Kesurupan
..........
Tulisan
ini mencoba untuk menjawab berbagai pertanyaan tentang proses terjadinya
kesurupan massal yang menjadi fenomena menarik saat ini. Saat melakukan
pelatihan HiGest, penulis seringkali mendapat pertanyaan tentang bagaimana terjadinya
proses kesurupan massal di sekolah. Apakah hal ini adalah proses supranatural
ataukah dapat dijelaskan dengan mempergunakan teori Gestalt?
Saat
menjawab pertanyaan itu, saya menegaskan bahwa saya bukan ahli dalam bidang
supranatural. Jika permasalahan itu ditangani oleh pihak-pihak yang memahami
dunia supranatural, maka sebaiknya para konselor “mendiamkan dulu”, sebab sudah
ada “ahli” yang menanganinya. Jika tidak ada “ahli” lain? Konselor sebaiknya
mendiamkan siswa yang dalam kondisi “kesurupan” itu, sambil menjaga mereka
untuk tidak melukai diri sendiri dan orang lain. Peserta pelatihan HiGest
bertanya, “alasannya pak?”
Teori
gestalt merupakan teori konseling yang mencoba untuk menggabungkan semua teori
konseling yang ada. Hal ini menjadi prinsip Gestalt tentang keseluruhan (whole). Penggabungan ini justru
memunculkan sifat saling melengkapi (complementary)
terhadap teori Gestalt itu sendiri.
Teori
gestalt menyatakan bahwa orang yang sehat adalah mereka yang sadar (awareness) terhadap kondisi pikiran,
emosi serta perilakunya pada kondisi di sini dan saat ini (here and now). Permasalahan siswa saat ini seringkali ditimbulkan
karena adanya masalah yang belum selesai (unfinished
business) antara siswa dengan orang lain (significant other). Penyelesaian masalah yang tidak tuntas atau
tidak dapat diselesaikan akan disimpan dalam alam bawah sadara siswa (siswa).
Jika siswa dapat dengan segera menuntaskan masalahnya, maka pada dasarnya
mereka telah menyalurkan energi-energinya secara positif, tetapi jika dia tidak
dapat melakukan upaya memecahkan masalah maka sebenarnya mereka telah
menghambat energinya (block to energy).
Kondisi
yang terjadi saat “kesurupan” sebenarnya merupakan luapan energi-energi yang
terhambat dan disimpan di alam bawah sadar. Freud menyebutnya sebagai
sampah-sampah yang disimpan di alam bawah sadar. Energi-energi yang disimpan
ini mirip dengan id yang selalu ingin
menyelesaikan masalahnya. Penyelesaian masalah ini seringkali bersifat
destruktif atau merusak.
Saat
siswa tidak dalam kondisi here and now (misal: melamun), maka sebenarnya dia
tidak dalam kondisi sadar. Gestalt memahami bahwa antara alam sadar dan tidak
sadar itu memiliki batas yang relatif tipis, dan itu rentan untuk ditembus oleh
kekuatan-kekuatan energi yang dihambat atau id. Sesorang yang dalam melamun
karena adanya masalah yang belum selesai seringkali mengalami masalah-masalah “kesurupan”.
Hal ini dikarenakan saat siswa dalam kondisi melamun, maka alam ambang sadar
atau pintu ambang sadarnya menjadi terbuka. Kondisi ini memberikan kesempatan
kepada energi-energi yang diblokir atau id yang dipendam lama memiliki
kesempatan untuk menerobos ke alam sadar siswa. Waktu yang dibutuhkan untuk
menerobos alam ambang sadar tidak lama, bahkan sangat singkat.
Apabila
energi negatif yang tersimpan atau id yang ditahan di alam bawah sadar keluar,
maka tidak menutup kemungkinan akan mendorong siswa untuk bertindak atau
berperilaku negatif bahkan destruktif. Perilaku negatif ini seperti menangis,
berteriak, memukul dan lain sebagainya. Pada dasarnya perilaku negatif ini
merupakan katarsis bagi siswa untuk melepaskan energi-energi yang selama ini
ditahan, atau menjadi sarana bagi id untuk memperoleh kenikmatan.
Pada
kasus “kesurupan” massal, proses yang dialami oleh masing-masing siswa pada
dasarnya sama. Mereka tidak dalam kondisi di sini dan saat ini. Saat mereka
melihat teman mereka dalam kondisi “kesurupan”, seringkali mereka terkejut. Kondisi
terkejut yang terjadi dalam beberapa detik, pada dasarnya mengarahkan mereka
untuk masuk ke alam ambang sadar. Ironisnya, mereka seringkali memiliki masalah
yang belum terselesaikan juga, sehingga energi-energi yang selama ini dipendam
juga muncul. Jika terjadi pada banyak siswa di sekitarnya, maka akan muncul
kondisi “kesurupan” massal.
Pada
dasarnya untuk menangani siswa yang “kesurupan” adalah dengan memberikan
kesempatan bagi mereka untuk melakukan katarsis. Artinya jika konselor
menemukan kasus seperti ini, maka sebaiknya konselor membiarkan terlebih dahulu
sambil mengamati apakah katarsis ini menuju pada perilaku destruktif atau
tidak. Jika siswa tidak menunjukkan perilaku destruktif, maka boleh dibiarkan,
tetapi jika menunjukkan perilaku destruktif seperti memukul, atau menabrakkan
kepala ke tembok, maka konselor sebaiknya menahan siswa tersebut sampai dalam
kondisi lemas.
Siswa
yang mengalami katarsis akan merasakan lemas saat energi-energi yang ditahannya
telah keluar. Saat siswa dalam keadaan lemas ini, sebaiknya konselor juga tidak
memberikan reaksi yang berlebihan. Konselor cukup memberikan senyuman kepada siswa
tersebut. Hal ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa siswa tidak sendirian dalam
kondisi ini. Setelah kurang lebih 10 menit, dan konselor melihat kondisi siswa
sudah tenang, maka selanjutnya konselor boleh memberikan pertanyaan-pertanyaan
kepada siswa tentang apa yang sudah terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar