PENANGANAN SISWA KORBAN KEKERASAN MELALUI MODIKASI STRATEGI KONSELING GESTALT
Oleh:
Boy Soedarmadji, S.Pd., M.Pd., CHt
Dosen Prodi BK FKIP UNIPA Surabaya
boyunipasby@gmail.com
makalah disampaikan dalam seminar nasional
"Peran Bimbingan dan Konseling dalam Menanggulangi Kekerasan pada Anak"
Surabaya, 26 Pebruari 2017
PENDAHULUAN
Saat ini perilaku remaja atau siswa telah menunjukkan kenaikan yang signifikan. Beberapa media berita nasional seperti televisi dan surat kabar telah memberitakan perilaku menyimpang para siswa. Berdasarkan survei yang dilakukan terhadap siswa kelas XI SMA, SMK, Madrasah Aliah dan sekolah Kristen selama Juli-Oktober 2012, diketahui bahwa sebanyak 44 persen pelajar Surabaya berpandangan bahwa dalam berpacaran boleh melakukan hubungan intim dengan pasangannya. Sampel yang diteliti berjumlah 600 responden di wilayah Surabaya Barat, Utara, Selatan, dan Timur, berusia 15-17 tahun. Dari 600 kuisioner berisi 32 item pertanyaan tersebut, sebanyak 450 kuisioner dijawab dan dikembalikan oleh 200 pelajar laki-laki dan sisanya perempuan (Tempo, 2012).
Selanjutnya (Tempo, 2012) memberitakan bahwa sebanyak 45 persen dari 700 remaja usia sekolah menengah pertama di Surabaya berangggapan bahwa berhubungan badan layaknya suami-istri boleh dilakukan saat berpacaran. Bahkan, 15 persen remaja usia SMP mengaku telah melakukan hubungan seks dengan lawan jenis. Hal itu terungkap dari hasil penelitian yang dilakukan Yayasan Hotline Surabaya yang dipaparkan dalam pertemuan dengan Komisi Kesejahteraan Rakyat DPRD Kota Surabaya, Jumat, 10 Februari 2012.
Beberapa perilaku menyimpang siswa yang sempat terdeteksi antara lain adalah adanya pembacokan siswa yang dilakukan oleh siswa lain di Tangerang pada bulan Januari 2017 (liputan 6.com). Kejadian lain adalah dilakukannya pemalakan oleh beberapa siswa yang terjadi di Pemalang Jawa Tengah (Poben, 2016).
Merujuk pada kondisi di atas, maka peran konselor sekolah menjadi sangat strategis dalam upaya membantu menyelesaikan masalah yang dialami oleh siswa. Salah satu peran konselor sekolah adalah untuk memberikan kesejahteraan secara emosional bagi siswa. Siswa yang mengalami pengalaman traumatis membutuhkan bantuan konselor sekolah agar dapat melepaskan masalahnya, sehingga diharapkan siswa dapat berkembang secara optimal.
Terkait dengan upaya mensejahterakan siswa ini, konselor sekolah telah dibekali dengan berbagai teori dan praktik untuk membantu menangani siswa yang bermasalah. Terutama bagi para konselor sekolah yang memiliki latar belakang pendidikan S1 Bimbingan dan Konseling. Kompetensi yang dimiliki oleh konselor sekolah secara umum sudah dapat dipergunakan untuk membantu siswa yang bermasalah.
Permasalahan yang muncul adalah kapan (when) dan bagaimana (how) konselor dapat melaksanakan itu. Hal ini didasarkan pada sebuah kondisi proses pembelajaran yang sangat ketat yang harus dilakukan oleh siswa. Seringkali konselor dan siswa tidak bisa menyelesaikan masalah dengan tuntas karena adanya keterbatasan waktu. Kita ketahui bersama bahwa kesempatan untuk bertemu antara konselor dan siswa seringkali hanya saat istirahat (30 menit). Keterbatasann ini, membuat pertemuan menjadi tidak efektif.
Wibowo (2013) menyatakan bahwa proses pembelajaran di sekolah saat ini lebih memberikan tumpuan kepada pembelajaran tekstual, sehingga tidak memungkinkan para siswa untukmampu menyelesaikan masalah-masalah sosial. Pernyataan Wibowo menandakan bahwa sistem pendidikan negara ini masih memberi tumpuan kepada domain kognitif dan kurang menyentuh domain afektif dan domain psikomotor.
Berdasar pada kondisi di atas, penulis akan mencoba untuk menyajikan salah satu alternatif penyelesaian masalah dengan memunculkan beberapa strategi Gestalt yang dimodifikasi dengan pendekatan hipnosis.
PENDEKATAN TEORI
Pembahasan dalam artikel ini terbagi menjadi dua hal yaitu pendekatan Gestalt dan Hipnosis. Pembahasan ini menjadi sangat penting manakala perkembangan strategi konseling Gestalt telah melakukan modifikasi strategi konselingnya.
Pendekatan Gestalt diperkenalkan oleh Frederick. F Perls. Pendekatan ini memandang manusia secara holistik atau menyeluruh. Menurut pandangan Gestalt bahwa kepribadian individu terbentuk karena adanya kekuatan-kekuatan diri untuk terus tumbuh dan berkembang, juga dipengaruhi oleh lingkungan di mana individu berada. Faktor lingkungan, walaupun turut mempengaruhi perkebangan kepribadian seseorang, bukan menjadi tumpuan utama dalam pendekatan ini.
Pendekatan Gestalt memandang bahwa individu yang sehat adalah mempunyai ciri-ciri seperti 1) percaya pada kemampuan diri sendiri, 2) mempunyai tanggungjawab, dan 3) mempunyai kematangan, dan 4) keseimbangan diri (dalam Soedarmadji dan Sutijono, 2005). Selanjutnya, Clarkson (dalam Duff, 2005) menyatakan bahwa individu yang sehat adalah mereka yang senantiasa untuk selalu seimbang dan terus menerus berkembang. Pernyataan ini menunjukkan bahwa pada dasarnya teori Gestalt memandang individu lebih pada sisi-sisi yang positif sebagaimana pendekatan-pendekatan humanistic dan eksistensial yang lain.
Pendekatan Gestalt memandang bahwa individu tidak sehat sebagaimana pendekatan psikoanalisis. Beberapa istilah tentang individu tidak sehat juga memiliki kemiripan dengan pendekatan psikoanalisis. Individu yang tidak sehat menurut pendekatan Gestalt antara lain adalah, a) introjection, b) projection, c) retroflections, d) deflection, dan e) confluence. Menurut pendekatan Gestalt, munculnya perilaku menyimpang atau dikatakan sebagai individu yang rtidak sehat dikarenakan seseorang mengalami urusan yang belum selesai (unfinished business).
Kondisi unfinished business disebabkan karena individu tidak dapat menyelesaikan permasalahan dengan orang-orang terdekat (significant others). Permasalahan yang seharusnya diselesaikan, oleh individu ditekan ke alam bawah sadar. Penekanan ini dilakukan secara terus menerus dan menumpuk, yang selanjutnya berakibat pada pembentukan emosi, pola pikir dan perilaku yang menyimpang.
Dalam konseling Gestalt, koneli selalu diupayakan untuk menyadari bahwa dia memiliki masalah, dan diupayakan pula untuk secara sadar menyelesaikan masalahnya. Seringkali terjadi bahwa konseli tidak menyadari bahwa dia memiliki masalah yang belum terselesaikan (unfinished business), yang dikarenakan energi yang dimilikinya dipergunakan untuk mengalihkan upaya penyelesaian masalahnya. Sehingga, seringkali upaya konselor dalam membantu menyelesaikan permasalahan konseli adalah dengan membongkar hambatan-hambatan energy yang dimiliki oleh konseli.
konseli antara lain adalah, a) ketidakmampuan konseli untuk berhubungan dengan perasaan-perasaannya, b) ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah dengan orang lain, c) takut terhadap konsekuensi yang ditimbulkan, d) takut terhadap pengulangan-pengulangan pengalaman yang buruk, e) seringkali dikacaukan dengan kata “harus”, f) takut kehilangan kenyamanan, g) ketidakmampuan untuk memunculkan tindakan yang diinginkan.
Woldt (2009) menyatakan bahwa salah satu tujuan terapi Gestalt adalah untuk meningkatkan kesadaran individu sesuai dengan kepentingan atau kecemasan yang dialami oleh individu terkait dengan kondisi latar belakang kelompok dan latar belakang kepentingan individu. Ditambahkan pula oleh (Corey, 2013; Rocco, 2015) bahwa tujuan konseling Gestalt adalah untuk meningkatkan kesadaran diri, membantu individu untuk fokus pada saat ini, serta untuk mengembangkan hubungan yang baik antara individu dengan lingkungannya. Tampak bahwa dalam terapi Gestalt bahwa masa lalu individu akan dihadirkan di sini dan pada saat ini.
Secara sederhana, Bryant dan Mabbutt (2006) memberikan definisi hipnosis sebagai sebuah keadaan pikiran yang terhubung dengan kondisi relaksasi yang mendalam, fokus, dan terjadinya pengingkatan sugestibilitas. Ditambahkan oleh Anthony (2014) bahwa pada dasarnya kondisi terhipnosis adalah kondisi yang tidak betul-betul tidur, sebab individu yang terhipnosis masih sadar terhadap apa terjadi di sekelilingnya serta mampu mendengar suara terapis secara aktif. Dua pernyataan ini dikuatkan oleh Elkins, (2015) bahwa hipnosis adalah kondisi sadar yang mencakup perhatian mendalam dan pengurangan kesadaran terhadap lingkungan yang memiliki karakteristik peningkatan kapasitas respon terhadap lingkungan dan ditunjukkan dengan adanya peningkatan respon terhadap sugesti.
Penggunaan hipnosis dalam terapi/konseling disebut dengan hipnoterapi/hipnokonseling. Walaupun definisi hipnokonseling sampai saat ini masih belum banyak para ahli yang sepakat, tetapi penggunaan istilah hipnokoseling sudah banyak dipergunakan.
Beberapa keuntungan penggunaan hipnoterapi/hipnokonseling antara lain adalah dapat, a) mengurangi perasaan murung dan putus asa, b) mengurangi perasaan bosan dengan kehidupan, c) meningkatkan motivasi, d) mengurangi kecemasan atau takut melakukan kesalahan, e) meningkatkan ketegasan, f) mengurangi sensitifitas terhadap kritikan, g) mengurangi ketidakmampuan berpikir tentang masa depan, h) mengurangi pemikiran negatif pada diri sendiri, i) mengurangi rasa letih, j) mengurangi rasa seperti kegagalan, dan k) mengurangi pemikiran bahwa kehidupan masa lalu adalah lebih baik. (http://www.hypnotherapy-directory.org.uk/articles).
APLIKASI
Perkembangan teori Gestalt saat ini terjadi dengan signifikan. Pendekatan ini telah melakukan improvisasi-improvisasi strategi konselingnya. Pengembangan strategi konseling yang dilakukan antara lain dengan melakukan kajian terhadap pendekatan psikoanalisis. Beberapa teori yang dikembangkan dalam pendekatan psikoanalisis saat ini sudah mulai dipergunakan untuk memperkaya strategi konseling Gestalt.
Strategi kursi kosong
Strategi kursi kosong dilakukan untuk mebantu konseli dalam mengatasi konflik yang terjadi antara individu dengan orang-orang terdekat. Konflik ini muncul karena konseli tidak bisa memahami pola pikir atau emosi-emosi yang dialami oleh orang lain terhadap dirinya. AIPC (2010) menyatakan bahwa teknik kursi kosong adalah cara untuk memudahkan dialog antara konseli dan orang lain atau dialog antara baagian kepribadian konseli. Lebih lanjut, Greenberg (dalam Moore, 2004) menyatakan bahwa beberapa hasil penelitian telah menunjukkan bahwa penggunaan kursi kosong untuk menyelesaikan urusan yang belum selesai menemukan bahwa penggunaan strategi kursi kosong dapat mempermudah konseli untuk mengungkapkan perasaan-perasaan yang tidak dapat diselesaikan dengan orang terdekat (significant other). Melalui strategi ini, konseli dapat mengungkapkan perasaan terganggu secara lebih rinci yang selama ini ditekan di alam bawah sadar.
Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya, bahwa penggunaan strategi konseling seringkali memakan waktu yang relatif lama. Hal ini mengarahkan penulis untuk menawarkan modifikasi strategi kursi kosong dengan mempergunakan strategi parts therapy. Hunter (2016) menyatakan bahwa parts therapy didasarkan pada pemikiran bahwa kepribadian seseorang terbagi menjadi bagian-bagian dimana bagian-bagian ini berasal dari area subconscious yang memiliki fungsi berbeda-beda. Fungsi-fungsi ini pada umumnya memiliki peran yang berbeda-beda pula dalam kehidupan individu.
Melalui strategi parts therapy ini, konseli akan dapat melihat masing-masing bagian dari dirinya melakukan dialog. Bagian dari diri konseli akan berperan sesuai dengan kondisi konseli. Melalui kegiatan ini, konflik yang disebabkan oleh menumpuknya urusan yang belum selesai dapat diutarakan dan didiskusikan. Setelah proses diskusi dianggap cukup, maka konselor akan meminta bagian-bagian diri konseli ini untuk membuat sebuah kesepakatan yang didasarkan pada win and win solution. Setelah didapatkan kesepatan itu, maka konselor akan membantu konseli untuk membuat simpulan dari hasil pembicaraan, yang selanjutnya, jika diterima oleh konseli, maka simpulan ini akan disimpan di alam bawah sadar konseli.
Pelaksanaan modifikasi strategi ini dilakukan dengan mengikuti prosedur konseling secara umum. Geldard (1993) menyatakan bahwa prosedur konseling mengikuti langkah-langkah sebagai berikut, a) a) tahap persiapan (preparation), b) tahap pembukaan (preamble), c) tahap mengawali pertemuan konseling (getting started), d) tahap mendengar secara aktif (active listening), e) tahap identifikasi masalah dan klarifikasi (problem identification & clarification), f) tahap perubahan sikap (facilitating attitude change), g) tahap menggali pilihan dan memfasilitasi aksi (exploring options and facilitating action), dan h) tahap pengakhiran (terminasi).
Sesuai dengan tahapan di atas, modifikasi antara kursi kosong – parts therapydilakukan pada tahap tahap menggali pilihan dan memfasilitasi aksi. Pada tahap ini antara konselor dan konseli telah melakukan eksplorasi masalah serta telah mengidentifikasi masalah konseli. Selanjutnya konselor akan menilai apakah modifikasi strategi kursi kosong - parts therapy ini akan dipergunakan atau tidak. Jika dipandang lebih efisien dan efektif, maka akan ditawarkan kepada konseli, dan jika konseli setuju, akan konselor akan memberikan rasional strategi ini.
Sebagaimana penggunaan hipnosis pada umumnya, strategi parts therapy ini dilakukan dengan mempergunakan beberapa langkah-langkah tertentu. Artinya, penggunaan strategi ini tidak harus dilakukan pada saat pertemuan pertama kali dengan konseli. Pada tahap pertama, konselor perlu untuk mengembangkan hubungan baik (rapport) dengan konseli. Pengembangan hubungan baik ini sangat diperlukan sebab, seringkali proses konseling gagal karena konseli masih belum menerima konselor. Terlebih jika dalam proses konseling ini akan mempergunakan hipnosis. Konselor perlu memberikan keyakinan kepada konseli bahwa proses hipnosis dalam terapi merupakan sesuatu yang tidak dipaksakan. Selain itu, konselor juga mungkin perlu menjelaskan kepada konseli tentang miskonsepsi hipnosis yang berkembang.
Selanjutnya, setelah konseli percaya kepada konselor, maka konselor akan mengajak konseli untuk memasuki tahapan eksplorasi masalah. Pada tahap ini, konselor bersama konseli akan membicarakan isu-isu penting yang kemudian menetapkan masalah yang dapat diselesaikan dengan mempergunakan strategi kursi kosong. Pada saat mempergunakan strategi kursi kosong, konselor perlu mengidentifikasi konflik-konflik yang dialami oleh konseli, selain memperhatikan ruang waktu yang tersedia. Jika dipandang bahwa konflik-konflik yang dimiliki oleh konseli terlalu kompleks, maka konselor bisa menawarkan penggunaan modifikasi strategi kursi kosong dengan parts therapy.
Sebelum mempergunakan strategi strategi kursi kosong dengan parts therapy, konselor juga perlu untuk melakukan tes sugestibilitas. Tes ini merupakan upaya untuk mengetahui seberapa luas area kritis (critical area) yang dimiliki oleh konseli. Semakin luas atau semakin kuat area kritis yang dimiliki oleh konseli, maka semakin kuat pula upaya induksi yang dilakukan oleh konselor. Hal ini disebabkan pada saat seseorang akan dihipnosis, maka akan terjadi perubahan gelombang otak dari Betha (14-28 cps/circle per second) ke Alpha (7-14 cps) atau Tetha (3-7 cps).
Setelah area kritis yang dimiliki konseli melemah, maka konselor akan membantu konseli masuk dalam tahapan deepening. Tahapan ini akan membuat konseli menjadi lebih nyaman dan rileks, sehingga konseli akan lebih siap untuk menerima sugesti dari konselor. Jika tahap deepening telah tercapai, maka selanjutnya konselor akan menjalankan strategi parts therapy kepada konseli. Proses sebagaimana dijelaskan dapat berlangsung kurang lebih satu jam, dan biasanya bisa menyentuh masalah terdalam konseli, sehingga terjadi upaya penyelesaian masalah yang lebih efektif dan efisien.
SIMPULAN
Penyelesaiam masalah perilaku menyimpang siswa yang disebabkan karena perilaku kekerasan pada masa lalu seringkali disimpan (repressed) dan bisa berakibat negatif pada saat ini. Sebagai upaya konselor untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelayanan maka konselor dapat mempergunakan strategi konseling Gestalt yang telah dimodifikasi. Konselor yang dapat melaksanakan strategi ini adalah para konselor yang telah mengikuti pelatihan-pelatihan tertentu.
REFERENSI
Anthony, D, John. 2014. Hypnotic Counseling: a text book of hypnotism. Kurinji Nagar: Guru Publications.
AIPC. 2010. Gestalt Therapy. http://www.aipc.net.au/articles/gestalt-therapy.
Bryant, Mike., Mabbutt, Peter. 2006. Hypnotherapy for Dummies. West Sussex: John Wiley & Sons, Ltd.
Corey, Gerald. 2013. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy (9th. Ed). California: Thomson Brooks/Cole.
Daulay, Saleh, Partoanan. 2014. Kekerasan di Sekolah Akibat Gagalnya Pendidikan Karakter. http://www.jpnn.com/read/2014/05/11/233747.
Duff, Simon. 2005. Gestalt Therapy And Hipnosis. http://ezinearticles.com/? Gestalt- Therapy-And-Hipnosis&id=13588.
Elkins, Gary R., et all. 2015. Advancing Research and Practice: The Revised APA Division 30 Definition of Hipnosis. International Journal of Clinical and Experimental Hipnosis, Intl. Journal of Clinical and Experimental Hipnosis, 63(1): 1–9, 2015.
Geldard, David. 1993. Basic Personal Counselling: a training manual for counselors (2nd. Ed). New York: Prentice Hall.
Hunter, Roy, C. 2016. What Is Parts Therapy? https://www.hipnosis.org/free-hipnosis/hipnosis-hypnotherapy-articles/c-roy-hunter/what-is-parts-therapy.php.
Moore, Wagner, Laura. 2004. Gestalt Therapy: Past, Present, Theory, and Research. Psychotherapy: Theory, Research, Practice, Training, 2004, Vol. 41, No. 2, 180–189.
Rocco, R. Cottone. 2015. Detrimental Ascociation: An Epistemology Connection of Dysfunction within and Accros Paradigms. Journal of Mental Health Counseling; April 2015; 37, 2; ProQuest.
Soedarmadji, Boy., Sutijono. 2005. Keterampilan Dasar Konseling. Surabaya: UNIPA University Press.
Wibowo, Mungin, Edy. 2013. Kurikulum 2013: Optimalisasi Peran Guru BK. http://bangka.tribunnews.com/2013/01/28/kurikulum-2013-optimalisasi-peran-guru-bk.
Woldt, Ansel, L. 2009. Gestalt Pedagogy-Creativity in Teaching. Gestalt Review, 13(2):135-148, 2009.
http://news.liputan6.com/read/2822793/pelajar-di-tangerang-dibacok-siswa-lain-saat-pulang-sekolah.
http://posberitanasional.blogspot.co.id/2016/01/siswa-dugaan-melakukan-pemalakanpihak.html.
https://nasional.tempo.co/read/news/2012/12/30/058451143/perilaku-seksual-siswa-surabaya-semakin-parah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar