Blog ini dapat dipergunakan sebagai referensi bagi para mahasiswa, konselor sekolah, dan pemerhati konseling. Khususnya terhadap hipnokonseling Gestalt (HiGest). Semoga bermanfaat, terima kasih.
Kamis, 02 Januari 2014
TEKNOLOGI INFORMASI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK
TEKNOLOGI INFORMASI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK
Oleh:
Boy Soedarmadji
Program Studi Bimbingan dan Konseling UNIPA Surabaya
Pengantar
ASCA (2008) menengarai bahwa saat ini anak-anak kita hidup dalam waktu yang “menarik”, dimana terjadi peningkatan perubahan di masyarakat, munculnya banyak kesempatan karena adanya teknologi baru berdampak pada perubahan perilaku masyarakat. Saat ini perbedaan antara golongan masyarakat kaya dengan golongan masyarakat miskin menjadi semakin jelas, kelompok masyarakat marginal juga semakin tampak. Masyarakat menjadi semakin memiliki kesempatan luas untuk mengakses informasi yang dibutuhkan. Bahkan seringkali informasi yang negatifpun tersedia. Kasus-kasus seperti pemalakan liar, sex bebas/sex pranikah, dan konsumenisme banyak sekali terjadi, walaupun kesempatan-memperoleh informasi yang positif juga seringkali terjadi.
Teknologi Informasi (TI) saat ini telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini ditunjukkan dengan beragamnya peralatan informasi canggih yang beredar di masyarakat. Proses-proses yang terkait dengan upaya mencukupi kebutuhan dasar manusia sudah dilakukan dengan mempergunakan peralatan canggih. Hampir semua lini kehidupan manusia tidak bisa terlepas dari penggunaan peralatan yang terkait dengan Teknologi Informasi. Sebagai contoh, peralatan handphone, saat ini tidak saja dipergunakan sebagai salah satu alat komunikasi saja, tetapi juga sebagai perangkat untuk dapat meningkatkan gengsi seseorang, maka tidak menutup kemungkinan bahwa seseorang akan mengejar merk handphone terbaru dan tercanggih hanya untuk mengejar kebutuhan akan harga diri.
Shaffer dan Kipp (2007) menyajikan data bahwa 98% masyarakat di Amerika memiliki 1-2 televisi, dan anak usia 3-11 tahun menonton televisi 3-4 jam perhari. dan pada remaja usia 18 tahun, mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk menonton televisi dibandingkan kegiatan lain. Sedangkan anak laki-laki lebih banyak menghabiskan waktu untuk menonton televisi jika dibandingkan dengan perempuan.
Shaffer dan Kipp (2007) menyatakan sebagaimana televisi, penggunaan piranti komputer juga memiliki dampak terhadap bagaimana anak belajar serta gaya hidup mereka. Walaupun banyak para pendidik mengakui bahwa komputer merupakan suplement penting dalam proses pembelajaran dikarenakan dengan bantuan komputer maka pembelajaran dapat lebih menarik dan lebih kaya referensi. Lebih lanjut, Shaffer dan Skipp (2007) menyatakan bahwa sejak tahun 1996 lebih dari 98% sekolah di Amerika Serikat mempergunakan komputer sebagai salah satu peralatan instruksional, dan pada tahun 2003 lebih dari 60% rumah tangga telah memiliki dan memanfaatkan komputer dan lebih dari 50% telah memanfaatkan akses internet.
Beberapa contoh kasus yang dapat diakses oleh anak-anak kita secara langsung antara lain perilaku seperti bunuh diri dapat dengan mudah dilakukan oleh anak. Penyebab perilaku bunuh diri ini disebabkan oleh bermacam-macam motif. Sebagaimana terjadi di Bali, seorang anak kelas enam SD bunuh diri di dekat kandang sapi lengkap dengan pakaian seragamnya. (Republika online, Sabtu, 16 Oktober 2010, 17:34 WIB). Lebih lanjut, adapula siswa yang gantung diri setelah menerima rapor, bahkan saat gantung diri, siswa tersebut masih memakai seragam sekolahnya (TVOne NewsThicker, Minggu, 19 Desember 2010, 02:40 WIB). Perilaku menyimpang lain adalah ditemukannya anak SD merokok di Tebing Tinggi (http://kabar.in/2010/sumatra/sumatera-bagian-utara/11/02/anak-sd-kedapatan-merokok.html). Apakah pemanfaatan Teknologi Informasi ini berdampak pada perkembangan kognitif, sosial dan emosional siswa?
Perkembangan Peserta Didik
Perkembangan akhir masa kanak-kanak dapat dibagi menjadi dua fase yaitu masa kelas rendah dengan usia antara 6 – 9 tahun dan kelas tinggi dengan usia antara 10 – 12/13 tahun. Munandar (dalam Soedarmadji, 2009) menyebutkan bahwa dua fase tersebut di atas memiliki ciri sebagai berikut, usia antara 6-9 tahun memiliki sifat khas (a) ada korelasi positif yang tinggi antara keadaan jasmani dengan prestasi sekolah, (b) sikap tunduk kepada peraturaan permainan tradisional, (c) ada kecenderungan untuk memuji diri sendiri, (d) suka membandingkan dirinya dengan anak lain, kalau hal itu menguntungkan, (e) kalau tidak dapat menyelesaikan suatu soal, maka soal itu dianggapnya tidak penting dan (f) pada masa ini anak menghendaki nilai (rapor) yang baik tanpa mengingat apakah prestasinya memang pantas diberi nilai baik atau tidak.
Sedangkan untuk anak-anak usia 10 -12/13 tahun, memiliki sifat khas yaitu (a) minat kepada kehidupan praktis konkret sehari-hari, (b) amat realistis, ingin tahu, ingin belajar, (c) menjelang akhir masa ini telah ada minat kepada hal-hal dan mata pelajaran-mata pelajaran khusus, (d) sampai kira-kira umur 11 tahun, anak membutuhkan guru atau orang dewasa lain untuk menyelesaikan tugasnya, (e) pada usia ini anak memandang nilai rapor sebagai ukuran yang tepat terhadap prestasi sekolah, dan (f) dalam permainan biasanya anak tidak terikat pada aturan permainan tradisional.
Zgourides (200) menyatakan bahwa masa pubertas merupakan saat dimana pertumbuhan phisik seorang anak terjadi dengan sangat cepat. Hal ini memberikan sinyal bahwa mereka akan segera meninggalkan masa anak-anak dan mulai pada siklus kematangan seksual. Walaupun masa pubertas tidak sama untuk setiap individu, tetapi secara umum mereka memiliki beberapa ciri atau karakteristik yang sama. Beberapa diantara mereka mulai puber pada usia 6-7 tahun tetapi ada pula yang baru mulai pada usia 14 tahun. Di bawah ini disajikan tabel yang berisi tentang tugas pertumbuhan fisik anak-anak dan remaja.
Pertumbuhan/
Perkembangan Perempuan Laki-laki
Permulaan Penyebaran Permulaan Penyebaran
Payudara 8 - 13 8 - 18 - -
Testis dan Skrotum - - 9,5 – 13,5 9,5 – 17
Menarche/Haid 10 10 – 16,5 - -
Ejakulasi (mimpi basah) - - 13,5 ?
Penis - - 10,5 – 14,5 10,5 – 16,5
Rambut kemaluan 10,25 11,25-13,25 12,25 12,25-13,25
Suara 13 13 - 16 13 13 – 16
Rambut ketiak 12,75 12,75-14,75 14,25 14,25-14,75
Rambut muka - - 15,25 15,25 - 16
Rambut dada - - Biasanya setelah 16 thn
Percepatan pertumbuhan 9,5 - 12 9,5 – 14,5 10,5 - 14 10,5 – 17,5
Diadaptasi dari Psikologi perkembangan, Monks., Knoers., Haditono. 1991: 228.
Penelitian Pinyerd and Zipf (2005) dan Tanner (1988) (dalam Shaffer dan Kipps, 2007) menyatakan bahwa anak perempuan akan memasuki masa pertumbuhan yang cepat saat dia berusia 10,5 tahun dan mencapai puncaknya pada usia 12-13 tahun sebelum memasuki masa menstruasi pertama, dan selanjutnya akan mengalami masa pertumbuhan normal kembali saat usia 13-13,5 tahun. Selanjutnya, anak laki-laki mengalami petumbuhan yang pesat saat menginjak usia 13 tahun, dan puncaknya pada usia 14 tahun. Setelah itu akan mengalami masa pertumbuhan normal pada usia 16 tahun. Pada penelitian ini diketahui bahwa pertumbuhan pria lebih lambat antara 2-3 tahun dibandingkan dengan kaum perempuan.
Shaffer dan Kipp (2007) menyatakan bahwa reaksi perempuan saat mengalami menstruasi pertama sangat beragam. Beberapa diantara mereka merasa senang, tetapi ada pula diantara mereka yang merasa bingung, terutama jika masa menstruasi datang lebih awal. Bahkan saat ini, ada diantara kaum perempuan yang memiliki pengalaman traumatis tentang menstruasi, tetapi di saat yang sama banyak diantara mereka merasa bangga karena telah memasuki masa dewasa (perempuan sejati). Hal lain akan dirasakan oleh anak laki-laki. Anaka laki-laki cenderung melihat dirinya lebih positif jika dibandingkan dengan anak perempuan (Rosenblum & Lewis, dalam Shaffer dan Kipp, 2007). Anak laki-laki cenderung berharap dapat lebih tinggi, lebih ganteng, dan bangga dengan tumbuhnya rambut. Dengan kata lain, anak lelaki lebih bangga dengan aspek-aspek pertumbuhannya. Anak lelaki jarang membicarakan tentang mimpi basahnya, tetapi mereka tahu bahwa itu adalah tanda kematangan.
Pengaruh Perkembangan Teknologi Informasi terhadap Perkembangan Peserta Didik
Akibat lain dari adanya globalisasi adalah meningkatnya “virus” informasi baru (Prayitno & Amti, 1999). Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini terlalu banyak informasi baru yang muncul di sekitar kita. Suatu masalah belum terselesaikan dengan baik muncul lagi masalah yang lebih baru dan lebih membutuhkan penanganan yang khusus. Sebagai contoh informasi mengenai notebook. Pada saat yang bersamaan dapat muncul 4 model notebook di masyarakat. Belum selesai kita analisa dengan mantap, sudah muncul genre lagi yang lebih baru dengan menawarkan hal-hal baru. Informasi ini seringkali membuat masyarakat bingung untuk memilih.
Shaffer dan Skipp (2007) menyatakan bahwa anak usia antara 8-9 tahun lebih tertarik pada acara-acara televisi yang memiliki karakteristik, suara keras, pergerakan yang cepat, dan acara-acara film kartun. Acara seperti ini, seringkali sulit untuk diikuti oleh anak-anak usia 6 tahun. Hal ini dikarenakan anak usia 6 tahun belum mampu untuk mengikuti atau memahami konten acara secara runtut. Mereka hanya mampu menangkap gambar-gambar yang menonjol dan sesaat. Kondisi ini yang patut diwaspadai oleh orang tua.
Shaffer dan Kipp (2007) menyatakan bahwa beberapa hal yang tidak diinginkan dari acara televisi adalah adanya 1) Kekerasan/Agresi, 2) Stereotipe Sosial, dan 3) Pesan Komersial. Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini masyarakat kita seringkali dijejali dengan tontonan yang berisi tentang kekerasan baik secara individual maupun secara berkelompok. Bagi orang dewasa, mungkin tontonan demo yang penuh dengan kekerasan dapat diterima secara logika, tetapi bagi anak-anak? Anak-anak hanya melnangkap potret orang teriak-teriak, orang memaki, orang memukul, orang terjatuh dan sakit dan lain sebagainya. Selanjutnya, potret itu akan disimpan dalam long term memory mereka, sehingga sangat mungkin dalam waktu tertentu, kekerasan itu akan muncul dalam bentuk yang lain.
Tayangan televisi seringkali menyajikan pesan-pesan komersial yang mungkin juga tidak sesuai dengan perkembangan anak. Layanan iklan memang ditujukan untuk dapat dilihat oleh banyak orang dalam waktu/durasi sesingkat mungkin. Durasi singkat ini, pada akhirnya “memaksa” pembuat iklan untuk menyajikan gambar yang eye catching. Permasalahannya adalah apakah hal ini sudah dipikirkan bahwa pemirsanya adalah semua kalangan?
Bessi`ere, dkk (dalam Bucy dan Newhagen, 2004) menyatakan bahwa pada kenyataannya, komputer yang disebut sebagai piranti canggih seringkali memunculkan masalah bagi penggunanya. Masalah itu adalah frustrasi. Seringkali komputer yang kita pergunakan “ngadat” saat kita sedang asyik bekerja. Permasalahan muncul manakala komputer kita mengalami crash tanpa ada peringatan dini, yang semua itu berakibat pada hilangnya data yang telah kita kerjakan. Kondisi ini sebaiknya dipandang sebagai sebuah peringatan bagi pengguna komputer bahwa kemungkinan-kemungkinan muncul masalah yang memunculkan rasa frustrasi atau stress.
Sampsons (2000) mengungkapkan bahwa fasilitas di internet dapat dapat dipergunakan untuk melakukan testing bagi siswa. Tentu saja hal ini harus didasari pada kebutuhan siswa. Penggunaan komputer di kelas sebagai media bimbingan dan konseling akan memiliki beberapa keuntungan seperti yang dinyatakan oleh Baggerly (dalam Sampson, 200) sebagai berikut:
1. Akan meningkatkan kreativitas, meningkatkan keingintahuan dan memberikan variasi pengajaran, sehingga kelas akan menjadi lebih menarik;
2. Akan meningkatkan kunjungan ke web site, terutama yang berhubungan dengan kebutuhan siswa;
3. Konselor akan memiliki pandangan yang baik dan bijaksana terhadap materi yang diberikan;
4. Akan memunculkan respon yang positif terhadap penggunaan email;
5. Tidak akan memunculkan kebosanan;
6. Dapat ditemukan silabus, kurikulum dan lain sebagainya melalui website; dan
7. Terdapat pengaturan yang baik
Upaya Penyelesaian Masalah
Berpikir Positif
Berpikir positif memiliki kekuatan yang sangat luar biasa. Beberapa ahli menyatakan bahwa kekuatan berpikir positif terhadap sesuatu hal akan mengarahkan seseorang untuk berperilaku yang positif pula. Tidak jarang, seseorang yang memiliki keterbatasan dapat menunjukkan sebuah prestasi yang luar biasa hanya karena dia berpikir positif terhadap dirinya dan lingkungannya. Pengaruh lingkungan memiliki andil yang cukup kuat untuk dapat menumbuhkan pemikiran positif terhadap seseorang. Ironisnya, masyarakat kita masih sering terkungkung dalam pola pikir yang apriori. Banyak pemikiran-pemikiran di sekitar kita yang menunjukkan bahwa kita seringkali tidak bisa berpikir positi, sebagai contoh, “Kalau bapaknya pencuri, maka tidak heran jika anaknya juga pencuri”. Pelabelan ini menjadi sesuatu yang tidak mengenakkan.
Harris (2003) menyatakan bahwa dalam pendekatan analisis transaksional terdapat empat posisi pemikiran atau kedudukan seseorang yaitu, 1) I’m not OK – You’re OK, 2) I’m not OK – You’re not OK, 3) I’m OK – You’re not OK, dan 4) I’m OK – You’re OK. Pola pikir masyarakat kita masih seringkali dalam posisi satu sampai tiga, masih jarang yang berada dalam posisi 4. Hal ini menjadi sangat mungkin karena nilai-nilai yang kita pergunakan adalah nilai-nilai paternalisme. Dalam budaya paternalisme, nilai-nilai yang dimiliki oleh orang tua atau yang dituakan adalah sangat mutlak. Melanggarnya dapat dianggap dosa atau kualat. Oran tua atau yang dituakan seringkali (tanpa disadari) memposisikan dirinya sebagai I’m OK dan memandang anak/remaja sebagai You’re not OK. Orang Tua atau yang dituakan merasa “lebih” punya pengalaman, “lebih” tahu, dan “lebih” bisa. Jika hal ini berjalan terus,maka tidak mengherankan jika anak-anak kita selalu tidak percaya diri, atau not OK. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa tanpa disadari bahwa orang tua atau orang yang dituakan telah berpikir negatif terhadap anak atau remaja.
Komunikasi orang tua dan anak
Komunikasi antara orang tua dan anak untuk mengurai masalah terkait dengan perkembangan Teknologi Informasi menjadi sangat penting. Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa tontonan yang disajikan dalam acara televisi atau pilihan-pilihan program di internet memiliki konten yang mungkin tidak sesuai dengan perkembangan anak/remaja. Walaupun hal itu tidak dapat dihindari oleh pengguna. Kondisi ini menuntut kebijakan dari orang tua untuk “membatasi” apa yang sebaiknya ditonton oleh anak-anaknya.
Dalam acara televisi seringkali kita lihat, disudut kanan atas tertulis BO (Bimbingan Orang Tua). Tulisan tersebut bertujuan agar orang tua mendampingi anak saat menonton acara televisi, tetapi, apakah semua orang tua memiliki kesempatan untuk mendampingi anak-anaknya saat menonton televisi? Selain, itu, juga ada huruf R (Remaja), dimana acara tersebut selayaknya ditonton oleh para remaja. tetapi apakah kita yakin bahwa acara tersebut tidak ditontotn oleh anak-anak? Pertanyaan-pertanyaan ini membutuhkan solusi yang sebaiknya dilakukan oleh orang tua.
Shaffer dan Kipp (2007) memberikan beberapa upaya penyelesaian masalah sebagai berikut.
Tujuan Strategi
Mengurangi waktu menonton televisi Bekerjasama dengan anak untuk membuat chart yang berisi tentang, waktu menonton, waktu belajar, serta waktu bermain dengan teman-teman.
Atur waktu menonton TV, seperti sebelum makan pagi atau malam hari
Jangan meletakkan televisi di ruang anak
Ingatlah, saat orang tua menonton TV terlalu lama, maka anak akan melakukannya juga
Membatasi efek kekerasan dari televisi Beri kesempatan untuk menilai kekerasan yang mincul di TV dengan melihat tampilan-tampilan lain.
Menonton TV bersama anak dan diskusikan tentang kekerasan yang dilihat di TV. Diskusikan bagaiman kekerasan akan mengakibatkan rasa sakit, dan kemudian tanyakan kepada anak, bagaimana mengatasi konflik tanpa kekerasan.
Jelaskan kepada anak bahwa kekerasan dalam film (entertainment) adalah sebuah kebohongan
Jangan putar video tentang kekerasan
Dorong anak untuk menonton program TV yang memiliki tokoh berkarakter baik.
Melakukan Counteract negative
Terhadap gambaran yang muncul di TV Mintalah kepada anak untuk membandingkan apa yang tampak di TV dengan kehidupan nyata
Diskusikan dengan anak tentang hal-hal yang realistis dan apa yang sebenarnya terjadi di acara TV
Jelaskan kepada anak tentang nilai-nilai yang anda yakini, terutama tentang sex, alkohol dan obat-obatan terlarang
Mulailah untuk melakukan seleksi terhadap materi video, terutama untuk anak-anak
Sebelum memasang TV kabel, sadarlah bahwa terdapat banyak pilihan program acara yang dapat dilihat. Mintalah kepada provider untuk mengunci acara TV khusus dewasa
Lakukan transaksi terhadap efek periklanan Katakan kepada anak-anak bahwa iklan dipergunakan untuk menjual produk kepada banyak pemirsa
Jelaskan tentang iklan kepada anak-anak dengan bahasa yang mudah dipahami
Saat berbelanja, tunjukkan kepada anak-anak bahwa materi yang terlihat besar, cepat dan menarik seringkali tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya, karena semua itu dilakukan dengan close up.
Diadaptasi dari Shaffer,David R., Kipp, Katherine. 2007. Developmental Psychology: Childhood and Adolescence (7th ed). Belmont, CA: Thomson Learning, Inc
Komunikasi dengan Pendidik
Thompson (2006) menyatakan bahwa upaya menyelesaikan permasalahan anak dan remaja dapat dilakukan dengan melakukan komunikasi dengan para pendidik/guru. hal ini dipandang penting, karena guru memiliki peran penting dalam mempersiapkan masa depan anak, khususnya terhadap perkembangan mental anak. Dalam hal ini, Thompson menyajikan beberapa hal yang dapat dikomunikasikan kepada pendidik/guru sebagai berikut:
• Mengenal keunikan manusia.
• Belajar bahwa manusia memiliki perbedaan kualitas dan karakteristik.
• Belajar bahwa manusia memiliki kekuatan dan kelemahan.
• Belajar bahwa kesalahan adalah kejadian yang alami dan tidak akan membuat seseorang menjadi jahat atau bodoh.
• Belajar membedakan antara apa yang dikatakan orang lain tentang dirimu, dan dirimu yang sebenarnya.
• Topik pembicaraan tentang remaja sebaiknya berisi tentang:
Mengenal hubungan antara penerimaan diri, penerimaan perilaku dan perasaan.
mengidentifikasi aspek diri yang meliputi, kondisi fisik, intelektual, spiritual, emosional, dan sosial.
• Belajar tentang pentingnya penerimaan diri walaupun mungkin ditolak oleh orang lain.
• Membedakan antara apa yang dikritikkan oleh seseorang dengan siapa yang memberi kritik.
• Belajar untuk menerima pujian.
• Belajar mengembangkan teknik pemuatan tujuan untuk menghadapi kemungkinan kegagalan.
• Menggunakan penguatan positif untuk meningkatkan keyakinan diri yang positif
Komunikasi dengan Sekolah
Thompson (2006) menyatakan bahwa upaya menyelesaikan masalah anak dan remaja dapat dilakukan dengan melakukan koordinasi dengan pihak sekolah. Beberapa upaya koordinasi atau kolaborasi antara orang tua dengan pihak sekolah diantaranya adalah sebagai berikut.
• Menetapkan standar pencapaian yang tinggi untuk semua siswa
• Akuntabilitas bagi guru dan siswa
• Kolaborasi antara sekolah dan keluarga
• Pengembangan ketrampilan dasar yang efektif
• Individualized instruction
• Team teaching
• Cooperative learning
• School‑based management
• Lingkungan sekolah yang sehat
• Keikutsertaan orang tua dalam program sekolah
• Pendisiplinan yang efektif
• Kurikulum yang terintegrasi
• Penggunaan teknologi dalam kegiatan instruksional serta komunikasi antara guru, siswa dan orang tua.
• Pendidikan kesehatan yang komprehensif
• Pelatihan ketrampilan sosial. emosional dan kognitif
• Persiapan untuk menghadapi dunia kerja
Komunikasi dengan Lembaga lain
Thomson (2006) menyatakan bahwa premasalahan yang kompleks membutuhkan layanan yang kompleks pula. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan layanan intervensi yang bersumber dari berbagai pihak terkait. Dengan kata lain, sebaiknya orang tua melakukan upaya untuk mendapatkan berbagai informasi, melakukan inisiatif untuk membentuk kelompok-kelomok diskusi, merencanakan tindakan yang efektif dengan lembaga lain serta bergabung dengan komunitas tertentu.
Lebih lanjut, Thompson (2006) juga menyatakan bahwa upaya menyelesaikan masalah anak dan remaja dapat dilakukan dengan melakukan kerjasama atau koordinasi dengan lembaga lain seperti dinas kesehatan, kepolisian, atau dinas sosial. Beberapa bentuk program yang dapat dikembangkan antara lain sebagai berikut.
• Pemeriksaan Kesehatan
• Imunisasi
• Layanan pemeriksaan gigi
• Perencanaan keluarga (KB)
• Konseling Individu
• Konseling Kelompok
• Layanan Kesehatan Mental
• Pengaturan tinggi badan dan berat badan
• Referral dan follow‑up
• Rekreasi, Olahraga dan Seni/Budaya
• Layanan Kesejahteraan Keluarha (PKK)
• Pendidikan atau Pelatihan menjadi orang tua yang efektif, serta menyediakan referensinya
• Pengawasan Anak
• Manajemen Kasus
• Intervensi krisis
• Kebijakan Publik
Simpulan
Perkembangan teknologi Informasi merupakan kondisi yang tidak bisa dihentikan
Perkembangan Teknologi Informasi menuntut pemikiran yang bijaksana dari orang tua, sekolah, masyarakat dan lembaga lain. Hal ini ditunjukkan dengan koordinasi dan kolaborasi yang efektif dan nyata.
Setiap tahap perkembangan dan pertumbuhan peserta didik membutuhkan perhatian yang intensif dari orang tua, guru, masyarakat dan lembaga lain.
Referensi
ASCA. 2008. Why Elementary School Counselor?. Alexandria: American School Counselor Association
Bucy Erik P., Newhagen, John E. 2004. Media access : social and psychological dimensions of new technology use. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Harris Thomas A. 2003. I’m OK – You’re OK. California: Institute for Transactional Analysis
Monks., Knoers., Haditono, Siti, Rahayu. 1991. Psikologi Perkembangan: pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Republika Online. 2010. Polisi Usut Motif Siswa SD Gantung Diri. Sabtu, 16 Oktober 2010.
Sampson, James, P. 2000. Using the Internet to Enchance Testing in Counseling. Journal of Counseling and Development. V 78: 348-356.
Shaffer,David R., Kipp, Katherine. 2007. Developmental Psychology: Childhood and Adolescence (7th ed). Belmont, CA: Thomson Learning, Inc.
Soedarmadji, Boy. 2009. Bimbingan dan Konseling di SD (Implementasi PHK PGSD-B). Jakarta: Ditjen Dikti Depdiknas
Thompson, Rosemary A. 2006. Nurturing Future Generations: Promoting Resilience in Children and Adolescents Through Social, Emotional and Cognitive Skills (2nd ed). New York: Routledge
TVOne NewsThicker. 2010. Siswa SD kelas Tiga Gantung Diri Usai Terima Rapor. Minggu, 19 Desember 2010, 02:40 WIB
Zgourides,George. 2000. Developmental Psychology. New York: IDG Books Worldwide, Inc.
Sabtu, 25 Juni 2011
tugas mhs sidoarjo
MK: Perkembangan Peserta Didik
1. Tuliskan pengalaman terbaik (best practice) anda saat menangani masalah siswa SD
2. Jelaskan secara rinci permasalahan siswa Sd tersebut
3. Uraikan cara anda menangani masalah tersebut
4. Gunakan referensi di blog ini untuk memperkaya argumentasi anda
5. Jawaban anda akan didiskusikan pada pertemuan berikutnya
MK: Sumber dan Media Pembelajaran
1. Bacalah artikel media Bk di blog ini
2. Buatlah rangkuman
3. Apakah media tersebut dapat dipergunakan dalam proses pembelajaran di SD? Berikan argumentasi anda
4. Jawaban akan didiskusikan pada pertemuan berikutnya
SELAMAT MENGERJAKAN
1. Tuliskan pengalaman terbaik (best practice) anda saat menangani masalah siswa SD
2. Jelaskan secara rinci permasalahan siswa Sd tersebut
3. Uraikan cara anda menangani masalah tersebut
4. Gunakan referensi di blog ini untuk memperkaya argumentasi anda
5. Jawaban anda akan didiskusikan pada pertemuan berikutnya
MK: Sumber dan Media Pembelajaran
1. Bacalah artikel media Bk di blog ini
2. Buatlah rangkuman
3. Apakah media tersebut dapat dipergunakan dalam proses pembelajaran di SD? Berikan argumentasi anda
4. Jawaban akan didiskusikan pada pertemuan berikutnya
SELAMAT MENGERJAKAN
Rabu, 25 Mei 2011
tugas 2010 A/B PGSD
1. buatlah kelompok kecil sejumlah 5 orang
2. baca teori perkembangan Freud, Piaget, Kohlberg
3. bandingkan ketiga teori tersebut dan rumuskan kelebihan dan kekurangannya
4. hasil diskusi dikirimkan ke alamat boy_soedarmaji@yahoo.com paling lambat dua hari setelah tugas ini diunduh
2. baca teori perkembangan Freud, Piaget, Kohlberg
3. bandingkan ketiga teori tersebut dan rumuskan kelebihan dan kekurangannya
4. hasil diskusi dikirimkan ke alamat boy_soedarmaji@yahoo.com paling lambat dua hari setelah tugas ini diunduh
Kamis, 19 Mei 2011
URGENSI PENGGUNAAN TEORI KONSELING DALAM PRAKTIK LAYANAN KONSELING DI SEKOLAH
Oleh
Boy Soedarmadji
Prodi BK FKIP UNIPA Surabaya
Pengantar
Era globalisasi saat ini berdampak sangat besar pada seluruh aspek kehidupan masyarakat. Aspek ekonomi, aspek sosial kemasyarakatan dan bahkan dunia pendidikan pun terkena imbasnya. Imbas yang dialami oleh masyarakat dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi positif dan sisi negative. Sisi positif yang bisa diamati secara langsung adalah mudahnya manusia melakukan komunikasi dengan orang lain, bahkan komunikasi ini tidak terbatas oleh ruang dan waktu, mudahnya manusia melakukan perjalanan baik domestik atau non domestik, mudahnya manusia memperoleh informasi dan mengakses informasi. Tetapi di sisi lain, era global membawa dampak negatif yang tidak dapat dihindari oleh manusia. Kemudahan manusia mendapatkan informasi dan mengakses informasi ternyata berdampak pada perilaku manusia itu sendiri.
Dulu, kita sangat sulit untuk mendapatkan informasi dari daerah lain (apalagi yang berasal dari luar negeri), kalaupun bisa, itupun butuh waktu yang relatif lama. Mungkin kita masih ingat acara di televisi yaitu dunia dalam berita. Kita bisa menerima berita-berita yang terjadi di seputar kita hanya pada jam 21.00. Itupun, beritanya sudah disortir dan terjadi satu atau dua hari sebelumnya. Tetapi dengan keterbatasan teknologi yang ada, hal tersebut sudah dianggap canggih.
Apa yang terjadi saat ini? Sesuatu yang dulu dianggap sudah canggih, ternyata saat ini sudah bukan menjadi barang yang canggih lagi.
Bimbingan dan Konseling sebagai sebuah profesi. Sebagai sebuah profesi, maka apapun yang terkait dengan pelaksanaan program akan terikat dengan kode etik yang dimiliki. Bimbingan dan Konseling yang lahir pada tahun 1975 dengan berdirinya Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI), mengalami perjalanan panjang hingga pada akhirnya di tahun 2008 muncul Naskah Akademik yang menjadi pedoman pelaksanaan Bimbingan dan Konseling.
Sebagai sebuah profesi yang mandiri, maka konseling merupakan suatu kegiatan yang hanya bisa dilaksanakan oleh konselor profesioan dengan memiliki syarat-syarat tertentu. Sosok konselor profesional di sekolah memiliki keunikan tersendiri yang menjadikan memiliki perbedaan dengan guru bidang studi. Sosok guru menunjukkan keahlian profesionalnya dengan mempergunakan materi pembelajaran sebagai konteks layanan, sedangkan konselor dengan usaha memberikan layanan bimbingan konseling yang memandirikan tidak mempergunakan materi pembelajaran sebagai konteks layanan. Keunikan ini yang seringkali masih belum dipahami di jalur pendidikan formal.
Lebih lanjut, ABKIN (2008) menyatakan bahwa peran konselor di sekolah menengah memiliki perbedaan dengan guru mata pelajaran dalam rangka proses mendidik dan menumbuhkan aktualisasi diri siswa. Konselor mempergunakan proses pengenalan diri konseli sebagai konteks layanan dalam rangka menumbuhkan kemandirian dalam pengambilan keputusan penting dalam kehidupan konseli yang berkaitan dengan pendidikan, pemilihan, penyiapan diri serta kemampuan mempertahankan karier. Hal ini dilakukan dengan melakukan kerjasama dengan guru yang menggunakan mata pelajaran sebagai konteks layanan dengan menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik, yaitu pembelajaran yang sekaligus berdampak mendidik.
Untuk lebih memperdalam pemahaman tugas antara konselor sekolah dengan guru bidang studi, ABKIN (2008) menyatakan, ”Sebagai perbandingan, karena mengemban misi yang berbeda, kiprah seorang konselor yang melayani konseli normal dan sehat, menggunakan rujukan ”layanan bimbingan dan konseling yang memandirikan”, sesuai dengan tuntutan realisasi diri (self-realization) konseli melalui fasilitasi perkembangan kapasitasnya secara maksimal (capacity development), sedangkan seorang guru yang menggunakan mata pelajaran sebagai konteks terapan layanannya, menggunakan rujukan normatif ”pembelajaran yang mendidik” yang terfokus pada layanan pendidikan sesuai bakat, minat, dan kebutuhan peserta didik dalam proses pembudayaan sepanjang hayat dalam suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, dialogis dan dinamis menuju pencapaian tujuan utuh pendidikan.
Konselor Profesional
Biro tenaga kerja di Amerika Serikat (2007) memberikan panduan tentang pekerjaan konselor sekolah sebagai berikut:
“Counselors assist people with personal, family, educational, mental health, and career problems. Their duties vary greatly depending on their occupational specialty, which is determined by the setting in which they work and the population they serve. Educational, vocational, and school counselors provide individuals and groups with career and educational counseling. School counselors assist students of all levels, from elementary school to postsecondary education. They advocate for students and work with other individuals and organizations to promote the academic, career, personal, and social development of children and youth. School counselors help students evaluate their abilities, interests, talents, and personalities to develop realistic academic and career goals. Counselors use interviews, counseling sessions, interest and aptitude assessment tests, and other methods to evaluate and advise students. They also operate career information centers and career education programs”.
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) pada tahun 2008 telah menerbitkan Naskah Akademik yang secara yuridis menjadi pegangan bagi pelaksanaan Bimbingan dan Konseling. ABKIN (2008) menyatakan bahwa sosok utuh konselor yang profesional memiliki dua kriteria yaitu a) kompetensi akademik dan b) kompetensi profesional.
Kompetensi akademik merujuk kepada landasan ilmiah pelaksanaan bimbingan dan konseling baik yang dikembangkan dari hasil penelitian ilmiah, pendapat pakar maupun praksis di bidang bimbingan dan konseling yang selama ini berkembang. Kompetensi yang dipersyaratkan bagi konselor adalah a) memahami secara mendalam dengan penyikapan yang empatik serta menghormati keragaman yang mengedepankan kemaslhatan konseli yang dilayani, b) menguasai khasanah teoritik tentang konteks, pendekatan, asas, dan prosedur serta sarana yang digunakan dalam penyelenggaraan layanan bimbingan dan konseling, c) menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan, dan d) mengembangkan profesionalitas sebagai konselor secara berkelanjutan. Kompetensi profesional merujuk pada usaha konselor untuk menjadi profesional dengan mengikuti pendidikan profesi konselor.
Beberapa ahli menyatakan bahwa ciri-ciri konselor efektif adalah memiliki kemampuan empatik, pemahaman terhadap konseli, memiliki kemampuan kebutuhan emosinya dan responsif terhadap konselinya (Simpson & Starkey, 2006). Lebih lanjut, Ellis (dalam Yeo, 2003) menyatakan bahwa konselor profesional ditunjukkan dengan kualitas sebagai berikut:
a) Konselor sungguh-sungguh berminat untuk menolong klien mereka dan berusaha sekuat tenaga merealisasikan minat ini;
b) Tanpa syarat mereka harus memandang klien mereka sebagai pribadi;
c) Percaya pada kemampuan terapeutis mereka sendiri;
d) Memiliki pengetahuan luas tentang teori dan praktik-praktik konseling, luwes, tidak picik dan terbuka untuk mendapatkan keterampilan-keterampilan baru dan mencobanya;
e) Mampu menghadapi dan menyelesaikan keruwetan-keruwetan mereka sendiri, tidak cemas, tidak tertekan, tidak bersikap bermusuhan, tidak membiarkan diri mereka sendiri merosot, tidak mengasihani diri atau tidak disiplin;
f) Sabar, tekun, dan berusaha keras dalam kegiatan-kegiatan terapeutis mereka;
g) Bersikap etis dan bertanggungjawab, menggunakan konseling hampir seutuhnya demi kebaikan klien dan bukannya untuk kesenangan pribadi;
h) Bertindak secara profesional dan tepat dalam bidang terapeutis, tetapi masih sanggup mempertahankan sikap manusiawi, spontan dan gembira dalam bekerja;
i) Optimistik, mampu memberi semangat dan memperlihatkan pada klien bahwa apapun kesulitan yang dihadapi klien, mereka dapat berubah; dan
j) Berhasrat untuk menolong semua klien dan dengan besar hati bersedia merujuk orang-orang yang mereka anggap tidak bisa mereka tolong kepada rekan profesi lain
Rogers (dalam Geldard, 1993), sebagai salah satu ahli konseling humanistik menyatakan bahwa konselor yang baik memiliki tiga kualitas yaitu a) congruence, b) empathy dan c) unconditional positive regard. Congruence merujuk pada penunjukan diri secara apa adanya (genuine), terintegrasi dan memandang orang secara keseluruhan (whole person). Empati (empathy) merujuk pada pemahaman terhadap apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh konseli. Penerimaan tanpa syarat (unconditional positive regard) merujuk pada penerimaan konseli tanpa adanya penilaian (non-judgementally) terhadap nilai-nilai yang dimiliki oleh konseli dan mengakui kelebihan dan kelemahan yang dimiliki oleh konseli.
Lebih lanjut Bowman dan Reeves (dalam Karen & Garet, 2006) menyatakan bahwa konselor yang baik sebaiknya dapat mengembangkan moralitas dan kemampuan berempati sesuai dengan kebutuhan. Hal ini akan mengarahkan konselor untuk dapat memamahi dirinya, sehingga dapat terbuka untuk bekerja dengan individu atau masyarakat di sekitarnya.
Teori Konseling
Perkembangan teori konseling saat ini mengalami kemajuan yang sangat pesat. Hal ini tampak pada hasil-hasil penelitian yang dipublikasikan pada jurnal-jurnal penelitian baik skala nasional maupun internasional. Penelitian yang dipublikasikan di jurnal-jurnal ilmiah pada dasarnya merupakan usaha menjawab permasalahan-permasalahan yang terjadi pada dunia bimbingan dan konseling. Fenomena yang terjadi di sekolah sebagai wahana pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling menjadi lahan yang baik bagi perkembangan teori konseling.
Saat ini, di era globalisasi, permasalahan yang muncul di sekolah juga menjadi semakin kompleks. Permasalahan tidak saja berkutat kepada kesulitan balajar, tetapi juga masalah-masalah lain seperti narkoba, penyimpangan seksual dan masih banyak lagi. Permasalahan ini secara langsung akan berdampak kepada konselor sebagai ujung tombak pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling. Keadaan seperti ini pada dasarnya menuntut konselor untuk secara simultan mengembangkan kemampuan konselingnya dengan didasarkan pada teori-teori konseling yang up to date.
Teori Behavioral
Pendekatan behavioral merupakan sebuah pendekatan dalam konseling yang secara umum masih dipergunakan oleh para konselor. Tokoh pendekatan ini antara lain adalah Bandura, Pavlov, Skinner dan masih banyak yang lainnya. Pendekatan ini berasumsi bahwa perilaku manusia merupakan serangkaian hasil belajar. Apa dilakukan oleh seseorang merupakan hasil produksi dari lingkungan yang dominan seperti orang tua, sekolah, masyarakat atau orang lain yang berpengaruh (significant other). Manusia dianggap sebagai mahkluk yang tidak mempunyai daya apa-apa (determinitif). Manusia identik dengan robot, yang tidak memiliki inisiatif dan hanya bisa melakukan sesuatu karena merespon sebuah perintah atau aturan.
Walaupun teori ini (yang klasik) sudah banyak ditentang oleh aliran-aliran baru dalam konseling, tetapi teori ini tetap saja eksis dengan melakukan beberapa modifikasi. Skinner (dalam Soedarmadji dan Sutijono, 2005) menyatakan bahwa pandangan teori behavioristik terhadap terhadap manusia adalah 1) perilaku organisme bukan merupakan suatu fenomena mental, lebih ditentukan dengan belajar, sikap, kebiasaan dan aspek perkembangan kepribadian, 2) perkembangan kepribadian bersifat deterministik, 3) perbedaan individu karena adanya perbedaan pengalaman, 4) dualisme seperti pikiran dan tubuh, tubuh dan jiwa bukan merupakan hal yang ilmiah, tidak dapat diperkirakan dan tidak dapat mengatur perilaku manusia dan 5) walaupun perkembangan kepribadian dibatasi oleh sifat genetik, tetapi secara umum lingkungan dimana individu berada mempunyai pengaruh yang sangat besar. Uraian tersebut menunjukkan bahwa manusia adalah sosok yang sangat deterministik.
Chamblers & Goldstein (dalam Gilliland, 1989) menyatakan bahwa tidak ada batasan yang jelas mengenai pribadi yang sehat atau tidak sehat. Hal ini disebabkan para tokoh aliran ini mengakui bahwa perilaku maladaptif adalah seperti perilaku adaptif, yaitu dipelajari. Sehingga, tujuan konseling dalam pendekatan ini adalah mengajak konseli untuk belajar perilaku baru, yaitu perilaku yang dikehendaki oleh lingkungan yang dominan.
Terapi perilaku sangat berbeda dengan pendekatan-pendekatan konseling yang lain. Perbedaan mencolok ditandai pada (a) pemusatan perhatian pada bentuk perilaku yang tampak dan spesifik, (b) kecermatan dan penguraian tujuan treatment, (c) perumusan prosedur treatment yang spesifik yang sesuai dengan masalah dan (d) penafsiran yang obyektif terhadap hasil terapi (Corey, 2005).
Teori Humanistik
Pendekatan humanistik muncul karena ketidakcocokan dengan paradigma pendekatan Behavioristik. Tokoh aliran humanistik antara lain adalah Abraham Maslow, Rogers, Viktor Frankl dan masih banyak lagi yang lainnya. Para ahli ini secara mendasar mengemukakan teori-teorinya berdasar pada pendekatan humanistik, hanya saja, dalam pelaksanaan strategi konseling ada perbedaan-perbedaan.
Pendekatan humanistik yang dikembangkan oleh Abraham Maslow mendasarkan pemikirannya pada teori tentang kebutuhan manusia. Dimana kebutuhan manusia terdiri dari a) kebutuhan biologis dan phisik, b) kebutuhan rasa aman, c) kebutuhan untuk memiliki dan mencintai, d) kebutuhan harga diri dan e) kebutuhan aktualisasi diri.
Hirarki kebutuhan yang diuraikan oleh Maslow menunjukkan bahwa bahwa manusia akan terdorong untuk mencukupi kebutuhannya dan berusaha untuk menyelesaikan kebutuhan-kebutuhannya (accomplished). Perilaku manusia akan termotivasi untuk mencukupi kebutuhannya sampai dengan tingkat kebutuhan yang paling tinggi yaitu aktualisasi diri.
Perkembangan teori humanistik semakin pesat setelah Rogers mengembangkan teori person centered Therapy, dimana palayanan konseling dipusatkan kepada individu. Pandangan teori Rogerian terhadap manusia adalah 1) organisme, merupakan keseluruhan individu (the total individual, 2) Medan phenomenal, merupakan keseluruhan pengalaman individu (the totally of experience), dan 3) Self, merupakan bagian dari medan phenomenal yang terdiferensiasikan dan terdiri dari pola-pola pengamatan dan penillaian sadar dari “I” atau “Me”.
Rogers (dalam Soedarmadji & Sutijono, 2005) berpendapat bahwa pribadi yang sehat bukan merupakan keadaan dari ada, melainkan suatu proses, “suatu arah buka suatu tujuan”. Hal ini mempunyai makna bahwa pribadi yang sehat bukan merupakan sesuatu yang ada sejak manusia dilahirkan, tetapi merupakan suatu proses pembentukan yang tidak pernah selesai. Ini menunjukkan bahwa manusia tidak statis (mandeg) tetapi lebih pada usaha untuk terus menjadi sesuatu (becoming). Dengan demikian, Rogers menunjukkan bahwa individu yang sehat adalah mereka yang 1) Terbuka dengan pengalaman baru (opennes to experience), 2) Percaya pada diri sendiri (trust in themselves), 3) mempergunakan sumber-sumber dalam diri untuk melakukan evaluasi (internal source of evaluation), dan 4) Keinginan untuk terus tumbuh (willingness to continue growing).
Pribadi/individu yang tidak sehat menurut Rogers adalah mereka yang mengalami ketaksejajaran (incongruence) antara konsep diri (self-concept) dengan kenyataan yang ada. jika persepsi seseorang terhadap pengalaman itu terganggu atau ditolak, maka keadaan maladjusment atau vulnerability akan muncul. Keadaan incongruence ini dapat menimbulkan berbagai “penyakit” psikologis atau “neurotic behavior” seperti kecemasan, ketakutan, disorganisasi dan selalu menentukan nilai absolut. Dengan demikian, tujuan konseling yang akan dicapai oleh pendekatan ini adalah melakukan revisi terhadap cara pandang konseli.
Pendekatan Rogerian bisa dikatakan tidak memiliki strategi khusus dalam menangani masalah konseli. Hal ini dikarenakan dalam praktik konseling, kualitas hubungan antara konselor dan konseli menjadi proritas utama untuk mengentas permasalahan konseli. Hanya saja, untuk mencapai hal itu, maka dikutuhkan kualitas konselor seperti 1) Genuineness, 2) Unconditional Positive Regard, dan 3) Empathic Understanding.
Teori Gestalt
Teori Gestalt diperkenalkan oleh Frederick Perls. Gestalt dalam bahasa Jeman mempunyai arti bentuk, wujud atau organisasi. Kata itu mengandung pengertian kebulatan atau keparipurnaan (Schultz, 1991). Lebih lanjut, Simkin (dalam Gilliland, 1989) menyatakan bahwa kata Gestalt mempunyai makna keseluruhan (whole) atau konfigurasi (configuration). Dengan demikian Perls lebih mengutamakan adanya integrasi bagian-bagian terkecil kepada suatu hal yang menyeluruh. Integrasi ini merupakan hal penting dan menjadi fungsi dasar bagi manusia.
Proses perkembangan teori Gestalt tidak bisa dilepaskan dari sosok Laura (Lore) Posner (1905-1990). Dia adalah isteri Frederick perls yang secara signifikan turut mengembangkan teori Gestalt. Laura dilahirkan di Pforzheim Jerman. Awal mulanya dia adalah seorang pianis sampai dengan umur 18 tahun. Pada awalnya, Laura juga seorang pengikut aliran Psikoanalisa, yang kemudian pindah untuk mendalami teori-teori Gestalt. Pada tahun 1926, Laura dan Perls secara aktif melakukan kolaborasi untuk mengembangkan teori Gestalt, hingga pada tahun 1930 akhirnya mereka menikah. Pada tahun 1952, mereka mendirikan New York Institute for Gestalt Therapy.
Teori Gestalt memandang manusia dengan asumsi-asumsi sebagai berikut, 1) manusia merupakan suatu komposisi yang menyeluruh (whole) yang diciptakan dari adanya interrelasi bagian-bagian, tidak ada satu bagian tubuh (tubuh, emosi, pemikiran, perhatian, sensasi dan persepsi) yang dapat dipahami tanpa melihat manusia itu secara keseluruhan, 2) seseorang juga merupakan bagian dari lingkungannya dan tidak dapat dipahami dengan memisahkannya, 3) seseorang memilih bagaimana merespon stimuli eksternal, dia merupakan aktor dalam dunianya dan bukan reaktor, 4) seseorang mempunyai potensi untuk secara penuh menyadari keseluruhan sensasi, pemikiran, emosi, dan persepsinya, 5) seseorang mampu untuk membuat pilihan karena kesadarannya, 6) seseorang mempunyai kemampuan untuk menentukan kehidupan secara efektif, 7) seseorang tidak mengalami masa lalu dan masa yang akan datang; mereka hanya akan dapat mengalami dirinya pada saat ini, dan 8) seseorang itu pada dasarnya baik dan bukan buruk.
Menurut teori Gestalt, manusia sehat memiliki ciri-ciri antara lain 1) percaya pada kemampuan sendiri, 2) bertanggungjawab, 3) memiliki kematangan, dan 4) memiliki keseimbangan diri. Sebagai orang yang pernah mempelajari teori psikoanalisa (walaupun ditolaknya) Frankl menunjukkan bahwa orang-orang tidak sehat memiliki ciri-ciri sebagaimana yang disebutkan oleh teori psikoanalisa sebagai deffense mechanism.
Perilaku menyimpang pada manusia seringkali tidak disadari oleh seseorang, atau bahkan dia menolak bahwa mereka memiliki masalah. Dengan demikian, tujuan konseling dalam keonseling Gestalt adalah reowning. Pengakuan (menyadari) bahwa satu-satunya kenyataan yang kita miliki ialah kenyataan saat ini, orang serupa itu tidak melihat ke belakang atau ke depan untuk menemukan arti atau maksud dalam kehidupan (Schultz, 1991).
Pendekatan Gestalt mengarahkan konseli untuk secara langsung mengalami masalahnya daripada hanya sekedar berbicara situasi yang seringkali bersifat abstrak. Dengan begitu, konselor Gestalt akan berusaha untuk memahami secara langsung bagaimana konseli berpikir, bagaimana konseli merasakan sesuatu dan bagaimana konseli melakukan sesuatu, sehingga konselor akan “hadir secara penuh” (fully present) dalam proses konseling sehingga yang pada akhirnya memunculkan kontak yang murni (genuine contacs) antara konselor dengan konseli
Pengikut Gestalt selalu mempergunakan kata tanya “Apa/What” dan “Bagaimana/How”. Mereka menjauhi pertanyaan “Mengapa/Why”. Hal ini dikarenakan pertanyaan mengapa mempunyai kecenderungan untuk mengetahui alasan klien. Jika hal ini dilakukan, maka secara tidak langsung konselor telah mengajak klien untuk kembali ke masa lalunya. Selain itu, pertanyaan mengapa akan mengarahkan klien untuk berbuat rasionalisasi dan mengadakan penipuan diri (self-deception) serta lari dari kenyataan yang terjadi saat ini. Lari dari kenyataan yang terjadi saat ini akanmembuat klien mandeg atau stagnasi. Beberapa teknik yang dipegunakan antara lain, 1) teknik kursi kosong, 2) pekerjaan rumah, 3) perilaku yang diarahkan, 4) humor, dan 5) konseling kelompok.
Simpulan
Perkembangan di era global menuntut konselor sekolah untuk secara terus meningkatkan kemampuan profesionalnya, sebagai jawaban terhadap dampak yang dihasilkan dari perubahan-perubahan. Secara mendasar, konselor sekolah harus mempergunakan teori konseling dalam membantu memandirikan siswa disekolah. Penggunaan teori konseling ini pada akhirnya akan membantu konselor dalam mempertanggungjawabkan tindakan profesionalnya.
Referensi
ABKIN. 2008. Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Corey, Gerald. 2005. Theory and Pratice of Counseling and Psychotherapy (7th ed). Australia: Thompson Brooks/Cole.
Geldard, David. 1993. Basic Personal Counseling: a training manual for counselors (2nd ed). New York: Prentice Hall.
Gilliland, Burl., James, Richard., Bowman, James. 1989. Theories and Strategies in Counseling and Psychotherapy. Boston: Allyn and Bacon.
Karen, Eriksen., Garret, McAuliffe. 2006. Constructive development and counselor competence. Counselor Education dan Supervision, March, 2006.
Schultz, Duane. 1991. Psikologi Pertumbuhan: model-model kepribadian sehat. Yogyakarta: Kanisius
Simpson, Laura., Starkey, Donna. 2006. Secondary Traumatic Stress, Comparisson Fatigue and Counselor Spiritualy: Implication for Counselors Working with Trauma. http://counselingoutfitters.com/Simpson.htm.
Soedarmadji, Boy. 2007. Konseling Indonesia: yang bagaimana? Makalah disajikan dalam MGBK SMA Negeri dan Swasta kabupaten Nganjuk tanggal 1 Maret 2007.
Soedarmadji, Boy. 2008. Pendekatan Gestalt. http://karyaboy.blogspot.com.
Soedarmadji, Boy., Sutijono. 2005. Model-model Konseling. Surabaya: UNIPA University Press.
Soedarmadji, Boy., Sutijono. 2005. Pengantar Proses Konseling. Surabaya: UNIPA University Press.
U.S. Bureau of Labor Statistics. 2006. Counselors. http://www.bls.gov/OCO/ diakses tanggal 4 pebruari 2008.
Yeo, Anthony. 2003. Konseling: Suatu Pendekatan Pemecahan Masalah. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Ziegler, Daniel., Hjelle, Larry. 1992. Personality Theories: Basic Assumptions, Research, and Applications (3rd ed). Singapore: McGraw-Hill International Editions.
TUGAS MAHASISWA:
Buat matrik teori konseling dengan mempergatikan:
a. hakikat manusia
b. pribadi sehat/tidak sehat
c. tujuan konseling
d. strategi konseling yang dipergunakan
jawaban paling lambat dua hari setelah mengunduh artikel ini, dan dikirim ke alamat email boy_soedarmaji@yahoo.com
Oleh
Boy Soedarmadji
Prodi BK FKIP UNIPA Surabaya
Pengantar
Era globalisasi saat ini berdampak sangat besar pada seluruh aspek kehidupan masyarakat. Aspek ekonomi, aspek sosial kemasyarakatan dan bahkan dunia pendidikan pun terkena imbasnya. Imbas yang dialami oleh masyarakat dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi positif dan sisi negative. Sisi positif yang bisa diamati secara langsung adalah mudahnya manusia melakukan komunikasi dengan orang lain, bahkan komunikasi ini tidak terbatas oleh ruang dan waktu, mudahnya manusia melakukan perjalanan baik domestik atau non domestik, mudahnya manusia memperoleh informasi dan mengakses informasi. Tetapi di sisi lain, era global membawa dampak negatif yang tidak dapat dihindari oleh manusia. Kemudahan manusia mendapatkan informasi dan mengakses informasi ternyata berdampak pada perilaku manusia itu sendiri.
Dulu, kita sangat sulit untuk mendapatkan informasi dari daerah lain (apalagi yang berasal dari luar negeri), kalaupun bisa, itupun butuh waktu yang relatif lama. Mungkin kita masih ingat acara di televisi yaitu dunia dalam berita. Kita bisa menerima berita-berita yang terjadi di seputar kita hanya pada jam 21.00. Itupun, beritanya sudah disortir dan terjadi satu atau dua hari sebelumnya. Tetapi dengan keterbatasan teknologi yang ada, hal tersebut sudah dianggap canggih.
Apa yang terjadi saat ini? Sesuatu yang dulu dianggap sudah canggih, ternyata saat ini sudah bukan menjadi barang yang canggih lagi.
Bimbingan dan Konseling sebagai sebuah profesi. Sebagai sebuah profesi, maka apapun yang terkait dengan pelaksanaan program akan terikat dengan kode etik yang dimiliki. Bimbingan dan Konseling yang lahir pada tahun 1975 dengan berdirinya Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI), mengalami perjalanan panjang hingga pada akhirnya di tahun 2008 muncul Naskah Akademik yang menjadi pedoman pelaksanaan Bimbingan dan Konseling.
Sebagai sebuah profesi yang mandiri, maka konseling merupakan suatu kegiatan yang hanya bisa dilaksanakan oleh konselor profesioan dengan memiliki syarat-syarat tertentu. Sosok konselor profesional di sekolah memiliki keunikan tersendiri yang menjadikan memiliki perbedaan dengan guru bidang studi. Sosok guru menunjukkan keahlian profesionalnya dengan mempergunakan materi pembelajaran sebagai konteks layanan, sedangkan konselor dengan usaha memberikan layanan bimbingan konseling yang memandirikan tidak mempergunakan materi pembelajaran sebagai konteks layanan. Keunikan ini yang seringkali masih belum dipahami di jalur pendidikan formal.
Lebih lanjut, ABKIN (2008) menyatakan bahwa peran konselor di sekolah menengah memiliki perbedaan dengan guru mata pelajaran dalam rangka proses mendidik dan menumbuhkan aktualisasi diri siswa. Konselor mempergunakan proses pengenalan diri konseli sebagai konteks layanan dalam rangka menumbuhkan kemandirian dalam pengambilan keputusan penting dalam kehidupan konseli yang berkaitan dengan pendidikan, pemilihan, penyiapan diri serta kemampuan mempertahankan karier. Hal ini dilakukan dengan melakukan kerjasama dengan guru yang menggunakan mata pelajaran sebagai konteks layanan dengan menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik, yaitu pembelajaran yang sekaligus berdampak mendidik.
Untuk lebih memperdalam pemahaman tugas antara konselor sekolah dengan guru bidang studi, ABKIN (2008) menyatakan, ”Sebagai perbandingan, karena mengemban misi yang berbeda, kiprah seorang konselor yang melayani konseli normal dan sehat, menggunakan rujukan ”layanan bimbingan dan konseling yang memandirikan”, sesuai dengan tuntutan realisasi diri (self-realization) konseli melalui fasilitasi perkembangan kapasitasnya secara maksimal (capacity development), sedangkan seorang guru yang menggunakan mata pelajaran sebagai konteks terapan layanannya, menggunakan rujukan normatif ”pembelajaran yang mendidik” yang terfokus pada layanan pendidikan sesuai bakat, minat, dan kebutuhan peserta didik dalam proses pembudayaan sepanjang hayat dalam suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, dialogis dan dinamis menuju pencapaian tujuan utuh pendidikan.
Konselor Profesional
Biro tenaga kerja di Amerika Serikat (2007) memberikan panduan tentang pekerjaan konselor sekolah sebagai berikut:
“Counselors assist people with personal, family, educational, mental health, and career problems. Their duties vary greatly depending on their occupational specialty, which is determined by the setting in which they work and the population they serve. Educational, vocational, and school counselors provide individuals and groups with career and educational counseling. School counselors assist students of all levels, from elementary school to postsecondary education. They advocate for students and work with other individuals and organizations to promote the academic, career, personal, and social development of children and youth. School counselors help students evaluate their abilities, interests, talents, and personalities to develop realistic academic and career goals. Counselors use interviews, counseling sessions, interest and aptitude assessment tests, and other methods to evaluate and advise students. They also operate career information centers and career education programs”.
Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) pada tahun 2008 telah menerbitkan Naskah Akademik yang secara yuridis menjadi pegangan bagi pelaksanaan Bimbingan dan Konseling. ABKIN (2008) menyatakan bahwa sosok utuh konselor yang profesional memiliki dua kriteria yaitu a) kompetensi akademik dan b) kompetensi profesional.
Kompetensi akademik merujuk kepada landasan ilmiah pelaksanaan bimbingan dan konseling baik yang dikembangkan dari hasil penelitian ilmiah, pendapat pakar maupun praksis di bidang bimbingan dan konseling yang selama ini berkembang. Kompetensi yang dipersyaratkan bagi konselor adalah a) memahami secara mendalam dengan penyikapan yang empatik serta menghormati keragaman yang mengedepankan kemaslhatan konseli yang dilayani, b) menguasai khasanah teoritik tentang konteks, pendekatan, asas, dan prosedur serta sarana yang digunakan dalam penyelenggaraan layanan bimbingan dan konseling, c) menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan, dan d) mengembangkan profesionalitas sebagai konselor secara berkelanjutan. Kompetensi profesional merujuk pada usaha konselor untuk menjadi profesional dengan mengikuti pendidikan profesi konselor.
Beberapa ahli menyatakan bahwa ciri-ciri konselor efektif adalah memiliki kemampuan empatik, pemahaman terhadap konseli, memiliki kemampuan kebutuhan emosinya dan responsif terhadap konselinya (Simpson & Starkey, 2006). Lebih lanjut, Ellis (dalam Yeo, 2003) menyatakan bahwa konselor profesional ditunjukkan dengan kualitas sebagai berikut:
a) Konselor sungguh-sungguh berminat untuk menolong klien mereka dan berusaha sekuat tenaga merealisasikan minat ini;
b) Tanpa syarat mereka harus memandang klien mereka sebagai pribadi;
c) Percaya pada kemampuan terapeutis mereka sendiri;
d) Memiliki pengetahuan luas tentang teori dan praktik-praktik konseling, luwes, tidak picik dan terbuka untuk mendapatkan keterampilan-keterampilan baru dan mencobanya;
e) Mampu menghadapi dan menyelesaikan keruwetan-keruwetan mereka sendiri, tidak cemas, tidak tertekan, tidak bersikap bermusuhan, tidak membiarkan diri mereka sendiri merosot, tidak mengasihani diri atau tidak disiplin;
f) Sabar, tekun, dan berusaha keras dalam kegiatan-kegiatan terapeutis mereka;
g) Bersikap etis dan bertanggungjawab, menggunakan konseling hampir seutuhnya demi kebaikan klien dan bukannya untuk kesenangan pribadi;
h) Bertindak secara profesional dan tepat dalam bidang terapeutis, tetapi masih sanggup mempertahankan sikap manusiawi, spontan dan gembira dalam bekerja;
i) Optimistik, mampu memberi semangat dan memperlihatkan pada klien bahwa apapun kesulitan yang dihadapi klien, mereka dapat berubah; dan
j) Berhasrat untuk menolong semua klien dan dengan besar hati bersedia merujuk orang-orang yang mereka anggap tidak bisa mereka tolong kepada rekan profesi lain
Rogers (dalam Geldard, 1993), sebagai salah satu ahli konseling humanistik menyatakan bahwa konselor yang baik memiliki tiga kualitas yaitu a) congruence, b) empathy dan c) unconditional positive regard. Congruence merujuk pada penunjukan diri secara apa adanya (genuine), terintegrasi dan memandang orang secara keseluruhan (whole person). Empati (empathy) merujuk pada pemahaman terhadap apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh konseli. Penerimaan tanpa syarat (unconditional positive regard) merujuk pada penerimaan konseli tanpa adanya penilaian (non-judgementally) terhadap nilai-nilai yang dimiliki oleh konseli dan mengakui kelebihan dan kelemahan yang dimiliki oleh konseli.
Lebih lanjut Bowman dan Reeves (dalam Karen & Garet, 2006) menyatakan bahwa konselor yang baik sebaiknya dapat mengembangkan moralitas dan kemampuan berempati sesuai dengan kebutuhan. Hal ini akan mengarahkan konselor untuk dapat memamahi dirinya, sehingga dapat terbuka untuk bekerja dengan individu atau masyarakat di sekitarnya.
Teori Konseling
Perkembangan teori konseling saat ini mengalami kemajuan yang sangat pesat. Hal ini tampak pada hasil-hasil penelitian yang dipublikasikan pada jurnal-jurnal penelitian baik skala nasional maupun internasional. Penelitian yang dipublikasikan di jurnal-jurnal ilmiah pada dasarnya merupakan usaha menjawab permasalahan-permasalahan yang terjadi pada dunia bimbingan dan konseling. Fenomena yang terjadi di sekolah sebagai wahana pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling menjadi lahan yang baik bagi perkembangan teori konseling.
Saat ini, di era globalisasi, permasalahan yang muncul di sekolah juga menjadi semakin kompleks. Permasalahan tidak saja berkutat kepada kesulitan balajar, tetapi juga masalah-masalah lain seperti narkoba, penyimpangan seksual dan masih banyak lagi. Permasalahan ini secara langsung akan berdampak kepada konselor sebagai ujung tombak pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling. Keadaan seperti ini pada dasarnya menuntut konselor untuk secara simultan mengembangkan kemampuan konselingnya dengan didasarkan pada teori-teori konseling yang up to date.
Teori Behavioral
Pendekatan behavioral merupakan sebuah pendekatan dalam konseling yang secara umum masih dipergunakan oleh para konselor. Tokoh pendekatan ini antara lain adalah Bandura, Pavlov, Skinner dan masih banyak yang lainnya. Pendekatan ini berasumsi bahwa perilaku manusia merupakan serangkaian hasil belajar. Apa dilakukan oleh seseorang merupakan hasil produksi dari lingkungan yang dominan seperti orang tua, sekolah, masyarakat atau orang lain yang berpengaruh (significant other). Manusia dianggap sebagai mahkluk yang tidak mempunyai daya apa-apa (determinitif). Manusia identik dengan robot, yang tidak memiliki inisiatif dan hanya bisa melakukan sesuatu karena merespon sebuah perintah atau aturan.
Walaupun teori ini (yang klasik) sudah banyak ditentang oleh aliran-aliran baru dalam konseling, tetapi teori ini tetap saja eksis dengan melakukan beberapa modifikasi. Skinner (dalam Soedarmadji dan Sutijono, 2005) menyatakan bahwa pandangan teori behavioristik terhadap terhadap manusia adalah 1) perilaku organisme bukan merupakan suatu fenomena mental, lebih ditentukan dengan belajar, sikap, kebiasaan dan aspek perkembangan kepribadian, 2) perkembangan kepribadian bersifat deterministik, 3) perbedaan individu karena adanya perbedaan pengalaman, 4) dualisme seperti pikiran dan tubuh, tubuh dan jiwa bukan merupakan hal yang ilmiah, tidak dapat diperkirakan dan tidak dapat mengatur perilaku manusia dan 5) walaupun perkembangan kepribadian dibatasi oleh sifat genetik, tetapi secara umum lingkungan dimana individu berada mempunyai pengaruh yang sangat besar. Uraian tersebut menunjukkan bahwa manusia adalah sosok yang sangat deterministik.
Chamblers & Goldstein (dalam Gilliland, 1989) menyatakan bahwa tidak ada batasan yang jelas mengenai pribadi yang sehat atau tidak sehat. Hal ini disebabkan para tokoh aliran ini mengakui bahwa perilaku maladaptif adalah seperti perilaku adaptif, yaitu dipelajari. Sehingga, tujuan konseling dalam pendekatan ini adalah mengajak konseli untuk belajar perilaku baru, yaitu perilaku yang dikehendaki oleh lingkungan yang dominan.
Terapi perilaku sangat berbeda dengan pendekatan-pendekatan konseling yang lain. Perbedaan mencolok ditandai pada (a) pemusatan perhatian pada bentuk perilaku yang tampak dan spesifik, (b) kecermatan dan penguraian tujuan treatment, (c) perumusan prosedur treatment yang spesifik yang sesuai dengan masalah dan (d) penafsiran yang obyektif terhadap hasil terapi (Corey, 2005).
Teori Humanistik
Pendekatan humanistik muncul karena ketidakcocokan dengan paradigma pendekatan Behavioristik. Tokoh aliran humanistik antara lain adalah Abraham Maslow, Rogers, Viktor Frankl dan masih banyak lagi yang lainnya. Para ahli ini secara mendasar mengemukakan teori-teorinya berdasar pada pendekatan humanistik, hanya saja, dalam pelaksanaan strategi konseling ada perbedaan-perbedaan.
Pendekatan humanistik yang dikembangkan oleh Abraham Maslow mendasarkan pemikirannya pada teori tentang kebutuhan manusia. Dimana kebutuhan manusia terdiri dari a) kebutuhan biologis dan phisik, b) kebutuhan rasa aman, c) kebutuhan untuk memiliki dan mencintai, d) kebutuhan harga diri dan e) kebutuhan aktualisasi diri.
Hirarki kebutuhan yang diuraikan oleh Maslow menunjukkan bahwa bahwa manusia akan terdorong untuk mencukupi kebutuhannya dan berusaha untuk menyelesaikan kebutuhan-kebutuhannya (accomplished). Perilaku manusia akan termotivasi untuk mencukupi kebutuhannya sampai dengan tingkat kebutuhan yang paling tinggi yaitu aktualisasi diri.
Perkembangan teori humanistik semakin pesat setelah Rogers mengembangkan teori person centered Therapy, dimana palayanan konseling dipusatkan kepada individu. Pandangan teori Rogerian terhadap manusia adalah 1) organisme, merupakan keseluruhan individu (the total individual, 2) Medan phenomenal, merupakan keseluruhan pengalaman individu (the totally of experience), dan 3) Self, merupakan bagian dari medan phenomenal yang terdiferensiasikan dan terdiri dari pola-pola pengamatan dan penillaian sadar dari “I” atau “Me”.
Rogers (dalam Soedarmadji & Sutijono, 2005) berpendapat bahwa pribadi yang sehat bukan merupakan keadaan dari ada, melainkan suatu proses, “suatu arah buka suatu tujuan”. Hal ini mempunyai makna bahwa pribadi yang sehat bukan merupakan sesuatu yang ada sejak manusia dilahirkan, tetapi merupakan suatu proses pembentukan yang tidak pernah selesai. Ini menunjukkan bahwa manusia tidak statis (mandeg) tetapi lebih pada usaha untuk terus menjadi sesuatu (becoming). Dengan demikian, Rogers menunjukkan bahwa individu yang sehat adalah mereka yang 1) Terbuka dengan pengalaman baru (opennes to experience), 2) Percaya pada diri sendiri (trust in themselves), 3) mempergunakan sumber-sumber dalam diri untuk melakukan evaluasi (internal source of evaluation), dan 4) Keinginan untuk terus tumbuh (willingness to continue growing).
Pribadi/individu yang tidak sehat menurut Rogers adalah mereka yang mengalami ketaksejajaran (incongruence) antara konsep diri (self-concept) dengan kenyataan yang ada. jika persepsi seseorang terhadap pengalaman itu terganggu atau ditolak, maka keadaan maladjusment atau vulnerability akan muncul. Keadaan incongruence ini dapat menimbulkan berbagai “penyakit” psikologis atau “neurotic behavior” seperti kecemasan, ketakutan, disorganisasi dan selalu menentukan nilai absolut. Dengan demikian, tujuan konseling yang akan dicapai oleh pendekatan ini adalah melakukan revisi terhadap cara pandang konseli.
Pendekatan Rogerian bisa dikatakan tidak memiliki strategi khusus dalam menangani masalah konseli. Hal ini dikarenakan dalam praktik konseling, kualitas hubungan antara konselor dan konseli menjadi proritas utama untuk mengentas permasalahan konseli. Hanya saja, untuk mencapai hal itu, maka dikutuhkan kualitas konselor seperti 1) Genuineness, 2) Unconditional Positive Regard, dan 3) Empathic Understanding.
Teori Gestalt
Teori Gestalt diperkenalkan oleh Frederick Perls. Gestalt dalam bahasa Jeman mempunyai arti bentuk, wujud atau organisasi. Kata itu mengandung pengertian kebulatan atau keparipurnaan (Schultz, 1991). Lebih lanjut, Simkin (dalam Gilliland, 1989) menyatakan bahwa kata Gestalt mempunyai makna keseluruhan (whole) atau konfigurasi (configuration). Dengan demikian Perls lebih mengutamakan adanya integrasi bagian-bagian terkecil kepada suatu hal yang menyeluruh. Integrasi ini merupakan hal penting dan menjadi fungsi dasar bagi manusia.
Proses perkembangan teori Gestalt tidak bisa dilepaskan dari sosok Laura (Lore) Posner (1905-1990). Dia adalah isteri Frederick perls yang secara signifikan turut mengembangkan teori Gestalt. Laura dilahirkan di Pforzheim Jerman. Awal mulanya dia adalah seorang pianis sampai dengan umur 18 tahun. Pada awalnya, Laura juga seorang pengikut aliran Psikoanalisa, yang kemudian pindah untuk mendalami teori-teori Gestalt. Pada tahun 1926, Laura dan Perls secara aktif melakukan kolaborasi untuk mengembangkan teori Gestalt, hingga pada tahun 1930 akhirnya mereka menikah. Pada tahun 1952, mereka mendirikan New York Institute for Gestalt Therapy.
Teori Gestalt memandang manusia dengan asumsi-asumsi sebagai berikut, 1) manusia merupakan suatu komposisi yang menyeluruh (whole) yang diciptakan dari adanya interrelasi bagian-bagian, tidak ada satu bagian tubuh (tubuh, emosi, pemikiran, perhatian, sensasi dan persepsi) yang dapat dipahami tanpa melihat manusia itu secara keseluruhan, 2) seseorang juga merupakan bagian dari lingkungannya dan tidak dapat dipahami dengan memisahkannya, 3) seseorang memilih bagaimana merespon stimuli eksternal, dia merupakan aktor dalam dunianya dan bukan reaktor, 4) seseorang mempunyai potensi untuk secara penuh menyadari keseluruhan sensasi, pemikiran, emosi, dan persepsinya, 5) seseorang mampu untuk membuat pilihan karena kesadarannya, 6) seseorang mempunyai kemampuan untuk menentukan kehidupan secara efektif, 7) seseorang tidak mengalami masa lalu dan masa yang akan datang; mereka hanya akan dapat mengalami dirinya pada saat ini, dan 8) seseorang itu pada dasarnya baik dan bukan buruk.
Menurut teori Gestalt, manusia sehat memiliki ciri-ciri antara lain 1) percaya pada kemampuan sendiri, 2) bertanggungjawab, 3) memiliki kematangan, dan 4) memiliki keseimbangan diri. Sebagai orang yang pernah mempelajari teori psikoanalisa (walaupun ditolaknya) Frankl menunjukkan bahwa orang-orang tidak sehat memiliki ciri-ciri sebagaimana yang disebutkan oleh teori psikoanalisa sebagai deffense mechanism.
Perilaku menyimpang pada manusia seringkali tidak disadari oleh seseorang, atau bahkan dia menolak bahwa mereka memiliki masalah. Dengan demikian, tujuan konseling dalam keonseling Gestalt adalah reowning. Pengakuan (menyadari) bahwa satu-satunya kenyataan yang kita miliki ialah kenyataan saat ini, orang serupa itu tidak melihat ke belakang atau ke depan untuk menemukan arti atau maksud dalam kehidupan (Schultz, 1991).
Pendekatan Gestalt mengarahkan konseli untuk secara langsung mengalami masalahnya daripada hanya sekedar berbicara situasi yang seringkali bersifat abstrak. Dengan begitu, konselor Gestalt akan berusaha untuk memahami secara langsung bagaimana konseli berpikir, bagaimana konseli merasakan sesuatu dan bagaimana konseli melakukan sesuatu, sehingga konselor akan “hadir secara penuh” (fully present) dalam proses konseling sehingga yang pada akhirnya memunculkan kontak yang murni (genuine contacs) antara konselor dengan konseli
Pengikut Gestalt selalu mempergunakan kata tanya “Apa/What” dan “Bagaimana/How”. Mereka menjauhi pertanyaan “Mengapa/Why”. Hal ini dikarenakan pertanyaan mengapa mempunyai kecenderungan untuk mengetahui alasan klien. Jika hal ini dilakukan, maka secara tidak langsung konselor telah mengajak klien untuk kembali ke masa lalunya. Selain itu, pertanyaan mengapa akan mengarahkan klien untuk berbuat rasionalisasi dan mengadakan penipuan diri (self-deception) serta lari dari kenyataan yang terjadi saat ini. Lari dari kenyataan yang terjadi saat ini akanmembuat klien mandeg atau stagnasi. Beberapa teknik yang dipegunakan antara lain, 1) teknik kursi kosong, 2) pekerjaan rumah, 3) perilaku yang diarahkan, 4) humor, dan 5) konseling kelompok.
Simpulan
Perkembangan di era global menuntut konselor sekolah untuk secara terus meningkatkan kemampuan profesionalnya, sebagai jawaban terhadap dampak yang dihasilkan dari perubahan-perubahan. Secara mendasar, konselor sekolah harus mempergunakan teori konseling dalam membantu memandirikan siswa disekolah. Penggunaan teori konseling ini pada akhirnya akan membantu konselor dalam mempertanggungjawabkan tindakan profesionalnya.
Referensi
ABKIN. 2008. Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Corey, Gerald. 2005. Theory and Pratice of Counseling and Psychotherapy (7th ed). Australia: Thompson Brooks/Cole.
Geldard, David. 1993. Basic Personal Counseling: a training manual for counselors (2nd ed). New York: Prentice Hall.
Gilliland, Burl., James, Richard., Bowman, James. 1989. Theories and Strategies in Counseling and Psychotherapy. Boston: Allyn and Bacon.
Karen, Eriksen., Garret, McAuliffe. 2006. Constructive development and counselor competence. Counselor Education dan Supervision, March, 2006.
Schultz, Duane. 1991. Psikologi Pertumbuhan: model-model kepribadian sehat. Yogyakarta: Kanisius
Simpson, Laura., Starkey, Donna. 2006. Secondary Traumatic Stress, Comparisson Fatigue and Counselor Spiritualy: Implication for Counselors Working with Trauma. http://counselingoutfitters.com/Simpson.htm.
Soedarmadji, Boy. 2007. Konseling Indonesia: yang bagaimana? Makalah disajikan dalam MGBK SMA Negeri dan Swasta kabupaten Nganjuk tanggal 1 Maret 2007.
Soedarmadji, Boy. 2008. Pendekatan Gestalt. http://karyaboy.blogspot.com.
Soedarmadji, Boy., Sutijono. 2005. Model-model Konseling. Surabaya: UNIPA University Press.
Soedarmadji, Boy., Sutijono. 2005. Pengantar Proses Konseling. Surabaya: UNIPA University Press.
U.S. Bureau of Labor Statistics. 2006. Counselors. http://www.bls.gov/OCO/ diakses tanggal 4 pebruari 2008.
Yeo, Anthony. 2003. Konseling: Suatu Pendekatan Pemecahan Masalah. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Ziegler, Daniel., Hjelle, Larry. 1992. Personality Theories: Basic Assumptions, Research, and Applications (3rd ed). Singapore: McGraw-Hill International Editions.
TUGAS MAHASISWA:
Buat matrik teori konseling dengan mempergatikan:
a. hakikat manusia
b. pribadi sehat/tidak sehat
c. tujuan konseling
d. strategi konseling yang dipergunakan
jawaban paling lambat dua hari setelah mengunduh artikel ini, dan dikirim ke alamat email boy_soedarmaji@yahoo.com
Sabtu, 03 Juli 2010
UTS PGDJ-PJJ Blitar
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI ADI BUANA SURABAYA
Kampus : Ngagel Dadi III-B / 37 Surabaya 60245
Telepon (031) 5041097, 5041190 Fax. (031) 5042804
NASKAH UJIAN TENGAH SEMESTER GENAP 2009/ 2010
Mata Ujian : BK di SD Hari/Tgl : Minggu, 04.07.2010
Program Studi : PGSD Waktu : 08.00 – 09.00
Kelompok : PGDJ-PJJ Ruang : SDN Ponggok I
Angkatan/Kelas : 2009 Sifat : Open Books
Dosen : Boy Soedarmadji, S.Pd., M.Pd
Petunjuk khusus :
1. Tulis mata ujian, nama, nomor urut absen, nomor registrasi, program studi, dan bubuhkan tanda tangan Anda pada bagian kanan atas lembar kerja Anda.
2. Kerjakan semua soal berikut ini dengan tertib.
3. Tulisan Anda harus rapi dan mudah dibaca.
SOAL:
1. Jelaskan definisi Bimbingan dan Konseling.
2. Jelaskan Urgensi layanan bimbingan dan konseling di Sekolah dasar!
3. Sebutkan dan jelaskan fungsi layanan bimbingan dan konseling di Sekolah Dasar (min: 3).
4. Sebutkan dan jelaskan asas-asas bimbingan dan konseling (min: 3)
5. Kasus:
Siti seorang siswi berumur 9 tahun. Saat ini dia mengalami permasalahan di sekolah yaitu nilai pelajaran dibawah SKM. Padahal sebelumnya dia adalah siswa yang berprestasi. Perilaku Siti saat ini cenderung menarik diri (withdrawl) dan cenderung mudah marah dan berperilaku agresif.
Menurut Anda, apa yang sebaiknya dilakukan oleh guru kelas (kemungkinan masalah dan alternatif penyelesaiannya) jika mempergunakan kaidah-kaidah bimbingan dan konseling? Jelaskan jawaban anda dengan rinci.
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI ADI BUANA SURABAYA
Kampus : Ngagel Dadi III-B / 37 Surabaya 60245
Telepon (031) 5041097, 5041190 Fax. (031) 5042804
NASKAH UJIAN TENGAH SEMESTER GENAP 2009/ 2010
Mata Ujian : Manajemen Berbasis Sekolah Hari/Tgl : Minggu, 04.07.2010
Program Studi : PGSD Waktu : 10.00-11.00
Kelompok : PGDJ-PJJ Ruang : SDN Ponggok I
Angkatan/Kelas : 2009 Sifat : Open Books
Dosen : Boy Soedarmadji, S.Pd., M.Pd
Petunjuk khusus :
1. Tulis mata ujian, nama, nomor urut absen, nomor registrasi, program studi, dan bubuhkan tanda tangan Anda pada bagian kanan atas lembar kerja Anda.
2. Kerjakan semua soal berikut ini dengan tertib.
3. Tulisan Anda harus rapi dan mudah dibaca.
SOAL:
1. Jelaskan definisi Manajemen Berbasis Sekolah!
2. Jelaskan urgensi guru sekolah dasar memahami MBS!
3. Jelaskan mengapa MBS sangat erat kaitannya dengan KBK, profesionalisme guru, dan pemberdayaan sumberdaya masyarakat?
4. MBS sering dianalogikan dengan proses ”pemuasan” kebutuhan pelanggan (stakeholder). Jelaskan pernyataan tersebut!
5. Menurut anda, seberapa pentingkah proses perencanaan kegiatan di sekolah? Jelaskan secara rinci!
UNIVERSITAS PGRI ADI BUANA SURABAYA
Kampus : Ngagel Dadi III-B / 37 Surabaya 60245
Telepon (031) 5041097, 5041190 Fax. (031) 5042804
NASKAH UJIAN TENGAH SEMESTER GENAP 2009/ 2010
Mata Ujian : BK di SD Hari/Tgl : Minggu, 04.07.2010
Program Studi : PGSD Waktu : 08.00 – 09.00
Kelompok : PGDJ-PJJ Ruang : SDN Ponggok I
Angkatan/Kelas : 2009 Sifat : Open Books
Dosen : Boy Soedarmadji, S.Pd., M.Pd
Petunjuk khusus :
1. Tulis mata ujian, nama, nomor urut absen, nomor registrasi, program studi, dan bubuhkan tanda tangan Anda pada bagian kanan atas lembar kerja Anda.
2. Kerjakan semua soal berikut ini dengan tertib.
3. Tulisan Anda harus rapi dan mudah dibaca.
SOAL:
1. Jelaskan definisi Bimbingan dan Konseling.
2. Jelaskan Urgensi layanan bimbingan dan konseling di Sekolah dasar!
3. Sebutkan dan jelaskan fungsi layanan bimbingan dan konseling di Sekolah Dasar (min: 3).
4. Sebutkan dan jelaskan asas-asas bimbingan dan konseling (min: 3)
5. Kasus:
Siti seorang siswi berumur 9 tahun. Saat ini dia mengalami permasalahan di sekolah yaitu nilai pelajaran dibawah SKM. Padahal sebelumnya dia adalah siswa yang berprestasi. Perilaku Siti saat ini cenderung menarik diri (withdrawl) dan cenderung mudah marah dan berperilaku agresif.
Menurut Anda, apa yang sebaiknya dilakukan oleh guru kelas (kemungkinan masalah dan alternatif penyelesaiannya) jika mempergunakan kaidah-kaidah bimbingan dan konseling? Jelaskan jawaban anda dengan rinci.
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI ADI BUANA SURABAYA
Kampus : Ngagel Dadi III-B / 37 Surabaya 60245
Telepon (031) 5041097, 5041190 Fax. (031) 5042804
NASKAH UJIAN TENGAH SEMESTER GENAP 2009/ 2010
Mata Ujian : Manajemen Berbasis Sekolah Hari/Tgl : Minggu, 04.07.2010
Program Studi : PGSD Waktu : 10.00-11.00
Kelompok : PGDJ-PJJ Ruang : SDN Ponggok I
Angkatan/Kelas : 2009 Sifat : Open Books
Dosen : Boy Soedarmadji, S.Pd., M.Pd
Petunjuk khusus :
1. Tulis mata ujian, nama, nomor urut absen, nomor registrasi, program studi, dan bubuhkan tanda tangan Anda pada bagian kanan atas lembar kerja Anda.
2. Kerjakan semua soal berikut ini dengan tertib.
3. Tulisan Anda harus rapi dan mudah dibaca.
SOAL:
1. Jelaskan definisi Manajemen Berbasis Sekolah!
2. Jelaskan urgensi guru sekolah dasar memahami MBS!
3. Jelaskan mengapa MBS sangat erat kaitannya dengan KBK, profesionalisme guru, dan pemberdayaan sumberdaya masyarakat?
4. MBS sering dianalogikan dengan proses ”pemuasan” kebutuhan pelanggan (stakeholder). Jelaskan pernyataan tersebut!
5. Menurut anda, seberapa pentingkah proses perencanaan kegiatan di sekolah? Jelaskan secara rinci!
Rabu, 26 Mei 2010
tugas
Tugas PGSD 2009 A/B
1. Buat kelompok diskusi (max 5 orang)
2. Buat makalah berdasar buku Perkembangan Peserta Didik Bab V
3. Jawab Pertanyaan pada BAB V (Individu)
4. Tugas individu dilampirkan pada makalah
5. Presentasi masing-masing kelompok dilakukan pada tanggal 02 Juni 2010
6. Tambahkan rerefensi dari internet (minimal 3)
Referensi Utama: Buku Perkembangan Peserta Didik oleh: Boy Soedarmadji
1. Buat kelompok diskusi (max 5 orang)
2. Buat makalah berdasar buku Perkembangan Peserta Didik Bab V
3. Jawab Pertanyaan pada BAB V (Individu)
4. Tugas individu dilampirkan pada makalah
5. Presentasi masing-masing kelompok dilakukan pada tanggal 02 Juni 2010
6. Tambahkan rerefensi dari internet (minimal 3)
Referensi Utama: Buku Perkembangan Peserta Didik oleh: Boy Soedarmadji
Jumat, 07 Mei 2010
konseling indonesia?
KONSELING INDONESIA: Yang Bagaimana?
Oleh: Boy Soedarmadji
Pengantar
Perkembangan konseling di dunia saat mengalami perubahan-perubahan yang sangat pesat. Hal ini terjadi di negara-negara yang sudah maju seperti di Amerika, Inggris dan kebanyakan negara-negara di Eropa. Pesatnya perkembangan ilmu konseling di negara-negara barat ada kemungkinan disebabkan karena semakin kompleksnya masalah yang dihadapi oleh negara-negara barat, sehingga mereka terus berpacu dengan waktu untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang muncul.
Awalnya pelaksanaan konseling di barat seringkali didasarkan pada nilai nilai yang berlaku bagi kaum mayoritas, atau dapat dikatakan bahwa layanan konseling itu merupakan kegiatan kelas menengah ke atas bagi orang kulit putih yang masih memegang teguh nilai nilai dimilikinya. Konseling seringkali dilakukan antara orang kulit putih dengan orang kulit putih. Hal ini dapat dimaklumi, karena perkembangan konseling ini sendiri diawali oleh orang kulit putih.
Lambat laun masalah dalam konseling mulai muncul. Dalam pelaksanaan konseling, ternyata bukan menjadi otonomi masyarakat kulit putih saia, tetapi juga menjadi kebutuhan bagi masyarakat lainnya. Masyarakat lain yang dimaksud adalah kaum pendatang (siswa, mahasiswa, imigran dll). Mereka lebih sering disebut dengan masyarakat minoritas. Kaum minoritas di Amerika terdiri dari kaum pendatang (siswa, mahasiswa dan imigran gelap). Secara umum mereka datang ke Amerika dengan membawa budaya yang masih melekat kuat bagi pribadi masing masing. Siswa dan maha¬siswa yang berasal dari Asia (terutama) seringkali menga¬lami kesulitan didalam melaksanakan studinya. Kesulitan ini seringkali berasal dari budaya atau nilai nilai yang berbeda dengan nilai nilai yang dipergunakan oleh orang barat. Kesulitan kesulitan studi mereka segera ditangkap oleh konselor barat. Tetapi kenyataannya, konselor barat itu sendiri juga merasa kesulitan untuk membantu mahasiswa yang berasal dari negara timur.
Golongan minoritas tidak saia mengacu pada apa yang telah disebutkan di atas saja. Satu kelompok lain yang masuk dalam golongan minoritas adalah kaum perempuan. Secara umum, perempuan masih digolongkan sebagai orang kedua dalam hal pekerjaan dan lain lain. Perempuan selama ini masih dianggap sebagai golongan yang lemah dan golongan yang harus dilindungi. Padahal dalam beberapa dekade terakhir ini, kaum perempuan mulai "mengeliat" dan berusaha untuk bisa menunjukkan eksistensinya. Gerakan gerakan tersebut demikian kuatnya sehingga mengakibatkan para ahli konseling berpikir untuk dapat “melayani" mereka. Hal ini membuat posisi ilmu konseling untuk terus melakukan penelitian penelitian yang dapat mangungkap hal hal yang berkaitan dengan konseling lintas budaya. Sehingga diharapkan nantinya akan muncul metode metode baru atau teknik teknik baru yang dapat dipergunakan untuk melakukan konseling dengan klien yang mempunyai perbedaan buda¬ya.
Perkembangan di Indonesia
Indonesia sebagai negara kesatuan memiliki kurang lebih 300 etnis yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Banyaknya etnis ini merupakan berkah yang tak terhingga bagi kita, sebab keragaman/kemajemukan ini akan memunculkan warna kehidupan. Pada setiap suku/etnis tersebut terdapat model bantuan yang sifatnya masih tradisional. Pada umumnya, bantuan yang diberikan kepada orang yang membutuhkan dilakukan oleh tokoh masyarakat yang dianggap mempunyai kelebihan spiritual (kyai, pastor, pendeta) atau mereka yang dianggap sebagai “orang tua” atau mereka yang dituakan (paranormal, “orang pinter”. “orang tua” dan sebagainya) [Rosjidan, 1995]. Orang-orang ini dipandang mempunyai kemampuan lebih untuk mengatasi masalah tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Indonesia masih mempunyai ketergantungan pada mereka, sebagai salah satu contoh pada saat mencari pekerjaan. Mereka tidak segan-segan datang kepada orang-orang tersebut untuk mendapatkan petuah, wejangan bahkan jampi-jampi. Ada keyakinan yang kuat bagi sebagian masyarakat Indonesia bahwa dengan mendatangi guru (kyai, dukun, paranormal dll) akan membuat masalah mereka selesai.
Dari uraian di atas, maka dapat ditarik simpulan bahwa profesi konseling akan lebih menguntungkan jika mempergunakan pendekatan-pendekatan yang dipergunakan oleh kaum pribumi. Hal ini disebabkan setiap budaya mempunyai cara-cara tertentu untuk menyelesaikan masalah yang timbul di dalam masyarakat tersebut (Lee & Sirch, 1994).
Perkembangan konseling di Indonesia mengalami kemajuan yang signifikan, walaupun kemajuan tersebut berjalan dengan lambat. Pada tahun 1995 dengan dilakukannya kongres dan Konvensi Nasional IPBI (sekarang ABKIN) telah dimulai suatu gerakan untuk menemukan konseling yang bercirikan budaya Indonesia. Saat itu, pemerhati masalah Bimbingan dan Konseling telah menyadari akan perlunya identitas konseling di Indonesia.
Terbentuknya ABKIN (Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia) merupakan tonggak bersejarah bagi pelaksanaan konseling di Indonesia. Saat ini, perjuangan ABKIN bagi keberadaan konselor di sekolah semakin terasa, apalagi sampai munculnya istilah “konselor” sebagai salah satu jenis tenaga kependidikan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada Bab I Pasal 1 ayat (4) dinyatakan bahwa “pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Pernyataan secara eksplisit ini pada akhirnya memunculkan kepercayaan masyarakat (public trust).
Sebutan konselor memiliki tanggungjawab yang besar. Hal ini dikarenakan sebutan ini menuntut profesionalisme dari diri masing-masing konselor yang ada, sehingga dalam hal ini, LPTK merasa terpanggil untuk mempersiapkan tenaga konselor yang professional. Salah satu bentuk profesionalisme konselor adalah menerapkan teori-teori konseling terbaru yang berkembang. Untuk hal tersebut, maka ABKIN mengeluarkan keputusan no. 011 tahun 2005 tentang Standar Kompetensi Konselor Indonesia (SKKI) yang merupakan salah satu acuan penyelenggaraan pendidikan bagi semua perguruan tinggi penyelenggaran Program Studi Bimbingan dan Konseling di Indonesia.
Salah satu hal menarik yang tercantum dalam SKKI disebutkan bahwa Konselor bekerja dalam berbagai setting, dan setting itu menjadi kekhususan dari wilayah layanan bimbingan dan konseling. Keragaman setting pekerjaan konselor ini mengandung makna adanya pengetahuan, sikap, dan keterampilan bersama yang harus dikuasai oleh konselor dalam setting manapun. Kompetensi ini disebut kompetensi bersama (common competencies), yang harus dikuasai oleh konselor sekolah, perkawinan, karir, traumatic, rehabilitasi dan kesehatan mental. Setiap setting bimbingan dan konseling menghendaki kompetensi khusus yang harus dikuasai konselor untuk dapat memberikan layanan dalam setting/wilayah khusus itu (ABKIN, 2005).
Sejalan dengan perkembangan teori-teori tersebut, maka di Indonesia saat ini sedang getol-getolnya dikembangkan suatu pendekatan konseling yang berbasis Indonesia. Salah satu alternatif yang ditawarkan adalah Teknik Konseling PADI.
Konseling PADI
Konseling PADI atau yang sering disebut dengan teknik PADI, saat ini telah dikembangkan di beberapa negara Asia, khusunya Asia Tenggara seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Philipina. Teknik ini dikembangkan dengan memadukan dua pendekatan konseling yaitu pendekatan humanistik dan behavioristik, selain ada juga unsur-unsur budaya Timur yang menyertainya. Perkembangan ini ditunjukkan dengan munculnya teknik-teknik konseling baru yang mungkin (juga) baru kita kenal. Salah satu teknik konseling yang saat ini mulai dikembangkan di Asia adalah teknik konseling PADI. PADI sendiri merupakan akronim dari Problem definition, Atempted solution, Desired changes dan Intervention plan.
Problem definition, merupakan suatu usaha untuk mendefinisikan masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh individu. Mendefinisikan masalah merupakan tahapan yang paling penting, sebab seringkali klien datang ke ruang konseling dengan membawa berbagai macam masalah dimana mereka tidak tahu masalah mana yang akan diselesaikan. Hal lain yang sering muncul adalah pengungkapan masalah yang sebenarnya bukan masalah. Sebagai contoh, seorang ibu mengeluh karena tidak bisa mengatur anak ABG-nya. Dia mengatakan bahwa saat ini anaknya susah diatur dan cenderung untuk bermain dengan teman-teman sebayanya. Ungkapan ibu tadi sepertinya masalah, tetapi jika dilihat dari psikologi perkembangan, usia anak ABG memang memiliki perilaku untuk berkelompok dengan teman sebayanya. Lebih lanjut, masalah yang dimiliki ibu tadi seakan-akan bukan masalahnya, tetapi dipandang bahwa anaknya yang bermasalah. Untuk mendefinisikan masalah klien, maka perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
a. Masalah dinyatakan secara positif (biasanya dalam bentuk perilaku)
b. Masalah adalah milik klien
c. Perjelas kapan masalah muncul
d. Bagaimana pengaruh masalah tersebut terhadap diri dan lingkungan klien
e. Siapa yang harus dilibatkan
f. Perlu dipertimbangkan masalah budaya klien
Yeoh (2003) menyatakan bahwa jika konselor mengetahui letak permasalahan klien, maka konselor sebaiknya menyatakan kepada klien. Hal ini dilakukan agar klien tersadar dan dengan mudah untuk melakukan diskusi dengan konselor. Melalui diskusi ini, maka antara konselor dan klien akan memiliki kesepakatan tentang masalah apa yang ingin diselesaikan melalui konseling, sehingga akan membuat konselor lebih fokus dalam usaha membantu klien.
Atempted solution, merupakan usaha-usaha pemecahan masalah yang pernah dicoba oleh klien. Untuk hal ini, konselor perlu menanyakan kepada klien tentang apa saja yang pernah dilakukan oleh oleh klien untuk memecahkan masalahnya serta menanyakan bagaimana hasilnya. Pemberian pertanyaan ini dimaksudkan untuk memberikan penguatan serta memotivasi klien untuk dapat menyelesaikan masalahnya. Satu hal penting bagi konselor adalah tidak memberikan persepsi terhadap usaha-usaha yang telah dilakukan oleh klien sehubungan dengan usaha pemecahan masalah yang dilakukannya. Walaupun usaha yang dilakukan oleh klien bertentangan nilai-nilai yang dimiliki oleh konselor. Perilaku konselor dengan tidak memberikan persepsi kepada usaha-usaha yang dilakukan oleh klien akan membantu konselor untuk berpijak pada hal-hal yang bersifat obyektif.
Pengungkapan diri klien terhadap usaha pemecahan masalah yang telah dilakukan pada akhirnya akan membantu konselor dan klien untuk bersama-sama menemukan cara-cara baru untuk mengentaskan masalah klien. Untuk hal ini sebaiknya konselor telah mengidentifikasi kelebihan dan kelemahan masing-masing cara yang telah dilakukan oleh klien. Lebih lanjut, Yeoh (2003) menyatakan bahwa usaha menemukan usaha-usaha yang pernah dilakukan oleh klien juga bertujuan untuk membuang usaha-usaha yang tidak berhasil, dan membicarakan lagi usaha-usaha yang pernah berhasil untuk diangkat kembali sebagai salah satu alternative pemecahan masalah klien. Tentu saja hal ini disesuaikan dengan keadaan klien saat ini.
Desired changes, merupakan perubahan-perubahan yang diinginkan oleh klien selama proses konseling. Sebagaimana menentukan masalah, perubahan-perubahan yang diinginkan oleh klien sebaiknya dimunculkan dalam bentuk perilaku atau kata kerja aktif dan positif. Konselor bisa bertanya “Apa yang anda harapkan setelah mengikuti proses konseling?” Pertanyaan ini dapat dipergunakan oleh konselor untuk mengukur sejauh mana harapan-harapan untuk berubah pada diri klien serta apa yang akan dilakukan oleh klien.
Intervention plan, merupakan tahap pelaksanaan. Pada tahap ini, konselor telah menentukan strategi konseling yang akan dipergunakan untuk mengentaskan masalah yang dihadapi oleh klien. Yeoh (2003) menyatakan bahwa untuk merencanakan intervensi, maka beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh konselor adalah (a) jangan terburu-buru, (b) mulailah dengan perubahan-perubahan kecil yang telah dilakukan klien, (c) perkuat komitmen klien untuk berubah dan (d) bertindak kreatif.
Cormier & Cormier (1985) menyatakan bahwa saat menentukan strategi apa yang akan diberikan kepada klien, sebaiknya konselor mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a. Apakah strategi tersebut sesuai dengan karakteristik pribadi klien?
b. Apakah strategi tersebut sesuai dengan karakteristik masalah klien?
c. Apakah strategi itu lebih bersifat positif daripada menghukum?
d. Apakah strategi tersebut dapat mendorong tumbuhnya keterampilan manajemen diri siswa (self-management skills)?
e. Apakah pelaksanaan strategi itu didukung dengan literatur yang ada?
f. Apakah strategi itu mudah dilaksanakan?
g. Apakah strategi itu akan menimbulkan masalah baru bagi klien atau orang terdekat klien (significant other)?
h. Apakah strategi ini memerlukan konselor lebih dari satu orang?
i. Apakah strategi itu akan mengulang kegagalan yang sama?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sebaiknya menjadi pertimbangan bagi konselor untuk menentukan strategi apa yang akan dipergunakan untuk membantu memecahkan masalah klien.
Sebagai salah satu teknik konseling yang berbasis eklektik, maka salah satu hal penting yang perlu dilakukan adalah memberikan batas akhir bagi pelaksanaan proses konseling. Hal ini seringkali kita temui pada pendekatan-pendekatan konseling behavioristik. Penentuan waktu akhir merupakan usaha untuk melihat apakah klien komitmen dengan rencana-rencana perubahan yang telah dibicarakan bersama. Selain itu, penetapan waktu ini akan “memaksa” klien untuk lebih bertanggungjawab dalam menyelesaikan masalahnya.
Referensi
ABKIN. 2005. Standar Kompetensi Konselor Indonesia (SKKI). Jakarta: PB ABKIN.
Bolton-Brownlee, Ann. 1987. Issues in Multicultural Counseling. www.ericdigest.org/pre-925/issues.htm. Diakses tanggal 18 Juli 2006.Cormier, William., Cormier, Sherrilyn. 1985. Intervieving Strategies for Helpers: fundamental skills and cognitive behavioral interventions (2nd ed). California: Brooks/Cole Publishiing Company.
Hartono., Soedarmadji, Boy. 2006. Psikologi Konseling. Surabaya: University Press UNIPA Surabaya.
Rosjidan. 1995. Pengembangan Bimbingan dan Konseling dengan Budaya Nasional: rintisan. Makalah disampaikan dalam Kongres VIII dan Konvensi nasional X IPBI di Surabaya.
Soedarmadji, Boy., Sutijono. 2005. Model-model Konseling. Surabaya: University Press UNIPA Surabaya.
Soedarmadji, Boy., Sutijono. 2005. Pengantar Proses Konseling. Surabaya: University Press UNIPA Surabaya.
Vontrees, Clemmont. Culture and Counseling. www.ac.wwu.edu/culture/Vontress.htm Diakses tanggal 18 Juli 2006.
Westbrook, Franklin., Seadlacek, william. 1991. Forty Years of Using Labels to Communicate About Nontraditional Students: Does It Help or Hurt? Journal of Counseling & development. 70 (1): 18-20.
Yeoh, Anthony. Counseling: a Problem Solving Approach (diterjemahkan oleh Wuisan). Jakarta: Gunung Mulia
Tugas:
1. kritisi makalah tersebut dengan mempergunakan pendekatan konseling lintas budaya.
Oleh: Boy Soedarmadji
Pengantar
Perkembangan konseling di dunia saat mengalami perubahan-perubahan yang sangat pesat. Hal ini terjadi di negara-negara yang sudah maju seperti di Amerika, Inggris dan kebanyakan negara-negara di Eropa. Pesatnya perkembangan ilmu konseling di negara-negara barat ada kemungkinan disebabkan karena semakin kompleksnya masalah yang dihadapi oleh negara-negara barat, sehingga mereka terus berpacu dengan waktu untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang muncul.
Awalnya pelaksanaan konseling di barat seringkali didasarkan pada nilai nilai yang berlaku bagi kaum mayoritas, atau dapat dikatakan bahwa layanan konseling itu merupakan kegiatan kelas menengah ke atas bagi orang kulit putih yang masih memegang teguh nilai nilai dimilikinya. Konseling seringkali dilakukan antara orang kulit putih dengan orang kulit putih. Hal ini dapat dimaklumi, karena perkembangan konseling ini sendiri diawali oleh orang kulit putih.
Lambat laun masalah dalam konseling mulai muncul. Dalam pelaksanaan konseling, ternyata bukan menjadi otonomi masyarakat kulit putih saia, tetapi juga menjadi kebutuhan bagi masyarakat lainnya. Masyarakat lain yang dimaksud adalah kaum pendatang (siswa, mahasiswa, imigran dll). Mereka lebih sering disebut dengan masyarakat minoritas. Kaum minoritas di Amerika terdiri dari kaum pendatang (siswa, mahasiswa dan imigran gelap). Secara umum mereka datang ke Amerika dengan membawa budaya yang masih melekat kuat bagi pribadi masing masing. Siswa dan maha¬siswa yang berasal dari Asia (terutama) seringkali menga¬lami kesulitan didalam melaksanakan studinya. Kesulitan ini seringkali berasal dari budaya atau nilai nilai yang berbeda dengan nilai nilai yang dipergunakan oleh orang barat. Kesulitan kesulitan studi mereka segera ditangkap oleh konselor barat. Tetapi kenyataannya, konselor barat itu sendiri juga merasa kesulitan untuk membantu mahasiswa yang berasal dari negara timur.
Golongan minoritas tidak saia mengacu pada apa yang telah disebutkan di atas saja. Satu kelompok lain yang masuk dalam golongan minoritas adalah kaum perempuan. Secara umum, perempuan masih digolongkan sebagai orang kedua dalam hal pekerjaan dan lain lain. Perempuan selama ini masih dianggap sebagai golongan yang lemah dan golongan yang harus dilindungi. Padahal dalam beberapa dekade terakhir ini, kaum perempuan mulai "mengeliat" dan berusaha untuk bisa menunjukkan eksistensinya. Gerakan gerakan tersebut demikian kuatnya sehingga mengakibatkan para ahli konseling berpikir untuk dapat “melayani" mereka. Hal ini membuat posisi ilmu konseling untuk terus melakukan penelitian penelitian yang dapat mangungkap hal hal yang berkaitan dengan konseling lintas budaya. Sehingga diharapkan nantinya akan muncul metode metode baru atau teknik teknik baru yang dapat dipergunakan untuk melakukan konseling dengan klien yang mempunyai perbedaan buda¬ya.
Perkembangan di Indonesia
Indonesia sebagai negara kesatuan memiliki kurang lebih 300 etnis yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Banyaknya etnis ini merupakan berkah yang tak terhingga bagi kita, sebab keragaman/kemajemukan ini akan memunculkan warna kehidupan. Pada setiap suku/etnis tersebut terdapat model bantuan yang sifatnya masih tradisional. Pada umumnya, bantuan yang diberikan kepada orang yang membutuhkan dilakukan oleh tokoh masyarakat yang dianggap mempunyai kelebihan spiritual (kyai, pastor, pendeta) atau mereka yang dianggap sebagai “orang tua” atau mereka yang dituakan (paranormal, “orang pinter”. “orang tua” dan sebagainya) [Rosjidan, 1995]. Orang-orang ini dipandang mempunyai kemampuan lebih untuk mengatasi masalah tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Indonesia masih mempunyai ketergantungan pada mereka, sebagai salah satu contoh pada saat mencari pekerjaan. Mereka tidak segan-segan datang kepada orang-orang tersebut untuk mendapatkan petuah, wejangan bahkan jampi-jampi. Ada keyakinan yang kuat bagi sebagian masyarakat Indonesia bahwa dengan mendatangi guru (kyai, dukun, paranormal dll) akan membuat masalah mereka selesai.
Dari uraian di atas, maka dapat ditarik simpulan bahwa profesi konseling akan lebih menguntungkan jika mempergunakan pendekatan-pendekatan yang dipergunakan oleh kaum pribumi. Hal ini disebabkan setiap budaya mempunyai cara-cara tertentu untuk menyelesaikan masalah yang timbul di dalam masyarakat tersebut (Lee & Sirch, 1994).
Perkembangan konseling di Indonesia mengalami kemajuan yang signifikan, walaupun kemajuan tersebut berjalan dengan lambat. Pada tahun 1995 dengan dilakukannya kongres dan Konvensi Nasional IPBI (sekarang ABKIN) telah dimulai suatu gerakan untuk menemukan konseling yang bercirikan budaya Indonesia. Saat itu, pemerhati masalah Bimbingan dan Konseling telah menyadari akan perlunya identitas konseling di Indonesia.
Terbentuknya ABKIN (Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia) merupakan tonggak bersejarah bagi pelaksanaan konseling di Indonesia. Saat ini, perjuangan ABKIN bagi keberadaan konselor di sekolah semakin terasa, apalagi sampai munculnya istilah “konselor” sebagai salah satu jenis tenaga kependidikan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada Bab I Pasal 1 ayat (4) dinyatakan bahwa “pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Pernyataan secara eksplisit ini pada akhirnya memunculkan kepercayaan masyarakat (public trust).
Sebutan konselor memiliki tanggungjawab yang besar. Hal ini dikarenakan sebutan ini menuntut profesionalisme dari diri masing-masing konselor yang ada, sehingga dalam hal ini, LPTK merasa terpanggil untuk mempersiapkan tenaga konselor yang professional. Salah satu bentuk profesionalisme konselor adalah menerapkan teori-teori konseling terbaru yang berkembang. Untuk hal tersebut, maka ABKIN mengeluarkan keputusan no. 011 tahun 2005 tentang Standar Kompetensi Konselor Indonesia (SKKI) yang merupakan salah satu acuan penyelenggaraan pendidikan bagi semua perguruan tinggi penyelenggaran Program Studi Bimbingan dan Konseling di Indonesia.
Salah satu hal menarik yang tercantum dalam SKKI disebutkan bahwa Konselor bekerja dalam berbagai setting, dan setting itu menjadi kekhususan dari wilayah layanan bimbingan dan konseling. Keragaman setting pekerjaan konselor ini mengandung makna adanya pengetahuan, sikap, dan keterampilan bersama yang harus dikuasai oleh konselor dalam setting manapun. Kompetensi ini disebut kompetensi bersama (common competencies), yang harus dikuasai oleh konselor sekolah, perkawinan, karir, traumatic, rehabilitasi dan kesehatan mental. Setiap setting bimbingan dan konseling menghendaki kompetensi khusus yang harus dikuasai konselor untuk dapat memberikan layanan dalam setting/wilayah khusus itu (ABKIN, 2005).
Sejalan dengan perkembangan teori-teori tersebut, maka di Indonesia saat ini sedang getol-getolnya dikembangkan suatu pendekatan konseling yang berbasis Indonesia. Salah satu alternatif yang ditawarkan adalah Teknik Konseling PADI.
Konseling PADI
Konseling PADI atau yang sering disebut dengan teknik PADI, saat ini telah dikembangkan di beberapa negara Asia, khusunya Asia Tenggara seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Philipina. Teknik ini dikembangkan dengan memadukan dua pendekatan konseling yaitu pendekatan humanistik dan behavioristik, selain ada juga unsur-unsur budaya Timur yang menyertainya. Perkembangan ini ditunjukkan dengan munculnya teknik-teknik konseling baru yang mungkin (juga) baru kita kenal. Salah satu teknik konseling yang saat ini mulai dikembangkan di Asia adalah teknik konseling PADI. PADI sendiri merupakan akronim dari Problem definition, Atempted solution, Desired changes dan Intervention plan.
Problem definition, merupakan suatu usaha untuk mendefinisikan masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh individu. Mendefinisikan masalah merupakan tahapan yang paling penting, sebab seringkali klien datang ke ruang konseling dengan membawa berbagai macam masalah dimana mereka tidak tahu masalah mana yang akan diselesaikan. Hal lain yang sering muncul adalah pengungkapan masalah yang sebenarnya bukan masalah. Sebagai contoh, seorang ibu mengeluh karena tidak bisa mengatur anak ABG-nya. Dia mengatakan bahwa saat ini anaknya susah diatur dan cenderung untuk bermain dengan teman-teman sebayanya. Ungkapan ibu tadi sepertinya masalah, tetapi jika dilihat dari psikologi perkembangan, usia anak ABG memang memiliki perilaku untuk berkelompok dengan teman sebayanya. Lebih lanjut, masalah yang dimiliki ibu tadi seakan-akan bukan masalahnya, tetapi dipandang bahwa anaknya yang bermasalah. Untuk mendefinisikan masalah klien, maka perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
a. Masalah dinyatakan secara positif (biasanya dalam bentuk perilaku)
b. Masalah adalah milik klien
c. Perjelas kapan masalah muncul
d. Bagaimana pengaruh masalah tersebut terhadap diri dan lingkungan klien
e. Siapa yang harus dilibatkan
f. Perlu dipertimbangkan masalah budaya klien
Yeoh (2003) menyatakan bahwa jika konselor mengetahui letak permasalahan klien, maka konselor sebaiknya menyatakan kepada klien. Hal ini dilakukan agar klien tersadar dan dengan mudah untuk melakukan diskusi dengan konselor. Melalui diskusi ini, maka antara konselor dan klien akan memiliki kesepakatan tentang masalah apa yang ingin diselesaikan melalui konseling, sehingga akan membuat konselor lebih fokus dalam usaha membantu klien.
Atempted solution, merupakan usaha-usaha pemecahan masalah yang pernah dicoba oleh klien. Untuk hal ini, konselor perlu menanyakan kepada klien tentang apa saja yang pernah dilakukan oleh oleh klien untuk memecahkan masalahnya serta menanyakan bagaimana hasilnya. Pemberian pertanyaan ini dimaksudkan untuk memberikan penguatan serta memotivasi klien untuk dapat menyelesaikan masalahnya. Satu hal penting bagi konselor adalah tidak memberikan persepsi terhadap usaha-usaha yang telah dilakukan oleh klien sehubungan dengan usaha pemecahan masalah yang dilakukannya. Walaupun usaha yang dilakukan oleh klien bertentangan nilai-nilai yang dimiliki oleh konselor. Perilaku konselor dengan tidak memberikan persepsi kepada usaha-usaha yang dilakukan oleh klien akan membantu konselor untuk berpijak pada hal-hal yang bersifat obyektif.
Pengungkapan diri klien terhadap usaha pemecahan masalah yang telah dilakukan pada akhirnya akan membantu konselor dan klien untuk bersama-sama menemukan cara-cara baru untuk mengentaskan masalah klien. Untuk hal ini sebaiknya konselor telah mengidentifikasi kelebihan dan kelemahan masing-masing cara yang telah dilakukan oleh klien. Lebih lanjut, Yeoh (2003) menyatakan bahwa usaha menemukan usaha-usaha yang pernah dilakukan oleh klien juga bertujuan untuk membuang usaha-usaha yang tidak berhasil, dan membicarakan lagi usaha-usaha yang pernah berhasil untuk diangkat kembali sebagai salah satu alternative pemecahan masalah klien. Tentu saja hal ini disesuaikan dengan keadaan klien saat ini.
Desired changes, merupakan perubahan-perubahan yang diinginkan oleh klien selama proses konseling. Sebagaimana menentukan masalah, perubahan-perubahan yang diinginkan oleh klien sebaiknya dimunculkan dalam bentuk perilaku atau kata kerja aktif dan positif. Konselor bisa bertanya “Apa yang anda harapkan setelah mengikuti proses konseling?” Pertanyaan ini dapat dipergunakan oleh konselor untuk mengukur sejauh mana harapan-harapan untuk berubah pada diri klien serta apa yang akan dilakukan oleh klien.
Intervention plan, merupakan tahap pelaksanaan. Pada tahap ini, konselor telah menentukan strategi konseling yang akan dipergunakan untuk mengentaskan masalah yang dihadapi oleh klien. Yeoh (2003) menyatakan bahwa untuk merencanakan intervensi, maka beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh konselor adalah (a) jangan terburu-buru, (b) mulailah dengan perubahan-perubahan kecil yang telah dilakukan klien, (c) perkuat komitmen klien untuk berubah dan (d) bertindak kreatif.
Cormier & Cormier (1985) menyatakan bahwa saat menentukan strategi apa yang akan diberikan kepada klien, sebaiknya konselor mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a. Apakah strategi tersebut sesuai dengan karakteristik pribadi klien?
b. Apakah strategi tersebut sesuai dengan karakteristik masalah klien?
c. Apakah strategi itu lebih bersifat positif daripada menghukum?
d. Apakah strategi tersebut dapat mendorong tumbuhnya keterampilan manajemen diri siswa (self-management skills)?
e. Apakah pelaksanaan strategi itu didukung dengan literatur yang ada?
f. Apakah strategi itu mudah dilaksanakan?
g. Apakah strategi itu akan menimbulkan masalah baru bagi klien atau orang terdekat klien (significant other)?
h. Apakah strategi ini memerlukan konselor lebih dari satu orang?
i. Apakah strategi itu akan mengulang kegagalan yang sama?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sebaiknya menjadi pertimbangan bagi konselor untuk menentukan strategi apa yang akan dipergunakan untuk membantu memecahkan masalah klien.
Sebagai salah satu teknik konseling yang berbasis eklektik, maka salah satu hal penting yang perlu dilakukan adalah memberikan batas akhir bagi pelaksanaan proses konseling. Hal ini seringkali kita temui pada pendekatan-pendekatan konseling behavioristik. Penentuan waktu akhir merupakan usaha untuk melihat apakah klien komitmen dengan rencana-rencana perubahan yang telah dibicarakan bersama. Selain itu, penetapan waktu ini akan “memaksa” klien untuk lebih bertanggungjawab dalam menyelesaikan masalahnya.
Referensi
ABKIN. 2005. Standar Kompetensi Konselor Indonesia (SKKI). Jakarta: PB ABKIN.
Bolton-Brownlee, Ann. 1987. Issues in Multicultural Counseling. www.ericdigest.org/pre-925/issues.htm. Diakses tanggal 18 Juli 2006.Cormier, William., Cormier, Sherrilyn. 1985. Intervieving Strategies for Helpers: fundamental skills and cognitive behavioral interventions (2nd ed). California: Brooks/Cole Publishiing Company.
Hartono., Soedarmadji, Boy. 2006. Psikologi Konseling. Surabaya: University Press UNIPA Surabaya.
Rosjidan. 1995. Pengembangan Bimbingan dan Konseling dengan Budaya Nasional: rintisan. Makalah disampaikan dalam Kongres VIII dan Konvensi nasional X IPBI di Surabaya.
Soedarmadji, Boy., Sutijono. 2005. Model-model Konseling. Surabaya: University Press UNIPA Surabaya.
Soedarmadji, Boy., Sutijono. 2005. Pengantar Proses Konseling. Surabaya: University Press UNIPA Surabaya.
Vontrees, Clemmont. Culture and Counseling. www.ac.wwu.edu/culture/Vontress.htm Diakses tanggal 18 Juli 2006.
Westbrook, Franklin., Seadlacek, william. 1991. Forty Years of Using Labels to Communicate About Nontraditional Students: Does It Help or Hurt? Journal of Counseling & development. 70 (1): 18-20.
Yeoh, Anthony. Counseling: a Problem Solving Approach (diterjemahkan oleh Wuisan). Jakarta: Gunung Mulia
Tugas:
1. kritisi makalah tersebut dengan mempergunakan pendekatan konseling lintas budaya.
Langganan:
Postingan (Atom)
Kesurupan .......... Tulisan ini mencoba untuk menjawab berbagai pertanyaan tentang proses terjadinya kesurupan massal yang menjadi fe...
-
KONSELING INDONESIA: Yang Bagaimana? Oleh: Boy Soedarmadji Pengantar Perkembangan konseling di dunia saat mengalami perubahan-perubahan yang...
-
HIPNOKONSELING GESTALT: ALTERNATIF UPAYA MENINGKATKAN PRESTASI AKADEMIK SISWA Oleh: Boy Soedarmadji, M.Pd., C.Ht boyunipasby@gmail....
-
KONSELING LINTAS BUDAYA Oleh: Boy Soedarmadji A. Pengantar Sesuai dengan kodrat yang dimiliki oleh manusia bahwa manusia diciptakan sebagai ...