Pendekatan
Gestalt dalam Praktik Konseling di Sekolah
Oleh:
Boy soedarmadji, M.Pd., CHt
Pendahuluan
Permasalahan siswa di
sekolah pada saat ini semakin beragam. Permasalahan siswa muncul baik dari diri
siswa itu sendiri atau masalah-masalah lain yang muncul dari luar siswa.
Permasalahan siswa yang muncul dari dalam diri seringkali muncul dikarenakan
siswa belum mampu menyesuaikan diri dengan tugas pertumbuhan dan perkembangan.
Sebagai remaja yang sedang mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan,
terjadi perubahan-perubahan yang cepat dalam proses pertumbuhan. Perubahan yang
cepat ini seringkali tidak disertai dengan kesiapan secara emosional.
Pada
sisi yang lain, pergaulan remaja baik dengan teman sebaya maupun keluarga juga
sering menimbulkan masalah. Remaja memiliki upaya untuk menjadi dirinya sendiri
sehingga seringkali perilakunya tidak bisa diterima oleh lingkungan di
sekitarnya. Di sisi lain, remaja juga merasa dan berpikir bahwa dia tidak bisa
diterima oleh lingkungannya karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk
memahami aturan atau nilai-nilai yang ditetapkan oleh lingkungannya. Permasalahan
dengan lingkungan keluarga juga sering muncul di kalangann remaja. Keluarga
seakan-akan menjadi sumber masalah bagi remaja, karena adanya pertentangan
nilai-nilai. Remaja seakan merasa sulit untuk memahami nilai-nilai yang
dikembangkan di keluarganya.
Asosiasi
Bimbingan dan Konseling Indonesia/ABKIN (2008) mengidentifikasi masalah remaja
Indonesia disebabkan karena lingkungan yang tidak sehat seperti maraknya
pornografi di TV dan VCD, penggunaan pil kontrasepsi yang tidak terkontrol,
alkohol, kehidupan keluarga yang tidak harmonis, dan kelemahan moral orang
dewasa akan berpengaruh terhadap gaya hidup remaja yang mengarahkan mereka
untuk menyeleweng dari peraturan moral dan perilaku yang melanggar disiplin,
perkelahian remaja, mabuk, mengkonsumsi narkoba serta seks bebas.
Bertolak
dari kondisi yang terjadi sebagaimana disebutkan di atas, maka peran konselor
sekolah menjadi sangat penting, terutama untuk membantu para remaja memahami
dirinya dan memahami lingkungan di sekitarnya. Upaya konselor sekolah untuk
membantu para remaja ini dilakukan dengan berbagai upaya seperti memberikan
layanan informasi, bimbingan kelompok, konseling kelompok atau konseling
individu.
Sejauh pengamatan penulis, pelaksanaan
layanan konseling individu di sekolah masih belum sesuai dengan harapan. Hal
ini ditunjukkan dengan masih banyaknya pemberian saran dan alternatif kepada
konseli. Kondisi ini terjadi salah satu penyebabnya adalah belum dikuasainya
teori konseling secara mendalam. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan tidak
dimilikinya arah dalam melaksanakan konseling.
Pendekatan
Gestalt
Pendekatan atau teori
Gestalt diperkenalkan oleh Frederick Perls (1893-1970). Pada awalnya, Perls
adalah pengikut Sigmund Freud yang sangat setia. Sampai pada suatu saat, Perls
akan mempresentasikan pemikirannya di hadapan Freud. Pada saat itu yang terjadi
adalah penolakan Freud terhadap pemikiran-pemikiran Perls. Padahal di sisi
lain, Perls berharap presentasinya akan diterima dengan baik oleh Freud. Sejak
saat itu, Perls mengembangkan pemikiran-pemikirannya sendiri dan menolak teori
Freud. Perls berpikir bahwa keberadaan saya saat ini, tidak terpaku pada masa
lalu, dan bahkan tidak terlena dengan masa depan.
Berdasar
pada penolakan itu, Perls mengembangkan pemikiran-pemikirannya tentang manusia.
Selama ini Perls merasa banyak mengidolakan dan bahkan bergantung pada Freud.
Setelah kejadian penolakan itu, Perls berpikir bahwa dia harus bertanggungjawab
terhadap dirinya sendiri, dan berupaya untuk mengembangkan dirinya sesuai
dengan kemampuan yang dimilikinya. Perls memiliki keyakinan bahwa seorang
individu memiliki kemampuan untuk tumbuh dan berkembang secara maksimal.
Simkin (dalam Gilliland, 1989)
menyatakan bahwa Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang memiliki arti
keseluruhan (whole) atau konfigurasi
(configurations). Pernyataan ini
menunjukkan bahwa pendekatan Gestalt lebih mengutamakan keseluruhan atau
keutuhan dalam mengenal sesuatu, dimana keseluruhan itu menjadi suatu
konfigurasi yang utuh dan memiliki makna tertentu. Keutuhan merujuk pada
kesatuan antara pikiran dan tubuh manusia sebagai suatu kesatuan unit yang
tidak dapat dipisahkan.
Lebih
lanjut, Wageman (2012) menyatakan bahwa keseluruhan (whole) bukan saja merupakan kumpulan dari berbagai bagian tetapi
lebih kepada kumpulan bagian-bagian yang menjadi dasar terebentuknya sebuah
keseluruhan. Pernyataan ini menunjukkan bahwa sebuah keutuhan atau keseluruhan
dibentuk dari bagian-bagian yang disadari oleh individu walaupun seringkali
pula ketidaksadaran muncul sebagai bagian-bagian keutuhan tersebut
Erford
(2015) menyatakan pandangan-pandangan positif tentang individu sebagai berikut
di bawah ini.
1.
Individu
eksis dalam konteks lingkungannya;
individu tidak bisa melakukan dukungan diri secara lengkap tanpa adanya
lingkungan
2.
Individu
memiliki kontak dengan lingkungan atau menarik diri dari lingkungannya
3.
Jika
individu memiliki kontak dengan lingkungan, maka individu akan terhubung dengan
manusia atau sesuatu yang akan memberikan penguatan
4.
Jika
seseorang menarik diri dari lingkungan, maka individu akan mengurangi hubungan
dengan orang lain atau sesuatu yang diyakininya sebagai penyebab kerusakan
5.
Tidak
selamanya sehat dalam menjalin kontak dengan orang lain dan tidak selamanya
tidak sehat saat melakukan penarikan diri
6.
Tujuan
utama kepribadian adalah mengembangkan kontak dan melakukan penarikan diri dari
lingkungan
7.
Manusia
berperan sebagai individu dan berfungsi dalam konteks lingkungan
8.
Dalam
konseling Gestalt, poin penting adalah bagaimana (bukan mengapa), sehingga
seseorang akan melihatnya dalam konteks di sini dan saat ini (here and now)
9.
Tujuan
konseling adalah untuk menunjukkan kepada individu untuk menyelesaikan isu-isu
yang akan diselesaikan saat ini dan masa yang akan datang
10. Terapi Gestalt
lebih mementingkan aspek pengalaman konseli dalam kondisi di sini dan saat ini
11. Dengan
munculnya kesadaran di sini dan saat ini terhadap interpretasi kontak dan
penarikan diri, maka seseorang akan memperoleh pemahaman untuk hidup secara
efektif dalam lingkungannya.
Pribadi
Sehat dan Tidak Sehat
Dalam perkembangan teorinya,
pendekatan Gestalt tidak meninggalkan teori sebelumnya seperti teori Psikoanalisa
dan teori Eksistensial Humanistik lainnya. Beberapa ciri kepribadian sehat dan
tidak sehat menunjukkan hal itu. Menurut Frankl dalam Schultz (1991) menyatakan beberapa ciri atau
sifat-sifat kepribadian individu yang sehat antara lain, a) Mereka bebas memilih
langkah tindakan mereka sendiri, b) Mereka bertanggungjawab terbatas pada
tingkah laku hidup mereka, c) Mereka tidak ditentukan oleh kekuatan-kekuatan di
luar diri mereka, d) Mereka telah menemukan arti dalam kehidupan yang cocok
dengan mereka, e) Mereka secara sadar mengontrol kehidupan mereka, f) Mereka
mampu mengungkapkan nilai-nilai daya cipta, nilai-nilai pengalaman atau
nilai-nilai sikap, dan g) Mereka telah mengatasi perhatian terbatas pada diri (http://allaisyahsee.blogspot.co.id/).
Beberapa
ciri kepribadian yang tidak sehat, sebagaimana diungkapkan oleh Corey (2013)
adalah sebagai berikut, a) introjeksi, b) projeksi, c) retrofleksi, d)
defleksi, dan e) konfluensi. Safaria (2005) menambahkan dua ciri pribadi tidak
sehat yaitu, a) desensitisasi dan b) egoism. Secara umum, pandangan teori
Gestalt menyatakan bahwa munculnya pribadi tidak sehat atau menyimpang ini
dikarenakan individu memiliki urusan yang belum terselesaikan dengan
orang-orang terdekat (significant others).
Permasalahan masa lalu dipendam ke alam bawah sadar, yang pada saat tertentu
muncul pada kondisi saat ini. Pada praktik konseling, salah satu peran konselor
adalah mengeksplorasi pengalaman masa lalu dan menghadirkannya pada saat ini.
Peran
Konselor
Perls, Hefferline,
Goodman dan Corey (dalam AIPC, 2010) menyatakan bahwa peran terapis Gestalt
adalah mengajak konseli dalam suatu hubungan aktif, dimana konseli akan belajar
tentang diri mereka dan melaksanakan pengalaman-pengalaman yang didapat selama
sesi konseling. Ditambahkan pula bahwa fungsi penting terapis Gestalt adalah
untuk meberikan perhatian penuh kepada bahasa tubuh konseli seperti postur
konseli, pergerakan konseli, dan isyarat suara sebagai sesuatu yang
mencerminkan apa yang dilalui konseli pada masa lalunya.
Novak, Park dan
Friedman (2013) menyatakan dalam proses konseling Gestalt,
bahwa perubahan yang paling penting adalah bagaimana konseli bisa atau mampu
untuk memilih, sehingga peran konselor dalam proses konseling afalah menguatkan
proses tumbuhnya kesadaran konseli selama proses konseling. Upaya konselor
untuk meningkatkan kesadaran konseli dilakukan dengan mempergunakan kata tanya
“apa” dan “bagaimana”. Konselor sebaiknya menghindari kata tanya “mengapa”.
Kata tanya “apa” dan “bagaimana” mengarahkan konseli untuk menyadari
apa yang telah atau sedang terjadi pada saat ini, dan penggunaan kata tanya “bagaimana” akan membantu konseli untuk
menyadari sebuah proses permasalahan itu terjadi. Penggunaan kata tanya “mengapa” cenderung akan membuat konseli
menjawab dengan alasan-alasan tertentu sebagai sebuah bentuk penolakan terhadap
peristiwa yang dialaminya saat ini. Penolakan terhadap isu yang ada diwujudkan
dalam bentuk perilaku-perilaku menyimpang.
Tujuan
konseling
Tujuan umum dari pelaksanaan konseling
Gestalt adalah menyadarkan (awareness)
konseli terhadap apa yang terjadi pada saat ini dan selanjutnya mengajak
konseli untuk memiliki kembali (reowning)
keadaan yang dirasakan pada saat ini. Hal ini memiliki implikasi bahwa pada
pendekatan Gestalt, tujuan yang telah ditentukan bukan menjadi fokus pencapaian
hasil konseling, tetapi lebih kepada proses pelaksanaan konseling. Sebab dalam
proses ini, konseli akan secara terus menerus diajak untuk menyadari kondisi
yang terjadi pada dirinya. Perls (dalam Corey, 2013)
menyatakan bahwa tujuan terapi atau konseling bukanlah untuk melakukan analisis
atau introspeksi terhadap sebuah masalah, tetapi lebih kepada upaya menumbuhkan
kesadaran dan menciptakan hubungan dengan lingkungan.
Kirchner (2000)
menyatakan bahwa tujuan utama terapi Gestalt adalah
untuk membantu konseli dalam mengembalikan (atau menemui) kemampuan diri yang
alami agar dapat mengontrol dirinya sebagai sebuah organisme yang memiliki
hubungan yang baik, menyeluruh dan bermakna dengan orang lain. Pernyataan di atas dikuatkan oleh Yontef dan
Jacobs (dalam Corey, 2013) yang menyatakan bahwa konseling
Gestalt mempergunakan pendekatan-pendekatan aktif yang secara terus menerus
berupaya untuk meningkatkan kesadaran, kebebasan serta tujuan diri daripada
hanya sekedar mencapai tujuan yang telah ditetapkan di awal konseling. Pendapat
lain menyatakan bahwa tugas terapis/konselor adalah untuk mengajak konseli
secara aktif untuk belajar tentang dirinya dengan mengadopsi pengalaman-pengalaman
terhadap hidupnya, dimana mereka belajar perilaku baru dan kemudian mencatat
apa yang terjadi pada saat ini.
Beberapa
pendapat di atas menunjukkan bahwa dalam konseling Gestalt, pencapaian tujuan
konseling bukanlah menjadi fokus dalam keseluruhan proses konseling. Hal ini
dilakukan dengan sebuah alasan bahwa pencapaian tujuan konseling yang dilakukan
dengan ketidaksadaran akan sia-sia. Apabila proses pencapaian tujuan konseling
dilakukan dengan upaya peningkatan kesadaran secara terus menerus, maka konseli
akan memperoleh pemahaman (insight)
yang lebih mendalam. Hal ini terjadi karena konseli tidak melakukan
penolakan-penolakan terhadap upaya mencapai kesadaran itu.
Strategi
Pendekatan Gestalt
memiliki beberapa macam strategi konseling. Dalam penyajian makalah ini
disampaikan dua strategi konseling yang penulis pikir dapat dilaksanakan di
sekolah secara efektif. Strategi yang dimaksud adalah strategi kursi kosong dan
strategi konfrontasi.
a.
Kursi kosong
Perls, Hefferline,m& Goodman (dalam Greenberg
2002) menyatakan bahwa dialog dalam kursi kososng merupakan suatu metode yqang
dapat memfasilitasi proses-proses emosional yang belum terselesaikan terhadap
orang-orang terdekat (significant others).
Kursi kosong (empty chair) merupakan stratgi konseling yang dipergunakan untuk
membantu konseli memahami orang lain (konflik). Dalam strategi ini, konselor
memepersiapkan dua buah kursi kosong. Australian Institue of Proffesional
Counselor /AIPC (2010) menyatakan bahwa teknik
kursi kosong adalah kaedah untuk memudahkan dialog antara konseli dan orang
lain atau dialog antara bagian kepribadian konseli.
Peran konselor dalam penggunaan
strategi kursi kosong ini adalah melakukan pengamatan/observasi terhadap
kemajuan proses dialog, memberikan instruksi kepada konseli untuk berpindah
kursi, memberikan saran tentang perkataan atau kata yang sebaiknya dikatakan,
meminta konseli untuk lebih perhatian atau focus kepada apa yang
dinyatakan/dikatakan, atau meminta konseli untuk mengulang atau menguatkan
perkataan atau tindakannya.
Langkah-langkah
penggunaan strategi kursi kosong sebagaimana dijelaskan oleh Erford (2015)
sebagai berikut, a) konselor mempersiapkan dua buah kursi kosong, b) meminta
konseli untuk memilih salah satu kursi kosong yang ada, c) meminta konseli
untuk menyatakan secara jelas polaritas permasalahan, d) meminta konseli
berpindah tempat duduk dan menyatakan ekspresi yang berseberangan (counterexpression), e) meyakinkan
konseli bahwa semua perasaan dan pemikirannya telah dikeluarkan, dan f)
memberikan kesempatan kepada konseli untuk menyetujui rencana tindakan yang
akan dilakukan.
b. Konfrontasi
Dalam terapi Gestalt, konfrontasi dapat diartikan sebagai “upaya menantang atau membuat frustrasi” konseli. Konseli ditantang untuk merasakan sensitifitas dan empatinya dalam menghadapi isu-isu atau masalah yang penting bagi dirinya (http://www.counsellingconnection.com). Pernyataan tersebut memiliki arti bahwa strategi konfrontasi ini dilakukan dengan pemikiran bahwa konseli sedang menutupi pemikiran atau perasaannya. Pemikiran dan perasaan yang ditutupi itu diungkapkan dalam bahasa non verbal yang seringkali bertolak belakang dengan kondisi pikiran dan perasaannya saat ini. Selain itu, konfrontasi juga dapat dilakukan untuk melawan sensitifitas seseorang terhadap sesuatu (phobia). Hanya saya untuk menghadapi phobia, konselor tidak boleh dengan secara langsung memberikan konfrontasi. Sebaiknya konselor memahami tingkat “ketakutan” yang dimiliki oleh konseli.
Strategi
ini dapat dipergunakan selama proses konseling. Konselor dituntut untuk
memiliki ketrampilan membaca perilaku-perilaku non verbal yang ditunjukkan oleh
konseli. Hal ini disebabkan perilaku non verbal konseli akan muncul secara
tidak disadari sebagai ungkapan id.
Perilaku yang tidak disadari ini muncul dan seringkali berbeda atau bahkan bertolak
belakang dengan pernyataan-pernyataan konseli. Perls (dalam Dolliver, 1991) menyebutkan beberapa
pertanyaan untuk mengungkap makna bahasa non verbal konseli sebagai berikut, “Apa yang kamu lakukan pada kakimu saat ini?”,
“Sadarkah kamu dengan senyumanmu?”, “Kamu tidak menggeliat pada menit-menit
terakhir”, “Apakah kamu sadar bahwa
matamu berkaca-kaca?”, dan, “Apakah kamu
menyadari ekspresi wajahmu?”
Simpulan
Remaja
atau siswa seringkali memiliki masalah terkait dengan kesulitan memahami
nilai-nilai, pemikiran, atau emosi yang dimiliki oleh orang tua, teman sebaya
atau orang terdekat (significant others).
Kesulitan ini akan memunculkan perilaku menyimpang. Salah satu upaya untuk
membantu menyelesaikan masalah tersebut adalah mempergunakan strategi
konfrontasi dan kursi kosong.
Referensi
ABKIN.
2008. Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan
Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
AIPC. 2010. Gestalt Therapy.
http://www.aipc.net.au/articles/gestalt-therapy/
Corey, Gerald.
2013. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy (8th. Ed). California: Thomson
Brooks/Cole.
Dolliver, Robert. 1991. Perls with Gloria Re-reviewed:
Gestalt Techniques and Perls’s Practices. Journal
of Counseling & Development, March/April, Vol. 3, 1991.
Erford,
Bradley. 2015. 40 Techniques Every
Counselor Should Know (2nd ed). Boston. Pearson.
Gilliland,
Burl, E., James, Richard, K., Bowman, James, T. 1989. Theories and Strategies in Counseling and Psychotherapy. Boston:
Allyn and Bacon.
Greenberg,
Leslie., Malcolm, Wanda. 2002. Resolving Unfinished Business: Relating Process
to Outcome. Journal of Consulting and
Clinical Psychology Copyright 2002 by the American Psychological Association,
Inc. 2002, Vol. 70, No. 2, 406–416.
Kirchner,
Maria. 2000. Gestalt Therapy Theory. Gestalt
Global Corporation, Volume 4; Number 3 Autumn, 2000.
Novack,
Jerry., Park, Sarah, Joy & Friedman, Andrew, N. 2013. Integrated
Masculinity: Using Gestalt Counseling With Male Clients. Journal of Counseling and Development: JCD; Oct 2013; 91, 4; ProQuest
483-489.
Safaria, Triantoro. 2005. Terapi
& Konseling Gestalt. Yogyakarta: Penerti Graha Ilmu.
Wageman, dkk. 2012. A Century of Gestalt Psychology in Visual
Perception. Psychological Bulletin, 2012,
Vol. 138, No. 6, 1172–121.
http://www.counsellingconnection.com/wp-content/uploads/2013/03/Gestalt-Therapy.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar