Minggu, 01 Oktober 2017

Pendekatan Gestalt dalam Praktik Konseling di Sekolah
Oleh:
Boy soedarmadji, M.Pd., CHt


Pendahuluan
Permasalahan siswa di sekolah pada saat ini semakin beragam. Permasalahan siswa muncul baik dari diri siswa itu sendiri atau masalah-masalah lain yang muncul dari luar siswa. Permasalahan siswa yang muncul dari dalam diri seringkali muncul dikarenakan siswa belum mampu menyesuaikan diri dengan tugas pertumbuhan dan perkembangan. Sebagai remaja yang sedang mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan, terjadi perubahan-perubahan yang cepat dalam proses pertumbuhan. Perubahan yang cepat ini seringkali tidak disertai dengan kesiapan secara emosional.
Pada sisi yang lain, pergaulan remaja baik dengan teman sebaya maupun keluarga juga sering menimbulkan masalah. Remaja memiliki upaya untuk menjadi dirinya sendiri sehingga seringkali perilakunya tidak bisa diterima oleh lingkungan di sekitarnya. Di sisi lain, remaja juga merasa dan berpikir bahwa dia tidak bisa diterima oleh lingkungannya karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk memahami aturan atau nilai-nilai yang ditetapkan oleh lingkungannya. Permasalahan dengan lingkungan keluarga juga sering muncul di kalangann remaja. Keluarga seakan-akan menjadi sumber masalah bagi remaja, karena adanya pertentangan nilai-nilai. Remaja seakan merasa sulit untuk memahami nilai-nilai yang dikembangkan di keluarganya.
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia/ABKIN (2008) mengidentifikasi masalah remaja Indonesia disebabkan karena lingkungan yang tidak sehat seperti maraknya pornografi di TV dan VCD, penggunaan pil kontrasepsi yang tidak terkontrol, alkohol, kehidupan keluarga yang tidak harmonis, dan kelemahan moral orang dewasa akan berpengaruh terhadap gaya hidup remaja yang mengarahkan mereka untuk menyeleweng dari peraturan moral dan perilaku yang melanggar disiplin, perkelahian remaja, mabuk, mengkonsumsi narkoba serta seks bebas.
Bertolak dari kondisi yang terjadi sebagaimana disebutkan di atas, maka peran konselor sekolah menjadi sangat penting, terutama untuk membantu para remaja memahami dirinya dan memahami lingkungan di sekitarnya. Upaya konselor sekolah untuk membantu para remaja ini dilakukan dengan berbagai upaya seperti memberikan layanan informasi, bimbingan kelompok, konseling kelompok atau konseling individu.
Sejauh pengamatan penulis, pelaksanaan layanan konseling individu di sekolah masih belum sesuai dengan harapan. Hal ini ditunjukkan dengan masih banyaknya pemberian saran dan alternatif kepada konseli. Kondisi ini terjadi salah satu penyebabnya adalah belum dikuasainya teori konseling secara mendalam. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan tidak dimilikinya arah dalam melaksanakan konseling.
Pendekatan Gestalt
Pendekatan atau teori Gestalt diperkenalkan oleh Frederick Perls (1893-1970). Pada awalnya, Perls adalah pengikut Sigmund Freud yang sangat setia. Sampai pada suatu saat, Perls akan mempresentasikan pemikirannya di hadapan Freud. Pada saat itu yang terjadi adalah penolakan Freud terhadap pemikiran-pemikiran Perls. Padahal di sisi lain, Perls berharap presentasinya akan diterima dengan baik oleh Freud. Sejak saat itu, Perls mengembangkan pemikiran-pemikirannya sendiri dan menolak teori Freud. Perls berpikir bahwa keberadaan saya saat ini, tidak terpaku pada masa lalu, dan bahkan tidak terlena dengan masa depan.
Berdasar pada penolakan itu, Perls mengembangkan pemikiran-pemikirannya tentang manusia. Selama ini Perls merasa banyak mengidolakan dan bahkan bergantung pada Freud. Setelah kejadian penolakan itu, Perls berpikir bahwa dia harus bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri, dan berupaya untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Perls memiliki keyakinan bahwa seorang individu memiliki kemampuan untuk tumbuh dan berkembang secara maksimal.
Simkin (dalam Gilliland, 1989) menyatakan bahwa Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang memiliki arti keseluruhan (whole) atau konfigurasi (configurations). Pernyataan ini menunjukkan bahwa pendekatan Gestalt lebih mengutamakan keseluruhan atau keutuhan dalam mengenal sesuatu, dimana keseluruhan itu menjadi suatu konfigurasi yang utuh dan memiliki makna tertentu. Keutuhan merujuk pada kesatuan antara pikiran dan tubuh manusia sebagai suatu kesatuan unit yang tidak dapat dipisahkan.
Lebih lanjut, Wageman (2012) menyatakan bahwa keseluruhan (whole) bukan saja merupakan kumpulan dari berbagai bagian tetapi lebih kepada kumpulan bagian-bagian yang menjadi dasar terebentuknya sebuah keseluruhan. Pernyataan ini menunjukkan bahwa sebuah keutuhan atau keseluruhan dibentuk dari bagian-bagian yang disadari oleh individu walaupun seringkali pula ketidaksadaran muncul sebagai bagian-bagian keutuhan tersebut
Erford (2015) menyatakan pandangan-pandangan positif tentang individu sebagai berikut di bawah ini.
1.         Individu eksis dalam konteks lingkungannya;  individu tidak bisa melakukan dukungan diri secara lengkap tanpa adanya lingkungan
2.         Individu memiliki kontak dengan lingkungan atau menarik diri dari lingkungannya
3.         Jika individu memiliki kontak dengan lingkungan, maka individu akan terhubung dengan manusia atau sesuatu yang akan memberikan penguatan
4.         Jika seseorang menarik diri dari lingkungan, maka individu akan mengurangi hubungan dengan orang lain atau sesuatu yang diyakininya sebagai penyebab kerusakan
5.         Tidak selamanya sehat dalam menjalin kontak dengan orang lain dan tidak selamanya tidak sehat saat melakukan penarikan diri
6.         Tujuan utama kepribadian adalah mengembangkan kontak dan melakukan penarikan diri dari lingkungan
7.         Manusia berperan sebagai individu dan berfungsi dalam konteks lingkungan
8.         Dalam konseling Gestalt, poin penting adalah bagaimana (bukan mengapa), sehingga seseorang akan melihatnya dalam konteks di sini dan saat ini (here and now)
9.         Tujuan konseling adalah untuk menunjukkan kepada individu untuk menyelesaikan isu-isu yang akan diselesaikan saat ini dan masa yang akan datang
10.     Terapi Gestalt lebih mementingkan aspek pengalaman konseli dalam kondisi di sini dan saat ini
11.     Dengan munculnya kesadaran di sini dan saat ini terhadap interpretasi kontak dan penarikan diri, maka seseorang akan memperoleh pemahaman untuk hidup secara efektif dalam lingkungannya.
Pribadi Sehat dan Tidak Sehat
Dalam perkembangan teorinya, pendekatan Gestalt tidak meninggalkan teori sebelumnya seperti teori Psikoanalisa dan teori Eksistensial Humanistik lainnya. Beberapa ciri kepribadian sehat dan tidak sehat menunjukkan hal itu. Menurut Frankl dalam Schultz (1991) menyatakan beberapa ciri atau sifat-sifat kepribadian individu yang sehat antara lain, a) Mereka bebas memilih langkah tindakan mereka sendiri, b) Mereka bertanggungjawab terbatas pada tingkah laku hidup mereka, c) Mereka tidak ditentukan oleh kekuatan-kekuatan di luar diri mereka, d) Mereka telah menemukan arti dalam kehidupan yang cocok dengan mereka, e) Mereka secara sadar mengontrol kehidupan mereka, f) Mereka mampu mengungkapkan nilai-nilai daya cipta, nilai-nilai pengalaman atau nilai-nilai sikap, dan g) Mereka telah mengatasi perhatian terbatas pada diri (http://allaisyahsee.blogspot.co.id/).
Beberapa ciri kepribadian yang tidak sehat, sebagaimana diungkapkan oleh Corey (2013) adalah sebagai berikut, a) introjeksi, b) projeksi, c) retrofleksi, d) defleksi, dan e) konfluensi. Safaria (2005) menambahkan dua ciri pribadi tidak sehat yaitu, a) desensitisasi dan b) egoism. Secara umum, pandangan teori Gestalt menyatakan bahwa munculnya pribadi tidak sehat atau menyimpang ini dikarenakan individu memiliki urusan yang belum terselesaikan dengan orang-orang terdekat (significant others). Permasalahan masa lalu dipendam ke alam bawah sadar, yang pada saat tertentu muncul pada kondisi saat ini. Pada praktik konseling, salah satu peran konselor adalah mengeksplorasi pengalaman masa lalu dan menghadirkannya pada saat ini.
Peran Konselor
Perls, Hefferline, Goodman dan Corey (dalam AIPC, 2010) menyatakan bahwa peran terapis Gestalt adalah mengajak konseli dalam suatu hubungan aktif, dimana konseli akan belajar tentang diri mereka dan melaksanakan pengalaman-pengalaman yang didapat selama sesi konseling. Ditambahkan pula bahwa fungsi penting terapis Gestalt adalah untuk meberikan perhatian penuh kepada bahasa tubuh konseli seperti postur konseli, pergerakan konseli, dan isyarat suara sebagai sesuatu yang mencerminkan apa yang dilalui konseli pada masa lalunya.
Novak, Park dan Friedman (2013) menyatakan dalam proses konseling Gestalt, bahwa perubahan yang paling penting adalah bagaimana konseli bisa atau mampu untuk memilih, sehingga peran konselor dalam proses konseling afalah menguatkan proses tumbuhnya kesadaran konseli selama proses konseling. Upaya konselor untuk meningkatkan kesadaran konseli dilakukan dengan mempergunakan kata tanya “apa” dan “bagaimana”. Konselor sebaiknya menghindari kata tanya “mengapa”. Kata tanya “apa” dan “bagaimana” mengarahkan konseli untuk menyadari apa yang telah atau sedang terjadi pada saat ini, dan penggunaan kata tanya “bagaimana” akan membantu konseli untuk menyadari sebuah proses permasalahan itu terjadi. Penggunaan kata tanya “mengapa” cenderung akan membuat konseli menjawab dengan alasan-alasan tertentu sebagai sebuah bentuk penolakan terhadap peristiwa yang dialaminya saat ini. Penolakan terhadap isu yang ada diwujudkan dalam bentuk perilaku-perilaku menyimpang.
Tujuan konseling
Tujuan umum dari pelaksanaan konseling Gestalt adalah menyadarkan (awareness) konseli terhadap apa yang terjadi pada saat ini dan selanjutnya mengajak konseli untuk memiliki kembali (reowning) keadaan yang dirasakan pada saat ini. Hal ini memiliki implikasi bahwa pada pendekatan Gestalt, tujuan yang telah ditentukan bukan menjadi fokus pencapaian hasil konseling, tetapi lebih kepada proses pelaksanaan konseling. Sebab dalam proses ini, konseli akan secara terus menerus diajak untuk menyadari kondisi yang terjadi pada dirinya. Perls (dalam Corey, 2013) menyatakan bahwa tujuan terapi atau konseling bukanlah untuk melakukan analisis atau introspeksi terhadap sebuah masalah, tetapi lebih kepada upaya menumbuhkan kesadaran dan menciptakan hubungan dengan lingkungan.
Kirchner (2000) menyatakan bahwa tujuan utama terapi Gestalt adalah untuk membantu konseli dalam mengembalikan (atau menemui) kemampuan diri yang alami agar dapat mengontrol dirinya sebagai sebuah organisme yang memiliki hubungan yang baik, menyeluruh dan bermakna dengan orang lain. Pernyataan di atas dikuatkan oleh Yontef dan Jacobs (dalam Corey, 2013) yang menyatakan bahwa konseling Gestalt mempergunakan pendekatan-pendekatan aktif yang secara terus menerus berupaya untuk meningkatkan kesadaran, kebebasan serta tujuan diri daripada hanya sekedar mencapai tujuan yang telah ditetapkan di awal konseling. Pendapat lain menyatakan bahwa tugas terapis/konselor adalah untuk mengajak konseli secara aktif untuk belajar tentang dirinya dengan mengadopsi pengalaman-pengalaman terhadap hidupnya, dimana mereka belajar perilaku baru dan kemudian mencatat apa yang terjadi pada saat ini.
Beberapa pendapat di atas menunjukkan bahwa dalam konseling Gestalt, pencapaian tujuan konseling bukanlah menjadi fokus dalam keseluruhan proses konseling. Hal ini dilakukan dengan sebuah alasan bahwa pencapaian tujuan konseling yang dilakukan dengan ketidaksadaran akan sia-sia. Apabila proses pencapaian tujuan konseling dilakukan dengan upaya peningkatan kesadaran secara terus menerus, maka konseli akan memperoleh pemahaman (insight) yang lebih mendalam. Hal ini terjadi karena konseli tidak melakukan penolakan-penolakan terhadap upaya mencapai kesadaran itu.
Strategi
Pendekatan Gestalt memiliki beberapa macam strategi konseling. Dalam penyajian makalah ini disampaikan dua strategi konseling yang penulis pikir dapat dilaksanakan di sekolah secara efektif. Strategi yang dimaksud adalah strategi kursi kosong dan strategi konfrontasi.

a.    Kursi kosong
Perls, Hefferline,m& Goodman (dalam Greenberg 2002) menyatakan bahwa dialog dalam kursi kososng merupakan suatu metode yqang dapat memfasilitasi proses-proses emosional yang belum terselesaikan terhadap orang-orang terdekat (significant others).
Kursi kosong (empty chair) merupakan stratgi konseling yang dipergunakan untuk membantu konseli memahami orang lain (konflik). Dalam strategi ini, konselor memepersiapkan dua buah kursi kosong. Australian Institue of Proffesional Counselor /AIPC (2010) menyatakan bahwa teknik kursi kosong adalah kaedah untuk memudahkan dialog antara konseli dan orang lain atau dialog antara bagian kepribadian konseli.
Peran konselor dalam penggunaan strategi kursi kosong ini adalah melakukan pengamatan/observasi terhadap kemajuan proses dialog, memberikan instruksi kepada konseli untuk berpindah kursi, memberikan saran tentang perkataan atau kata yang sebaiknya dikatakan, meminta konseli untuk lebih perhatian atau focus kepada apa yang dinyatakan/dikatakan, atau meminta konseli untuk mengulang atau menguatkan perkataan atau tindakannya.
Langkah-langkah penggunaan strategi kursi kosong sebagaimana dijelaskan oleh Erford (2015) sebagai berikut, a) konselor mempersiapkan dua buah kursi kosong, b) meminta konseli untuk memilih salah satu kursi kosong yang ada, c) meminta konseli untuk menyatakan secara jelas polaritas permasalahan, d) meminta konseli berpindah tempat duduk dan menyatakan ekspresi yang berseberangan (counterexpression), e) meyakinkan konseli bahwa semua perasaan dan pemikirannya telah dikeluarkan, dan f) memberikan kesempatan kepada konseli untuk menyetujui rencana tindakan yang akan dilakukan.


b.   
Konfrontasi

Dalam terapi Gestalt, konfrontasi dapat diartikan sebagai “upaya menantang atau membuat frustrasi” konseli. Konseli ditantang untuk merasakan sensitifitas dan empatinya dalam menghadapi isu-isu atau masalah yang penting bagi dirinya (http://www.counsellingconnection.com). Pernyataan tersebut memiliki arti bahwa strategi konfrontasi ini dilakukan dengan pemikiran bahwa konseli sedang menutupi pemikiran atau perasaannya. Pemikiran dan perasaan yang ditutupi itu diungkapkan dalam bahasa non verbal yang seringkali bertolak belakang dengan kondisi pikiran dan perasaannya saat ini. Selain itu, konfrontasi juga dapat dilakukan untuk melawan sensitifitas seseorang terhadap sesuatu (phobia). Hanya saya untuk menghadapi phobia, konselor tidak boleh dengan secara langsung memberikan konfrontasi. Sebaiknya konselor memahami tingkat “ketakutan” yang dimiliki oleh konseli.
Strategi ini dapat dipergunakan selama proses konseling. Konselor dituntut untuk memiliki ketrampilan membaca perilaku-perilaku non verbal yang ditunjukkan oleh konseli. Hal ini disebabkan perilaku non verbal konseli akan muncul secara tidak disadari sebagai ungkapan id. Perilaku yang tidak disadari ini muncul dan seringkali berbeda atau bahkan bertolak belakang dengan pernyataan-pernyataan konseli. Perls (dalam Dolliver, 1991) menyebutkan beberapa pertanyaan untuk mengungkap makna bahasa non verbal konseli sebagai berikut, “Apa yang kamu lakukan pada kakimu saat ini?”, “Sadarkah kamu dengan senyumanmu?”, “Kamu tidak menggeliat pada menit-menit terakhir”, “Apakah kamu sadar bahwa matamu berkaca-kaca?”, dan, “Apakah kamu menyadari ekspresi wajahmu?”

Simpulan
Remaja atau siswa seringkali memiliki masalah terkait dengan kesulitan memahami nilai-nilai, pemikiran, atau emosi yang dimiliki oleh orang tua, teman sebaya atau orang terdekat (significant others). Kesulitan ini akan memunculkan perilaku menyimpang. Salah satu upaya untuk membantu menyelesaikan masalah tersebut adalah mempergunakan strategi konfrontasi dan kursi kosong.

Referensi
ABKIN. 2008. Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
AIPC. 2010. Gestalt Therapy. http://www.aipc.net.au/articles/gestalt-therapy/
Corey, Gerald. 2013. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy (8th. Ed). California: Thomson Brooks/Cole.
Dolliver, Robert. 1991. Perls with Gloria Re-reviewed: Gestalt Techniques and Perls’s Practices. Journal of Counseling & Development, March/April, Vol. 3, 1991.
Erford, Bradley. 2015. 40 Techniques Every Counselor Should Know (2nd ed). Boston. Pearson.
Gilliland, Burl, E., James, Richard, K., Bowman, James, T. 1989. Theories and Strategies in Counseling and Psychotherapy. Boston: Allyn and Bacon.
Greenberg, Leslie., Malcolm, Wanda. 2002. Resolving Unfinished Business: Relating Process to Outcome. Journal of Consulting and Clinical Psychology Copyright 2002 by the American Psychological Association, Inc. 2002, Vol. 70, No. 2, 406–416.
Kirchner, Maria. 2000. Gestalt Therapy Theory. Gestalt Global Corporation, Volume 4; Number 3 Autumn, 2000.
Novack, Jerry., Park, Sarah, Joy & Friedman, Andrew, N. 2013. Integrated Masculinity: Using Gestalt Counseling With Male Clients. Journal of Counseling and Development: JCD; Oct 2013; 91, 4; ProQuest 483-489.
Safaria, Triantoro. 2005. Terapi & Konseling Gestalt. Yogyakarta: Penerti Graha Ilmu.
Wageman, dkk. 2012. A Century of Gestalt Psychology in Visual Perception. Psychological Bulletin, 2012, Vol. 138, No. 6, 1172–121.

http://www.counsellingconnection.com/wp-content/uploads/2013/03/Gestalt-Therapy.pdf

Tidak ada komentar:

Kesurupan .......... Tulisan ini mencoba untuk menjawab berbagai pertanyaan tentang proses terjadinya kesurupan massal yang menjadi fe...