konselor mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan kondisi pribadi, kondisi keluarga, minat, bakat serta kemampuan yang dimiliki oleh siswa.
Data yang terkumpul akan didokumentasikan secara tertib dan dipergunakan oleh konselor untuk membantu siswa dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi selama menempuh pendidikan di sekolah.
Data-data yang perlu dikumpulkan oleh konselor sekolah meliputi beberapa hal (prayitno & Amti, 1999) yaitu:
1. identitas pribadi
2. latar belakang rumah dan keluarga
3. kemampuan mental, bakat dan kondisi kepribadian
4. sejarah pendidikan, hasil belajar, nilai-nilai mata pelajaran
5. hasil tes diagnostik
6. sejarah kesehatan
7. pengalaman ekstrakurikuler dan kegiatan di luar sekolah
8. minat dan cita-cita pendidikan dan pekerjaan/jabatan
9. prestasi khusus yang pernah diperoleh.
Lebih lanjut diungkapkan bahwa hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menghimpun data adalah:
1. materi yang dikumpulkan harus akurat dan lengkap
2. data individu sebaiknya selalu bertambah dan berkembang
3. data yang dikumpulkan disusun dalam format-format yang teratur menurut sistem tertentu
4. data yang terkumpul bersifat rahasia

d. Layanan penempatan dan penyaluran
Layanan penempatan diberikan kepada Konseli untuk membantu mereka dalam menempatkan diri sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan selama menempuh proses pendidikan. Layanan penempatan dapat berupa menempatkan siswa dalam posisi tertentu di kelas, menempatkan siswa dalam pemilihan kegiatan ekstrakurikuler serta menempatkan siswa dalam program penjurusan di sekolah. Kegiatan ekstrakurikuler di sekolah biasanya menempatkan siswa pada kegiatan seperti Palang merah Remaja (PMR), Kepecinta Alaman, Pramuka dan lain sebagainya.

e. Konseling
Konseling merupakan jantung hati pelaksanaan bimbingan di sekolah. Dikatakan sebagai jantung hati program bimbingan karena konseling ini dilakukan setelah proses bimbingan diberikan kepada siswa. Konseling ini diberikan kepada siswa apabila permasalahan yang dihadapi oleh siswa sudah memunculkan perubahan perilaku yang negatif atau Konseli mengalami gangguan emosi ringan.
Konseling merupakan suatu proses bantuan yang diberikan oleh konselor profesional kepada Konseli untuk membantu memecahkan masalah Konseli, dimana keputusan berada di tangan Konseli. Menilik definisi tersebut, tampak bahwa konseling bukan kegiatan yang bisa dilakukanoleh semua orang. Konseling hanya dapat dilakukan oleh konselor yang profesional, yaitu mereka yang telah menempuh jenjang pendidikan tertentu.

f. Layanan Referal
Referal merupakan suatu tindakan alih tangan kasus. Pengalihan penanganan masalah Konseli merupakan sesuatu yang wajar, terlebih jika kita melihat kompetensi konselor. Referal ini dilakukan oleh konselor sekolah karena beberapa sebab, antara lain karena (1) Konseli tidak menunjukkan kemajuan (progress) yang positif selama dilakukan proses konseling, (2) kemampuan/kompetensi konselor tidak mengijinkan mereka untuk membantu menyelesaikan masalah Konseli.

g. Layanan evaluasi dan tindak lanjut
Evaluasi dan tindak lanjut merupakan serangkaian layanan dalam proses bimbingan yang berusaha untuk menilai kinerja konselor dan staf serta menilai keberhasilan program bimbingan dan konseling yang telah dibuat. Dari hasi evaluasi ini selanjutnya akan ditindak lanjuti dengan pembuatan atau pengembangan program bimbingan dan konseling selanjutnya. Metode evaluasi yang dipakai antara lain metode SWOT (Strenghten, Weakness, Opportunity and Threatness) atau metode CIPP (Contex, Input, Process dan Product).

C. Kurikulum Berbasis Kompetensi
Pada tahun 2004 ini mulai diperkenalkan kurikulum pendidikan yang baru dengan sebutan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) atau (Competency Based Curriculum). Rencananya kurikulum baru ini akan dilaksanakan secara menyeluruh di Indonesia pada tahun ajaran baru 2004/2005. Pelaksanaan kurikulum KBK ini secara langsung akan berdampak pada program layanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah.
McAshan (dalam Mulyana, 2002) mengemukakan pengertian kompetensi sebagai pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya. Lebih lanjut, Finch dan Crunkilton mendefinisikan kompetensi sebagai penguasaan terhadap suatu tugas, keterampilan, sikap dan apresiasi yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan.
Depdiknas (dalam Mulyana, 2002) menyebutkan beberapa ciri atau karakteristik kurikulum berbasis kompetensi sebagai berikut:
1. Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikan;
2. Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman;
3. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi;
4. Sumber belajarbukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang mempunyai unsur edukatif; dan
5. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
Lebih lanjut, Arsitun menekankan bahwa orientasi kurikulum berbasis kompetensi adalah (1) hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna dan (2) keberagaman kondisi individu yang dimanifestasikan sesuai dengan potensi dan kebutuhannya.
Untuk mengembangkan kurikulum barbasis kompetensi pada program bimbingan dan konseling di sekolah, beberapa langkah yang harus dilakukan oleh konselor (dalam Arsitun, 2004) adalah sebagai berikut:
1. Perhatikan masing-masing tugas perkembangan siswa (SD, SMP, SMA/SMK);
2. Butir-butir tugas perkembangan diorientasikan pada empat bidang bimbingan dan konseling;
3. Butir tugas perkembangan yang sudah diorientasikan pada bidang bimbingan dan konseling kemudian dijabarkan kedalam bentuk kompetensi yang relevan;
4. Kompetensi yang disebutkan dalam butir (3) selanjutnya dipergunakan sebagai acuan untuk membuat isi layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling; dan
5. Berdasarkan materi yang ditetapkan pada langkah (4) selanjutnya dilakukan evaluasi

Selanjutnya, di bawah ini akan disajikan beberapa perbedaan mendasar antara kurikulum 1994 dengan kurikulum berbasis kompetensi. Adapun perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:
Kurikulum 1994 Kurikulum Berbasis Kompetensi
Knowledge Competency
To Know Performance
To Know
To Do
To Be
To Life Together
Informatif Development (aplikatif)
Siswa sebagai wadah Siswa sebagai bibit potensial
Sumber belajar seragam Sumber belajar beragam
Ketuntasan materi Ketuntasan kemampuan (materi sebagai tools)
Penilaian normatif (kognisi) Penilaian authentic portofolio (kognisi, afeksi dan psikomotor)



REFERENSI
Arsitun. 2004. Layanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Berbasik Kompetensi. Makalah disampaikan pada In Service Training Persiapan Implementasi KBK Bimbingan Konseling SMU dan Pembekalan di LPMP Jawa Timur. Surabaya: Depdiknas.

Arsitun. 2004. Pengembangan Bimbingan dan Konseling Standard dan Analisis Kompetensi Siswa dalam BK. Makalah disampaikan pada In Service Training Persiapan Implementasi KBK Bimbingan Konseling SMU dan Pembekalan di LPMP Jawa Timur. Surabaya: Depdiknas.

Loekmono, Lobby, JT. 1991. Tantangan Konseling. Semarang: Penerbit Satya Wacana.

Mulyasa, E. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi: konsep, karakteristik dan implementasi. Bandung: Rosdakarya.

Munandir. 1993. Masalah Mutu Pnedidikan dan Peranan Pendidikan dalam Pengembangan Sumber Daya Manusia. Pidato Pengukuhan Guru Besar IKIP Malang tanggal 18 Oktober 1993. Malang: IKIP Malang.

Nurihsan, Juntika. 2003. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Bandung: Mutiara.

Prayitno. 1987. Profesionalisasi Konseling dan Pendidikan Konselor. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.

Prayitno., Amti, erman. 1999. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta.

Rysiew, Kathy, J. 1999. Multipotentiality, Giftedness, and Career Choice: A Review. Journal of Counseling and Development. 77: 423-430.

Soenarjo, Moendisari. 2004. Wawasan dan Pengembangan Bimbingan dan Konseling. Materi Disampaikan pada In Service Training Persiapan Implementasi KBK Bimbingan Konseling SMU dan Pembekalan di LPMP Jawa Timur. Surabaya: Depdiknas.

Supriadi, Dedi. 2003. Reposisi Bimbingan dan Konseling di Tengah Lingkungan yang Berubah. Makalah disampaikan dalam Konvensi Nasional XIII Bimbingan dan Konseling di Bandung tanggal 10-13 Desember 2003.

Trusty, Jerry. 2002. Effects of High School Course-taking and Other Variables on Choice of Science and Mathematic College Majors. Journal of Counseling and Development. 80. 464-475.

Wibowo, Eddy, Mungin. 2003. Bimbingan dan Konseling dalam Sistem Pendidikan Nasional. Makalah disampaikan dalam Konvensi Nasional XIII Bimbingan dan Konseling di Bandung tanggal 10-13 Desember 2003.

Yusuf, Syamsu. 2003. Konseling Keterampilan Hidup (lifeskills counseling). Makalah disampaikan dalam Konvensi Nasional XIII Bimbingan dan Konseling di Bandung tanggal 10-13 Desember 2003.

Kesurupan .......... Tulisan ini mencoba untuk menjawab berbagai pertanyaan tentang proses terjadinya kesurupan massal yang menjadi fe...