Sabtu, 03 Februari 2018


01022018

Saya terkejut setelah mendengar berita adanya siswa sekolah yang ditangkap oleh polisi dengan sangkaan telah melakukan penganiayaan terhadap guru, hingga guru tersebut meninggal. Kondisi ini langsung mengarahkan saya untuk berpikir apa yang telah terjadi dalam dunia pendidikan kita? khususnya bidang Bimbingan dan Konseling sebagai bidang perhatian saya selama ini.
Tulisan ini tidak bertujuan untuk “menyalahkan” atau “memojokkan” peran Konselor sekolah dan di sisi lain tidak bertujuan untuk “membela” siswa yang telah melakukan pelanggaran hukum.
Saya mencoba untuk memandang tulisan ini dari teori Gestalt. Gestalt memandang individu sebagai sosok positif. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada manusia yang tidak baik. Sebuah masalah muncul karena seseorang tidak menyadari apa yang dilakukan pada saat ini. Pada umumnya masalah yang muncul pada saat ini karena adanya akumulasi permasalahan di masa lalu, atau adanya adanya impian-impian yang mungkin tidak dapat dilaksanakan. Permasalahan masa lalu bisa terjadi karena adanya urusan yang belum selesai, utamanya dengan orang-orang yang signifikan (mis: orang tua, teman dekat, guru dll). Mereka tidak menyadari bahwa mereka memiliki masalah. Permasalahan ini pada akhirnya akan membentuk perilaku pada saat ini (here and now). Uniknya, perilaku bermasalah ini muncul dengan tidak disadari oleh siswa.
Dalam teori Gestalt, kasus ini terjadi karena ada kemungkinan siswa tersebut memiliki urusan yang belum selesai (unfinished business) dengan guru yang menjadi korban, atau mungkin dengan guru lain. Pernyataan guru yang bersangkutan bisa jadi sudah dilakukan berulang kali, atau pernyataan yang sama sudah dilakukan oleh guru lain secara berulang-ulang, dan siswa tidak mampu menyatakan ketidaksenangannya (block energy). Dalam kasus ini, siswa dalam posisi under dog. Posisi under dog merupakan sebuah posisi “kalah”. Kondisi “kalah” ini merupakan sebuah posisi yang tidak disukai oleh id. Id akan selalu berusaha untuk menyelesaikan masalahnya dengan caranya sendiri.
Dalam kasus ini, siswa hanya melihat bahwa yang melakukan adalah sosok guru. Pernyataan negatif yang sering diterima oleh siswa ini dipendam pada alam bawah sadarnya, karena mungkin saat kondisi sadarnya siswa ini tidak mampu untuk “melawan”. Jika ini terjadi secara berulang-ulang, maka akan menjadi tumpukan sampah yang mengendap dalam alam bawah sadarnya.
Tumpukan sampah ini memiliki tingkat batas tertentu, yang akan meledak pada saat tumpukan itu sudah jenuh. Ledakan itu akan dimanifestasikan dalam berbagai bentuk, yang biasanya bersifat destruktif atau merusak. Luapan ini seringkali tidak disadari oleh siswa, karena perilaku ini didorong oleh id yang ingin mencari kebebasan atau kesenangan. Beberapa referensi menunjukkan bahwa perpindahan dari alam tidak sadar ke alam sadar hanya dibatasi oleh alam ambang sadar yang sangat tipis dan mudah sekali terbuka, apalagi jika masalah atau tmpukan masalah sudah mencapai ttik nadirnya.
Terkait dengan kasus Sampang, saat siswa ditegur oleh gurunya, ada kemungkinan dia merasa tidak nyaman. Kondisi tidak nyaman ini pada dasarnya sudah membuat batasan alam ambang sadarnya terbuka. Saat alam ambang sadarnya terbuka, maka tumpukan sampah akan keluar dengan tidak terkendali dan biasanya terwujud dalam bentuk perilaku yang negatif. Kekuatan sampah negatif ini akan mendorong perilaku negatif seperti berteriak, memukul atau perilaku negatif lainnya. Biasanya pelaku yang dikuasai oleh sampah-sampah negatif ini akan melakukannya dengan membabi buta (orang mengatakan buta mata) sampai seluruh energi yang ditahan (block energy) keluar semua. Biasanya perilaku siswa setelah melakukan hal itu adalah ngos-ngosan.
Berdasar pada kejadian ini, ada pertanyaan yang mendasar. Apakah yang sudah dilakukan oleh para konselor kita (termasuk saya)? Pertanyaan yang menyelimuti otak saya adalah, a) apakah pekerjaan kita sebagai konselor sudah didasarkan pada teori konseling? Jika ya, teori konseling apa yang dijadikan rujukan oleh konselor?, b) apakah kita sudah melakukan deteksi masalah dengan mempergunakan istrumen yang ada (mis: DCM atau AUM)? Jika sudah, apa bentuk penanganan kita?, dan c) masihkah kita mempergunakan “seragam” guru dan bukan sebagai konselor?
Pertanyaan tersebut mungkin dapat kita pergunakan sebagai alat untuk mendeteksi kinerja kita sebagai konselor baik di sekolah maupun di tempat lain. Artinya apa? Saat kita melakukan pekerjaan dengan mengatas namakan konseling, maka orang yang berhak melakukan konseling (utamanya di sekolah) adalah konselor. Setiap kita mengatas namakan diri kita konselor, maka konselor adalah sebuah profesi, dan kerana sebuah profesi maka segala tindakan kita seharusnya berpatokan pada teori konseling.
Terkait dengan pertanyaan kedua, apakah kita sudah melakukan tindakan-tindakan preventif? Tindakan preventif saya lihat sebagai sebuah kegiatan yang sangat penting, karena melalui kegiatan ini, maka konselor sekolah akan dapat mendeteksi permasalahan-permasalahan siswa. Tindakan preventif ini dapat dilakukan oleh konselor dengan menyebar instrumen seperti Daftar Cek Masalah (DCM) atau Alat Ungkap Masalah (AUM) yang ada. Berdasar pada instrumen ini, maka konselor akan mendapatkan data tentang siswa yang diindikasikan memiliki masalah, sehingga pada akhirnya dapat melakukan tindakan-tindakan tertentu.
Pertanyaan ketiga mengarahkan kita untuk berpikir bahwa seorang konselor memiliki kepribadian yang berbeda dengan guru pada umumnya. Konselor memiliki keterampilan-keterampilan yang berbeda dengan para guru, dan itu sangat spesifik. Salah satu keterampilan seperti mendengarkan secara aktif, bisa kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari di sekolah. Ciri-ciri seperi ini  bisa membedakan “seragam” seorang konselor dengan guru yang lainnya.
Semoga tulisan ini bisa memberikan pencerahan bagi kita semua, sayapun masih terus belajar menjadi konselor.

Tidak ada komentar:

Kesurupan .......... Tulisan ini mencoba untuk menjawab berbagai pertanyaan tentang proses terjadinya kesurupan massal yang menjadi fe...