Kamis, 11 Januari 2018

HIPNOKONSELING GESTALT: ALTERNATIF UPAYA MENINGKATKAN PRESTASI AKADEMIK SISWA

Oleh:
Boy Soedarmadji, M.Pd., C.Ht


Abstrak
Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mendeskripsikan penggunaan hipnokonseling Gestalt (HiGest) dalam upaya meningkatkan prestasi akademik siswa. Penggunaan hipnosis dalam proses konseling saat ini sudah menjadi tren bagi para konselor sekolah. Hal ini disebabkan karena proses konseling bisa menjadi semakin efisien dan efektif. HiGest merupakan salah satu strategi konseling yang menggabungkan antara strategi hipnosis yaitu Parts Therapy dan strategi konseling Gestalt yaitu kursi kosong (empty chairs). Penggabungan ini sangat memungkinkan karena latar belakang teori Gestalt yang sangat terbuka dengan perubahan-perubahan dalam dunia konseling. Pelaksanaan HiGest dilakukan dengan mengikuti kaidah-kaidah konseling yang ada.

Kata kunci: hipnosis, gestalt, hipnokonseling, parts therapy, empty chairs, prestasi akademik

Latar Belakang
Saat ini permasalahan yang terkait dengan prestasi akademik siswa menjadi perbincangan hangat. Banyak ahli yang berupaya untuk melakukan penelitian-penelitian terkait dengan upaya menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa serta melakukan penelitian-penelitian untuk meningkatkan prestasi akademik siswa.
Wibowo (2013) menyatakan bahwa proses pembelajaran saat ini lebih berpusat pada pembelajaran tekstual, sehingga memberikan kemampuan atau keterampilan kepada siswa untuk bisa menyelesaikan masalah-masalah sosial. Kondisi seperti ini memberikan dampak bahwa para siswa memiliki ilmu yang baik tetapi rendah dalam kemampuan konsep diri. Pernyataan ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih berpusat pada domain kognitif tetapi belum menjamah domain afektif secara maksimal. Pada sisi lain, kondisi afeksi siswa yang lemah akan berakibat kepada rendahnya capaian prestasi akademik. Siswa yang memiliki konsep diri yang salah secara tidak langsung akan memiliki kontribusi pencapaian prestasi akademik.
Permasalahan lain terkait dengan masalah prestasi akademik siswa adalah belum maksimalnya layanan konseling kepada siswa. Penulis telah melakukan dialog informal dengan para peserta PLPG yang dilakukan di Universitas PGRI Adi Buana Surabaya. Beberapa temuan menarik adalah sebagian besar konselor tidak mempergunakan teori konseling dalam melaksanakan konseling dengan siswa. Perlakuan yang diberikan kepada siswa dilakukan dengan mempergunakan “ilmu warisan” berupa nasihat-nasihat dan pemberian saran/alternatif-alternatif.

Kondisi lain yang menjadi permasalahan di lapangan adalah kegiatan lain yang diampu oleh konselor. Banyak konselor yang merangkap menjadi “guru” mata pelajaran, atau konselor yang menjadi tenaga administratif seperti bendahara dan lain-lain, dimana kegiatan ini bukan merupakan tugas pokok konselor sekolah. Sejauh pengamatan penulis, pemberian tugas tambahan ini karena konselor sekolah masih dianggap memiliki waktu luang yang banyak.
Hasil dialog dan pengamatan di atas memperkuat pendapat Marshall (2004) bahwa pelaksanaan konseling masih belum menyentuh permasalahan-permasalahan mendalam dari para siswa. Hal ini terjadi karena konselor tidak memiliki keterampilan dan pemahaman terhadap teori konseling, sehingga apabila konselor hanya memahami satu teori saja, dan itu tidak sesuai dengan masalah konseli, maka layanan konseling yang diberikan menjadi tidak maksimal (Mohammad dan Rahman, 2011, p. 184).
Pemberian saran, nasihat atau alternatif penyelesaian masalah seringkali memunculkan masalah baru bagi konseli. Hal ini disebabkan ada kemungkinan saran, nasihat dan alternatif ini berbeda dengan keinginan konseli. Mungkin saat proses konseling siswa tampak mengikuti apa yang disampaikan oleh konselor, tetapi hal ini bukan berarti apa yang disampaikan oleh konselor sesuai dengan kebutuhan siswa. Siswa mengikuti “apa kata konselor” karena budaya timur yang mengharuskan “menurut” kepada orang yang lebih tua atau dituakan.

Hipnokonseling Gestalt
Bryant dan Mabbutt (2006, p. 12) menyatakan bahwa hipnosis adalah keadaan dimana pikiran manusia dikondisikan dalam keadaan relaksasi yang mendalam, lebih fokus, dan terjadinya proses yang mudah untuk diberi sugesti. Lebih lanjut, Anthony (2014, p. 33) menyatakan bahwa hipnosis merupakan sebuah kondisi dimana seseorang tidak benar-benar tidur, seseorang masih dalam kondisi sadar terhadap apa yang terjadi di sekitar mereka, mereka juga masih bisa mendengar suara terapis dengan penuh perhatian. Definisi ini dikuatkan oleh pendapat Elkins (2015, p. 6) bahwa hipnosis adalah kondisi sadar yang mencakup perhatian yang mendalam yang memiliki karakteristik adanya peningkatan kapasitas respon terhadap sugesti. Prosedur hipnosis adalah a) pre induction, b) suggestibility test, c) induction, d) deepening, e) Suggestion, f) termination.
Hipnosis membuat pikiran kita rileks karena terjadi penurunan gelombang otak dari Betha (14-28 cps/circle per second) ke Alpha (7-14 cps) atau Tetha (3-7 cps). Dalam kondisi rileks, maka transformasi diri (self-transformation), penyembuhan diri (self-healing), dan bermotivasi (self motivated) akan lebih mudah untuk dilakukan.
Anthony (2014, p. 58-59) menyatakan bahwa untuk membuat konseli/klien merasa rilek, seorang konselor seringkali mempergunakan kata “tidur”. Hal ini bukan berarti konseli akan tidur. Konseli akan berada dalam kondisi seperti tidur, dan mereka masih sadar terhadap apa yang terjadi pada dirinya. Kondisi ini hanya menyerupai tidur.
Anthony (2014, p. 83) menunjukkan beberapa keuntungan penggunaan hipnosis yaitu, (1)  dapat menghilangkan stress dan kecemasan dan mengontrol emosi, (2) saat menggunakan hipnosis diri, maka seseorang dapat memprogram alam ambang sadar serta memberikan sugesti postifi secara kreatif, (3) mengenal hambatan dalam diri dan menghilangkannya, (4) mengontrol rasa sakit, (5) dapat menghipnitis orang lain dalam waktu singkat, (6) dapat diajarkan kepada orang lain, sehingga mereka bisa memecahkan masalahnya sendiri, (7) dapat mengenal masalah dan kemudian menyelesaikannya, (8) dapat mempergunakan imajinasinya untuk menyelesaikan masalah, (9) dapat mengembangkan hubungan baik dengan orang lain atau kelompok dalam waktu singkat, (10) dengan mempergunakan teknik “timeline” seseorang dapat menciptakan tujuan-tujuan di masa yang akan datang, (11) dapat diperoleh kepercayaan diri dengan membuat “anchor”, (12) merasa nyaman dengan orang yang “dibenci” pada masa lalu, (13) hilang rasa takut dan menjadi percaya diri, dan (14) dapat mengembangkan dan meningkatkan kekuatan phisik.
Istilah hipnokonseling saat ini masih berproses. Masih banyak para ahli konseling yang belum memiliki kesepakatan dalam penggunaan istilah tersebut. Hanya saja, beberapa ahli telah mencoba untuk memberikan definisi hipnokonseling. Gunnison (1990, p. 450) menyatakan bahwa hipnokonseling adalah pola untuk memudahkan hubungan teraputik atau sebagai katalis yang memberikan bantuan kepada konselor dalam upaya menjalankan strategi utama konseling seperti Gestalt, CBT, RET dan TA. Sarwono (2015, p. 1) menyatakan bahwa hipnokonseling adalah proses teraputik yang dapat dipergunakan untuk membantu menyelesaikan masalah patologi konseli seperti phobia, trauma dan ketergantungan terhadap obat-obatan, selain itu, hipnonseling juga sangat efektif untuk dipergunakan dalam proses konseling kelompok.
Dalam penulisan ini, hal menarik adalah penggunaan hipnokonseling sebagai salah satu katalis dalam beberapa pendekatan konseling. Penulis lebih memusatkan penulisan ini pada pendekatan Gestalt.
Teori Gestalt memiliki beberapa konsep penting yaitu, a) teori medan, b) fenomenologi, c) here and now, d) urusan yang belum selesai (unfinished bussiness), e) hubungan dan rintangan dalam hubungan, dan f) tenaga dan hambatan tenaga (Mann, 2010; Corey, 2013; Kolmannskog 2013; Novack, Park dan Friedman, 2013; Evans, Duffey dan Carlson, 2013).
Lewin (dalam Sabar, 2013, p. 21) menjelaskan bahawa teori medan adalah satu cara memahami dan menganalisis hubungan sebab dan akibat yang terjadi pada diri individu. Istilah medan ini mengandung makna perpaduan berbagai faktor yang ada baik di dalam maupun di luar diri individu dimana faktor-faktor itu saling berinteraksi dan saling ketergantungan. Yontef (dalam, Kolmannskog 2013, p. 180)  menyatakan bahwa medan boleh diartikan sebagai suatu kerangka kerja atau sudut pandang untuk menjelaskan sebuah peristiwa yang dialami oleh individu sebagai sebuah kejadian yang saling terhubung, saling mempengaruhi, dan saling bermakna. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa upaya untuk mengenal individu sebaiknya dilakukan dengan mengenal medan atau kondisi yang ada di sekitar individu. Kondisi lingkungan sekitar akan memberikan pengaruh terhadap perkembangan individu, dengan kata lain bahwa mengenal individu tidak akan dapat terlepas dari mengenal lingkungannya. Walaupun, bukan berarti bahwa individu pasti sama dengan lingkungannya.  
Keadaan saat ini merupakan hal penting dalam teori Gestalt. Corey (2013, p. 215) menyatakan bahwa usaha untuk memunculkan pengalaman masa lalu hanya menjadikan individu menghindari situasi-situasi yang terjadi pada saat ini. Pendapat ini bukan berarti bahwa masa lalu tidak memiliki arti penting dalam proses perkembangan individu, tetapi lebih kepada upaya menarik pengalaman masa lalu pada masa sekarang. Hal-hal terkait masa lalu yang tidak mengenakkan akan direspon secara tidak sadar oleh individu pada saat ini, dimana bentuk respon itu adalah pada bahasa non verbal individu. Saat bahasa nonverbal itu muncul, maka konselor bisa memberikan pertanyaan atau melakukan konfrontasi terhadap individu.
Palmer (2011, p. 8), bahwa ketika orang-orang terdekat (significant others) muncul dalam pemikiran individu, tetapi masih memiliki masalah yang belum terselesaikan, maka individu ini dapat dikatagorikan memiliki masalah yang belum selesai (unfinished bussiness). Hal ini seperti pendapat Corey (2013, h. 216) yang menyatakan bahwa apabila individu tidak dapat menyelesaikan masalah pada masa lalunya, maka mereka tergolong dalam katagori masalah yang belum selesai, dimana kejadian ini akan memunculkan masalah seperti kebencian, kemarahan, rasa sakit, cemas, sedih, dan rasa bersalah. Permasalahan sebagaimana disebutkan, muncul akibat individu memendam masalah-masalah yang belum terselesaikan di masa lalunya. Penumpukan masalah pada alam bawah sadar yang terjadi secara berulang-ulang akan muncul pada saat ini dalam bentuk bahasa non verbal.
Brownell (dalam Soedarmadji, Samsiah, dan Ahmad, 2017, p. 5) menyatakan bahwa definisi kontak sebagai kehidupan individu yang sebenarnya, dimana ini bisa dipahami dengan memahami individu lain dan lingkungan yang berada di sekitar individu. Corey (2013, p. 217) menyatakan bahwa apabila individu berkembang, hubungan dengan orang lain akan menjadi perhatian, apabila salah satu tumbuh, maka hubungan itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Kolmannskog (2013, p. 83) kontak ialah batasan terhadap pengalaman antara "saya" dan "bukan saya".
Dalam proses konseling Gestalt, konselor lebih menekankan perhatiannya pada bahasa tubuh konseli. Perubahan-perubahan bahasa tubuh ini memiliki arti bahwa ada sesuatu (perasaan atau pikiran) yang sedang ditahan (block) oleh konseli. Corey (2013, p. 218) menyatakan bahwa keadaan ini ditunjukkan dengan beberapa tingkah laku seperti duduk dengan kaki tertutup, menarik nafas dalam-dalam, melihat sekeliling saat berbicara dengan konselor (seperti menghindari kontak mata), dan lain-lain. Perilaku-perilaku sebagaimana disebutkan tadi dilakukan dengan tidak disadari oleh konseli. Perilaku yang tidak disadari ini muncul karena adanya tekanan di alam bawah sadarnya (id).
Woldt (2009, h. 142) menyatakan bahwa tujuan terapi Gestalt adalah untuk meningkatkan kesadaran individu sesuai dengan kebutuhan individu serta latar belakang yang mngikutinya. Hal ini ditambahkan oleh Corey (2013, h. 219) bahwa tujuan terapi Gestalt adalah membantu konseli untuk memperoleh kesadaran, sehingga individu dapat mengambil suatu keputusan. Kesadaran ini meliputi pemahaman terhadap lingkungan, pemahaman terhadap diri sendiri, kemampuan menerima diri, serta kemampuan untuk menjalin hubungan dengan lingkungannya. 
Penulis mempergunakan prosedur konseling yang telah disajikan oleh Geldard (1993, p. 99) yang diuraikan sebagai berikut, a) persiapan (preparation), b) pembukaan (preamble), c) mengawali pertemuan konseling (getting staretd), d) mendengar secara aktif (active listening), e) identifikasi masalah dan klarifikasi (problem identification & clarification), f) tahap perubahan sikap (facilitating attitude change), g) menggali pilihan dan memfasilitasi aksi (exploring options and facilitating action), dan h) pengakhiran (termination).

Strategi Hipnokonseling Gestalt
Pendekatan Gestalt memiliki beberapa strategi konseling yang sudah mapan. Strategi konseling itu antara lain adalah a) kursi kosong (empty chairs), b) dialog, c) konfrontasi, d) past life regression, e) “saya bertanggungjawab akan ...”, dan masih banyak lagi. Salah satu strategi kolaborasi yang akan disajikan dalam penulisan ini adalah kursi kosong (empty chairs) dengan terapi bagian diri (parts therapy).
Corey (2013, p. 228) menyatakan bahwa teknik kursi kosong (empty chairs) adalah salah satu cara untuk membantu konseli dalam upaya mengeluarkan sesuatu yang diintrojeksi oleh individu, dimana dimana dengan mempergunakan dua kursi seorang konselor akan meminta konseli untuk duduk di satu kursi (top dog) dan berpindah ke kursi lain (under dog). Dua kursi ini akan memberikan peran yang berlawanan bagi konseli, sehingga pada akhirnya konseli akan dapat menemukan dan memahami peran masing-masing bagian dalam dirinya, serta dapat memahami pemikiran atau perasaan orang lain.  
Hunter (2016) menyatakan bahwa parts therapy didasarkan pada konsep bahwa kepribadian seseorang terdiri daripada bagian-bagian. Bagian kepribadian ini merupakan aspek dari subconscious yang mempunyai fungsi dan peran masing-masing. Dengan kata lain, kita setiap hari mempergunakan “topi” yang berbeda untuk berjalan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Proses konseling yang dilakukan dimulai dengan mempergunakan kaidah konseling geldard. Saat konselor dan konseli sudah memasuki tahapan untuk menggali pilihan dan melaksanakan aksi (exploring options and facilitating action), maka konselor akan menawarkan penggunaan strategi kolaborasi empty chairs dan parts therapy. Jika konseli setuju, maka konselor mengajak konseli untuk memahami kutub-kutub masalahnya. Berdasar pada pemahaman terhadap kutub masalah itu, maka konselor akan menjelaskan kepada konseli bahwa kutub-kutub itu merupakan bagian dari pribadi konseli yang berseberangan dan sangat memungkinkan untuk diajak berdialog.
Pada prinsipnya, konselor akan memabntu konseli untuk memasuki kondisi trance. Saat kondisi trance ini telah dicapai, maka konselor akan mengajak konseli untuk memanggil “pribadi-pribadi” yang bermasalah dengan dirinya (biasanya konflik). Setelah pribadi bermasalah muncul, maka konseli diminta untuk mendudukkan mereka dalam kursi-kursi imajiner yang telah disediakan. Selanjutnya akan dilakukan dialog antara konseli dengan pribadi-pribadi yang berkonflik dengan konseli.
Pada strategi ini, konseli tidak perlu lagi untuk berkali-kali pindah kursi dalam upaya memerankan pribadi lain yang berkonflik dengannya. Konseli akan mengamati dialog yang terjadi antara bagian-bagian dirinya yang memiliki konflik dengan pribadi lain dalam dirinya. Pada akhirnya dalam proses dialog itu akan muncul kesepakatan-kesepakatan yang akan dipergunakan oleh konseli untuk berperilaku.

Strategi Hipnokonseling Gestalt dan Peningkatan Prestasi Akademik Siswa
Beberapa konseli seringkali mengadu bahwa dirinya tidak disenangi oleh guru mata pelajaran tertentu. Hal ini ditunjukkan dengan nilai mata pelajaran tertentu hasilnya di bawah KKM. Masalah ini pada dasarnya adalah masalah-masalah yang terkait dengan urusan yang belum selesai antara konseli dengan guru bidang studi. Konflik ini sering muncul, dan konseli selalu mengatakan bahwa guru mata pelajarn itu membenci dirinya, atau guru mata pelajaran itu tidak memahami dirinya.
Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa permasalahan siswa khususnya tentang prestasi akademik seringkali muncul karena adanya urusan yang belum selesai (unfinished bussiness). Kondisi-kondisi yang terkait dengan masa lalu siswa yang belum terselesaikan (mis: konflik dengan significant others) akan berujung pada perilaku-perilaku yang menyimpang pada saat ini. Masalah tersebut seringkali tidak/belum terselesaikan karena siswa tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikannya, dan kemudian memilih untuk memendam masalah tersebut ke alam bawah sadarnya. Upaya memendam masalah ke alam bawah sadar ini dilakukan dengan tidak disadari oleh siswa, dan ini berlangsung lama. Secara tidak disadari pula, penekanan masalah yang belum selesai ini dilakukan secara berulang-ulang.
Jika kita memperhatikan teori psikoanalisa, maka sesuatu yang tidak disadari tersebut akan dapat muncul jika siswa dalam kondisi ambang sadar. Munculnya permasalahan itu dalam bentuk lain yang tidak disadari oleh individu. Bentuk atau wujudnya adalah dalam perilaku-perilaku tertentu, terutama perilaku non verbal.
Saat konseli melaksanakan strategi kursi kosong-terapi bagian diri, makna sebenarnya adalah memberikan kesempatan kepada keinginan atau kebutuhan (id) yang tersampaikan menjadi keluar. Dalam dialog itu, sesuatu yang tidak bisa dikeluarkan akan dimanifestasikan dalam bentuk pribadi lain (sosok orang lain) yang memiliki konflik dengan konseli. Pribadi lain ini bisa satu, dua atau lebih yang dapat dimunculkan oleh konseli.
Konselor Gestalt akan mengamati bahasa-bahasa tubuh konseli saat melakukan dialog dengan pribadi-pribadi lain ini, dan konselor dapat langsung bertanya kepada konseli terhadap perubahan-perubahan bahasa tubuh yang muncul, bahkan konselor dapat melakukan konfrontasi kepada konseli.
Tahap akhir dari proses konseling ini adalah membuat simpulan dari proses dialog antara konseli dengan pribadi-pribadi lain dalam dirinya. Simpulan ini biasanya merupakan kesepakatan-kesepakatan yang dicapai dari hasil dialog, yang akan dilakukan oleh konseli setelah berakhir sesi konseling.


Simpulan
Penanganan masalah siswa membutuhkan strategi konseling yang efektif dan efisien, artinya efektif dalam menyelesaikan masalah serta efisien penggunaan waktu. Penggunaan strategi HiGest dapat membantu mengatasi masalah prestasi akademik siswa yang disebabkan masalah-masalah pribadi seperti urusan yang belum selesai.

Referensi
Bryant, Mike., Mabbutt, Peter. (2006). Hypnotherapy for Dummies. West Sussex: John Wiley & Sons, Ltd.
Corey, Gerald. (2013). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy (8th ed). California: Thomson Brooks/Cole.
Elkins, Gary R., et all. (2015). Advancing Research and Practice: The Revised APA Division 30 Definition of Hypnosis. International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis, Intl. Journal of Clinical and Experimental Hypnosis, 63(1): 1–9, 2015.
Geldard, David. (1993). Basic Personal Counseling: a training manual for counselor (2nd ed). New York: Prentice Hall
Gunnison, Hugh. (1990). Hypnocounseling: Ericksonian Hypnosis for Counselors. Journal of Counseling and Development; Mar 1990; 68, 4; ProQuest pg. 450.
Hunter, Roy, C. 2016. What Is Parts Therapy? https://www.hypnosis.org/free-hypnosis/hypnosis-hypnotherapy-articles/c-roy-hunter/what-is-parts-therapy.php
Kolmannskog, Vikram. (2013). What Gestalt Approaches Can Contribute to Climate Change Transformation. Journal of Sustainable Development. Vol. 6, No. 10; 2013.
Mann, Dave. 2010. Gestalt Therapy: 100 Key points and techniques. Sussex: Routledge
Mohammad, Zakaria., Rahman, Asyraf. (2011). Counseling Practitioners in Malaysia: Socio-Demographic Profile and Theoretical Approaches in Counseling Process. International Journal of Business and Social Science. Vol. 2, No, 22, December 2011 p. 184
Palmer, A, Kendra. (2011). Gestalt Therapy in Psychological Practice. http://www.studentpulse.com/articles/595/gestalt-therapy-in-psychological-practice
Sabar, Stephanie. (2013). What’s a Gestalt? Gestalt Review, 17(1):6-34, 2013.
Sarwono, Budi. (2015). Truly Hypnocounseling. https://www.usd.ac.id/fakultas/ pendidikan/bk/daftar.php?id=artikel&noid=3&offset=0
Wibowo, Mungin, Edy. (2013). Kurikulum 2013: Optimalisasi Peran Guru BK. http://bangka.tribunnews.com/2013/01/28/kurikulum-2013-optimalisasi-peran-guru-bk

Woldt, Ansel, L. (2009). Gestalt Pedagogy-Creativity in Teaching. Gestalt Review, 13(2):135-148, 2009.

Tidak ada komentar:

Kesurupan .......... Tulisan ini mencoba untuk menjawab berbagai pertanyaan tentang proses terjadinya kesurupan massal yang menjadi fe...