PENDEKATAN GESTALT DALAM PERSPEKTIF BUDAYA
(Aplikasinya dalam praktik konseling di
Indonesia)
Oleh
Boy Soedarmadji, S.Pd., M.Pd.,
CHt
Latar Belakang
Saat ini media sosial sering memunculkan berita tentang
kasus-kasus yang dilakukan oleh para siswa, baik di lingkungan sekolah maupun
di lingkungan masyarakat pada umumnya. Beberapa kasus yang terjadi di
lingkungan sekolah dan masyarakat saat ini membuat miris bagi orang yang
menyaksikan atau membacanya.
Salah satu kasus yang menjadi viral di media massa dan
media sosial baru-baru ini adalah perilaku penganiayaan yang dilakukan oleh
seorang siswa kepada gurunya, yang (mungkin) menyebabkan gurunya meninggal
dunia saat sampai di rumah sakit. Kasus tersebut menjadi polemik baik di
kalangan guru, siswa, perguruan tinggi bahkan di masyarakat.
Polemik yang muncul di media sosial cenderung untuk
membela guru sebagai seorang pahlawan yang meninggal saat bertugas. Tidak
sedikit simpati yang diberikan kepada guru tersebut.
Pada sisi lain, siswa sebagai “pelaku penganiayaan”
mendapatkan perlakuan yang berbanding terbalik. Siswa ini mendapatkan hujatan
yang sangat keras di masyarakat. Cacian dan label-label negatif diberikan kepada
siswa ini. Bahkan demi “pengamanan”, siswa ini telah “diamankan” oleh pihak
berwajib setempat.
Kondisi
Sisiokultural
Indonesia dikenal dengan
keragaman etnis dan budaya. Lebih dari 367 etnis yang ada di Indonesia.
Kesemuanya memiliki keragaman nilai yang menjadikan kekayaan tiada terkira. Keragaman
ini pada akhirnya akan memunculkan individu-individu yang unik, dimana mereka
berpikir, merrasakan dan berperilaku yang berbeda sesuai dengan apa yang telah
dipelajari atau diturunkan oleh lingkungan.
Sifat budaya ada dua yaitu
budaya yang bersifat khas (unik) dan budaya yang bersifat umum. Nilai budaya yang khas (unik)
adalah suatu nilai yang dimiliki oleh bangsa tertentu. Lebih dari itu, nilai‑nilai
ini hanya dimiliki oleh masyarakat atau suku/ etnis tertentu dimana keunikan
ini berbeda dencan kelompok atau bangsa lain.
Keunikan nilai ini dapat meniadi barometer untuk mengenal bangsa atau kelompok
tertentu.
Nilai budaya yang dianut oleh masyarakat tertentu pada
umumnya dianggap mutlak kebenarannya. Hal ini tampak pada perilaku yang
ditampakkan oleh anggota masyarakat itu. Mereka mempunyai keyakinan bahwa apa
yang dianggap benar itu dapat dijadikan panutan dalam menialani hidup sehari‑hari.
Selain itu, nilai budaya yang diyakini kebenarannya tersebut dapat
dipergunakan untuk membantu menyelesaikan masalah yang timbul. Dengan kata lain
bahwa nilai budaya tertentu yang ada dalam suatu masyarakat mempunyai suatu
cara tersendiri untuk memecahkan permasalahan yang timbul dalam anggota
masyarakat tersebut (Lee & Sirch, 1994).
Suatu
budaya tertentu akan mempengaruhi kehidupan masyarakat tertentu (walau bagaimanapun
kecilnya). Dengan demikian, Suatu hasil budaya kelompok masyarakat tertentu
akan dianggap lebih tinggi dan bahkan mungkin lebih diinginkan. Hal ini
dilakukan agar kelompok masyarakat tertentu itu memiliki derajat atau tingkatan
yang lebih baik dari "tetangganya". Dengan kata lain bahwa budaya
merupakan cara hidup suatu kelompok tertentu yang diturunkan kepada setiap
generasi kelompok tersebut (Vontress, 2006).
Supriatna (2008) menyatakan khusus dalam kebudayaan Jawa,
ketaatan merupakan sifat yang dinilai sangat tinggi. Anak yang manut (yaitu
taat) adalah anak yang sangat terpuji, sementara anak yang selalu mempunyai
kehendak sendiri dan gemar mengeksplorasi segala hal di sekitarnya, dianggap
mengganggu dan tidak dianggap sebagai anak yang sopan dan santun.
Budaya universal
mengandung pengertian bahwa nilai‑nilai yang dimiliki oleh semua lapisan
masyarakat. Nilai‑nilai ini dijunjung tinggi oleh segenap manusia. Dengan
demikian, secara umum umat manusia yang ada dunia ini memiliki kesamaan nilai‑nilai
tersebut. Contoh dari nilai universal ini antara lain manusia berhak menentukan
hidupnya sendiri, manusia anti dengan peperangan, manusia mementingkan
perdamaian, manusia mempunyai kebabasan dan lain‑ lain.
Proses kepemilikan budaya dari generasi ke generasi tidak
bersifat herediter. Proses kepemilikan budaya antar generasi melalui proses
belajar (Ihrom, 1988). Hal ini menunjukkan bahwa peran orang yang lebih tua
akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan budaya itu sendiri. Pengertian
sosialisasi dalam bahasan ini adalah suatu proses yang harus dilalui manusia
muda untuk memperoleh nilai‑nilai dan pengetahuan
mengenai kelompoknya dan belajar mengenai peran sosialnya yang cocok dengan
kedudukannya di situ (Goode, 1991).
Pendekatan
Gestalt
Pendekatan Gestalt
diperkenalkan oleh Frederick Perls (1893-1970) dan Laura (Lore) Posner
(1905-1990). Dimana kedua orang ini (yang kemudian menjadi suami istri) secara intensif melakukan
kolaborasi dalam mengembangkan teori Gestalt, hingga akhirnya pada tahun 1952
mendirikan New York Institute for Gestalt Therapy. Pendekatan Gestalt ini
didasarkan pada pandangan bahwa manusia memiliki untuk melakukan
perubahan-perubahan pada dirinya sendiri.
Sebagai
salah satu aliran humanistik, maka Gestalt meyakini bahwa individu harus
dipahami dunianya dengan memperhatikan tiga kondisi yaitu a) sebagai
keseluruhan yang penuh arti (whole and
meaningfull), b) kesadaran di sini dan saat ini (here-and-now), dan c) pengalaman individu dilihat
melalui introspeksi. Selain itu, aliran humanistik memiliki karakteristik a)
memandang manusia sebagai individu yang tidak mekanistik, b) tidak menerima
prinsip-prinsip determinasi, c) memandang indiviu sebagai subyek, c) berpusat
pada status holistik untuk memahami perilaku manusia dan, d) tiap perilaku
individu unik, sehingga penyelesaian masalah harus didasarkan pada kesadaran
mereka melihat dunianya.
Pendekatan Gestalt memiliki keunikan tersendiri yang
mampu menunjukkan eksistensinya dalam aliran humanistik. Perls (dalam McLeod,
2006) menyatakan bahwa Gestalt menentang segala sesuatu yang yang terlalu
rasional, atau apa yang disebutnya dengan “omong kosong”. Karena itu
pendekatannya memberikan fokus kepada pengalaman atau kesadaran konseli “saat ini”, dengan tujuan
menghilangkan halangan untu melakukan kontak autentik dengan lingkungan karena
pola lama (unfinished bussines).
Pendekatan
Gestalt memiliki delapan asumsi pandangan tentang manusia. Kedelapan asumsi tersebut
adalah:
- Manusia merupakan suatu komposisi yang menyeluruh (whole) yang diciptakan dari adanya interrelasi bagian-bagian. Tidak ada satu bagian tubuh (tubuh, emosi, pemikiran, perhatian, sensasi dan persepsi) yang dapat dipahami tanpa melihat manusia itu secara keseluruhan;
- Seseorang juga merupakan bagian dari lingkungannya dan tidak dapat dipahami dengan memisahkannya
- Seseorang memilih bagaimana merespon stimuli eksternal, dia merupakan aktor dalam dunianya dan bukan reaktor
- Seseorang mempunyai potensi untuk secara penuh menyadari keseluruhan sensasi, pemikiran, emosi, dan persepsinya
- Seseorang mampu untuk membuat pilihan karena kesadarannya
- Seseorang mempunyai kemampuan untuk menentukan kehidupan secara efektif;
- Seseorang tidak mengalami masa lalu dan masa yang akan datang; mereka hanya akan dapat mengalami dirinya pada saat ini
- Seseorang itu pada dasarnya baik dan bukan buruk.
Lebih
lanjut, Yontef (1993) menyatakan bahwa hubungan antara konselor dengan konseli
memiliki empat karakteristik yaitu:
- Penyertaan. Karakteristik ini merupakan keterampilan tingkat tinggi, karena konselor dituntut untuk dapat melakukan empati, yaitu menempatkan diri konselor secara penuh dalam kerangka pengalaman konseli, tanpa ada unsur penilaian, analisis atau penafsiran. Hal ini sangat penting dilakukan agar konseli tetap berada dalam keadaan otonom dan menghindari regresi, sehingga kesadaran akan dapat muncul.
- Keberadaan. Gestalt mengakui bahwa keberadaan konselor dengan konseli dapat dilakukan melalui sebuah proses dialog. Keberadaan konselor bersama konseli memungkinkan konselor melakukan observasi dan penggalian pengalaman, perasaan, pengalaman dan pikiran yang dimiliki oleh konseli. Keberadaan ini akan memunculkan kepercayaan konseli, sehingga apa yang diungkapkan oleh konseli bukan merupakan proyeksi masa lalunya.
- Komitmen untuk dialog. Gestalt mengakui bahwa untuk proses konseling, maka konseli sebaiknya memiliki komitmen untuk melakukan dialog (kontak) secara aktif dengan konselor. Komitmen untuk dialog ini secara langsung akan menampakan proses internal yang terjadi dalam diri konseli, sehingga akan terhindar adanya manipulasi-manipulasi data yang dilakukan oleh konseli. Jika ini terjadi, maka konseli akan mampu mengendalikan dirinya dan “hidup” pada saat ini.
- Dialog yang hidup. Dialog yang hidup diartikan sebagai “mengalami saat ini” daripada hanya berbicara “tentang” atau “melihat sesuatu”. Proses dialog ini merupakan sebuah proses sharing dari apa yang dirasakan oleh konseli pada saat ini, sehingga energai yang dimiliki oleh konseli dapat tersalurkan. Dalam dialog ini, sebenarnya konseli melakukan proses dialog dengan dirinya sendiri. Dia mencari sumber masalahnya, menyadari bahwa dia memiliki masalah, mencari alternatif pemecahan masalahnya dan akhirnya memecahkan masalahnya sendiri
Pendekatan Gestalt secara umum memiliki perhatian
terhadap kondisi yang mempengaruhi proses konseling. Beberapa hal ini adalah
keseluruhan (holism), teori medan
(field theory), pengorganisasian dan manipulasi (The Figure-Formation Process), proses menjaga keseimbangan (Organismic Self-Regulation), saat
ini (the now), urusan yang belum
selesai (unfinished bussiness),
kontak dan resistensi terhadap kontak (contact
& resisstance to contact), energi dan blok energi (energy & block of energy) (Perls, dalam Corey, 2013).
Secara singkat, penerapannya sebagai berikut, bahwa
kejadian (masalah) yang terjadi saat ini (now)
dilihat sebagai sebuah keseluruhan (whole)
bagian diri individu. Keseluruhan ini berarti memandang masalah individu
sebaiknya dilihat dalam kacamata internal dan eksternal individu (field theory). Masalah yang muncul saat
ini seringkali karena individu memiliki masalah yang belum terselesaikan (unfinished business) dengan
lingkungannya atau dengan orang yang dikenalnya (contact), sehingga individu melakukan upaya menhentikan hubungan
dengan lingkungannya (block contact).
Upaya memblokir ini (block energy)
pada dasarnya merupakan sebuah wujud dari ciri-ciri individu yang memiliki
masalah. Secara tidak disadari, individu melakukan upaya-upaya menjaga
keseimbangan dirinya dengan lingkungannya (Organismic Self-Regulation), walaupun upaya ini
seringkali memunculkan masalah bagi individu. Oleh sebab itu, tujuan konseling
Gestalt adalah membangun kesadaran terhadap apa yang terjadi pada saat ini,
dengan mengumpulkan data masa lalu dan masa depan individu.
Aplikasi
Berdasar pada beragamnya
budaya yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia, menjadikan proses konseling di
Indonesia menjadi sangat unik. Konselor dituntut untuk dapat memahami
masing-masing budaya konseli, terutama saat konselor melakukan praktik
konseling di daerah konseli.
Masyarakat Indonesia selalu mencoba untuk berada dalam dua sisi yang berbeda, yaitu sisi
modern dan sisi tradisional. Pada sisi modern, masyarakat Indonesia berupaya
untuk tidak ketinggalan dengan kemajuan jaman. Sebab masih terdapat keyakinan
bahwa bangsa ini akan maju jika mereka bisa menguasai teknologi modern. Hal ini
dapat dilihat pada perkembangan IPTEK di Indonesia yang semakin pesat. Hampir
seluruh kehidupan masyarakat kita saat ini bergantung pada teknologi. Di lain
pihak, masyarakat Indonesia juga masih mempercayai hal‑hal yang bersifat
tradisional (supranatural). Hal ini merupakan peninggalan budaya nenek moyang
yang masih sulit untuk ditinggalkan.
Perls (dalam Corey, 2013) menyatakan bahwa pendekatan Gestalt memiliki
kesempatan untuk bisa dilakukan dalam latar budaya yang berbeda, terutama dalam
masyarakat, dimana masih terjadi polaritas pandangan. Bahkan seringkali bisa
dilaksanakan pada suatu budaya, dimana budaya yang dimiliki oleh konseli adalah
budaya perilaku non verbal.
Apa yang telah dinyatakan dalam teori Gestalt, rupanya terjadi pada
budaya masyarakat Indonesia. Sampai saat ini, masyarakat Indonesia masih
“terjebak” dalam polaritas kehidupan, Di satu sisi, mereka ingin disebut
sebagai bangsa yang melek teknologi
dan di sisi lainnya mereka masih sulit untuk meninggalkan tradisi budaya.
Ironisnya, dua kutub ini seringkali bertentangan.
Terlebih, budaya kita (sebagai masyarakat timur)
seringkali menunjukkan perilaku-perilaku manusia yang “sopan” seperti tidak
boleh mengatakan “tidak” kepada orang yang lebih dituakan. Dimana penolakan
yang tidak diutarakan tersebut lebih diekspresikan kepada perilaku-perilaku non
verbal yang seringkali tidak disadari oleh individu. Apa yang dilakukan oleh
individu, yang mana perilaku individu tersebut tidak sesuai dengan apa yang
dikehendaki oleh orang lain, maka seringkali pula hal ini menjadi sebuah
masalah yang belum selesai (unfinished
business). Mengapa? Karena individu yang saat ini berposisi sebagai orang
yang “lemah” tidak berani “melawan” (underdog)
orang lain yang dianggap lebih kuat (top
dog). Penolakan (introjections)
ini akan memunculkan perilaku-perilaku yang menyimpang, dan seringkali tidak
disadari.
Beberapa pengalaman penulis dalam proses konseling dengan
siswa sekolah menengah, kasus-kasus ini seringkali terjadi. Siswa (karena
budaya) seringkali tidak berani untuk beradu argumentasi dengan orang tua atau
orang yang lebih dituakan. Sehingga keadaan ini memunculkan perilaku wadul. Siswa merasa bahwa dengan
mengeluarkan uneg-unegnya (karena ketidak setujuan) merasa lebih baik. Tetapi
pada dasarnya masalah itu belum selesai, karena mereka hanya bercerita masa
lalunya saja (unfinished bussiness)
dengan orang tua atau orang yang dituakan. Mereka masih belum bisa berorientasi
tantang apa yang apa yang yang akan dilakukan dan bagaimana mereka akan
menyelesaikan masalahnya.
Sebagai salah satu contoh, saat siswa akan memilih sebuah
jurusan di sekolah. Seringkali siswa ini mengalami kebingungan untuk memilih
jurusan IPA atau IPS. Kebingungan ini disebabkan karena orang tua menekankan
kepada anak untuk memilih jurusan tertentu, padalah jurusan yang dipilih oleh
orang tua dianggap anak sebagai jurusan yang berat. Tetapi, karena anak tidak
berani untuk beragumentasi (takut kualat)
maka dia diam saja dan memilih jurusan yang pada hakikatnya tidak disukai.
Setelah siswa ini memilih jurusan tersebut, maka seringkali perilaku-perilaku
tidak produktif muncul seperti suka membolos, sering datang terlambat,
mengganggu teman atau bahkan membenci guru laki-laki (karena tekanan berasal
dari orang tua laki-laki dan masih banyak perilaku tidak produktif lainnya.
Salah satu strategi konseling yang dapat dipergunakan
untuk menangani masalah terkait dengan masyarakat timur antara lain adalah
latihan dialog internal (the internal
dialogue exercise) atau lebih dikenal dengan terapi kursi kosong (empty chair therapy). Strategi konseling
ini lebih mengajak konseli untuk bisa memahami percakapan diri yang selama ini
ditolak dan berusaha untuk bisa memilikinya kembali. Fokus pada latihan ini
adalah memusatkan konseli untuk bisa memahami posisi top dog dan underdog.
Posisi top dog menggambarkan suatu poisisi dimana
seseorang dapat menjadi sangat berkuasa, orang yang selalu benar, orang yang
harus dituruti, orang yang sangat bermoral. Ini ditunjukkan dengan perilaku
orang tua yang selalu mengatakan “kamu harus…” atau “sebaiknya….”. Sebaliknya,
posisi underdog adalah memposisikan seseorang yang tidak mampu melakukan
sesuatu, orang yang selalu bertahan, orang yang lemah dan orang tidak memiliki
kekuatan apapun.
Penggunaan strategi empty chair ini pada intinya adalah
membantu konseli untuk dapat mengeluarkan apa-apa yang selama ini telah
ditolaknya (unfinished business).
Penolakan (introjections) yang
dirasakan oleh individu secara lambat laun akan muncul ke permukaan dan
individu diajak oleh konselor untuk menyadarinya dan menerimanya.
Simpulan
Pendekatan Gestalt lebih
terfokus untuk membantu konseli agar sadar terhadap perilaku di masa lampau
dapat mengganggu efektifitas kehidupan pada saat ini. Dalam situasi dimana
senbuah masyarakat hidup dalam dua budaya, maka pendekatann Gestalt memiliki
kesempatan untuk dapat dikembangkan. Beberapa budaya ketimuran yang adi luhung, secara tidak langsung juga
menyumbang permasalahan bagi individu. Permasalahan ini muncul karena pada satu
sisi individu berusaha untuk melestarikan nilai budaya yang diyakini, tetapi di
lain pihak, kehidupan yang serba “modern” mengakibatkan individu seringkali
tidak bisa mengutarakan pendapatnya, sehingga pada akhirnya ini memunculkan
urusan yang belum selesai.
Referensi
Corey,
Gerald. 2013. Theory and Practice of
Counseling and Psychotherapy (8th
ed). Belmont: Thomson Brooks/Cole.
Cottone,
Rocco. 1992. Theories and Paradigms of
Counseling and Psychotherapy. Boston: Allyn and Bacon.
Goode,
William. 1991. Sosiologi Keluarga (terjemahan oleh
Lailahanum Hasyim). Jakarta: Bumi Aksara.
Kirchner, Maria. 2000. Gestalt
Therapy Theory: An Overview. www.newyorkgestalt.org, diakses tanggal 31
Desember 2008.
McLeod,
John. 2006. Pengantar Konseling: teori dan studi kasus. Jakarta: Kencana.
Supriyatna, Mamat. 2007. Konseling Lintas Budaya Sebagai Strategi Sosialisasi Penuntasan WAJAR 9
Tahun. Pelangi
Pendidikan. Diakses tanggal 26 Januari 2008.
Vontrees,
Clemmont. Culture and Counseling. www.ac.wwu.edu/culture/Vontress.htm Diakses tanggal 18 Juli 2006.
Yontef,
Gary. 1993. Gestalt Therapy: An Introduction. www.gjpstore.com, diakses tanggal 31
Desember 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar