01022018
Saya terkejut setelah mendengar berita adanya siswa
sekolah yang ditangkap oleh polisi dengan sangkaan telah melakukan penganiayaan
terhadap guru, hingga guru tersebut meninggal. Kondisi ini langsung mengarahkan
saya untuk berpikir apa yang telah terjadi dalam dunia pendidikan kita?
khususnya bidang Bimbingan dan Konseling sebagai bidang perhatian saya selama
ini.
Tulisan ini tidak bertujuan untuk “menyalahkan” atau “memojokkan”
peran Konselor sekolah dan di sisi lain tidak bertujuan untuk “membela” siswa
yang telah melakukan pelanggaran hukum.
Saya mencoba untuk memandang tulisan ini dari teori
Gestalt. Gestalt memandang individu sebagai sosok positif. Hal ini
mengindikasikan bahwa tidak ada manusia yang tidak baik. Sebuah masalah muncul
karena seseorang tidak menyadari apa yang dilakukan pada saat ini. Pada umumnya
masalah yang muncul pada saat ini karena adanya akumulasi permasalahan di masa
lalu, atau adanya adanya impian-impian yang mungkin tidak dapat dilaksanakan. Permasalahan
masa lalu bisa terjadi karena adanya urusan yang belum selesai, utamanya dengan
orang-orang yang signifikan (mis: orang tua, teman dekat, guru dll). Mereka tidak
menyadari bahwa mereka memiliki masalah. Permasalahan ini pada akhirnya akan
membentuk perilaku pada saat ini (here
and now). Uniknya, perilaku bermasalah ini muncul dengan tidak disadari
oleh siswa.
Dalam teori Gestalt, kasus ini terjadi karena ada
kemungkinan siswa tersebut memiliki urusan yang belum selesai (unfinished business) dengan guru yang
menjadi korban, atau mungkin dengan guru lain. Pernyataan guru yang
bersangkutan bisa jadi sudah dilakukan berulang kali, atau pernyataan yang sama
sudah dilakukan oleh guru lain secara berulang-ulang, dan siswa tidak mampu
menyatakan ketidaksenangannya (block
energy). Dalam kasus ini, siswa dalam posisi under dog. Posisi under dog merupakan sebuah posisi “kalah”.
Kondisi “kalah” ini merupakan sebuah posisi yang tidak disukai oleh id. Id akan
selalu berusaha untuk menyelesaikan masalahnya dengan caranya sendiri.
Dalam kasus ini, siswa hanya melihat bahwa yang melakukan
adalah sosok guru. Pernyataan negatif yang sering diterima oleh siswa ini
dipendam pada alam bawah sadarnya, karena mungkin saat kondisi sadarnya siswa
ini tidak mampu untuk “melawan”. Jika ini terjadi secara berulang-ulang, maka
akan menjadi tumpukan sampah yang mengendap dalam alam bawah sadarnya.
Tumpukan sampah ini memiliki tingkat batas tertentu, yang
akan meledak pada saat tumpukan itu sudah jenuh. Ledakan itu akan
dimanifestasikan dalam berbagai bentuk, yang biasanya bersifat destruktif atau
merusak. Luapan ini seringkali tidak disadari oleh siswa, karena perilaku ini
didorong oleh id yang ingin mencari kebebasan atau kesenangan. Beberapa referensi
menunjukkan bahwa perpindahan dari alam tidak sadar ke alam sadar hanya
dibatasi oleh alam ambang sadar yang sangat tipis dan mudah sekali terbuka,
apalagi jika masalah atau tmpukan masalah sudah mencapai ttik nadirnya.
Terkait dengan kasus Sampang, saat siswa ditegur oleh
gurunya, ada kemungkinan dia merasa tidak nyaman. Kondisi tidak nyaman ini pada
dasarnya sudah membuat batasan alam ambang sadarnya terbuka. Saat alam ambang
sadarnya terbuka, maka tumpukan sampah akan keluar dengan tidak terkendali dan
biasanya terwujud dalam bentuk perilaku yang negatif. Kekuatan sampah negatif
ini akan mendorong perilaku negatif seperti berteriak, memukul atau perilaku
negatif lainnya. Biasanya pelaku yang dikuasai oleh sampah-sampah negatif ini
akan melakukannya dengan membabi buta (orang
mengatakan buta mata) sampai seluruh energi yang ditahan (block energy) keluar semua. Biasanya perilaku
siswa setelah melakukan hal itu adalah ngos-ngosan.
Berdasar pada kejadian ini, ada pertanyaan yang mendasar.
Apakah yang sudah dilakukan oleh para konselor kita (termasuk saya)? Pertanyaan yang menyelimuti otak saya adalah, a)
apakah pekerjaan kita sebagai konselor sudah didasarkan pada teori konseling? Jika
ya, teori konseling apa yang dijadikan rujukan oleh konselor?, b) apakah kita
sudah melakukan deteksi masalah dengan mempergunakan istrumen yang ada (mis:
DCM atau AUM)? Jika sudah, apa bentuk penanganan kita?, dan c) masihkah kita
mempergunakan “seragam” guru dan bukan sebagai konselor?
Pertanyaan tersebut mungkin dapat kita pergunakan sebagai
alat untuk mendeteksi kinerja kita sebagai konselor baik di sekolah maupun di
tempat lain. Artinya apa? Saat kita melakukan pekerjaan dengan mengatas namakan
konseling, maka orang yang berhak melakukan konseling (utamanya di sekolah)
adalah konselor. Setiap kita mengatas namakan diri kita konselor, maka konselor
adalah sebuah profesi, dan kerana sebuah profesi maka segala tindakan kita
seharusnya berpatokan pada teori konseling.
Terkait dengan pertanyaan kedua, apakah kita sudah
melakukan tindakan-tindakan preventif? Tindakan preventif saya lihat sebagai
sebuah kegiatan yang sangat penting, karena melalui kegiatan ini, maka konselor
sekolah akan dapat mendeteksi permasalahan-permasalahan siswa. Tindakan preventif
ini dapat dilakukan oleh konselor dengan menyebar instrumen seperti Daftar Cek
Masalah (DCM) atau Alat Ungkap Masalah (AUM) yang ada. Berdasar pada instrumen
ini, maka konselor akan mendapatkan data tentang siswa yang diindikasikan
memiliki masalah, sehingga pada akhirnya dapat melakukan tindakan-tindakan
tertentu.
Pertanyaan ketiga mengarahkan kita untuk berpikir bahwa
seorang konselor memiliki kepribadian yang berbeda dengan guru pada umumnya. Konselor
memiliki keterampilan-keterampilan yang berbeda dengan para guru, dan itu
sangat spesifik. Salah satu keterampilan seperti mendengarkan secara aktif,
bisa kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari di sekolah. Ciri-ciri seperi
ini bisa membedakan “seragam” seorang
konselor dengan guru yang lainnya.
Semoga tulisan ini bisa memberikan pencerahan bagi kita
semua, sayapun masih terus belajar menjadi konselor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar