HIPNOKONSELING GESTALT: ALTERNATIF UPAYA MENINGKATKAN PRESTASI AKADEMIK
SISWA
Oleh:
Boy
Soedarmadji, M.Pd., C.Ht
Abstrak
Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mendeskripsikan
penggunaan hipnokonseling Gestalt (HiGest) dalam upaya meningkatkan prestasi
akademik siswa. Penggunaan hipnosis dalam proses konseling saat ini sudah
menjadi tren bagi para konselor sekolah. Hal ini disebabkan karena proses
konseling bisa menjadi semakin efisien dan efektif. HiGest merupakan salah satu
strategi konseling yang menggabungkan antara strategi hipnosis yaitu Parts
Therapy dan strategi konseling Gestalt yaitu kursi kosong (empty chairs). Penggabungan ini sangat memungkinkan karena latar
belakang teori Gestalt yang sangat terbuka dengan perubahan-perubahan dalam
dunia konseling. Pelaksanaan HiGest dilakukan dengan mengikuti kaidah-kaidah
konseling yang ada.
Kata kunci: hipnosis,
gestalt, hipnokonseling, parts therapy, empty chairs, prestasi akademik
Latar Belakang
Saat ini
permasalahan yang terkait dengan prestasi akademik siswa menjadi perbincangan
hangat. Banyak ahli yang berupaya untuk melakukan penelitian-penelitian terkait
dengan upaya menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa
serta melakukan penelitian-penelitian untuk meningkatkan prestasi akademik
siswa.
Wibowo
(2013) menyatakan bahwa proses pembelajaran
saat ini lebih berpusat pada pembelajaran tekstual, sehingga memberikan
kemampuan atau keterampilan kepada siswa untuk bisa menyelesaikan
masalah-masalah sosial. Kondisi seperti ini memberikan dampak bahwa para siswa
memiliki ilmu yang baik tetapi rendah dalam kemampuan konsep diri. Pernyataan
ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih berpusat pada domain
kognitif tetapi belum menjamah domain afektif secara maksimal. Pada sisi lain,
kondisi afeksi siswa yang lemah akan berakibat kepada rendahnya capaian
prestasi akademik. Siswa yang memiliki konsep diri yang salah secara tidak
langsung akan memiliki kontribusi pencapaian prestasi akademik.
Permasalahan lain
terkait dengan masalah prestasi akademik siswa adalah belum maksimalnya layanan
konseling kepada siswa. Penulis telah melakukan dialog informal dengan para
peserta PLPG yang dilakukan di Universitas PGRI Adi Buana Surabaya. Beberapa
temuan menarik adalah sebagian besar konselor tidak mempergunakan teori
konseling dalam melaksanakan konseling dengan siswa. Perlakuan yang diberikan
kepada siswa dilakukan dengan mempergunakan “ilmu warisan” berupa
nasihat-nasihat dan pemberian saran/alternatif-alternatif.
Kondisi lain yang menjadi permasalahan
di lapangan adalah kegiatan lain yang diampu oleh konselor. Banyak konselor
yang merangkap menjadi “guru” mata pelajaran, atau konselor yang menjadi tenaga
administratif seperti bendahara dan lain-lain, dimana kegiatan ini bukan
merupakan tugas pokok konselor sekolah. Sejauh pengamatan penulis, pemberian
tugas tambahan ini karena konselor sekolah masih dianggap memiliki waktu luang
yang banyak.
Hasil dialog dan pengamatan di atas
memperkuat pendapat Marshall (2004) bahwa pelaksanaan konseling masih belum
menyentuh permasalahan-permasalahan mendalam dari para siswa. Hal ini terjadi
karena konselor tidak memiliki keterampilan dan pemahaman terhadap teori konseling,
sehingga apabila konselor hanya memahami satu teori saja, dan itu tidak sesuai
dengan masalah konseli, maka layanan konseling yang diberikan menjadi tidak maksimal
(Mohammad dan Rahman, 2011, p. 184).
Pemberian saran, nasihat atau alternatif
penyelesaian masalah seringkali memunculkan masalah baru bagi konseli. Hal ini
disebabkan ada kemungkinan saran, nasihat dan alternatif ini berbeda dengan
keinginan konseli. Mungkin saat proses konseling siswa tampak mengikuti apa
yang disampaikan oleh konselor, tetapi hal ini bukan berarti apa yang
disampaikan oleh konselor sesuai dengan kebutuhan siswa. Siswa mengikuti “apa
kata konselor” karena budaya timur yang mengharuskan “menurut” kepada orang
yang lebih tua atau dituakan.
Hipnokonseling Gestalt
Bryant
dan Mabbutt (2006, p. 12) menyatakan bahwa hipnosis adalah keadaan dimana pikiran
manusia dikondisikan dalam keadaan relaksasi yang mendalam, lebih fokus, dan
terjadinya proses yang mudah untuk diberi sugesti. Lebih lanjut, Anthony (2014, p. 33) menyatakan bahwa hipnosis merupakan sebuah kondisi dimana seseorang tidak benar-benar tidur,
seseorang masih dalam kondisi sadar terhadap apa yang terjadi di sekitar
mereka, mereka juga masih bisa mendengar suara terapis dengan penuh perhatian.
Definisi ini dikuatkan oleh pendapat Elkins (2015, p. 6) bahwa hipnosis adalah kondisi
sadar yang mencakup perhatian yang mendalam yang memiliki karakteristik adanya peningkatan kapasitas respon
terhadap sugesti. Prosedur hipnosis adalah a) pre induction, b) suggestibility
test, c) induction, d) deepening, e) Suggestion, f) termination.
Hipnosis membuat
pikiran kita rileks
karena terjadi penurunan gelombang otak dari Betha (14-28 cps/circle per second) ke Alpha (7-14 cps)
atau Tetha (3-7 cps). Dalam kondisi rileks, maka transformasi diri (self-transformation), penyembuhan diri (self-healing), dan bermotivasi (self motivated) akan
lebih mudah untuk dilakukan.
Anthony (2014, p. 58-59) menyatakan bahwa untuk membuat
konseli/klien merasa rilek, seorang konselor seringkali mempergunakan kata
“tidur”. Hal ini bukan berarti konseli akan tidur. Konseli akan berada dalam
kondisi seperti tidur, dan mereka masih sadar terhadap apa yang terjadi pada
dirinya. Kondisi ini hanya menyerupai tidur.
Anthony (2014, p. 83) menunjukkan beberapa keuntungan
penggunaan hipnosis yaitu, (1) dapat
menghilangkan stress dan kecemasan dan mengontrol emosi, (2) saat menggunakan
hipnosis diri, maka seseorang dapat memprogram alam ambang sadar serta
memberikan sugesti postifi secara kreatif, (3) mengenal hambatan dalam diri dan
menghilangkannya, (4) mengontrol rasa sakit, (5) dapat menghipnitis orang lain
dalam waktu singkat, (6) dapat diajarkan kepada orang lain, sehingga mereka
bisa memecahkan masalahnya sendiri, (7) dapat mengenal masalah dan kemudian
menyelesaikannya, (8) dapat mempergunakan imajinasinya untuk menyelesaikan
masalah, (9) dapat mengembangkan hubungan baik dengan orang lain atau kelompok
dalam waktu singkat, (10) dengan mempergunakan teknik “timeline” seseorang
dapat menciptakan tujuan-tujuan di masa yang akan datang, (11) dapat diperoleh
kepercayaan diri dengan membuat “anchor”, (12) merasa nyaman dengan orang yang
“dibenci” pada masa lalu, (13) hilang rasa takut dan menjadi percaya diri, dan
(14) dapat mengembangkan dan meningkatkan kekuatan phisik.
Istilah
hipnokonseling saat ini masih berproses. Masih banyak para ahli konseling yang
belum memiliki kesepakatan dalam penggunaan istilah tersebut. Hanya saja,
beberapa ahli telah mencoba untuk memberikan definisi hipnokonseling. Gunnison
(1990, p. 450) menyatakan bahwa hipnokonseling adalah pola untuk memudahkan hubungan teraputik atau
sebagai katalis yang memberikan bantuan kepada konselor dalam upaya menjalankan
strategi utama konseling seperti Gestalt, CBT, RET dan TA. Sarwono (2015, p. 1) menyatakan bahwa hipnokonseling adalah proses teraputik
yang dapat dipergunakan untuk membantu menyelesaikan masalah patologi konseli
seperti phobia, trauma dan ketergantungan terhadap obat-obatan, selain itu,
hipnonseling juga sangat efektif untuk dipergunakan dalam proses konseling
kelompok.
Dalam penulisan ini, hal menarik adalah penggunaan
hipnokonseling sebagai salah satu katalis dalam beberapa pendekatan konseling.
Penulis lebih memusatkan penulisan ini pada pendekatan Gestalt.
Teori Gestalt memiliki beberapa konsep penting yaitu, a) teori medan, b) fenomenologi, c) here and now, d) urusan yang belum selesai (unfinished bussiness), e) hubungan dan rintangan dalam hubungan, dan f) tenaga dan hambatan tenaga (Mann, 2010; Corey, 2013; Kolmannskog 2013; Novack, Park dan Friedman,
2013; Evans, Duffey dan Carlson, 2013).
Lewin (dalam Sabar, 2013, p. 21) menjelaskan bahawa teori medan adalah satu cara memahami dan menganalisis hubungan sebab dan akibat yang terjadi pada diri individu. Istilah medan ini mengandung makna
perpaduan berbagai faktor yang ada baik di dalam maupun di luar diri individu
dimana faktor-faktor itu saling berinteraksi dan saling ketergantungan. Yontef (dalam, Kolmannskog 2013, p. 180) menyatakan bahwa medan boleh diartikan sebagai
suatu kerangka kerja atau sudut pandang untuk menjelaskan sebuah peristiwa yang
dialami oleh individu sebagai sebuah kejadian yang saling terhubung, saling
mempengaruhi, dan saling bermakna. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa upaya
untuk mengenal individu sebaiknya dilakukan dengan mengenal medan atau kondisi
yang ada di sekitar individu. Kondisi lingkungan sekitar akan memberikan
pengaruh terhadap perkembangan individu, dengan kata lain bahwa mengenal
individu tidak akan dapat terlepas dari mengenal lingkungannya. Walaupun, bukan
berarti bahwa individu pasti sama dengan lingkungannya.
Keadaan
saat ini merupakan hal penting dalam teori Gestalt. Corey
(2013, p. 215) menyatakan bahwa usaha untuk memunculkan
pengalaman masa lalu hanya menjadikan individu menghindari situasi-situasi yang terjadi pada
saat ini. Pendapat ini bukan berarti bahwa masa
lalu tidak memiliki arti penting dalam proses perkembangan individu, tetapi
lebih kepada upaya menarik pengalaman masa lalu pada masa sekarang. Hal-hal
terkait masa lalu yang tidak mengenakkan akan direspon secara tidak sadar oleh
individu pada saat ini, dimana bentuk respon itu adalah pada bahasa non verbal
individu. Saat bahasa nonverbal itu muncul, maka konselor bisa memberikan
pertanyaan atau melakukan konfrontasi terhadap individu.
Palmer (2011, p. 8), bahwa ketika orang-orang terdekat (significant
others) muncul dalam pemikiran individu, tetapi masih memiliki masalah yang
belum terselesaikan, maka individu ini dapat dikatagorikan memiliki masalah
yang belum selesai (unfinished bussiness).
Hal ini seperti
pendapat Corey (2013, h. 216) yang
menyatakan bahwa apabila individu tidak dapat menyelesaikan masalah pada masa
lalunya, maka mereka tergolong dalam katagori masalah yang belum selesai,
dimana kejadian ini akan memunculkan masalah seperti kebencian, kemarahan, rasa
sakit, cemas, sedih, dan rasa bersalah. Permasalahan sebagaimana disebutkan,
muncul akibat individu memendam masalah-masalah yang belum terselesaikan di
masa lalunya. Penumpukan masalah pada alam bawah sadar yang terjadi secara
berulang-ulang akan muncul pada saat ini dalam bentuk bahasa non verbal.
Brownell (dalam Soedarmadji, Samsiah, dan Ahmad, 2017, p. 5) menyatakan bahwa definisi kontak sebagai kehidupan individu yang
sebenarnya, dimana ini bisa dipahami dengan memahami individu lain dan
lingkungan yang berada di sekitar individu. Corey (2013, p. 217) menyatakan bahwa
apabila individu berkembang, hubungan dengan orang lain akan menjadi perhatian,
apabila salah satu tumbuh, maka hubungan itu merupakan
sesuatu yang tidak dapat dihindari. Kolmannskog (2013, p. 83) kontak ialah batasan terhadap pengalaman antara "saya" dan "bukan saya".
Dalam proses
konseling Gestalt, konselor lebih menekankan perhatiannya pada bahasa tubuh
konseli. Perubahan-perubahan bahasa tubuh ini memiliki arti bahwa ada sesuatu
(perasaan atau pikiran) yang sedang ditahan (block) oleh konseli. Corey (2013, p. 218) menyatakan bahwa keadaan ini ditunjukkan dengan
beberapa tingkah laku seperti duduk dengan kaki tertutup, menarik nafas
dalam-dalam, melihat sekeliling saat berbicara dengan konselor (seperti menghindari kontak mata), dan
lain-lain. Perilaku-perilaku sebagaimana disebutkan tadi dilakukan
dengan tidak disadari oleh konseli. Perilaku yang tidak disadari ini muncul
karena adanya tekanan di alam bawah sadarnya (id).
Woldt (2009, h. 142) menyatakan bahwa tujuan terapi
Gestalt adalah untuk meningkatkan kesadaran individu sesuai dengan kebutuhan
individu serta latar belakang yang mngikutinya. Hal ini ditambahkan oleh Corey
(2013, h. 219) bahwa tujuan terapi Gestalt adalah membantu konseli untuk
memperoleh kesadaran, sehingga individu dapat mengambil suatu keputusan.
Kesadaran ini meliputi pemahaman terhadap lingkungan, pemahaman terhadap diri
sendiri, kemampuan menerima diri, serta kemampuan untuk menjalin hubungan
dengan lingkungannya.
Penulis mempergunakan prosedur konseling yang telah
disajikan oleh Geldard (1993, p. 99) yang diuraikan sebagai berikut, a)
persiapan (preparation), b) pembukaan
(preamble), c) mengawali pertemuan
konseling (getting staretd), d)
mendengar secara aktif (active listening),
e) identifikasi masalah dan klarifikasi (problem
identification & clarification), f) tahap perubahan sikap (facilitating attitude change), g) menggali
pilihan dan memfasilitasi aksi (exploring
options and facilitating action), dan h) pengakhiran (termination).
Strategi Hipnokonseling Gestalt
Pendekatan Gestalt
memiliki beberapa strategi konseling yang sudah mapan. Strategi konseling itu
antara lain adalah a) kursi kosong (empty
chairs), b) dialog, c) konfrontasi, d) past
life regression, e) “saya
bertanggungjawab akan ...”, dan masih banyak lagi. Salah satu strategi
kolaborasi yang akan disajikan dalam penulisan ini adalah kursi kosong (empty chairs) dengan terapi bagian diri
(parts therapy).
Corey (2013, p. 228) menyatakan bahwa teknik kursi kosong (empty
chairs) adalah salah satu cara untuk membantu konseli dalam upaya
mengeluarkan sesuatu yang diintrojeksi oleh individu, dimana dimana dengan
mempergunakan dua kursi seorang konselor akan meminta konseli untuk duduk di
satu kursi (top dog) dan berpindah ke
kursi lain (under dog). Dua kursi ini
akan memberikan peran yang berlawanan bagi konseli, sehingga pada akhirnya
konseli akan dapat menemukan dan memahami peran masing-masing bagian dalam
dirinya, serta dapat memahami pemikiran atau perasaan orang lain.
Hunter (2016) menyatakan
bahwa parts therapy didasarkan pada
konsep bahwa kepribadian seseorang terdiri daripada bagian-bagian. Bagian kepribadian ini merupakan aspek
dari subconscious yang mempunyai
fungsi dan peran masing-masing.
Dengan kata lain, kita setiap hari mempergunakan “topi” yang berbeda untuk berjalan dalam kehidupan
kita sehari-hari.
Proses
konseling yang dilakukan dimulai dengan mempergunakan kaidah konseling geldard.
Saat konselor dan konseli sudah memasuki tahapan untuk menggali pilihan dan
melaksanakan aksi (exploring
options and facilitating action), maka konselor akan menawarkan penggunaan strategi
kolaborasi empty chairs dan parts therapy. Jika konseli setuju, maka konselor mengajak konseli untuk memahami kutub-kutub
masalahnya. Berdasar pada pemahaman terhadap kutub masalah itu, maka konselor
akan menjelaskan kepada konseli bahwa kutub-kutub itu merupakan bagian dari
pribadi konseli yang berseberangan dan sangat memungkinkan untuk diajak
berdialog.
Pada
prinsipnya, konselor akan memabntu konseli untuk memasuki kondisi trance. Saat
kondisi trance ini telah dicapai, maka konselor akan mengajak konseli untuk
memanggil “pribadi-pribadi” yang bermasalah dengan dirinya (biasanya konflik).
Setelah pribadi bermasalah muncul, maka konseli diminta untuk mendudukkan
mereka dalam kursi-kursi imajiner yang telah disediakan. Selanjutnya akan
dilakukan dialog antara konseli dengan pribadi-pribadi yang berkonflik dengan
konseli.
Pada
strategi ini, konseli tidak perlu lagi untuk berkali-kali pindah kursi dalam upaya
memerankan pribadi lain yang berkonflik dengannya. Konseli akan mengamati
dialog yang terjadi antara bagian-bagian dirinya yang memiliki konflik dengan
pribadi lain dalam dirinya. Pada akhirnya dalam proses dialog itu akan muncul
kesepakatan-kesepakatan yang akan dipergunakan oleh konseli untuk berperilaku.
Strategi Hipnokonseling Gestalt dan Peningkatan Prestasi Akademik Siswa
Beberapa konseli seringkali mengadu bahwa dirinya tidak
disenangi oleh guru mata pelajaran tertentu. Hal ini ditunjukkan dengan nilai
mata pelajaran tertentu hasilnya di bawah KKM. Masalah ini pada dasarnya adalah
masalah-masalah yang terkait dengan urusan yang belum selesai antara konseli
dengan guru bidang studi. Konflik ini sering muncul, dan konseli selalu
mengatakan bahwa guru mata pelajarn itu membenci dirinya, atau guru mata
pelajaran itu tidak memahami dirinya.
Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa permasalahan siswa khususnya
tentang prestasi akademik seringkali muncul karena adanya urusan yang belum
selesai (unfinished bussiness). Kondisi-kondisi yang terkait dengan masa lalu
siswa yang belum terselesaikan (mis: konflik dengan significant others) akan
berujung pada perilaku-perilaku yang menyimpang pada saat ini. Masalah tersebut
seringkali tidak/belum terselesaikan karena siswa tidak memiliki kemampuan
untuk menyelesaikannya, dan kemudian memilih untuk memendam masalah tersebut ke
alam bawah sadarnya. Upaya memendam masalah ke alam bawah sadar ini dilakukan
dengan tidak disadari oleh siswa, dan ini berlangsung lama. Secara tidak
disadari pula, penekanan masalah yang belum selesai ini dilakukan secara
berulang-ulang.
Jika kita memperhatikan teori psikoanalisa, maka sesuatu
yang tidak disadari tersebut akan dapat muncul jika siswa dalam kondisi ambang
sadar. Munculnya permasalahan itu dalam bentuk lain yang tidak disadari oleh
individu. Bentuk atau wujudnya adalah dalam perilaku-perilaku tertentu,
terutama perilaku non verbal.
Saat konseli melaksanakan strategi kursi kosong-terapi
bagian diri, makna sebenarnya adalah memberikan kesempatan kepada keinginan
atau kebutuhan (id) yang tersampaikan menjadi keluar. Dalam dialog itu, sesuatu
yang tidak bisa dikeluarkan akan dimanifestasikan dalam bentuk pribadi lain
(sosok orang lain) yang memiliki konflik dengan konseli. Pribadi lain ini bisa
satu, dua atau lebih yang dapat dimunculkan oleh konseli.
Konselor Gestalt akan mengamati bahasa-bahasa tubuh
konseli saat melakukan dialog dengan pribadi-pribadi lain ini, dan konselor
dapat langsung bertanya kepada konseli terhadap perubahan-perubahan bahasa
tubuh yang muncul, bahkan konselor dapat melakukan konfrontasi kepada konseli.
Tahap akhir dari proses konseling ini adalah membuat
simpulan dari proses dialog antara konseli dengan pribadi-pribadi lain dalam
dirinya. Simpulan ini biasanya merupakan kesepakatan-kesepakatan yang dicapai
dari hasil dialog, yang akan dilakukan oleh konseli setelah berakhir sesi
konseling.
Simpulan
Penanganan masalah siswa membutuhkan strategi konseling
yang efektif dan efisien, artinya efektif dalam menyelesaikan masalah serta
efisien penggunaan waktu. Penggunaan strategi HiGest dapat membantu mengatasi
masalah prestasi akademik siswa yang disebabkan masalah-masalah pribadi seperti
urusan yang belum selesai.
Referensi
Bryant, Mike., Mabbutt, Peter. (2006). Hypnotherapy for Dummies. West Sussex: John Wiley & Sons, Ltd.
Corey,
Gerald. (2013). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy (8th ed).
California: Thomson
Brooks/Cole.
Elkins,
Gary R., et all. (2015). Advancing Research and Practice: The Revised APA
Division 30 Definition of Hypnosis. International Journal of Clinical and
Experimental Hypnosis, Intl. Journal of Clinical and Experimental Hypnosis,
63(1): 1–9, 2015.
Geldard,
David. (1993). Basic Personal Counseling:
a training manual for counselor (2nd ed). New York: Prentice
Hall
Gunnison,
Hugh. (1990). Hypnocounseling: Ericksonian Hypnosis for Counselors. Journal of Counseling and Development; Mar
1990; 68, 4; ProQuest pg. 450.
Hunter,
Roy, C. 2016. What Is Parts Therapy?
https://www.hypnosis.org/free-hypnosis/hypnosis-hypnotherapy-articles/c-roy-hunter/what-is-parts-therapy.php
Kolmannskog,
Vikram. (2013). What Gestalt Approaches Can Contribute to Climate Change
Transformation. Journal of Sustainable
Development. Vol. 6, No. 10; 2013.
Mann,
Dave. 2010. Gestalt Therapy: 100 Key
points and techniques. Sussex: Routledge
Mohammad, Zakaria., Rahman, Asyraf. (2011).
Counseling Practitioners in Malaysia: Socio-Demographic Profile and Theoretical
Approaches in Counseling Process. International
Journal of Business and Social Science. Vol. 2, No, 22, December 2011 p. 184
Palmer, A, Kendra. (2011). Gestalt Therapy in Psychological Practice.
http://www.studentpulse.com/articles/595/gestalt-therapy-in-psychological-practice
Sabar,
Stephanie. (2013). What’s a Gestalt? Gestalt Review, 17(1):6-34, 2013.
Sarwono,
Budi. (2015). Truly Hypnocounseling. https://www.usd.ac.id/fakultas/ pendidikan/bk/daftar.php?id=artikel&noid=3&offset=0
Wibowo, Mungin, Edy. (2013). Kurikulum 2013: Optimalisasi Peran Guru BK.
http://bangka.tribunnews.com/2013/01/28/kurikulum-2013-optimalisasi-peran-guru-bk
Woldt,
Ansel, L. (2009). Gestalt Pedagogy-Creativity in Teaching. Gestalt Review, 13(2):135-148, 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar